728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Szetu Mei Sen, Seorang Biasa Yang Luar-Biasa

    Chan Chung Tak

    Tanggal 13 Oktober tahun 2010 yl. Rakyat Indonesia dan Rakyat Tiongkok kehilangan seorang pejuang dan sahabat baik yang dikenal dengan nama Szetu Mei Sen, usia 82 tahun. Pada saat dilangsungkan Upacara Belasungkawa perpisahan terakhir pada tgl. 19 Oktober 2010 jam 11 pagi di Rumah Duka Jing Hu Macau, nampaklah ke-BESARAN Szetu Mei Sen yang dihargai dan dihormati rakyat kedua Negara, Indonesia-Tiongkok. Sementara penduduk-tua Macau terkagum, “Selama ini belum pernah melihat Rumah Duka bisa begitu penuh dihadiri kerabat orang yang meninggal, sekalipun pejabat tinggi Macau. Sungguh luar biasa yang meninggal kali ini?”

    Benar-benar Rumah Duka Jing Hu yang terbesar di Macau menjadi nampak terlalu kecil untuk menampung begitu banyaknya sahabat karib yang datang melepas Mei Sen. Nyaris separoh hadirin harus berdiri bahkan meluber keluar aula, begitu juga karangan bunga yang tidak hanya dikirim oleh pejabat Pemerintah Macau dan sahabat karib dari Macau, tapi juga pejabat dari Pemerintah Tiongkok Pusat dan beberapa Propinsi, sahabat di Tiongkok daratan, Hongkong dan tentunya juga tidak sedikit karangan-bunga dari sahabat-karib Szetu Mei Sen di Indonesia. Patut dicatat, mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri termasuk pengirim bunga dari Indonesia. Begitu banyaknya karangan-bunga, terpaksa harus dijejer sekitar Rumah Duka sampai keluar dipinggir jalan raya.

    Mantan Gubernur Macau, He Hou Hua tidak saja berperan sebagai ketua Panitia Belasungkawa, tapi juga memerlukan hadir untuk melepas sahabat karibnya Szetu Mei Sen. Begitu juga Gubernur Macau Cui Shi An memerlukan hadir menyatakan belasungkawa pada Keluarga Szetu Mei Sen yang ditinggalkan. Dari pihak pemerintah pusat RRT dan Propinsi juga mengutus Dept. Urusan Huakiao untuk hadir, disamping mengirim Telgram Belasungkawa dan juga karangan bunga.

    Satu persatu memberikan penghargaan tinggi pada Szetu Mei Sen adalah seorang yang berjasa dalam mempererat Persahabatan Rayat Tiongkok dan Rakyat Indonesia, "Sekalipun beliau (Mei Sen) telah meninggal dunia, apa yang beliau sumbangkan tetap berada di hati rakyat kedua bangsa," kata Dubes RRT di Jakarta Zhang Qiyue. Banyak orang Tiongkok yang mengagumi peran Szetu Mei Sen dalam mensukseskan kelancaran Konfrensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung; bersama Adam Malik memainkan peran penting menggolkan hak RRT menjadi anggota PBB yang sah, di tahun 80-an juga berperan sebagai perantara dalam pemulihan hubungan diplomatik RI-RRT yang sejak tahun 1967 dibekukan.

    Bagaimana reaksi dari pihak Pemerintah Indonesia? Terkesan kurang perhatian dan memberi penghargaan pada seorang warga-nya yang yang tersangkut di Macau ini. Nampaknya Konsulat Jenderal RI di Hong Kong dan Guang Zhou merasa sudah cukup dengan mengirimkan telegram dan karangan bung belasungkawa, dan cukup sekadar mengirim utusan saja. Tidak dengan cekatan mengajukan kesediaan melibatkan diri dalam Panitia Upacara Belasungkawa melepas warganya yang meninggal di Macau itu. Bahkan saat di Jakarta dilangsungkan kegiatan “Mengenang Bapak Almarhum Sze Tu Mei Sen” yang diselenggarakan Lembaga Kerja Sama Ekonomi, Sosial dan Budaya Indonesia-China bersama keluarga Mendiang Sze Tu Mei Sen pada tgl. 7 Maret 2011 di Grand Sahid Jaya, hanya dihadiri oleh “pejabat” yang memang sahabat baik Szetu Mei Sen saja. Antara lain, Megawati Soekarnoputri, Sukamdani, Mantan Dubes RI di Beijing, Sudradjat dan mantan Komandan Tjakrabirawa, Maulwi Saelan.

    Sekalipun Pemerintah Indonesia kurang menaruh perhatian dan penghargaan, tidak dapat disangkal kenyataan Szetu Mei Sen adalah sosok yang telah menjadi milik bersama, yang dicintai dan dihormati begitu tinggi oleh Rakyat Tiongkok dan Rakyat Indonesia! Mengapa bisa begitu? Marilah kita ikuti jalan hidup dan peran yang telah dilakukan Szetu Mei Sen selama hidupnya.

