728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

      Tan Joe Hok Perintis di Pentas Bulu Tangkis

      TAN Joe Hok menorehkan sejarah setengah abad lalu. Ia pemain bulu
      tangkis Indonesia pertama yang menjuarai All England dan meraih medali
      emas Asian Games. Bersama enam pebulu tangkis lain—Ferry Sonneville,
      Eddy Yusuf, Olich Solihin, Lie Po Djian, Tan King Gwan, dan Njoo Kim
      Bie—Tan juga memboyong Piala Thomas untuk pertama kali ke Tanah Air.

      Kini 72 tahun usianya. Berpuluh tahun menggantungkan raket, Tan berjuang
      di lapangan yang lain: merobohkan tembok diskriminasi yang membuatnya
      merasa dipinggirkan sekaligus dilupakan..

      Di tengah prestasi yang kerontang kini, bulu tangkis Indonesia perlu
      menengok kembali cerita Tan. Kepada Tempo, ia menuturkan kisah hidupnya
      yang berwarna.

      SAYA dilahirkan di zaman yang salah. Tak seperti di zaman kini yang
      serba tersedia, saya mulai menekuni bulu tangkis pada kondisi yang serba
      terbatas. Saya tak punya raket, lapangan bulu tangkis bersemen tak ada,
      untuk berlatih di klub pun harus menempuh jarak yang jauh menggunakan
      sepeda.. Dan ketika pertama kali ditunjuk sebagai salah satu anggota tim
      Piala Thomas, saya berangkat ke lapangan udara Kemayoran menggunakan becak.

      Ini cerita seorang Tan Joe Hok. Mungkin orang hanya tahu saya orang
      pertama yang menjuarai All England, pada 1959, dan meraih medali emas
      Asian Games tiga tahun kemudian. Saya dan enam pemain lain juga merebut
      Piala Thomas untuk pertama kali, pada 1958. Nama saya pun diulas
      panjang-lebar di majalah Sport Illustrated—majalah olahraga bergengsi di
      Amerika—ketika saya berusia 22 tahun. Saya disebut sebagai pemain tak
      terkalahkan. Namun, di balik sukses itu, saya sebenarnya hanya rumput
      liar yang mesti hidup di segala keadaan.

      Saya lahir di zaman malaise yang waktu itu baru berakhir. Tepatnya pada
      11 Agustus 1937. Saya anak kedua dari enam bersaudara. Ayah saya, Tan
      Tay Ping (almarhum), bekerja sebagai pedagang tekstil yang harus sering
      meninggalkan keluarga untuk mencari nafkah. Kondisi ekonomi keluarga
      kami kekurangan. Untuk membeli beras, kami harus antre. Sejak berumur
      lima tahun, saya sudah terbiasa antre beras sendirian.

      Ketika umur saya menginjak enam tahun, pasukan Jepang belum lama masuk
      Indonesia. Saya masih ingat bagaimana pesawat-pesawat Jepang yang
      berseliweran di atas kampung kami di Jatiroke, Jatinangor, Sumedang,
      ditembaki tentara Belanda. Kedatangan Jepang itu membuat hidup kami
      makin susah. Berkali-kali kami harus mengungsi.

      Kami pernah tinggal di Tasikmalaya sebelum menetap di Kota Bandung. Di
      kota itu awalnya kami tinggal di Gang Kote. Di sanalah awalnya saya
      mengenal bulu tangkis. Saya sering melihat ibu saya, Khoe Hong Nio,
      bermain bulu tangkis dengan para tetangga di sebuah lapangan di Gang
      Sutur, tak jauh dari gang rumah saya.

      Ketika peristiwa Bandung Lautan Api meletus pada 24 Maret 1946, kami
      harus mengungsi lagi karena perkampungan dibakar. Sampai akhirnya, kami
      mendiami sebuah rumah di Jalan Ksatrian 15, Cicendo, Bandung. Sebuah
      rumah amat sederhana berpekarangan luas. Di pekarangan itulah ayah saya
      membuat lapangan bulu tangkis sederhana, lapangan berdasar tanah dengan
      garis terbuat dari bambu.

