728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Penemu Pengobatan Jantung Tanpa Pisau dan Bedah

    Sejak kecil, Teguh Santoso memang bercita-cita menjadi dokter. Kini, ia berhasil mengembangkan Stem Cell, yakni teknik baru pengobatan jantung tanpa pisau tanpa bedah dan merupakan satu-satunya di dunia.
    Tanggal 23 September 2006. Pijar kebahagiaan berpendar di setiap sudut Rumah Sakit Medistra, Jakarta . Katerisasi jantung pada laki-laki berusia 62 tahun yang memiliki tingkat kesulitan tinggi karena kemampuan jantungnya memompa darah tinggal 46%, berhasil dilakukan. Dan, ribuan kilometer dari Jakarta, di ruang teater utama Kobe International Exhibition Mall, Jepang, ratusan dokter peserta pertemuan Complex Catheter Therapeutics dari berbagai negara di Asia Pasifik memberikan aplaus begitu katerisasi jantung itu rampung dilakukan Prof. Dr. dr. Teguh Santoso. Inilah untuk pertama kalinya, pakar kardiologi intervensi asal Indonesia mendapat kehormatan melakukan katerisasi jantung yang disiarkan secara langsung dari Indonesia .

    Tepuk tangan dan pujian dari dunia internasional itu makin mengukuhkan Teguh Santoso sebagai dokter kardiologi intervensi terkemuka di tingkat internasional. Ia sendiri sudah belasan kali mendemonstrasikan kebolehannya di luar negeri. Pasalnya, teknik baru pengobatan jantung yang tanpa pisau tanpa bedah yang dinamakan Stem Cell ini, satu-satunya di dunia. Teknik Stem Cell, seperti diumumkan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia , telah berhasil menyembuhkan 15 penderita jantung. Sebuah harapan baru telah ditorehkan Prof. Santoso – begitu ia akrab disapa – bagi dunia kedokteran.

    “Saya sudah memulai penelitian ini sejak puluhan tahun silam,” ungkap Prof. Santoso yang ditemui SWA di RS Medistra, Jakarta , tempat ia berpraktik, selain di RSCM dan di Taman Sari. Diakuinya, risetnya tersebut baru menemukan titik terang setelah memperoleh dukungan dari kalangan internasional yang memberikan Noga pada 2007. Noga adalah alat dengan sistem elektromekanikal untuk memetakan penyakit dalam. Alat ini hanya sedikit sekali di dunia. Indonesia merupakan satu-satunya di Asia Pasifik yang memiliki satu dari 60 Noga di dunia. “Ini merupakan teknik baru yang orang luar negeri tidak melakukan,” ujarnya. Menurutnya, terapi stem cell dilakukan untuk memperbaiki jaringan. Stem cell (sel induk) yang diambil dari sumsum pasien, lantas diletakkan ke jaringan yang berada di jantung. Jadi, teknik ini bukan mengganti jantung, tetapi menciptakan otot jantung baru. “Stem cell sebenarnya tidak punya fungsi. Tetapi kalau sel itu diletakkan di otak dia akan jadi sel otak, ke jantung jadi jantung, dan seterusnya. Begitulah bahasa awamnya,” ujar Prof. Santoso.