    I.        Perkenalan dan keakraban dengan Presiden Soekarno.

    Szetu Mei Sen lahir di Sukabumi dari keluarga Tionghoa revolusioner. Ayahnya Szetu Tjan aktivis yang bergerak dibidang Pendidikan, Kepala Sekolah Menengah Tionghoa Guang Ren dan Pa Zhong, juga ibu-nya seorang guru. Disaat Jepang masuk menyerbu Indonesia, ayah-ibu Mei Sen terlibat dalam gerakan melawan Jepang. Sedang Mei Sen kecil sekalipun baru berusia 14 tahun, bersama abangnya, Pa Sen juga sudah ikut membantu gerakan, bersama ibunya tertangkap dan dijebloskan penjara Jepang selama 8-9 bulan. Setelah Mei Sen dan abangnya lebih dahulu dilepas, mereka berdua dimasa masih kanak-kanan sudah harus memikul tanggungjawab melanjutkan kehidupan keluarga yang ditinggal ayah-ibunya, meneruskan hidup 5 bersaudara, bersama 3 adik-nya yang lebih kecil, … sampai ayah-ibunya keluar dari penjara setelah Jepang menyerah 15 Agustus 1945.

    Ditahun 1946 Szetu Mei Sen baru usia 19 tahun, sudah bekerja sebagai wartawan “Tian Sheng Ri-bao”《天声日报》(Baca: Harian Thian Sheng di Jakarta), mendapat tugas ke Jogya untuk mengikuti sidang KNIP yang ternyata dilangsungkan di Kota Malang. Dalam perjalanan Kereta Api dari Jogya ke Malang terjadi pertemuan Mei Sen dengan Presiden RI Soekarno, yang kebetulan satu Gerbong. Pertemuan pertama dengan Presiden Soekarno itulah, menentukan jalan hidup diri Mei Sen kemudian, menjadi seorang yang luar biasa.

    Rupanya Presiden Soekarno berkesan baik dengan pemuda Mei Sheng yang berani, jujur dan nampak cerdas itu. Presiden sangat mengharapkan Mei Sen bisa tetap berhubungan dan mencari beliau bila berkunjung ke Jogya. Nampak seperti ketemu jodoh, pertemuan dengan Presiden Soekarno berlanjut dan hubungan menjadi lebih akrab setelah Ibukota pindah ke Jakarta. Bulan Juli tahun 1950, Szetu Mei Sen untuk pertama kali diundang menghadiri Penyerahan Surat Kuasa Duta Besar Pertama RRT untuk Indonesia, Wang Ren Shu. Sejak itulah Mei Sen menjadi pendamping Bung Karno dalam setiap pertemuan dengan pejabat RRT, sebagai penterjemah bahasa Tionghoa Bung Karno.

    Keakraban hubungan Mei Sen dan Bung Karno bukan saja membuat Mei Sen mudah keluar-masuk istana seperti rumah sendiri, bahkan bebas keluar-masuk ruang kerja bung Karno. Padahal tidak semua menteri Kabinet diperbolehkan masuk ruang kerja Bung Karno. Mei Sen seringkali dipanggil khusus untuk jalan pagi bersama di halaman Istana atau disore hari diminta datang ke Istana hanya untuk ngorbrol dan diajak berbincang persoalan-persoalan yang dihadapi dalam Pemerintah atau kalau diperlukan memberi informasi kejadian dan situasi kehidupan rakyat dari wartawan muda ini. Begitulah secara tidak disengaja, Mei Sen yang sejak tahun 1949 sudah menjadi wartawan Sin Po itu bukan saja menjadi sahabat-akrab Bung Karno untuk berbincang-bincang, dengan demikian sadar atau tidak Mei Sen menjadi murid baik Soekarno! Hati-nya melekat menjadi satu dengan Rakyat Indonesia! Menjadi seorang yang tidak terpisahkan dengan Perjuangan Rakyat Indonesia sekalipun lebih separoh dari hidupnya harus dilewati dalam pengasingan di Macau sampai nafas terakhir.

    II.   Peran yang dimainkan membantu mensukseskan Konfrensi Asia-Afrika 1955 di Bandung.

    Sebagaimana diketahui, Konfrensi Asia-Afrika adalah gagasan Bung Karno untuk menyatukan Negara-negara sedang berkembang melawan kolonialis/imperialis. Pada saat menjajaki 4 negara yang akan dijadikan negara sponsor, India, Pakistan, Srilanka dan Burma, ternyata Pakistan dan Srilanka yang ketika itu sangat anti-Komunis, tidak hendak Republik Rakyat Tiongkok ikut serta. Tentu saja menjadi ganjelan bagi Bung Karno, yang justru menghendaki RRT berpartisipasi. Apa arti Konfrensi AA kalau RRT, negara besar di Asia itu tidak hadir?