      Setiap hari lapangan itu tak pernah sepi. Sejak pagi sampai malam,
      keluarga dan para tetangga bergantian bermain badminton di sana.. Saya,
      yang waktu itu berusia 13 tahun, cuma jadi anak bawang yang ditugasi
      membawa kok dan raket. Keseringan menonton membuat minat saya bermain
      bulu tangkis makin besar. Sayangnya, saya tak punya raket.. Sebagai
      pengganti raket, saya gunakan kelom (sandal dari kayu) milik ibu saya.
      Dengan kelom dan kok bekas yang bulunya tinggal tiga lembar, saya sering
      mengajak pembantu kami, Mang Syarif, bermain badminton bersama.

      Ternyata banyak yang memuji kemampuan saya bermain bulu tangkis.. Mereka
      mengatakan gerakan kaki dan tangan saya cepat sekali. Orang yang sudah
      bermain puluhan tahun pun gampang saya kalahkan. Saya tak mengerti
      teknik. Tapi, soal gerakan kaki, saya belajar dari pertandingan tinju
      yang sering saya saksikan di Bandung. Saya sangat terkesan dengan gerak
      kaki petinju itu. Lalu saya meniru dengan latihan skipping. Sebagai
      rumput liar, saya yakin, saya pasti bisa bermain bulu tangkis.

      Suatu hari Lie Tjoe Kong, pemain bulu tangkis Bandung, memuji bakat
      saya. Dia mengajak saya masuk Blue White, klub bulu tangkis terkuat di
      Bandung. Blue White inilah cikal-bakal Klub Mutiara yang di masa depan
      menghasilkan pemain hebat, seperti Christian Hadinata, Imelda Wigoena,
      dan Ivanna Lie. Saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan
      berlatih saban hari. Saya berlatih sejak pukul lima pagi.

      Dari Jalan Ksatrian, kami pindah ke Jalan Gedung Sembilan, Pasir Kaliki.
      Di sana tidak ada lapangan bulu tangkis. Saya harus berlatih di lapangan
      bulu tangkis PB Pusaka di Jalan Kiara Condong, sekitar lima kilometer
      dari rumah saya. Meskipun bangunannya terbuat dari bilik, lapangannya
      cukup bagus karena sudah dipoles semen.

      Salah satu teman latihan saya di PB Pusaka adalah Tutang Djamaluddin.
      Setiap akan berlatih bulu tangkis, saya dan Tutang naik sepeda ontel
      dari rumah masing-masing sambil memegangi raket tak bersarung dan tiga
      kok yang dibungkus kertas koran. Dari sinilah karier saya sebagai pemain
      bulu tangkis terus melesat. Berkali-kali saya ikut kejuaraan dan selalu
      menang. Saat 15 tahun, saya menang di Kejuaraan Bandung.

      Selanjutnya, saya mulai mengikuti kejuaraan nasional. Dua tahun
      kemudian, pada 1954, saya jadi juara Indonesia, mengalahkan Njoo Kim
      Bie, pebulu tangkis dari Surabaya yang saat itu sedang tenar dan
      terkenal dengan smash-nya yang mematikan. Dua tahun berikutnya, giliran
      pemain terkenal Eddy Jusuf yang saya kalahkan. Saya juga diundang
      mengikuti pertandingan di India Timur, Bombay, New Delhi, Calcutta,
      Ghorapur, dan Jabalpur pada 1957. Saya selalu menang.

      Dan yang paling tak terlupakan adalah ketika saya, Olich Solihin, Lie Po
      Djian, Tan King Gwan, dan Njoo Kim Bie terpilih sebagai tim pertama
      Indonesia untuk merebut Piala Thomas 1958. Kebahagiaan saya makin
      berlipat ketika akhirnya kami berhasil memboyong piala bergengsi itu.
      Kemenangan pertama tim Indonesia di Thomas Cup pun disambut meriah
      dengan tabuhan beduk di masjid, dentingan lonceng di gereja, serta
      disiarkan di radio. Kami juga diarak dari Jakarta ke Bandung, lewat
      Puncak. Jalan saya sebagai pemain bulu tangkis kian mulus.

