728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Momentum Perlawanan Rakyat Iran

    Piala Dunia sebagai Momentum Perlawanan Rakyat Iran
       
    Jakarta - Banyak orang yang kecele menganggap Iran adalah negara konservatif yang tertutup dan terkucilkan dari dunia luar. Itu tentu saja salah besar. Iran kini adalah negara maju yang berkembang secara pesat baik itu dari sisi teknologi, pendidikan, budaya maupun olahraga.

    Angin kebebasan kini telah berhembus kencang ke negara Persia itu. Munculnya sosok pemimpin yang lebih moderat yakni Hassan Rouhani ditengarai jadi penyebab hal itu terjadi.

    Sikap Rouhani yang lebih moderat ini tentu saja sebuah anomali, mengingat Rohaeni adalah salah satu orang terdekat dan pengusung Ayatollah Khoemeini dalam revolusi Islam Iran tahun 1979. Berbagai jabatan militer, mulai dari anggota Dewan Tinggi Pertahanan, komandan Pertahanan Udara hingga wakil komandan Angkatan Bersenjata pernah dia emban.

    Kesimpulannya, Rouhani adalah loyalis Republik Islam Iran sejati --termasuk kebenciannya terhadap segala hal yang datang dari barat.

    Waktu membuat segalanya berubah, waktu pula yang mengubah Rouhani. Ulama garis keras ini kini membelot ke kaum moderat. Di masa-masa pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad, Rouhani adalah sosok yang dekat dengan Rafsanjani --sosok ini adalah musuh dari Ahmadinejad. Rafsanjani dikenal lebih liberal dan moderat ketimbang Ahmadinejad yang fanatik dan konservatif.

    Karenanya wajar saat Ahmadinejad mundur setelah menjabat Presiden dua kali berturut-turut, maka Rouhani yang dimunculkan kaum reformis di negeri itu.

    Dalam kampanyenya, Rouhani menjanjikan kebebasan pers yang lebih besar dan kehangatan lebih dalam menjalin hubungan dengan negara-negara Barat. Kondisi ini yang membuat dia mampu meraup hati 17 juta jiwa penduduk Iran, menjadikannya Presiden setelah menang telak dengan mendulang suara di atas 50%.

    Revolusi Media Dua Jilid di Iran

    Berbicara tentang Rouhani maka kita berbicara tentang revolusi media elektronik di negeri itu. Kesuksesan kampanye Rouhani tak ayal terjadi karena kampanye yang dilakukannya di media internet, khususnya media sosial. Maka tak ayal banyak yang mengatakan, kemenangan Rouhani sebagai revolusi elektronik kedua di negara itu.

    Apa yang dilakukan Rouhani mirip seperti apa yang dilakukan gurunya, Ayatollah Khoemeni. Bernard Lewis dalam bukunya berjudul the Middle East yangmemaparkan Revolusi Islam Iran yang dipimpin Khoemeini pada tahun 1979 disebut sebagai the first electronically operated revolution.

    Dengan memanfaatkan perkembangan teknologi rekaman kaset dan telepon, Khoemeini dapat terus membakar semangat perlawanan jutaan rakyat Iran, yang jaraknya ribuan mil dari tempatnya berada --kala itu Khoemeni mengasingkan diri ke Paris. Upaya itu membuat rezim Syah Pahlevi yang bertahan selama puluhan tahun, akhirnya berhasil ditumbangkan.

    Sepakbola dan Globalisasi

    Keefektifan media sebagai alat propaganda inilah yang disadari Rouhani. Termasuk dalam urusan “remeh temeh” seperti sepakbola. Selain mengakar kuat sejak akhir abad 19, sepakbola adalah hiburan masyarakat dari kejenuhan akan penatnya kehidupan dan frustasi dunia ekonomi politik yang diembargo dari berbagai sisi.

    Meski begitu, bagaimanapun juga sepakbola adalah kepanjangan tangan dari globalisasi. Iran dapat memfilter dan mencegah budaya barat menginvansi negara mereka, tapi mereka tak bisa mencegah sepakbola membawa bibit-bibit budaya Barat.

    Terkadang memberikan ruang bagi sepakbola sama saja membuka keran derasnya arus globalisasi ke Iran. Antusiasme rakyat terhadap sepakbola semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dan lagi-lagi, harus teknologi dan media yang menjadi musuh rezim itu sendiri.

    Seorang Profesor di Boston University, Houchang E. Chehabi, dalam jurnal berjudul A Political History of Football in Iran menjelaskan bahwa di masa-masa awal revolusi Islam, olahraga khususnya sepakbola tidak ada dalam agenda kaum revolusioner, mengingat sepakbola selalu dianggap sebagai bagian dari kaum hedonistik kebarat-baratan yang melekat pada rezim Pahlevi.

