728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Jangan Ucapkan “Merry Christmas” di Amerika

    Kartu ucapan yang kami terima dari teman dan keluarga mengucapkan: ‘Merry Christmas’ ternyata tidak selalu berarti positif bagi yang diberi ucapan. Hal ini terjadi kalau si penerima ucapan tidak merayakan natal. Tetapi, bagaimana orang tahu kalau si pemerina ucapan tersebut tidak merayakan natal?
    Orang Amerika semakin berhati-hati dalam mengucapkan selamat natal baik secara verbal, tertulis, atau lewat kartu ucapan supaya penerima ucapan tidak tersinggung. Mungkin situasinya sebanding dengan ucapan selamat ulang tahun kepada orang yang tidak merayakan ul-tahnya.
    Kalau ucapan ini disampaikan secara umum, orang yang tidak merayakannya bisa merasa terabaikan. Seorang pembicara yang mengucapkan selamat natal kepada para hadirin akan dianggap tidak ‘inclusive’ atau merangkul semuanya kalau hannya menyampaikan, “Selamat natal”.
    Latar belakang seperti menjadi salah satu alasan munculnya inisiatif dilakukannya ‘diversity inclusion’, suatu usaha oleh masyarakat, pemerintah, perusahaan, serta organisasi sosial, yang bertujuan untuk merangkul semua anggotanya yang berasal dari berbagai latar belakang budaya yang majemuk. Termasuk di dalam kemajemukan ini antara lain: ras, gender, warna kulit, agama, umur, dan orientasi seksual.
    Kepekaan dalam mengucapkan selamat natal menjadi penting karena di sekitar natal dan tahun baru di Amerika ada dua perayaan lain yang perlu mendapatkan perhatian. Kedua perayaan ini adalah Hanukkah dan Kwanza.
    Hanukkah
    Saya menghadiri perayaan Hanukkah (Festival of Lights) di rumah Roger Hawkinson, paman istri saya. Salah satu anaknya, Olivia, punya darah campuran antara Jerman dan Yahudi. Olivia menikah dengan Sean Herstein dan mereka dikaruniai dua anak putri, Miriam dan Nava. Mereka tinggal di California dan saat ini berkunjung ke Minnesota untuk liburan dengan keluarga.
    Ketika saya memasuki rumah Roger, saya mendengar nyanyian dalam bahasa Hibrani. Tentu saja saya tidak mengerti. Upacara ini tidak mempunyai struktur yang kaku. Para tamu datang, makan, dan mengobrol. Lebih terasa sebagai pertemuan keluarga.

    Latkes, sajian perayaan Hanukkah
    “Apa makanan utama untuk Hanukkah?” tanyaku kepada Sean setelah beberapa menit bertegur sapa. “Ini namanya Latkes.” Saya pernah makan latkes dan memang enak sekali. Latkes terbuat dari kentang yang diparut dan setelah dikasih bumbu, digoreng sampai matang. “Saya tidak membuatnya, tapi saya yang belanja” kata guru SMP di sekolah Yahudi ini. Terhidang juga beberapa jenis makanan, buah-buahan, serta minuman segar. Tetapi saya tidak melihat daging, telur, dan minuman berlakohol di atas meja.
    Pria yang selalu memakai yarmulke/kippah/kipa (topi kecil identitas orang Yahudi) ini juga menunjukkan menorah yang terletak di pojok ruangan dengan tiga lilin menyala. Menorah adalah tempat lilin (sinar) bercabang delapan. Setiap hari satu lilin dinyalakan. Cabang di tengah (kesembilan) disebut ‘lilin pembantu’ dan dipakai untuk menyalakan lilin lainnya.