      *l l l*

      Ketika menjalani tur ke beberapa kota di India, saya bertemu dengan
      Ismail bin Mardjan, salah seorang juara ganda All England asal Malaya
      yang tinggal di Singapura. Ismail tidak hanya menjadi kawan seperjalanan
      saya, tapi sudah saya anggap sebagai kakak. Kami berkeliling India lebih
      dari setengah bulan. Ismail memberi saya nasihat: ”Joe Hok, kamu bisa
      jadi pemain nomor satu di dunia. Berlatihlah lebih giat. Tapi, begitu
      sudah juara, sebaiknya berhenti. Jangan hidup seperti saya.” Saya tak
      pernah lupa kata-kata itu.

      Ketika saya singgah di kediaman Ismail di Singapura, saya menemukan
      jawaban mengapa Ismail tak mau nasib saya seperti dia. Ismail ternyata
      hidup dalam kemiskinan. Rumahnya terletak di perkampungan kumuh di dekat
      kali yang hitam dan berbau. Maklum, Singapura kala itu belum seperti
      sekarang. Untuk menyambung hidup, dia bekerja sebagai anggota satpam.
      Melihat kondisi Ismail, saya langsung bertekad tak mau jadi pemain bulu
      tangkis selamanya. Saya ingin hidup lebih layak.

      Setelah berturut-turut meraih kemenangan di kejuaraan All England,
      Kanada, dan Amerika Serikat, saya memutuskan menggantung raket. Saya tak
      kembali ke Tanah Air, tapi langsung menuju Texas, Amerika. Saya mendapat
      beasiswa untuk kuliah di Baylor University, jurusan Premedical Major in
      Chemistry and Biology. Untuk biaya hidup sehari-hari, saya bekerja
      serabutan. Apa saja saya kerjakan, termasuk menjadi petugas pembersih
      kampus yang dibayar satu jam 50 sen dolar. Saya bekerja delapan jam agar
      bisa menyambung hidup. Saat itu untuk makan sekitar satu dolar. Saya mau
      menjalani pekerjaan itu demi selesainya studi saya. Saya tak ingin nasib
      saya seperti Ismail.

      Tapi rupanya panggilan untuk terus bermain bulu tangkis tak bisa
      diredam. Saat menjalankan studi di Baylor (1959-1963), saya masih sempat
      pulang untuk mempertahankan Piala Thomas di Jakarta pada 1961 dan di
      Tokyo pada 1964.. Bahkan, pada 1962, saya juga pulang untuk Asian Games
      dan menjadi atlet bulu tangkis pertama yang meraih medali emas di arena
      Asian Games.

      Saya akhirnya memilih tinggal di Tanah Air dan mengurungkan niat kembali
      ke Amerika meneruskan studi S-2 saat Presiden Soekarno mencanangkan
      ”Ganyang Malaysia” dan ”Ganyang Antek Imperialis”. Saya malah sempat
      main di perbatasan Kalimantan sampai Mempawah, menghibur sukarelawan
      kita di medan perang. Saya lebih cinta Tanah Air. Saya memilih mengabdi
      untuk negara saya, Indonesia.

      Peristiwa Gerakan 30 September mengubah segalanya. Sebagai warga
      keturunan, saya dan teman-teman mulai mendapat perlakuan berbeda. Kami
      seperti dianggap bukan bagian dari bangsa ini. Saya bahkan harus
      mengubah nama saya menjadi Hendra Kartanegara. Saya yang dulu dijunjung
      tinggi setinggi langit di bawah bendera Merah-Putih harus antre
      berjam-jam membaur dengan warga Glodok dan daerah lain demi mendapat
      surat bukti bahwa saya orang Indonesia.