    Selama rezim monarki Syah Pahlevi, sepakbola memang dipromosikan dan digembor-gemborkan secara heboh untuk menjaga kaum pria Iran dari sikap apolitis dan mengalihkan perhatian publik dari masalah-masalah yang serius. Intinya, sepakbola membantu keberlangsungan pemerintahan diktator monarki. Hal inilah yang dibenci kaum revolusioner.

    Di lain sisi ada persepsi sepakbola adalah olahraga masyarakat barat dan sarana imperialisme budaya untuk mencengkeram Iran. Muncul sebuah propaganda yang intens bahwa masalah-masalah politik, ekonomi, budaya dan kehidupan sehari-hari tidak dapat diselesaikan dengan olahraga. Karenanya sepakbola amatlah diatur dengan ketat di masa-masa awal pemerintahan revolusioner.

    Televisi Mengubah Perkembangan Sepakbola Iran

    Namun pada akhir 1980-an, beberapa pemimpin dan ulama mulai sadar bahwa tindakan represif pada dunia olahraga khususnya sepakbola, tidaklah membawa keuntungan. Terlebih semenjak berkembangnya televisi. Tersebarnya televisi ke penjuru negeri membuat pertandingan-pertandingan sepakbola luar negeri mudah dinikmati. Hal ini sempat dibahas Franklin Foer dalam buku How Soccer Explain The World : The Unlikely theory of Globalization.

    Di masa itu penggemar sepakbola kian hari kian banyak mengingat karena hanya sepakbola-lah yang mampu menghubungkan mereka dengan dunia luar. Dan lagi-lagi lewat media elektronik yakni televisi, publik Iran sadar bahwa negara mereka kian lama kian di/terkucilkan dari dinamika dunia luar.

    Puncak emosi yang meledak itu terjadi saat Iran lolos ke Piala Dunia 1998. Pengamat Barat menyebut ini sebagai Revolusi Sepakbola Iran. Euforia jutaan rakyat Iran yang turun ke jalan tak dapat dibendung.

    Cristopher Dickey dalam sebuah artikel di Newsweek menggambarkan tarian, minuman dan musik barat yang biasanya bersifat tabu kali itu jadi perayaan umum. Banyak kaum hawa yang ikut merayakan dan merobek-robek serta melepas jilbab mereka. Melihat kondisi negara yang tak kondusif, rezim pun resah, tim kesebelasan diintruksikan untuk jangan pulang sebelum kondisi Teheran kembali seperti semula.

    Perayaan saat itu difokuskan di Stadion Azadi, stadion terbesar keempat di dunia itu dipadati lebih dari 100 ribu pria. Hal yang mencengangkan adalah sekitar 5.000 kaum hawa memaksa masuk ke dalam untuk ikut perayaan. Suhu minus 2 derajat tak menciutkan keinginan kaum hawa merayakan kemenangan itu. Kericuhan sempat memanas antara kaum hawa dan polisi. Mengalah, rezim pun membiarkan kaum hawa ini ikut berpesta pora bersama ratusan ribu orang lainnya.

    Di Iran, kaum hawa lebih cenderung fanatik dalam sepakbola ketimbang kaum adam, kendati begitu aturan ketat menegaskan bahwa perempuan dilarang datang ke stadion menonton bola. Alasan yang diutarakan pemerintah terkait larangan ini cukup unik, yakni ada ketakutan kaum hawa Iran terpengaruh sikap kaum pria yang terkadang melakukan sumpah serapah, cacian dan makian saat pertandingan berjalan di stadion. Insiden Revolusi Sepakbola ini begitu ditakuti oleh rezim.

    Selang empat tahun kemudian, pada Piala Dunia 2002, Iran memang tak lolos piala dunia. Namun ribuan orang berdemo di depan federasi sepakbola Iran marah besar atas tak lolosnya Iran ke Korea-Japan. Mereka menduga tak lolosnya Iran berdasarkan intervensi pemerintah demi mencegah terulangnya kondisi chaos seperti pada Piala Dunia 1998.

    Budaya Kritik Rezim Lewat Sepakbola

    Di Iran sebuah anekdot: agar anda tak ditangkap saat melancarkan protes, maka kritik terhadap pemerintah hanya bisa dilakukan di dua tempat: stadion dan internet. Karenanya suara minor mengkritik rezim biasanya dilakukan saat pertandingan sepakbola.