    Di negara maju, dijelaskannya, tidak ada yang mengembangkan teknik ini. Dirinya mengembangkan teknik ini bersama RS Medistra, FKUI, RSCM dan RS Darmais. Keunggulan teknik ini terbukti dari normalnya para penderita jantung yang mendapat terapi. Menurutnya, para pasien jantung yang datang ke tempat praktiknya di Medistra umumnya sudah parah. Bahkan, tidak sedikit yang harus mendapat electric shock dulu. “Misalnya orang yang sudah no option. Orangnya hidup, tapi jantungnya lemah karena otot jantung dan pembuluh darah sudah tidak bekerja lagi,” kata dia. Pasien seperti ini datang kepadanya biasanya setelah mendapat pengobatan di Singapura atau negara lainnya. Dan setelah diberikan terapi sel induk, jantungnya perlahan kembali normal. Untuk membuktikan kenormalan jantung, bisa dilihat melalui magnetic resonance imaging jantung. Meski stem cell bukanlah hal baru di dunia, penelitiannya makin memperkuat sosok Prof. Santoso di mata internasional. Pasalnya, stem cell yang dikembangkan sejak tahun 1980-an akhir ini belum pernah menggarap jantung. “Sayalah yang fokus pada jantung,” katanya. Tak pelak, ia pun ditahbiskan sebagai pionir dalam terapi pengobatan jantung dengan sel induk.

    Ya, fokus pada bidang yang ingin digeluti yang mengantarkan kelahiran Purwokerto 24 Juli 1944 ini pada pencapaiannya sekarang. Di tingkat internasional, ia diakui sebagai salah seorang ahli kardiologi intervensi atau angioplasty terkemuka. Tak heran, di sela-sela kesibukannya menangani pasien, ia kerap diundang memberi ceramah di berbagai tempat. Sebut saja Transcatheter Cordiovascular Therapeutics (TCT) yang merupakan kongres terbesar di dunia di bidang kardiologi intervensi. Tak tanggung-tanggung, ia didaulat menyajikan makalah di main arena yang lazimnya hanya untuk makalah-makalah terbaik di dunia. “Saya juga banyak keliling ke universitas- universitas untuk memberikan kuliah,” katanya.

    Bagaimana ia bisa mencapai prestasi sehebat itu? “Tak ada yang istimewa dalam diri saya,” ungkapnya. Pria yang dikenal low profile ini hanya menerapkan satu prinsip. “Kalau mau sukses harus fokus. Sekali saja melenceng dari rencana, itu artinya satu langkah pula kesuksesan menjauh. Kita harus seperti snow ball. Semakin menggelinding, semakin besar,” paparnya. Menjadi dokter merupakan impiannya sejak kecil. Dan, Santoso kecil terus menjaga impian itu. Sejak obsesi dokter dicanangkannya, ia banyak mencari literatur tentang ilmu kesehatan dari majalah, koran, buku panduan, atau sedikit yang berbau teori.

    Menjaga nyala impian tetap bersemayam, ia pun rajin menyambangi toko buku yang tak jauh dari rumahnya. Hampir tiap hari ia pergi ke sana . “Bahkan, saya sempat diusir gara-gara lama membaca di sana . Tidak beli, tapi bacanya lama, hehehe...” katanya mengenang.. Toh dia tak jera. Keesokannya dia tetap kembali ke sana . Dan, hanya membaca. Namun, seperti kebanyakan anak yang tumbuh dan besar di sebuah kota kecil, Purwokerto, ia pun melewati masa kecilnya dengan penuh ceria. “Main di sawah, belajar renang di kali. Ya, pokoknya permainan yang ada di kota kecil ya itulah yang saya lakoni bersama teman-teman. Indah sekali.” Di tengah keceriaan masa kecil itulah, Santoso tetap menjaga asa dan semangatnya dengan tak pernah berhenti mencari literatur ilmu kesehatan, dunia yang ingin dijelajahinya kelak.

    Keinginannya menjadi dokter makin membuncah ketika orang tuanya, Sukamto (almarhum) dan Budiarti mendorong cita-citanya. Meski bukan dari keluarga dokter, orang tuanya yang menjadi pengusaha sangat mendukung langkah Santoso. Termasuk saat ia memutuskan menempuh pendidikan tingkat menengah atas di Jakarta demi mengejar cita-citanya. “Orang tua saya cukup suportif,” ujarnya. Ia mendapat kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya. “Mereka hanya menganggukkan kepala,” imbuhnya.

