728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Belajar Membangun Piramida Bisnis Melalui Tradisi dan Kultur

    Belajar dari Non-League Football di Inggris

    Ada yang janggal sore itu. Stadion yang biasa terisi oleh seratusan orang, malah dipenuhi oleh enam ratusan penonton. Di deretan kursi yang belum diberi nomor itu tak semua duduk. Ada yang berdiri, ada pula yang menyantap kue pai di tribun belakang gawang.

    Dari area penonton, sesekali terdengar sapaan pada penonton yang baru masuk. Rupa-rupanya, mereka bertetangga. Pertandingan berlangsung seru. Gerakan lincah pemain nomor 11 membuat penonton berdecak kagum.

    "Siapa pria itu, mengapa hebat sekali?" tanya seorang anak yang datang bersama ayahnya.

    "Nick Wheeler," ujar ayahnya sembari bersandar pada pagar pembatas.

    "Siapa?" anak tersebut mengernyit, "Ia lebih tampak seperti Eden Hazard."

    Sang ayah memandang jauh ke depan, "Wheeler, nak, ia menghabiskan tujuh tahun di tim junior Charlton Athletic."

    Kala itu, 6 September 2014 menjadi hari yang padat akan jadwal pertandingan. Kompetisi liga-liga di Eropa termasuk Liga Premier tengah memasuki jeda laga internasional.

    Hal ini pun dimanfaatkan untuk menggelar non-league day , atau kompetisi non-liga yang digelar setahun sekali sejak 2010.

    Apa itu Non-League Football?

    Non-League atau Non-Liga merupakan kompetisi dari kasta kelima hingga kasta kesebelas dalam piramida sistem liga di Inggris. Istilah ini bermula dari adanya perbedaan pengelolaan antara tim profesional yang berada di empat kasta teratas, dengan kasta di bawahnya.

    Sebelum Liga Primer Inggris (EPL) dibentuk pada 1992, empat kasta tersebut dikelola oleh The Football League. Selama itu pula tidak dikenal promosi dan degradasi dari kasta keempat ke kasta kelima. Penyebabnya, status tim kasta kelima adalah tim semi-profesional.

    Kompetisi Non-Liga sebenarnya masih dalam yurisdiksi Federasi Sepakbola Inggris, FA. Hanya saja, atas dasar kecemburuan sistem serta penyingkatan nama operator liga (the Football League), publik menyebut empat kasta teratas sebagai "league", sementara kasta di bawahnya disebut "non-league".

    Dari tahun ke tahun, Non-Liga belum mendapat tempat di hati masyarakat. Mayoritas penduduk Inggris lebih mementingkan untuk membeli tiket musiman klub Premier League seperti Arsenal atau Tottenham Hotspur yang mahal itu.

    Tak pedulinya masyarakat Inggris terhadap Non-Liga bisa tercermin dari jumlah penonton yang datang. Contohnya, Bungay Town yang berlaga di divisi dua The Anglican Combination Football League, atau kasta ketujuh Liga Inggris. Jumlah penonton yang datang ke Malting Meadow Sports Ground, kandang Bungay, tak pernah lebih dari 50 orang.

    Padahal, Non-Liga adalah liga untuk klub komunitas yang lokasinya bisa ditempuh dengan hanya beberapa menit dengan berjalan kaki.
    Atas dasar inilah, seorang suporter QPR, James Doe, menggagas satu hari khusus bagi masyarakat dapat memberi apresiasi Non-Liga dengan datang ke stadion.

    Mulanya James menyaksikan pertandingan pra-musim antara Queens Park Rangers menghadapi Tavistock. Dalam laga yang digelar di Langsford Park, kandang Tavistock tersebut, Doe terkesan dengan segala keramahan penyelenggara pertandingan, satu hal yang menurutnya sulit untuk ditemui di Premier League.

    Doe mulai berpikir bagaimana caranya agar kompetisi yang tidak populer tersebut, diperhatikan secara luas oleh masyarakat. Maka, ia pun menyusun satu hari ketika klub Premier League dan Divisi Championship mendapat jatah libur dari FA. Pasalnya, tak mungkin bagi kompetisi Non-Liga menyaingi Premier League dan Divisi Championship.

    Padatnya jadwal kompetisi papan atas Inggris membuat Doe memilih pekan jeda pertandingan internasional yang biasanya dimulai setelah bursa transfer ditutup. Hari ini pun dinamai Hari Non-Liga (non-league day).

    Sejak pertama kali digagas pada 2010, kini dukungan pada Hari Non-Liga pun terus mengalir. Sejumlah elemen masyarakat, pesepakbola papan atas, media, selebritis, hingga anggota parlemen turut mendukung gerakan ini. Maka, jangan heran jika pada 6 September silam, sejumlah media Inggris, ramai-ramai mengajak masyarakat untuk datang ke taman terdekat untuk menyaksikan kompetisi Non-Liga.

