Juara Catur Dunia Ada di Pedalaman Uganda
Kisah Phiona Mutesi, yang sangat pandai bermain catur, akan diangkat dalam sebuah film Disney.
Gang-gang becek dan gelap, kamar penuh sesak di daerah kumuh Katwe di ibu kota Uganda tampak seperti tempat yang tidak ingin Anda kunjungi untuk bermain catur. Tapi ini adalah tempat salah satu calon juara catur dunia, Phiona Mutesi (16), bermain catur untuk pertama kali.
Mutesi muda baru berusia 9 tahun pada saat itu, putus dari sekolah bagi tunawisma, kemudian menjajakan jagung di jalan. Ayahnya meninggal dan keluarganya diusir dari rumah.
Dia mendengar tentang kegiatan amal berbasis agama yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Anak-anak kumuh dibimbing dan diberikan makanan di dekat gang rumahnya. Mereka juga diajari beberapa permainan aneh yang disebut catur.
"Aku lapar," kata Mutesi, "Aku belum pernah mendengar tentang catur, dan aku tak pernah melihatnya. Jadi... Aku berpikir, 'Mungkin aku juga bisa pergi ke sana untuk belajar catur dan mendapatkan secangkir bubur.'"
Gadis muda itu mengenang kunjungan pertamanya itu, "Saya sangat kotor... Mereka tidak menerima saya bahkan hanya untuk menyentuh bidak catur."
Akhirnya, seseorang di organisasi yang merupakan sebuah kelompok yang berbasis di AS bernama Sports Outreach, menugaskan seorang anak berusia lima tahun untuk mengajari Mutesi permainan catur, membuatnya berada di jalan yang pada akhirnya akan mengubah hidup dan pandangannya, serta membawanya bersaing di pertandingan internasional.
Tanda-tanda awal bahwa ia mungkin anak ajaib muncul ketika ia mulai mengalahkan anak laki-laki dalam catur. Di Uganda, catur dianggap terlalu sulit untuk anak perempuan. Tapi Mutesi memutarbalikkan anggapan itu.
Anak laki-laki tidak ingin bermain dengan para gadis, "karena gadis itu tidak pandai," kata kakak laki-lakinya, Brian Mugabi. "Tapi sekarang saya pikir dia lebih pandai dari saya."
Keberhasilan Mutesi telah menantang harapan para gadis di Katwe, yang sering menganggap diri mereka sebagai intelektual rendahan. Mereka yang sering pergi ke sekolah selalu putus di tengah jalan, dan banyak yang akhirnya hamil saat mereka masih di pertengahan remaja.
"Saya pikir kami tidak bisa bermain catur, karena saya pikir hanya anak laki-laki yang bisa bermain", kata Stellah Babirye (13), yang mulai bermain catur pada saat yang sama dengan Phiona. "Tapi akhirnya saya menyadari bahwa kita perempuan, juga memiliki kesempatan."
Tidak diunggulkan namun luar biasa
Sebagai anak-anak, sebelum belajar permainan, Mutesi sangat mudah marah, dan sering melemparkan batu ke orang-orang ketika amarahnya berkobar. Permainan caturnya juga memiliki gaya agresif pada awalnya.
Namun keagresifannya berubah. Pada usia 14 tahun ia memenuhi syarat untuk mewakili Uganda di World Chess Olympiad. Bahkan tanpa pelatihan formal, dia membuktikan bahwa ia cukup untuk melakukan perjalanan ke Rusia untuk bertanding. Dia dianggap sebagai pemain wanita terbaik di Uganda, dan tahun lalu menjadi wanita pertama Uganda yang memasuki turnamen pria dan menang.
Mutesi adalah "orang yang tidak diunggulkan namun luar biasa" dalam dunia catur, seperti yang dijelaskan oleh penulis olahraga Tim Crothers, yang bertemu Mutesi pada 2009 dan menulis sebuah buku tentangnya, “The Queen of Katwe”, yang terbit Oktober lalu. Disney berencana membuat film tentang dirinya. Cek bank pertama dari Hollywood baru-baru ini membantu keluarga Mutesi untuk membeli sebidang tanah.
"Dia sama sekali tidak menduga berhasil dalam permainan ini... Dia seharusnya tidak pernah menemukan catur, dan ketika ia menemukannya, dia tidak ada tandingannya."
Di Afrika Tengah, catur adalah "olahraga orang kaya," lanjut Crothers. "Catur dianggap sebagai olahraga bagi kaum intelektual, dan tentu saja catur tidak dianggap sebagai olahraga Uganda."