    Pilihan untuk menimba ilmu di Ibu Kota karena ia menganggap mutu sekolah di kota besar lebih baik ketimbang di daerah. Gagal masuk SMA Kanisius tak membuatnya menyerah. Ia pun akhirnya masuk ke SMA Kristen Pintu Air (sekarang SMA BPK Penabur). Di sini, fokusnya untuk menjadi dokter semakin kelihatan. Minat dia makin menggebu. “Setiap liburan sekolah, saya sering main ke kota-kota besar,” katanya. Tujuannya, bermain di fakultas kedokteran. “Saya foto-foto di sana , hahaha..., ” katanya seraya tertawa meledak mengenang masa remajanya. Buat memacu dirinya terus berprestasi, ia pun sangat disiplin dan keras memompa kemampuannya. Ia mengharuskan dirinya lebih maju beberapa langkah dibanding temannya dengan sering mengerjakan soal-soal kakak tingkatnya. “Saya selalu mencari soal di atas saya. Waktu SMP saya kerjakan soal SMA, dan saat SMA saya bisa menyelesaikan soal anak kuliah,” katanya.

    Tak heran, perjalanan menuntut ilmu selalu diiringi dengan prestasi. Ia menjadi lulusan SMA terbaik se-Jakarta. Tak berhenti di situ. Ia kembali membuktikan kemampuan akademisnya. Tak ingin menggunakan prestasinya buat masuk perguruan tinggi negeri (PTN) dengan jalur khusus, ia malah menjajal semua perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran: Universitas Parahyangan, Universitas Indonesia , Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada hingga Universitas Airlangga. Ia mengikuti semua tes. “Dan satu-satunya yang tidak diterima di Airlangga,” katanya. Toh, itu lebih disebabkan kala itu berlaku sistem rayon. “Yang boleh kuliah di Airlangga hanya dari Jawa Timur,” imbuh Santoso yang kemudian melabuhkan impiannya di UI.

    Kampus UI dipilihnya karena selain kualitas, juga komunitas yang ada. Santoso pun tenggelam di dunia kampus. Referensinya terus ia perkaya. Karena ternyata kecanduannya membaca tidak bisa disembuhkan. Bacaannya melulu ilmu kedokteran. Bisa dibilang 9:1. “Malah kalau lampu di pondokan mati, saya pergi ke perpustakaan UI untuk membaca,” kata mantan pemilik nomor mahasiswa 4.000 di FKUI ini. Usahanya ini terbukti ketika ia mendapatkan pujian cum laude di tahun ketiga setelah tahun pertama dan kedua meraih nilai terbaik.

    Lantas, mengapa memilih spesialis penyakit jantung? “Itu karena chemistry memang ke sana . Seperti orang yang menemukan pasangan hidupnya,” katanya. Sejatinya, keinginannya mengambil spesialis penyakit dalam muncul setelah ia belajar kedokteran umum. “Dari situ kok kelihatannya minat saya di jantung.” Jadilah ia pada 1975 mengambil spesialis penyakit dalam. Perlahan-lahan Santoso mulai memfokuskan dirinya. Dia menyiapkan diri untuk mempelajari ilmu jantung. Tahun 1986 ia memperoleh gelar Ph.D, magna cum laude dari program sandwich antara Thoraxcenter, Erasmus University of Rotterdam dan UI.

    Namun, di tengah makin fokusnya dia dengan apa yang dicita-citakan, dia kehilangan ayah tercinta. Ayahnya meninggal justru karena serangan jantung. “Karena tinggal di kota kecil, jadi peralatannya tidak ada sehingga ayah saya tidak tertolong,” katanya seraya menerawang. Peristiwa itu tak mematahkan semangatnya. Justru menjadi pemicu baru bagi Santoso untuk semakin melesatkan prestasinya. “Dari jantung saya fokuskan lagi ke kardiologi intervensi,” kata dia. Kardiologi intervensi adalah terapi nonbedah berbasis catheter. Akhirnya, pada 1999 UI menyematkan gelar profesor di pundaknya. Dua tahun sebelum itu, ia juga mendapat Satya Lencana Karya Setya dari Presiden.