    Menorah dengan delapan cabang lilin.
    Perayaan ini sebetulnya berlangsung selama delapan hari untuk menghormati keberhasilan rakyat Yahudi merebut kembali kuil (temple) mereka yang dirampas oleh penjajah di Syria pada abda 2 BCE (Before Common Era) atau yang kita kenal sebagai sebelum Masehi.
    Menorah bercabang delapan ini merupakan lambang turun temurun masyarakat Yahudi, seperti halnya bintang raja Dawud (David). Bangunan yang dipakai untuk kegiatan masyarakat ini biasanya memiliki menorah di tembok depan dekat pintu masuk.
    Di pojok ruang tamu saya melihat beberapa kartu ucapan yang dibuat oleh anak-anak. Kartu ini bertuliskan “Happy Hanukkah” dengan huruf warna-warni.
    Kwanza
    Diciptakan pada tahun 1966 Kwanza adalah upacara dengan tujuan memberikan pilihan lain kepada masyarakat kulit hitam di Amerika dan memberi kesempatan untuk merayakan sejarah serta diri mereka sendiri. Upacara yang dalam bahasa Swahili berarti buah yang pertama ini didirikan oleh Dr. Maulana Karenga. Ini salah satu website yang berbicara tentang Kwanza. http://www.officialkwanzaawebsite.org/index.shtml

    Dr. Maulana Karenga, pencipta perayaan Kwanza. Foto dari internet.
    Kwanza pada mulanya memang kurang inklusif karena banyak orang kulit hitam yang beragama Kristen. Kelompok ini merasa tidak ‘disapa’ oleh perayaan Kwanza. Pada tahun 1977 Dr. Maulana mengubah batasannya menjadi “Perayaan keluarga, masyarakat dan budaya.”
    Mirip dengan Hanukkah, upacara bernafaskan Afrika ini dilakukan dengan menyalakan lilin Kinara bercabang tujuh. Setiap lilin menjadi simbol suatu prinsip hidup yaitu: Kesatuan, Keteguhan Hati, Gotong Royong dan Tanggung-jawab, Koperasi Ekonomi, Tujuan, dan Kreativitas.
    Beberapa tahun yang lalu saya bekerja di sebuah perusahaan asuransi dalam bidang valueing differences (menghargai perbedaan). Khusus pada bulan Desember di bagian lobby kantor yang luas, kami pajang pohon natal, menorah, dan kinara dengan maksud semua karyawan terwakili dalam perayaan akhir tahun. Kami memang mendapatkan feedback yang positip dari karyawan kami.
    Walaupun Kwanza berlatar kebudayaan Afrika, banyak orang Afrika tidak mengenal Kwanza. “Saya tidak mengenal kwanza” kata Onenee Saloka, teman kerja saya yang asli dari Nigeria Selatan. Teman yang bertanggung-jawab mengurus kartu identitas ini juga mengatakan ”Orang Afrika juga banyak tidak tahu kwanza. Saya mendengar tentang kwanza pertama kali di Amerika.”

    Menyalakan lilin Kwanza. Foto dari internet.
    Tentu saja masih ada bagian masyarakat Amerika lainnya yang tidak merayakan natal. Tetapi tidak semua dari mereka ini yang tersinggung atau merasa diabaikan oleh adanya ucapan ‘Merry Christmas.” Sebagai ganti dari “Merry Christmas” banyak orang Amerika merasa aman kalau mengucapkan “Happy Holidays” atau “Seasons Greeting”.
    Setelah perayaan natal di gereja tentu saja adalah saat yang tepat untung mengucapkan “Merry Christmas” karena semua merayakannya. Pada situasi lain biasanya orang akan bertanya sebelum memberikan ucapan. Sering saya ditanya, “Anda merayakan natal?” Setelah tahu bahwa saya merayakan natal, penanya ini mengucapkan ‘Selamat natal”.
    Era globalisasi telah merambah seluruh bumi. Kemajemukan masyarakat terjadi dimana-mana termasuk bangsa kita Indoneisa. Sudah selayaknya kemajemukan dimengerti dan syukur diterima. Sudah saatnya yang minoritas ‘diayomi’ untuk bisa mandiri dan yang tersisih dirangkul dan dihargai.
    Kebesaran dan kedewasaan suatu bangsa bisa dilihat dari kemampuannya dalam menerima perbedaan, melindungi yang minoritas, dan merangkul serta melibatkan kaum marginal.

    Semoga berguna dan “Happy Holidays” kepada para pembaca.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Jangan Ucapkan “Merry Christmas” di Amerika Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top