    Dipanggillah Mei Sen muda ke istana, bung Karno minta menyampaikan informasi pada pemerintah Tiongkok, Indonesia sedang merencanakan Konfrensi AA dan hadak mengikut sertakan Tiongkok, tapi ada Negara-negara yang menentang. Kenapa bung Karno tidak menggunakan jalur resmi, membicarakannya dengan Duta-Besar RRT? Begitu Mei Sen muda berpikir, sekalipun tidak berani membantah “PERINTAH” Presiden. Baru mengerti kemudian, bung Karno merasa “pembocoran” situasi begitu boleh saja menggunakan Mei Sen yang seorang wartawan dan dekat dengan Kedutaan RRT. Agar pihak Pemerintah RRT dengan tepat mengetahui situasi Negara-negara yang akan dihadapi dalam Konfrensi AA dan dengan demikian bisa menjamin Konfrensi AA mencapai sukses yang lebih besar. Pemerintah Tiongkok, PM Chou En Lai secara terpisah mengundang PM Nehru dari India berkunjung ke Beijing di Oktober 1954 dan kemudian juga PM U Nu dari Burma berkunjung ke Beijing diakhir tahun 1954. Dan tentu antara lain juga berembuk bagaimana mensukseskan Konfrensi AA yang akan dilangsungkan di Bandung itu.

    Benar saja, tgl. 18 April 1955 Konfrensi A-A di Bandung yang ketika itu berhasil dihadiri 29 negara dan dibuka oleh Presiden Soekarno dengan megah, dan kemudian diikuti kata sambutan beberapa Negara cukup bersahabat. Tapi, tiba giliran wakil Srilanka dan Pakistan memberi sambutan yang tidak bersahabat, menyerang RRT sebagai Negara Komunis, yang justru katanya imperialisme, … membuat suasana menjadi tegang, orang menduga Konfrensi AA ini segera akan berubah menjadi pertarungan sengit. RRT tidak akan menerima serangan yang tidak bersahabat dari satu Negara kecil macam Srilanka. Tapi hari berikut, tgl. 19 April, giliran Wakil Pemerintah Tiongkok memberikan kata sambutan, PM Chao En Lai dengan wajah anggun yang tenang dan dan nampak berwibawa, mengajukan: “Kami datang ke Konfrensi ini bukan untuk bertengkar dan mencari permusuhan. Tapi datang untuk mempererat persahabatan diantara Negara-negara Asia-Afrika. Kami datang kesini untuk mencari persamaan pandangan, bukan menimbulkan masalah yang berbeda. Sebagian besar negara Asia-Afrika telah mengalami derita kolonialisme, kita harus mencari persamaan umum untuk menghilangkan penderitaan yang menimpa kita, akan lebih mudah bagi kita untuk saling mengerti, saling menghormat, dan saling membantu satu sama lain, ...” Dengan sikap PM Chao yang bersahabat dan berwibawa begitu, akhirnya KAA tidak berubah menjadi konfrensi keributan dan pertengkaran sebagaimana diharapkan dunia Barat, sebaliknya justru berhasil mencapai kesepakatan 5 Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai, meningkatkan persatuan dan solidaritas Negara-negara Asia-Afrika dalam semangat melawan kolonialisme-imperialisme, yang kemudian dikenal dengan Dasasila Bandung, Semangat Bandung yang tetap berkumandang hingga sekarang, sekalipun telah lewat 56 tahun.

    Dasasila Bandung:

    1.       Menghormati hak-hak asasi manusia dan menghormati tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB.
    2.      Menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara.
    3.      Mengakui persamaan derajat semua ras serta persamaan derajat semua negara besar dan kecil.
    4.      Tidak campur tangan di dalam urusan dalam negeri negara lain.
    5.      Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan dirinya sendiri atau secara kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
    6.             a. Tidak menggunakan pengaturan-pengaturan pertahanan kolektif untuk kepentingan khusus negara besar mana pun.
    b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain mana pun.
    7.      Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi atau menggunakan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun.
    8.      Menyelesaikan semua perselisihan internasional dengan cara-cara damai, seperti melalui perundingan, konsiliasi, arbitrasi, atau penyelesaian hukum, ataupun cara-cara damai lainnya yang menjadi pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
    9.      Meningkatkan kepentingan dan kerja sama bersama.
    10.    Menjunjung tinggi keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional.