Si cerdas dari jalanan
Robert Katende, yang menjalankan program catur di Katwe, tidak mengira bakat catur Mutesi akan begitu mencengangkan. Dia memiliki teori beberapa aspek dasar yang ditemukan dalam catur, seperti kebutuhan memerhatikan gerakan untuk bertahan dan menang, berkaitan dengan banyaknya pengalaman anak-anak dari daerah kumuh.
"Saya sangat percaya bahwa setelah melewati semua fase kanak-kanak, mereka mencari tahu bagaimana untuk bertahan hidup setiap hari, mereka dengan mudah mengidentifikasi diri mereka dengan catur," kata Katende. "Mereka harus menghadapi tantangan, menyusun gerakan, berpikir apa yang akan menjadi langkah berikutnya, apa yang akan terjadi setelah itu. Saya pikir entah bagaimana hal itu membuat mereka memahami lebih baik. "
Mutesi belajar gerakannya tanpa apa pun selain sebuah papan kotor dan majalah catur dari tahun 1970-an. Dia tidak pernah memiliki materi pelatihan, atau belajar gerakan pembuka dan kombinasi yang akrab bagi sebagian besar pemain yang ia temui di turnamen internasional.
"Buat mereka, mereka tidak memiliki teori, dan mereka bermain dengan apa yang mereka ketahui," kata Mutesi. "Saya, saya datang dan melihat papan, dan mencari langkah terbaik."
Tahun lalu ia mendapat gelar "kandidat master." Meskipun itu adalah peringkat terendah dalam hirarki Federasi Catur Dunia, namun gelar itu adalah liga yang lebih baik daripada kebanyakan amatir.
Mutesi berbicara bahwa ia ingin mendapatkan gelar "grandmaster," tapi Crothers mengatakan bahwa meskipun ia telah "menemukan cara untuk bermain dengan hampir sepenuhnya mengandalkan naluri," dia akan membutuhkan lebih banyak pelatihan teori dan konseptual yang ketat untuk membuatnya masuk dalam jajaran kompetitif di tingkat atas.
Namun persiapan informal seperti itu juga bisa membuat anak-anak yang bermain catur di Katwe menjadi lawan yang lebih tangguh, ujar Katende.
Kisah Phiona Mutesi, yang sangat pandai bermain catur, akan diangkat dalam sebuah film Disney.
Gang-gang becek dan gelap, kamar penuh sesak di daerah kumuh Katwe di ibu kota Uganda tampak seperti tempat yang tidak ingin Anda kunjungi untuk bermain catur. Tapi ini adalah tempat salah satu calon juara catur dunia, Phiona Mutesi (16), bermain catur untuk pertama kali.
Mutesi muda baru berusia 9 tahun pada saat itu, putus dari sekolah bagi tunawisma, kemudian menjajakan jagung di jalan. Ayahnya meninggal dan keluarganya diusir dari rumah.
Dia mendengar tentang kegiatan amal berbasis agama yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Anak-anak kumuh dibimbing dan diberikan makanan di dekat gang rumahnya. Mereka juga diajari beberapa permainan aneh yang disebut catur.
"Aku lapar," kata Mutesi, "Aku belum pernah mendengar tentang catur, dan aku tak pernah melihatnya. Jadi... Aku berpikir, 'Mungkin aku juga bisa pergi ke sana untuk belajar catur dan mendapatkan secangkir bubur.'"
Gadis muda itu mengenang kunjungan pertamanya itu, "Saya sangat kotor... Mereka tidak menerima saya bahkan hanya untuk menyentuh bidak catur."
Akhirnya, seseorang di organisasi yang merupakan sebuah kelompok yang berbasis di AS bernama Sports Outreach, menugaskan seorang anak berusia lima tahun untuk mengajari Mutesi permainan catur, membuatnya berada di jalan yang pada akhirnya akan mengubah hidup dan pandangannya, serta membawanya bersaing di pertandingan internasional.
Tanda-tanda awal bahwa ia mungkin anak ajaib muncul ketika ia mulai mengalahkan anak laki-laki dalam catur. Di Uganda, catur dianggap terlalu sulit untuk anak perempuan. Tapi Mutesi memutarbalikkan anggapan itu.
Anak laki-laki tidak ingin bermain dengan para gadis, "karena gadis itu tidak pandai," kata kakak laki-lakinya, Brian Mugabi. "Tapi sekarang saya pikir dia lebih pandai dari saya."