    Menjaga Nilai-Nilai Tradisional

    Sebagai seorang penggemar sejati West Ham United, Stuart Fuller sebisa mungkin menghadiri pertandingan kandang yang digelar di Stadion Upton Park. Selama bertahun-tahun ia melakukan kebiasaan itu.

    Sampai akhirnya, ia datang ke sebuah pertandingan kasta ketujuh Liga Inggris.

    Sore itu, Lewes FC tengah bertanding di kandangnya, the Dripping Pan. Tim yang berlaga di Isthmian League tersebut mencuri hati Fuller. Hari demi hari kemudian, Fuller semakin sering membolos dari partai kandang West Ham. Ia memilih mendatangi the Dripping Pan, sembari menyeruput bir dingin yang bisa dibeli di bar lokal.

    Lambat laun, kecintaan Fuller terhadap Lewes tak lagi terbendung. Dari awalnya sebagai penonton biasa yang jenuh dengan suasana EPL, kini ia ada di jajaran manajemen Lewes FC. Dengan kesungguhan hati, ia berupaya mengembalikan suasana menonton sepakbola ala Inggris yang menurutnya kini sudah mulai memudar.

    Karena statusnya sebagai klub semi-profesional, maka tidak aneh jika sepakbola adalah hobi semata. Tidak sedikit dari mereka yang bolos dari pekerjaannya untuk sekadar bermain di klub yang entah kapan bisa masuk ke tataran Football League.

    Fuller menyebutnya sebagai "cinta yang paling murni" pada sepakbola. Memang, dilihat dari sisi manapun, pemain dari Non-Liga sulit untuk menyaingi kemampuan teknik pemain yang berlaga di EPL. Namun, kebanyakan dari mereka bermain bukan karena uang. Maka, tak heran jika Fuller menemukan suasana yang berbeda di stadion.

    Fuller mengungkapkan, penonton yang datang ke pertandingan Non-Liga memiliki rasa kebersamaan yang jauh lebih besar ketimbang suporter yang mendukung tim Liga Inggris.

    Liga Primer Inggris hanya dihuni oleh 20 klub, itupun tak mungkin mewakili seluruh wilayah county di Inggris. Akan berbeda rasanya penggemar dari East Sussex, kala menonton pertandingan Arsenal yang berada di Greater London, dengan menonton pertandingan Lewes FC yang terletak di East Sussex.

    Bagaimana pun juga, kedekatan geografis akan menimbulkan rasa keterwakilan yang sulit didapatkan dari sekadar menjadi suporter klub Liga Primer Inggris. Ketika mereka berteriak mendukung para pemain yang bertarung, mereka bukan sekadar menyanyikan nama para bintang yang setiap harinya hanya dilihat di televisi atau dibaca di koran, namun mendukung teman, keluarga, dan kerabat mereka sendiri.

    Pertandingan di Non-Liga umumnya dimulai pada pukul 3 sore atau 7 petang. Dengan harga tiket rata-rata 8 pounds, penonton bisa berdiri di mana saja, dan digaransi mendapat sambutan hangat oleh pengelola stadion.

    Ke depannya, Hari Non-Liga bukan lagi dipandang sebagai gerakan semata. Pasalnya, tim-tim di kompetisi Non-Liga merupakan fondasi atas Liga Inggris itu sendiri, untuk dapat terus berdiri kuat.

    Mengubah Sistem Kepemilikan

    FA tidak terlalu memberikan batasa soal kepemilikian klub di Inggris. Selama sang pemilik sehat secara keuangan, siapa pun akan bisa membeli klub. Jangan heran jika para pebisnis asing menancapkan kukunya di tanah Inggris. Di Premier League, hanya tujuh tim yang dikelola oleh pebisnis asli Inggris, dengan West Ham United dimiliki oleh seorang Inggris, Wales, dan Islandia.

    Dengan membeli klub Liga Inggris, pebisnis asing sebenarnya telah turut serta menambah pemasukan anggaran belanja pemerintah Inggris lewat pajak. Namun, ada beberapa konsekuensi yang nantinya harus ditanggung, mulai kenaikan harga tiket hingga mengubah logo dan nama klub.

    Dengan sistem ini, para suporter tak memiliki ruang untuk sekadar memberi masukan atau mengubah kebijakan klub.

    Ini yang coba dirombak Fuller pada Lewes FC. Bersama dengan pemilik dan jajaran manajemen lainnya, Lewes mempersilakan suporter turut menjadi penentu nasib klub. Caranya, mereka tinggal membayar iuran tahunan sebesar 30 pounds. Dengan uang ini, klub berharap mendapat pendapatan, meski jumlahnya kecil.