    Itulah peran pertama yang dijalankan Mei Sen sebagai “Diplomat” menyampaikan situasi rencana diselenggarakannya KAA pada pihak Pemerintah TIongkok. Peran kedua, sebagaimana diketahui Bandung dipilih menjadi tempat KAA, karena:

    1.     Udara sejuk dan pemandangan indah;
    2.    Di Bandung inilah tahun 1928 Soekarno berpidato mengajukan pemikiran Indonesia dan Pan Asia. Yang hendak menyatukan Naga-nya Tiongkok, Sapi-nya India, Singa-nya Mesir, Gajah-nya Thailand, Merak-nya Burma, Ularnya Vietnam, Harimau-nya Filipina dan Banteng-nya Indonesia, … untuk melawan setan-siluman penjajah kolonialisme dan imperialism; dan
    3.    Ada 2 Hotel, Hotel Homann dan Hotel Preanger peninggalan koloni Belanda yang pantas bisa digunakan.

    Tapi, ternyata setelah di-hitung 2 Hotel yang ada di Bandung itu tidak cukup menampung begitu banyak tamu Negara yang akan menghadiri KAA. Itulah masalah serius yang sulit mendapatkan pemecahan, bagaimanapun juga sudah tidak mungkin membangun Hotel lagi dalam sekejab. PM Ali Sastroamidjojo dan Roeslan Abdulgani yang ketika itu ditugaskan sebagai ketua dan sekretaris Panitia Penyelenggara Konfrensi AA jadi bingung, mau ditaroh dimana tamu Negara itu? Saat mereka berdua memperbincangkan bersama Presiden Soekarno belum juga mendapatkan pemecahan yang baik, muncul-lah wartawan muda Mei Sen. Segera saja dipanggil Bung Karno untuk ikut memikirkan jalan keluarnya. Setelah Mei Sen terdiam berpikir sejenak, mengajukan pemikiran: “Bagaimana kalau kita minta bantuan pengusaha-pengusaha Tionghoa agar bisa meminjamkan vila mereka untuk menerima Tamu Negara itu?”

    Segera saja usul itu diterima, dan Roeslan Abdulgani minta Mei Sen mencoba menghubungi pengusaha-pengusaha Tionghoa untuk meminjamkan Vila mereka menerima tamu Negara. Tugas ini dikerjakan Mei Sen dengan baik, dan berhasil meminjam Vila-vila yang dibutuhkan untuk menampung Tamu Negara yang menghadiri KAA di Bandung. Ketangkasan Mei Sen, membuat Roeslan Abdulgani juga terkagum pada wartawan muda ini, lalu memuji Mei Sen: “Bukan saja Peserta tapi juga pencipta Sejarah.” Tanpa peran yang dimainkan Mei Sen entah bagaimana jadinya KAA, bisa sangat mempermalukan Indonesia sebagai Negara pemerkasa dan tuan-rumah Konfrensi!

    III.Bersama Adam Malik, memainkan peran penting menggolkan hak RRT sebagai anggota PBB yang sah.

    Sebenarnya, hubungan pribadi Mei Sen dengan Adam Malik juga sudah terjalin dimasa Jogya itu, dan kemudian menjadi lebih erat dan dekat, disekitar tahun 59, Adam Malik yang dari Partai Murba, termasuk partai yang dilarang oleh Pmerintah, dan kalau datang ke-Istana menjadi dijauhi orang, hanya Mei Sen saja yang masih saja tetap bersahabat. Orang boleh saja beda pendapat bahkan beda pandangan ideologi–politik, tapi persahabatan tetap bisa dipertahankan secara baik. Tentu tidak berarti harus setuju atau mengikuti pemikiran Trotsky yang dituduhkan itu. Begitu sikap Mei Sen muda ketika itu yang menyentuh hati Adam Malik.

    Sikap setia-kawan Mei Sen inilah, membuat Adam Malik juga sangat menghargai wartawan muda yang satu ini. Selalu mengingat dan memperlakukan Mei Sen sebagai sahabat baik, setiap ada kesempatan akan menemui Mei Sen untuk ngobrol atau makan sate-kambing kesukaan mereka berdua. Begitulah ditahun 1971, menjelang Adam Malik resmi dinobatkan sebagai Ketua PBB, menyatakan keinginan bertemu dengan Szetu Mei Sen, yang ketika itu diketahui berdomisili di Macau. Melalui Konsul-jenderal di HK, Szetu Mei Sen diminta datang ke HK menemui Adam Malik.

    Dalam pertemuan, Adam Malik mengajukan pemikirannya, hendak menggunakan kesempatan dirinya menjabat Ketua PBB itu menggolkan keanggotaan RRT yang sah di PBB. Tapi, ini bertentangan dengan PERINTAH Presiden Soeharto yang tetap hendak mengakui Taiwan sebagai anggota sah di PBB. Mei Sen saat itu juga menghadapi kesulitan untuk menyampaikan pemikiran Adam Malik ini pada Pemerintah Tiongkok yang sedang menghadapi kemelut RBKP dan “Peristiwa Lin Piao”. Sikap pimpinan RRT dirasa kurang aktive merespon untuk menggunakan kesempatan Adam Malik menjabat Ketua PBB itu merebut keanggotaan RRT yang sah di PBB. Ketua Mao bahkan mengatakan, “Kalau kali ini tidak berhasil menjadi anggota PBB, biarlah dilain kesempatan saja, ...”

