Sepakbola sebagai Anomali Bisnis
Sepakbola Eropa sekarang bukan lagi soal menang, kalah, dan imbang, tetapi juga merambat pada urusan-urusan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Jika merujuk performa satu dekade terakhir, secara keseluruhan, Bundesliga memang berada pada masa kejayaannya, sebagaimana juga perekonomian Jerman sedang berada pada posisi puncak di Eropa.
Namun, ada satu anomali. Sementara pertumbuhan ekonomi di Inggris sedang jatuh, dan ketika pemerintah Inggris melakukan privatisasi sektor kesehatan publik, hal berkebalikan terjadi pada aktivitas transfer klub-klubnya.
Di saat mayoritas negara Eropa mengencangkan ikat pinggang karena krisis finansial, rekor demi rekor pemecahan transfer pemain justru semakin marakpada beberapa musim terakhir ini. Bagaimana ini bisa terjadi?
Pertumbuhan ekonomi di Inggris juga sedang mengalami penurunan, dengan tingkat pengangguran semakin meninggi, danmereka yang terusir dari rumahnya semakin banyak. Padahal, selama ini Inggris selalu merasa “di atas angin” dan kerap merasa lebih tinggi dari negara-negara Eropa lainnya.
Contoh paling nyata dari hal ini adalah Inggris masih memakai mata uangnya sendiri, yaitu poundsterling, ketika negara-negara Eropa lain sudah menggunakan mata uang euro.
Jika dilihat dari pemasukan tiket, Liga Primer Inggris memang yang paling tinggi dibandingkan negara lainnya.Namun, sepakbola Jerman secara struktur lebih mapan dan tahan guncangan.
Klub-klub Jerman berinvestasi sebanyak 100 juta euro per tahun untuk keperluan akademi sepakbola untuk mengembangkan talenta-talenta baru, mengurangi keperluan transfer pemain, dan juga gaji pemain.
Sementara itu, Liga Inggris lebih gemar menunjukkan label “liga terbaik di dunia”-nya dengan menunjukkan taburan pemain-pemain bintang, yang tentunya berasal dari seluruh dunia.
Ketamakan ini seolah memakan Liga Primer hidup-hidup. Jumlah pemain asli Britania Raya (Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara) kalah jauh dibandingkan dengan pemain asing.
Klub-Klub Inggris yang "Loyal"
Musim panas ini tercatat sebagai musim panas yang paling panas dan sibuk sepanjang sejarah klub-klub Liga Primer. Untuk ukuran sebuah negara, sesuai dengan grafik sebelumnya, Inggris sudah menjadi rumah bagi tim-tim olahraga dengan pembayaran tertinggi di dunia.
Sampai musim lalu (bursa transfer Januari 2014), klub-klub Liga Primer menghabiskan 835 juta pound untuk membeli pemain. Patut dicatat, angka-angka ini tidak termasuk gaji pemain.
Sementara yang terbaru, yaitu pada musim panas ini, klub-klub Liga Primer sudah mengeluarkan 901 juta pound untuk mendatangkan 292 pemain. Kemudian jika kita mengerucutkan untuk hanya melihat pemain-pemain yang dibeli mahal saja, dalam 14 tahun terakhir ini Liga Primer sudah mendapatkan kenaikan yang signifikan.
Pemain-pemain dengan harga tinggi (atau bisa didefinisikan sebagai pemain berharga 25 juta euro atau lebih) datang memecahkan rekor demi rekor transfer di Britania Raya.
Pada masa lalu, misalnya, pada masa Denilson menjadi pemain termahal di dunia pada tahun 1998, jarang terlihat transfer pemain-pemain dengan harga tinggi terjadi. Butuh rentang waktu 7 sampai 8 tahun bagi kita untuk melihat pemain dengan harga 25 juta euro.
Namun setidaknya sejak tahun 2008, kita bisa menemukan 5 sampai 7 pemain atau bahkan lebih, yang berpindah klub dengan biaya transfer di atas 25 juta euro.
Untuk melihat bagaimana Liga Primer bertransformasi menjadi tujuan pemain-pemain mahal, kita bisa melihat grafik di atas. Sejak tahun 2008 sampai 2014, banyak pemain mahal yang datang menuju Briania Raya. Sementara yang meninggalkan Britania Raya hanya sedikit saja.
Semua angka di atas mengilustrasikan sesuatu yang aneh, gila, dan tidak bisa diterima secara ilmu ekonomi. Klub-klub Liga Primer dinilai terlalu "loyal" untuk membeli pemain. Mereka sangat boros dan dengan mudahnya bisa mengeluarkan uang banyak untuk mendatangkan seorang pemain sambil mengacaukan pasar pemain se-Eropa, bahkan se-dunia.