      Namun saya tak mau larut dalam dendam. Pada 1969, bersama istri dan dua
      anak, saya meninggalkan Indonesia untuk menjadi pelatih bulu tangkis di
      Meksiko dan Hong Kong. Saya kembali ke Jakarta pada 1972 dan mendirikan
      usaha di bidang pest control, jasa pengendalian hama.

      Toh, panggilan untuk bergelut di bulu tangkis tak pernah hilang. Bersama
      Tahir Djide, saya menjadi pelatih pelatnas tim Piala Thomas 1984 . Di
      final perebutan Piala Thomas di Kuala Lumpur, Malaysia, tim Indonesia,
      yang terdiri atas Liem Swie King, Hastomo Arbi, Icuk Sugiarto, Christian
      Hadinata, Hadibowo, dan Kartono, akhirnya sukses mengalahkan Han Jian
      dan kawan-kawan dari Cina.

      *l l l*

      Sekarang prestasi Indonesia benar-benar memprihatinkan. Saya tidak
      menyalahkan atlet. Banyak hal yang harus dibenahi. Dulu kami bermain
      hanya demi kepentingan nasional, tak memikirkan masalah materi. Yang
      penting bisa membawa nama harum negara. Tapi zaman sudah berubah.
      Kesejahteraan atlet harus diperhatikan.

      Kini kita kalah oleh Cina.. Mereka memiliki sistem pembinaan yang baku.
      Kesejahteraan atlet benar-benar diperhatikan sehingga orang tua
      berbondong-bondong ingin anaknya jadi atlet. Atlet yang sudah tak aktif
      juga disekolahkan oleh pemerintah. Tidak seperti di Indonesia: setelah
      tak lagi berprestasi, tak diperhatikan. Banyak yang menjalani hari tua
      susah dan sakit-sakitan.

      Saya ingin atlet bulu tangkis memiliki sponsor pribadi. Misalnya dia
      jadi bintang iklan, maka kontrak iklan itu seluruhnzya buat dia, bukan
      dibagi-bagi dengan alasan untuk pembinaan. Dulu hal ini dilaksanakan
      betul. Liem Swie King mengalaminya. Ini memicu para atlet menjadi yang
      terbaik. Atlet mendapat penghargaan sesuai dengan prestasi yang diraihnya.

      *Nunuy Nurhayati*


      Sang Pembunuh Raksasa

      Di lapangan bulu tangkis, Tan Joe Hok adalah sang penakluk. Dia datang
      dan langsung menang.

      PIALA Thomas ibarat puncak karier bagi seorang pemain bulu tangkis.
      Segala usaha dan latihan keras yang kami rintis bertahun-tahun
      terbalaskan begitu meraih piala lambang supremasi dunia beregu putra
      itu. Saya, Olich Solihin, Njoo Kim Bie, Lie Po Djian, dan Tan King Gwan
      merupakan pemain peringkat atas nasional saat itu.

      Dalam babak penyisihan Piala Thomas 1957 di Selandia Baru, saya dan Njoo
      Kim menjadi penentu kemenangan. Kami sama sekali tak mengira bisa lolos
      ke putaran final di Singapura. Sebab, lawan-lawan kami sudah
      berpengalaman. Menjelang putaran final, Ferry Sonneville dan Eddy Yusuf
      datang menambah kekuatan kami.

      Indonesia sebagai negara baru di bulu tangkis dunia sama sekali tak
      dipandang.. Tapi itu tak membuat semangat kami berkurang. Umur saya waktu
      itu masih 20 tahun. Njoo Kim adalah pemain senior dan menjadi tumpuan
      kami. Pertandingan mulai terasa berat saat menghadapi tim tangguh
      Denmark. Mereka diperkuat jago-jago dunia, seperti Erland Kops,
      Hammergard Hansen, dan Finn Kobbero. Tapi kami akhirnya menang 6-3. Dan
      saya berhasil mengalahkan Erland Kops. Dia itu juara All England tujuh
      kali.