    Sekalipun Adam Malik agak kecewa dengan jawaban yang disampaikan Mei Sen dalam pertemuan pertama itu, tapi keinginan berbuat sesuatu yang baik dan berarti saat menjabat Ketua PBB tidak terpatahkan. Begitulah dalam perjalanan ke AS memangku jabatan Ketua PBB di bulan September 1971, Adam Malik lebih dahulu singgah di Hong Kong untuk sekali lagi menemui Szetu Mei Sen, sahabat karibnya itu. Mei Sen kembali ke BeiJing berusaha menmui PM Chou En Lai, tidak juga berhasil dan hanya ditemui Sekretarisnya. Rupanya kesibukan pucuk pimpinan RRT diakhir RBKP dan tegangnya situasi saat “Peristiwa Lin Piao”, mengakibatkan mereka belum bisa lebih serius menangani masalah keanggotaan RRT di PBB.

    Dalam pertemuan kedua kali dengan Adam Malik di Hong Kong ini, Mei Sen sekali lagi hanya bisa menyampaikan jawaban Pemerintah Tiongkok yang hanya disampaikan sekretaris PM Chao itu: “Pertama, Terimakasih dengan sikap bung Adam Malik untuk mempertahankan hanya mengakui RRT, satu Tiongkok didunia ini. Kedua, sikap resmi RRT sehubungan dengan masalah keanggotaan PBB sudah jelas dalam “Pernyataan Menteri Luar Negeri” tgl. 20 Agustus 1971. Dan ketiga, pihak Tiongkok tetap mengharapkan bung Adam Malik bisa membantu sesuai dengan kemampuan saja, tapi jangan sampai mempersulit diri sendiri.”

    Adam Malik yang berkeras hendak mempertahankan “mengakui Satu Tiongkok” dan ingin berbuat JASA memulihkan keanggotaan RRT yang sah di PBB, tentu saja bertentangan dengan “Surat Perintah” Presiden Soeharto yang tetap saja anti Tiongkok Komunis dan berkeras ingin mencegah RRT menjadi anggota PBB yang sah. Setelah Mei Sen selesai membaca Surat Perintah Presiden Soeharto, Ruang pertemuan tetap dalam keheningan, nampak kedua sahabat ini sedang menghadapi kesulitan menemukan jalan keluar yang baik. Mei Sen kemudian mengajukan pendapat: “Bukankah anda sebagai Ketua PBB, adalah mewakili PBB, tidak lagi mewakili Pemerintah Indonesia. Jadi pemikiran dan pelaksanaan tugas, harus berdiri diatas kepentingan Negara-negara didunia, PBB. Tidak lagi bisa berdiri diatas kepentingan Indonesia saja. Jadi, boleh saja mengabaikan Perintah Soeharto dalam kepentingan PBB. Bagaimana kalau pemungutan suara kali ini diajukan secara terbuka, biar diketahui Negara mana setuju dan Negara mana menentang, …” Nampak wajah Adam Malik pun berseri cerah, tersenyum gembira mendengar usul sahabat karibnya yang cukup bijaksana ini.

    Dan sebagaimana diketahui Sidang PBB ke-26, 25 Oktober 1971, yang diketuai Adam Malik, ternyata berhasil mewujudkan cita-cita Adam Malik sendiri untuk berbuat JASA menggolkan keanggotaan RRT yang sah di PBB. Pemungutan Suara berhasil baik meraih mayoritas mutlak, dengan 76 suara setuju, dan 35 menentang menggolkan hak keanggotaan RRT yang sah di PBB. Sorak gembira gemuruh memenuhi ruang sidang PBB, usaha mengganjel yang selama ini dipelopori Amerika dan tetap saja didukung Presiden Soeharto, GAGAL total!

    IV.     Pemulihan Hubungan Diplomatik RI-RRT

    Sebagaimana diketahui, hubungan diplomatik kedua negara RI-RRT dibekukan pada tahun 1967, sesaat setelah Jenderal Soeharto berhasil merebut tachta Presiden, dengan kupdeta merangkak menyingkirkan Presiden Soekarno. Gerakan anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa segera saja ditingkatkan oleh Soeharto, sesuai dengan kehendak Amerika yang sedang terjepit menghadapi Perang Vietnam. Amerika tidak hendak melihat pengaruh RRT terus meluas didunia khususnya keakraban dengan RI yang begitu mesrah dimasa bung Karno, jadi sedapat mungkin hubungan persahabatan RI-RRT dibikin tegang dan syukur bisa diputus!