Pembenarannya, klub-klub Liga Primer memang bisa mengeluarkan uang sebanyak ini dari hasil sponsor dan pemasukan siaran televisi yang sangat tinggi.
Misalnya saja musim ini.
Pada 2012, Liga Primer mengikat kontrak baru dengan perusahaan televisi BT Group terkait penyiaran Liga Inggris. Nilai kontrak itu mencapai 738 juta pound dengan masa perjanjian sepanjang tiga tahun untuk 38 pekan per musim.
Sementara itu, pemegang kontrak hak siar Liga Inggris terbesar tetap berada di tangan Sky Sports yang telah menyiarkan kompetisi tersebut selama 20 tahun. Sky membayar 2,3 miliar pound untuk menayangkan 116 pertandingan permusim selama tiga musim, mulai dari 2013/2014.
Total dana yang diterima oleh Primer League dari Sky dan BT mencapai 3 miliar pound, atau naik 71% dari kontrak sebelumnya. Ini belum termasuk dengan hak siar internasional, atau hak siar Liga Inggris untuk negara-negara lainnya.
Menurut Deloitte, dari uang televisi tersebut, rata-rata tiap klubnya memperoleh 25 juta pound lebih banyak ketimbang musim lalu, sehingga rata-rata uang yang diterima oleh tiap klub EPLberkisar di angkat 60 juta pound.
Hal inilah yang mendorong Liga Inggris bisa memecahkan rekor transfer pembelian pemain. Di sisi lain, para pemegang hak siar pun tak sia-sia mengeluarkan dana sedemikian banyak.
Misalnya saja BT Group. Mereka berani membayar ratusan juta poundsterling demi untuk mengenalkanproduk baru mereka berupa TV digital. Hal yang sama terjadi nyaris 24 tahun lalu, yaitu ketika Sky Sports menggunakan Primer League untuk mengenalkan TV satelit.
Berkaca pada kesuksesan Sky Sports mempenetrasi pasar Inggris, bukan mustahil kesuksesan yang sama juga dapat diperoleh BT Group.
Ini memang merupakan bisnis yang sangat menarik. Bagaimana tidak, karena klub, pemain, atau penyiar tidak mengalami kerugian sama sekali meskipun harga hak siar menjadi tinggi.
Bayangkan, ketika konsumen tidak mampu membayar mahal untuk menonton Liga Primer, biasanya konsumen akan menyalahkan perusahaan televisi kabel mereka, bukan pemegang hak siar ataupun klub favorit mereka.
Sepakbola adalah Bisnis yang Tidak Normal
Jika kita melihat faktor ekonomi yang bisa menjadi indikator pengeluaran klub, maka kita bisa menggunakan ukuran penjualan, neraca aset, dan return on assets (RoA). RoA adalah rasio laba bersih yang berbanding terbalik dengan keseluruhan aktiva untuk menghasilkan laba.
Rasio ini menunjukan berapa besar laba bersih yang diperoleh perusahaan diukur dari nilai aktivanya,untuk kemudian diproyeksikan ke masa mendatang.Ukuran ini digunakan melihat kemampuan perusahaan menghasilkan laba pada masa-masa mendatang.
Ketika dievaluasi sebagai bisnis normal, Liga Primer diprediksi akan bangkrut dalam dua tahun saja. Ini terlihat sebagai suatu keanehan, karena bukankah klub mendapatkan demikian banyaknya pemasukan dari penjualan pemain dan sponsor?
Alasan utama prediksi tersebut adalah jurang keuntungan yang cukup jauh antara sepakbola dengan perusahaan secara umum. Liga Primer memiliki RoA minus 5% akibat dari tingginya gaji pemain-pemainnya dan juga neraca negatif yang dihasilkan dari ketimpangan transfer masuk dengan transfer keluar.
Ajaibnya, neraca ini sudah menunjukkan nilai yang sama sejak tahun 2009. Lima tahun telah berlalu dan situasi masih belum juga berubah. Para pakar ekonomi juga masih tidak yakin kalau neraca ini akan berubah pada tahun-tahun berikutnya.
Hei! Bukankah tadi dikatakan bahwa evaluasi ini memprediksi Liga Primer akan bangkrut dalam dua tahun ke depan? Berarti seharusnya pada tahun 2011 Liga Primer sudah mengalami kebangkrutan, dong? Namun, kenapa itu tidak terjadi?
Jawabannya adalah....para pakar ekonomi masih belum bisa menjawabnya. Sepakbola sudah menjadi sebuah UFO (unidentified financial object) bukan saja bagi Inggris, bukan saja bagi Eropa juga, tetapi bagi seluruh dunia. Sepakbola benar-benar sebuah "barang" yang ajaib.