    Para Piala Dunia 1998 di Prancis, sebelum laga melawan Amerika Serikat, masyarakat Iran yang berada di pengasingan membeberkan spanduk anti-rezim dan t-shirt dengan gambar Maryana Rajavi - salah satu pemimpin oposisi Iran. Pada tahun 2006 kondisi serupa terjadi di Jerman.

    Tahun 2009, saat kondisi politik sedang memanas di dalam negeri menyusul kemenangan kembali Presiden Ahmadinejad dalam pemilu, disambut ratusan ribu orang yang demo di jalan. Pada pertandingan-pertandingan liga Iran, yel-yel meledek Ahmadinejad kentara nyaring terdengar. Iran yang saat itu menggelar kualifikasi Piala Dunia dimanfaatkan sebagai sarana mempromosikan bentuk perlawanan mereka atas rezim kepada dunia internasional.

    Beberapa fans mengibarkan bendera dengan slogan-slogan seperti 'Free Iran' atau bahkan “Pergilah ke neraka Dictator”. Resistensi di lapangan, tak hanya dilakukan para supporter saja, pemain Iran pun melakukannya saat pertandingan digelar. Di tahun itu, 4 pemain timnas melakukan aksi protes ketika melawan Korea Selatan dengan memakai gelang berwarna hijau yang identik dengan warna partai pemimpin oposisi yakni Hossein Mousavi. Sontak saja tanpa ampun, Ali Karimi, Mehdi Mahdavikia dan 2 pemain lainnya dibanned seumur hidup dari dunia sepakbola.

    Keberpihakan Rouhani terhadap Sepakbola?

    Franklin Foer mungkin benar, para rezim hanya bisa melakukan upaya sebatas menyensor, membatasi dan mengurangi pengaruh globalisasi dalam sepakbola. Tapi mereka tetap tak dapat menyensor para pemain dan pertandingannya itu sendiri.

    Karenanya, pesan-pesan kebebasan yang selama ini dibanggakan oleh barat, cepat atau lambat telah dan akan mempengaruhi bangsa Iran. Tergantung para Mullah menghadapinya. Dengan resistensi atau kooperatif. Dan lewat pemerintahan Rouhani, jalan kedua telah dia pilih.

    Dalam soal bola dia lebih lunak ketimbang Ahmadinejad. Baru-baru ini sebelum Piala Dunia digelar, Rouhani telah bertemu dengan Presiden FIFA, Sepp Blatter untuk berbicara soal pelarangan wanita ke stadion. Kendati berat, mengingat aturan itu berada di tangan para ulama namun Rouhani yakin hal itu bisa terjadi. Terbukti saat pelepasan timnas Iran ke Brasil beberapa minggu lalu, acara pelepasan yang digelar di stadion Azadi itu boleh dhadiri oleh ribuan kaum hawa yang dipisah dalam tribun khusus.

    Rouhani pun lebih terbuka dalam soal urusan hiruk pikuk fans di sosial media. Seperti diketahui sejak tahun 2009, sosial media di blokir di negara persia itu karena khawatir sosmen kembali akan menyulut aksi demosntrasi besar-besaran seperti tahun itu. Meski diblokir, jutaan masyarakat Iran mampu mengakalinya dengan jaringan virtual private (VPN) dan server proxy yang berbeda. Dan Rohani pun adalah pengguna media sosial. Dia aktif berkicau di twitter.

    Baru-baru ini Rouhani lewat Menteri Olahraga Iran meminta masyarakat Iran untuk terus memberi dukungan kepada The Princes of Persia yang berlaga di Piala Dunia lewat media sosial dan internet. Dia pun menghimbau agar dukungan itu diaplikasikan juga lewat tulisan-tulisan di blog menjelaskan bahwa sepakbola Iran tidaklah seperti yang masyarakat luar bayangkan.

    Secara kasat mata Rouhani sebenarnya sedang mencitra. Tamara Juricic, seorang blogger yang gemar menilik sepakbola Iran menjelaskan, Piala Dunia 2014 adalah prospek menggiurkan untuk mencegah publik Iran dari peduli tentang masalah-masalah politik dan konsekuensi dari isolasi internasional.

    Saat ini, Iran tengah dilanda sanksi masyarakat barat yang sangat merugikan perekonomian mereka: Kesulitan menjual minyak, mata uang tidak stabil, cadangan devisa menurun dan inflasi yang tak kunjung reda. Presiden baru Hassan Rouhani, memang berjanji untuk membenahi itu dengan sikap politik luar negeri yang lebih terbuka. Dan Rouhani butuh suatu alat untuk memulai agenda politiknya itu dengan berusaha mempolitisasi Piala Dunia lewat media sosial.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Momentum Perlawanan Rakyat Iran Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top