    Namun arus kemajuan dan pengaruh RRT didunia tidak bisa dibendung, sekalipun di tahun 60-an bisa dikatakan kandas. Setelah keanggotaan RRT di PBB berhasil dicapai tahun 1971, kemudian disusul dengan kunjungan Presiden AS Nixon sendiri ke Beijing bersalaman dengan Ketua Mao Tse-tung, dan lebih lanjut ditingkatkan dengan hubungan diplomatik RRT-AS. Dengan demikian, politik blokade sejagat terhadap RRT yang dijalankan AS terjebol, tidak hanya banyak negara-negara berkembang berturut-turut mengakui RRT satu-satunya negara Tiongkok didunia, tapi juga negara-negara barat bahkan Singapore yang dikenal keras anti-Komunis, mulai mendekati RRT dan membuka hubungan Diplomatik. Jadi bisa dimengerti mengapa Soeharto juga terpaksa mencari jalan untuk mencairkan hubungan diplomatik yang selama ini dibekukan itu. Caranya?

    Panggil saja Szetu Mei Sen! Kata Soeharto. Tapi, panggilan Soeharto itu membuat Mei Sen beberapa malam tidak bisa tidur, diterima atau tidak? Sulit bagi dirinya menerka apa maksud Soeharto sesungguhnya? Selama itu tidak ada pernyataan resmi Pemerintah RI mencabut nama Mei Sen sebagai buronan politik, juga tidak ada orang yang bisa memberi jaminan keamanan dan keselamatan jiwanya, … itu sama saja dengan menerjang maut memasuki sarang Harimau. Mudah saja dijebloskan dalam penjara begitu mendarat di Kemayoran, bagaimana bisa balik ke Macau lagi?! Tapi, akhirnya Mei Sen memberanikan diri mengambil keputusan, terjang saja. Barangkali pertemuan dengan Soeharto dia bisa berbuat untuk kebaikan rakyat kedua negara. Apa sih yang dikehendaki Soeharto pada dirinya yang selama ini sudah dicampakkan?

    Pada tanggal 29 Januari 1981, Mei Sen kembali menginjakkan kaki di bandara Kemayoran, setelah 16 tahun yl dia tinggalkan. Dijemput oleh Jenderal Benny Murdani yang juga telah dikenalnya dahulu dan ditaroh di Hotel Mandarin untuk menanti pengaturan pertemuan dengan Soeharto di Cendana. Dalam pertemuan dengan Soeharto di Cendana, Soeharto menandaskan: “Indonesia hanya mengakui satu Tiongkok, sedang hubungan dengan Taiwan selama ini dilakukan hanya hubungan perdagangan saja. Tentang pemulihan hubungan diplomatik, tentu masih harus membutuhkan waktu. Tetapi kita juga boleh memulai hubungan perdagangan lebih dahulu, kedua belah pihak bisa melakukan langkah pendekatan untuk pengenalan dan menghilangkan rasa saling curiga.”

    Sejak itulah Mei Sen berperan menjembatani hubungan 2 negara, menyampaikan pesan-pesan timbal-balik pada kedua Pemerintah sampai secara resmi hubungan diplomatik dipulihkan kembali pada tahun 1990. Sekali lagi Szetu Mei Sen berperan sebagai “Diplomat” perantara 2 negara RI-RRT yang tentunya menguntungkan rakyat kedua negara.

    V.       Peran yang dimainkan sejak hidup di Macau

    Setelah meletus peristiwa G30S 1965, Jenderal Soeharo menggebuk PKI dan menyingkirkan Soekarno. Secara serampangan mengejar, memenjarakan siapa saja yang dicurigai komunis dan Soekarnois. Dengan sendirinya Szetu Mei Sen yang selama itu begitu dekat dengan Bung Karno tentu tidak akan terkecuali. Melihat situasi begitu, Bung Karno menganjurkan Mei Sen segera menyingkir sementara keluar-negeri. Usaha keberangkan pertama gagal, di bandara Kemayoran terganjal oleh Imigrasi, Seorang Letkol menyatakan: “Szetu Mei Sen tercatat sebagai Pimpinan Umum Surat Kabar "IBUKOTA" berbahasa Mandarin, yang mendukung Gerakan 30 September”. Nama Mei Sen sudah di black-list, padahal surat kabar itu diterbitkan atas kerja sama dengan Pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya.

    Baru kemudian Presiden Soekarno memerintahkan Maulwi Saelan, komandan Cakrabirawa ketika itu, mengawal Mei Sen sampai Kemayoran pada tgl. 4 Nopember 1965 bisa naik ke Pesawat menuju Amsterdam. Dengan alasan membeli obat yang diperlukan untuk Presiden.