Keberhasilan Mutesi telah menantang harapan para gadis di Katwe, yang sering menganggap diri mereka sebagai intelektual rendahan. Mereka yang sering pergi ke sekolah selalu putus di tengah jalan, dan banyak yang akhirnya hamil saat mereka masih di pertengahan remaja.
"Saya pikir kami tidak bisa bermain catur, karena saya pikir hanya anak laki-laki yang bisa bermain", kata Stellah Babirye (13), yang mulai bermain catur pada saat yang sama dengan Phiona. "Tapi akhirnya saya menyadari bahwa kita perempuan, juga memiliki kesempatan."
Tidak diunggulkan namun luar biasa
Sebagai anak-anak, sebelum belajar permainan, Mutesi sangat mudah marah, dan sering melemparkan batu ke orang-orang ketika amarahnya berkobar. Permainan caturnya juga memiliki gaya agresif pada awalnya.
Namun keagresifannya berubah. Pada usia 14 tahun ia memenuhi syarat untuk mewakili Uganda di World Chess Olympiad. Bahkan tanpa pelatihan formal, dia membuktikan bahwa ia cukup untuk melakukan perjalanan ke Rusia untuk bertanding. Dia dianggap sebagai pemain wanita terbaik di Uganda, dan tahun lalu menjadi wanita pertama Uganda yang memasuki turnamen pria dan menang.
Mutesi adalah "orang yang tidak diunggulkan namun luar biasa" dalam dunia catur, seperti yang dijelaskan oleh penulis olahraga Tim Crothers, yang bertemu Mutesi pada 2009 dan menulis sebuah buku tentangnya, “The Queen of Katwe”, yang terbit Oktober lalu. Disney berencana membuat film tentang dirinya. Cek bank pertama dari Hollywood baru-baru ini membantu keluarga Mutesi untuk membeli sebidang tanah.
"Dia sama sekali tidak menduga berhasil dalam permainan ini... Dia seharusnya tidak pernah menemukan catur, dan ketika ia menemukannya, dia tidak ada tandingannya."
Di Afrika Tengah, catur adalah "olahraga orang kaya," lanjut Crothers. "Catur dianggap sebagai olahraga bagi kaum intelektual, dan tentu saja catur tidak dianggap sebagai olahraga Uganda."
Si cerdas dari jalanan
Robert Katende, yang menjalankan program catur di Katwe, tidak mengira bakat catur Mutesi akan begitu mencengangkan. Dia memiliki teori beberapa aspek dasar yang ditemukan dalam catur, seperti kebutuhan memerhatikan gerakan untuk bertahan dan menang, berkaitan dengan banyaknya pengalaman anak-anak dari daerah kumuh.
"Saya sangat percaya bahwa setelah melewati semua fase kanak-kanak, mereka mencari tahu bagaimana untuk bertahan hidup setiap hari, mereka dengan mudah mengidentifikasi diri mereka dengan catur," kata Katende. "Mereka harus menghadapi tantangan, menyusun gerakan, berpikir apa yang akan menjadi langkah berikutnya, apa yang akan terjadi setelah itu. Saya pikir entah bagaimana hal itu membuat mereka memahami lebih baik. "
Mutesi belajar gerakannya tanpa apa pun selain sebuah papan kotor dan majalah catur dari tahun 1970-an. Dia tidak pernah memiliki materi pelatihan, atau belajar gerakan pembuka dan kombinasi yang akrab bagi sebagian besar pemain yang ia temui di turnamen internasional.
"Buat mereka, mereka tidak memiliki teori, dan mereka bermain dengan apa yang mereka ketahui," kata Mutesi. "Saya, saya datang dan melihat papan, dan mencari langkah terbaik."
Tahun lalu ia mendapat gelar "kandidat master." Meskipun itu adalah peringkat terendah dalam hirarki Federasi Catur Dunia, namun gelar itu adalah liga yang lebih baik daripada kebanyakan amatir.
Mutesi berbicara bahwa ia ingin mendapatkan gelar "grandmaster," tapi Crothers mengatakan bahwa meskipun ia telah "menemukan cara untuk bermain dengan hampir sepenuhnya mengandalkan naluri," dia akan membutuhkan lebih banyak pelatihan teori dan konseptual yang ketat untuk membuatnya masuk dalam jajaran kompetitif di tingkat atas.
Namun persiapan informal seperti itu juga bisa membuat anak-anak yang bermain catur di Katwe menjadi lawan yang lebih tangguh, ujar Katende.
0 komentar:
Post a Comment