      Lantas, di final, kami bertemu dengan tuan rumah sekaligus juara
      bertahan Malaya. Waktu itu pertandingan berlangsung di Singapore
      Badminton Hall. Dukungan penonton untuk tim Malaya sangat luar biasa.
      Kami bertujuh hanya berusaha tampil sebagus mungkin. Tanpa diduga, kami
      berhasil mengalahkan mereka 6-3. Padahal tim ini memiliki pemain kaliber
      dunia, seperti Eddy Choong dan Wong Peng Soon.

      Kemenangan itu merupakan prestasi spektakuler. Kami sama sekali tak
      menyangka. Itulah titik awal kebangkitan bulu tangkis kita. Saya ingat
      betul kami hanya punya waktu enam bulan untuk mempersiapkan diri secara
      tim terhitung mulai dibentuknya Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia
      di Bandung pada 5 Mei 1951.

      Kami bertujuh kemudian dikenal sebagai ”The Seven Magnificent”. Setelah
      Piala Thomas bisa kami bawa pulang ke Jakarta, sambutan yang kami terima
      sangat meriah. Kami diarak keliling Kota Jakarta. Itu pengalaman yang
      tak terlupakan. Padahal, saat kami akan berangkat ke Singapura, seperti
      tak ada yang peduli. Bagi kami saat itu, ideologi nasionalisme adalah
      modal untuk berjuang. Itu sudah cukup.

      Keberhasilan saya menundukkan jago-jago dunia ternyata membuat media
      asing menjuluki saya ”The Giants Killer” atau Pembunuh Raksasa. Ini
      menambah motivasi saya untuk terus mengukir prestasi. Status saya
      sebagai pemain tunggal yang tak terkalahkan membuat saya diundang
      mengikuti turnamen paling bergengsi: All England, pada 1959.

      Kejuaraan ini memiliki arti penting dalam karier bulu tangkis saya.
      Inilah untuk pertama kalinya pemain Indonesia juara tunggal putra di
      turnamen perorangan tertua di dunia. Sebenarnya siapa pun yang menjadi
      juara saat itu pastilah dari Indonesia. Sebab, lawan saya di final
      adalah Ferry Sonneville.

      Setelah menjuarai All England, berturut-turut selama dua pekan saya ikut
      kejuaraan Kanada Terbuka dan Amerika Serikat Terbuka. Di dua
      pertandingan itu, lagi-lagi saya menang. Gambar saya menjadi sampul
      majalah olahraga Canadian Sport. Nama saya dan Indonesia juga diulas dua
      halaman di majalah Sport Illustrated. ”Wonderful World of Sports. Tan
      Joe Hok Takes Detroit,” tulis majalah terbitan 13 April 1959 itu.

      Sukses mempertahankan Piala Thomas pada 1961, saya mendapat tanda jasa
      Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soekarno. Bung Karno berkata
      kepada saya, ”Saya bangga, banyak doktor, insinyur, tapi manusia seperti
      kamu yang mewakili bangsa dan negaramu hanya bisa dihitung dengan jari.”
      Sambil menunjuk-nunjuk, beliau melanjutkan, ”I will give you a
      scholarship.”

      Ketika saya kembali ke Amerika untuk kuliah, saya kaget menerima surat
      dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Surat itu berisi cek senilai
      US$ 1.000. Ini jumlah yang sangat besar saat itu, setara dengan setengah
      harga mobil Impala terbaru. Saya bingung uang itu mau diapakan. Saya
      merasa tak berhak menerima karena saya sudah kuliah di Baylor
      University, Texas, lewat program beasiswa. Saya juga bisa mencari uang
      dengan bekerja di kampus. Akhirnya uang itu saya kembalikan. Bagi saya,
      menjadi putra Indonesia yang dibanggakan lebih berharga daripada
      sejumlah uang.
      • Blogger Comments
      • Facebook Comments

      0 komentar:

      Item Reviewed: Tan Joe Hok Perintis di Pentas Bulu Tangkis Rating: 5 Reviewed By: Blogger