    Szetu Mei Sen yang bukan apa-apa harus memulai kehidupan baru sebagai pelarian “politik”, usaha semula untuk masuk menetap di Hong Kong gagal, karena pihak koloni Inggris telah menerima instruksi dari Jakarta, Pasport Szetu Mei Sen telah dicabut tidak berlaku lagi dan status dirinya menjadi buronan politik. Rupanya Mei Sen telah dituduh sebagai “Mata-mata RRT disamping Presiden Soekarno”; “Anggota Dewan Revolusioner Tiongkok di Indonesia”; baru awal tahun 1967 dengan bantuan PM Chou, Mei Sen sekeluarga berhasil masuk Macau yang koloni Portugal itu dan memulai hidup baru sebagai pengusaha. Dengan menggunakan nama Szetu Nan Hua, Mei Sen dengan sedikit modal yang ada melakukan usaha apa saja yang bisa dikerjakan untuk menyambung hidup sekeluarga.

    Keuletan dan kecerdasan yang ada pada diri Mei Sen berhasil memajukan usahanya secara perlahan-lahan di Macau. Namun sebagai kapitalis yang berhasil, Mei Sen selama-nya tidak melupakan dirinya sebagai pejuang rakyat Indonesia, tetap memberikan perhatian dan dukungan yang bisa diberikan pada usaha kepentingan Rakyat Indonesia. Begitulah Mei Sen tidak sedikit mengucurkan sumbangan pada kegiatan-kegiatan sosial di Indonesia, bahkan di tahun 1981, mengetahui sahabat lamanya, Siauw Giok Tjhan, saat menjalani tahanan rumah tahun 1976-1978 telah menyelesaikan naskah tulisan 3 buku, Mei Sen berinisiatif mengeluarkan dana untuk menerbitkan 3 buku Siauw dalam bhs. Tionghoa di Hong Kong.

    Tahun 2002, Mei Sen diusia senja dan sudah mengidap penyakit-tua tetap menjadi inisiator untuk menggalang kerjasama penelitian RI-RRT dalam pembuatan obat berdasarkan herbal/tanaman Indonesia. Pihak Indonesia diwakili LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), pihak RRT diwakili Zhejiang University (research university terbesar di TIongkok). Berdasarkan lobinya yang kuat di pemerintah Beijing, Mei Sen berhasil “membujuk” pemerintah RRT memberikan grant untuk penelitian yang menelan biaya milyaran rupiah tersebut.

    Juga jelas Mei Sen sebagai penduduk Macau, sudah tidak mungkin menampilkan diri sebagai orang Indonesia yang pasportnya tidak berlaku, sudah menjadi warga Indonesia yang dicampakkan penguasa! Mei Sen hanya bisa meneruskan hidupnya dengan menampilkan diri sebagai Huakiao asal Indonesia yang bernama Szetu Nan Hua dan menjadi warga baik-baik di Macau. Disamping menjalankan usaha dagang, Mei Sen tentu saja tetap melakukan juga kegiatan sosial dengan status Huakiao asal Indonesia itu. Begitulah Mei Sen terjun dalam kegiatan Huakiao di Macau, menyatukan diri dengan kegiatan Huakio yang bisa dikerjakan dan dianggap berarti selama hidup di Macau. Sekalipun Mei Sen selalu bersikap low porfile, tetap saja tercantum jabatan Ketua Kehormatan Persatuan Huakiao Di Macau, dan juga menjabat Penasehat Qiao Lian Pusat (Federasi Huakiao Seluruh Tiongkok).

    Mei Sen selalu mendukung usaha sosial, tidak segan-segan memberi sumbangan untuk usaha perjuangan rakyat di Indonesia dan juga usaha meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan rakyat di Tiongkok daratan. Jadi, tidak hanya di Macau dan di Tiongkok daratan tapi juga di Indonesia, Mei Sen dikenal sebagai seorang pengusaha DERMAWAN.

    Sikap dan pendirian yang teguh dipihak Rakyat bisa juga nampak saat Pertemuan pertama dengan Presiden Soeharto di Cendana awal tahun 1981, … itu anak-anak Soeharto, baik Sigit juga Bambang secara terpisah mengundang Mei Sen makan bersama yang sangat mewah dan, tentu saja sambil makan mereka mengajukan tawaran usaha dagang bersama Mei Sen. “Sungguh beruntung, saya dengan berbagai alasan berhasil menolak tawaran ‘manis’ anak-anak Soeharto itu,” kata Mei Sen dalam satu pertemuan di Hong Kong pada saya. “Kalau tidak, mungkin saja saya sudah menjadi pengusaha yang super-kaya, tapi saya tidak mau berkubang dalam comberan bersama anak-anak Soeharto yang sangat merugikan rakyat Indonesia dan, … kalau itu terjadi bagaimana saya masih ada muka menemui Megawati Soekarnoputri lagi?”, tambahnya.