    Untuk menekan pengeluaran, Lewes FC amat mengandalkan dukungan suporter. Makanan akan disediakan oleh petinggi klub, pun halnya jika mereka melakoni partai tandang. Lewes tak mengupah seorang supir, karena bis yang ditumpangi disupiri oleh pihak manajemen pula.

    "Setiap orang yang bekerja di klub adalah anggota itu sendiri, dan itu hebat," kata Fueller dalam sebuah wawancara.

    Apa yang dilakukan Lewes ini lambat laun bukan tak mungkin dicontek klub lainnya. Kesulitan finansial bisa tertangani andai suporter urunan dan diberi hak untuk memilih dan dipilih.

    Donasi untuk Kanker, Jamur, Hingga Suporter Bayaran

    Klub yang ada di kompetisi Non-Liga biasanya secara khusus menyiapkan pertandingan semenarik mungkin. Hal yang biasa dilakukan adalah memangkas harga tiket dengan tujuan menjaring penonton yang baru pertama kali datang.

    Bukan hanya klub yang membuat program spesial. Sponsor Conference Football, kasta kelima dan keenam Liga Inggris, Vanarama, pun turut serta.

    Vanarama memulai kampanyenya di media sosial. Mereka mengajak para pemain, manajer, media, selebritis, dan fans untuk mengunggah gambar acungan jempol mereka dengan tagar #thumbsup4NLD. Vanarama berharap kampanye tersebut dapat meningkatkan jumlah suporter yang hadir ke stadion.

    Vanarama akan mendonasikan empat ribu pounds bagi yayasan kanker prostat Inggris. Namun, jika jumlah penonton yang hadir dalam seluruh pertandingan conference football mencapai 50 ribu, maka donasi pun bertambah menjadi 10 ribu pounds.

    Sementara itu, ratusan orang yang datang ke Dene Park, Kota Hull, terheran-heran. Setelah menuliskan nama dan alamat surat elektronik (surel), seorang penjaga pintu memberi mereka dua pounds per kepala.

    Namun, tak sedikit dari penonton yang hadir mengembalikan uang tersebut. Selain terkesan karena keramahan manajemen klub, kedatangan mereka ke Dene Park murni untuk menyaksikan Hull United berlaga. Mereka ingin tahu, bagaimana perkembangan klub yang berbasis di Kingston upon Hull, East Riding of Yorkshire tersebut.

    Selama ini, masyarakat di kota Hull lebih mengenal klub Hull City AFC yang berlaga di EPL. Seiring berjalannya waktu, fans Hull City tak lagi menaruh hormat pada sang pemilik, Assem Allam. Pebisnis Inggris kelahiran Mesir tersebut berusaha mengubah sejarah serta budaya klub dengan mengubah nama klub menjadi Hull Tiger demi kepentingan pemasaran.

    Lain Hull United, lain pula Bungay Town. Klub yang berlaga di Anglian Combination Football League, atau kasta kesebelas di Liga Inggris ini, memberi sekotak jamur bagi para penonton yang datang.

    "(Kota) Kami memiliki pemasok jamur. Lalu, kami pikir, kenapa tidak? Tahun lalu, penonton bertambah sekitar 60 hingga 70 persen karena promosi ini, dan kami senang karena kami bisa melakukannya lagi tahun ini," tutur wakil pemimpin Bungay Town, Shaun Cole, dalam sebuah wawancara dengan BBC.

    Bekas pemilik Bungay Town, Jon Fuller, adalah seorang petani jamur. Ia yang menyediakan 160 kotak jamur untuk pertandingan tersebut. Cole turut membagi jamur tersebut untuk pemain, ofisial, dan wasit.

    Sekitar 100 orang menghadiri laga antara Bungay Town menghadapi Martham. Jumlah ini dua kali lebih banyak dari rata-rata penonton yang hadir.

    "Aku bahkan memberi jamur pada wasit sebelum laga, ia berkata, ‘Aku harap ini bukan suap’," kata Cole.

    ***

    Non-Liga mengajarkan pada kita banyak hal tentang membentuk satu piramida kompetisi yang berkesinambungan. Meski EPL menjadi etalase mahal dari sebuah kompetisi bernama Liga Inggris, ada elemen penting yang membentuk sepakbola Inggris serta menjaga tradisi dan kultur yang ada di dalamnya.

    Kompetisi Non-Liga adalah satu bentuk penyadaran bahwa meski kini Inggris menjadi tanah bagi para bintang kelas dunia, sepakbola tak hanya Premier League semata. Bahwa ada kalanya sepakbola menjadi begitu karib dengan lingkungan sekitar dan tak melulu soal menyari untung atau mendatangkan pemain kelas dunia.

    Bahwa memakan kue pai, meminum bir, membagikan jamur, sembari bersenda gurau dengan keluarga pun bisa menjadi wajah lain dari sepakbola.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Belajar Membangun Piramida Bisnis Melalui Tradisi dan Kultur Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top