    Tahun 2006 dan 2007 Santoso menerima penghargaan presenter abstrak terbaik untuk penelitian mengenai penggunaan drug-eluting stent (DES) dalam TCT Asia Pasifik di Seoul. Studinya pada tipe DES disajikan di main arena. Ia terpilih sebagai penyaji dengan kasus terbaik yang dipresentasikan di TCT di Washington DC . Ia juga tercatat sebagai dokter pertama di Asia Pasifik yang disertifikasi oleh Texas Heart Institute untuk melakukan Noga dibantu injeksi sel induk langsung ke jantung. Pada 2008 dia menerima CIT Award untuk kontribusinya yang luar biasa pada perkembangan kardiologi intervensi di Cina.

    Prof. Santoso memang layak mendapatkan itu semua. Fokus pada bidang yang ditekuni membuatnya sampai pada pencapaian yang luar biasa. Ia pun menjalaninya dengan penuh sukacita meski hari-harinya banyak dihabiskan di ruang praktik. Dia bekerja dari jam 8 pagi hingga pukul 3 pagi. Belum lagi, ia harus berkeliling ke berbagai negara. “Ya, beginilah waktu saya. Kadang ada tindakan mendadak, jadi tidak bisa ditemui karena saya sedang menolong orang,” ujarnya. Toh, ia mengaku sangat menikmati pekerjaannya. Baginya, pekerjaan yang dilakoninya seperti hobi. “Makin sering kita kerjakan, makin kita cintai dan hasilnya makin bagus,” ungkap Prof. Santoso yang mengibaratkan ia bekerja 25 jam sehari.

    “Kegiatan saya di luar pekerjaan ya melakukan penelitian. Karena tujuan saya adalah dapat mencapai beberapa lompatan,” ujar Prof. Santoso yang telah menulis lebih dari 250 artikel di berbagai jurnal kesehatan dunia. Di luar itu, ia juga aktif terlibat di Asian Pacific Society of Intereventional Cardiology, sebagai anggota dewan penasihat. Meraih predikat Fellow Emeritus APSIC atas kontribusinya di bidang kardiologi intervensi (2006). Dia juga fellow dari The American College dan fellow dari Perkumpulan Kardiologi Eropa. Ia juga sebagai anggota di organisasi profesional lain, seperti Indonesia Medical Association, Indonesia Heart Association, Asosiasi Indonesia Internal Medicine, Ultrasound Asosiasi Indonesia dalam Kedokteran dan Biologi, Hipertensi Jantung Amerika, Asia Pacific Society of Interventional Cardiology, serta anggota Dewan Redaksi Jurnal Kedokteran Indonesia (1981-1995), dan The Indonesian Journal of Internal Medicine (1975-2004).

    Di tengah kesibukannya yang mengepung, ia masih menyempatkan liburan bersama istrinya, Aditya Dewi, dan tiga putrinya: Natalia, Dhewayani dan Aryanti, yang semuanya lulusan sekolah bisnis dari Amerika Serikat, serta cucu-cucunya. “Saya ingin kemajuan saya ini ada yang meneruskan. Saya terus melatih dokter muda di Indonesia biar minimal seperti saya. Dari lokal, nasional ke global,” kata penikmat musik klasik dan lukisan ini. Baginya, dunia kedokteran adalah sebuah jalan untuk membantu sesama. “Prinsip saya, dokter harus menolong orang. Kalau kita menolong orang, melakukan dengan hati bersih, masak Tuhan tidak menolong kita,” ujar Prof. Santoso yang khusus untuk pasien kurang mampu yang ditemuinya di RSCM dan praktik swastanya di Taman Sari, ia memberikan jasa secara cuma-cuma.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Penemu Pengobatan Jantung Tanpa Pisau dan Bedah Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top