    Pada saat Megawati menjabat Wakil Presiden dengan rombongan singgah di Hong Kong, tgl. 31 Januari 2001, mengajukan keinginannya bertemu Szetu Mei Sen yang kenalnya sejak masa kanak-kanak di Istana dahulu. Mei Sen memerlukan ke Hong Kong untuk bertemu Megawati. Pertemuan pertama kali setelah berpisah ditahun 1965, tentu sangat menggembirakan dan sangat mengharukan kedua belah pihak. Melihat Mei Sen datang seorang diri, segera saja Mega menanyakan kenapa ibu tidak diajak? Mei Sen memberitahu, bahwa istrinya baru menjalani operasi jantung, masih lemah da harus istirahat dirumah.

    Mengetahui istri Oom Mei Sen baru dioperasi jantung, begitu panggilan Mega dimasa kanak-kanaknya pada Mei Sen, Megawati minta diatur ke Macau untuk bertemu ibu Mei Sen. Itulah cetusan perasaan setiakawan keluarga bung Karno terhadap Mei Sen. “Sungguh tidak disangka, sekalipun Mega sudah menjabat wakil Presiden, masih tetap ingin menemui Mei Sen orang biasa yang bukan apa-apa.” Membuat Mei Sen terharu mendapatkan penghargaan begitu tinggi dari anak-anak Presiden Soekarno. Megawati dengan rombongan keesokan harinya diatur ke Macau, dan oleh Mei Sen lebih dahulu membawa rombongan jalan-jalan melihat Macau. Dan makan siang bersama dengan hidangan masakan Portugal untuk mempertemukan Megawati dengan istrinya, kembali bernostalgia masa lalu yang penuh dengan kehangatan kekeluargaan bersama Bung Karno.

    Itulah sikap dan tindak-tanduk yang dilakukan Mei Sen selama hidupnya itu, telah menjadikan dirinya MILIK rakyat kedua negara, Indonesia dan Tiongkok. Mendapatkan penghargaan tinggi dan dihormati oleh rakyat kedua negara. Jadi tidak aneh dan tidak perlu dipersoalkan saat Upacara Belasungkawa perpisahan terakhir dengan Szetu Mei Sen, 19 Oktober 2010 yl, yang berperan dan terangkat hanya pihak Macau dan Pemerintah RRT. Menjadi orang Indonesia yang lebih dihargai dan dihormati Pemerintah negara lain! Itu terjadi hanya karena sikap Pemerintah RI yang berkuasa sekarang, tetap saja tidak ada ketegasan, tidak ada keberanian mengakui kesalahan Pemerintah sebelumnya, saat Soeharto berkuasa, … sekalipun Szetu Mei Sen sebagai Warganegara Indonesia sudah kembali di”gunakan” oleh Presiden Soeharto dalam usaha pemulihan hubungan diplomatik dengan RRT, tapi status buronan politik, sebagai warga pesakitan yang dicampakkan belum pernah direhabilitasi.

    Menjadi Pemerintah yang tidak berhasil mengayomi setiap warganya secara baik, tidak sedikit orang-orang yang berjasa terlempar keluar dan mendapatkan penghargaan tinggi dari pemerintah negara lain. Szetu Mei Sen hanyalah salah seorang. Mungkin masih banyak kawan-tua yang ingat dengan nama Lie Man Fong, seorang pelukis Tionghoa yang lukisannya disukai dan termasuk dalam koleksi lukisan Bung Karno. Hanya karena Pelukis Istana ketika itu, paska G30S beliau juga harus melanglang-buana di Singapora dan Thailand, … tapi itulah, jasa besar dibidang seni-melukis yang tiada tandingannya itu, Lie Man Fong juga mendapatkan penghargaan tinggi di Singapora dan Thailand. Salah satu lukisannya “Bali Life” berhasil meraih nilai lebih 25 juga HK Dollar di tahun 2010. Sungguh luar biasa pelukis Tionghoa asal Indonesia ini, hanya saja sayang tidak dihargai oleh penguasa Pemerintahnya sendiri.


    Bahan refrensi:

    1.     Mohamad Cholid: “Szetu Mei Sen: Api Abadi untuk Menghangatkan RI-RRT”. (Indonesia Focus No.28, 15 Nov. 2010)

    2.    Yan Hou Chun: “Biografi Szetu Mei Sen – Seorang Tionghoa Peserta dan Pencipta Sejarah” (Penerbitan Budaya Rakyat, Beijing) Dalam bhs. Tionghoa.

    3.    Zheng Gun: “Jasa Besar Seorang Keturunan Tionghoa dalam Sejarah Hubungan Baik antara Tiongkok – Indonesia” (Web. Rakyat) Dalam bhs. Tionghoa.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Szetu Mei Sen, Seorang Biasa Yang Luar-Biasa Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top