Uang Tidak Bisa Membeli Kesuksesan
Secara ilmu dasar ekonomi, terlihat indikasi bahwa kebangkrutan satu liga bisa terjadi di masa depan. Hal ini bisa diawali dengan bangkrutnya beberapa klub di liga tersebut.
Bahkan, liga yang secara finansial tergolong aman, msalnya Jerman atau Prancis, belum tentu kebal dengan risiko finansial tersebut. Kenyataannya, kebangkrutan satu liga dapat menjadi sebuah trigger untuk terjadinya bencana kebangkrutan sistematis yang massal kepada liga-liga lainnya.
Kejadian seperti ini terjadi pada kondisi umum ekonomi di Eropa, ketika, misalnya, ekonomi Yunani yang ambruk bisa berdampak buruk juga juga bagi negara-negara Eropa lainnya.
Dalam kondisi penuh ancaman seperti ini, normalnya investor tidak akan mau berinvestasi. Alasan mereka menaruh uang mungkin hanya untuk mencari kejayaan trofi (glory hunter), untuk membangun landasan dalam berpolitik, atau memang hanya untuk menghambur-hamburkan uang demi memenuhi ego pribadi (sugar daddy).
Isu finansial dari liga-liga besar di Eropa dapat mendemonstrasikan sebuah kebangkrutan sistematis seperti yang juga terjadi pada industri bank. Ini menjadi sangat jelas bahwa perubahan struktural sangat dibutuhkan untuk memodelkan bisnis sepakbola Eropa.
UEFA telah merencanakan sistem “financial fair play” (FFP) yang efeknya belum terlihat sama sekali selain hanya sebagai ancaman-ancaman kosong.
Kenapa Sepakbola Tidak akan Mati? Jadi, apakah benar beberapa liga top di Eropa akan bangkrut dan menghilang pada tahun-tahun mendatang?
Bangkrut mungkin iya, tetapi eksistensi mereka akan tetap ada. Mungkin secara jelasnya beberapa klub akan mulai bangkrut, berkompetisi di tingkat yang lebih rendah, memotong gaji pemain mereka, dan akhirnya hanya memiliki pemain-pemain kelas dua saja.
Glasgow Rangers adalah korban yang paling nyata dari kebangkrutan ini. Selain itu, di Inggris Raya saja masih banyak contoh lainnya seperti Wimbledon (yang akhirnya terpecah dua menjadi MK Dons dan AFC Wimbledon), Leeds United, Aldershot Town, Portsmouth, dan lainnya. Contoh terbaru yang berpotensi mengalami hal serupa adalah Blackpool.
Persoalan selanjutnya adalah, apakah mereka mampu bangkit dan mengais kejayaan lagi. Harapan terbentang lebar tentunya. Rangers sedang bangkit, bahkan Fiorentina yang bangkrut dan sampai bermain di Serie C, sekarang sudah bermain di Serie A kembali dan hampir secara reguler bermain di Eropa.
Memang klub-klub sepakbola bertahan karena beberapa pelanggan mereka yang berlabel “fans” tetap setia seberapa buruk pun produk yang dihasilkan. Bayangkan jika perusahaan sekelas Mercedes-Benz memecat para ahli mereka dan menyewa pekerja biasa-biasa saja untuk menghasilkan mobil yang buruk.
Atau Etihad Airways menyewa supir taksi untuk menerbangkan pesawat mereka. Pemerintah pasti akan menghentikannya dan sebagian besar pelanggan tidak mau berurusan dengan produk-produk buruk.
Namun, tidak demikian dengan sepakbola. Fans akan selalu setia mendukung tim mereka.
Maka dari itu tidak heran jika investor tidak pernah ragu untuk menanamkan modal di klub. Seberapapun risikonya, sepakbola memang seperti zombie: mereka mungkin bisa mati, tetapi mereka akan selamanya menggentayangi kehidupan kita.
Sepakbola Eropa sekarang bukan lagi soal menang, kalah, dan imbang, tetapi juga merambat pada urusan-urusan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Jika merujuk performa satu dekade terakhir, secara keseluruhan, Bundesliga memang berada pada masa kejayaannya, sebagaimana juga perekonomian Jerman sedang berada pada posisi puncak di Eropa.
Namun, ada satu anomali. Sementara pertumbuhan ekonomi di Inggris sedang jatuh, dan ketika pemerintah Inggris melakukan privatisasi sektor kesehatan publik, hal berkebalikan terjadi pada aktivitas transfer klub-klubnya.
Di saat mayoritas negara Eropa mengencangkan ikat pinggang karena krisis finansial, rekor demi rekor pemecahan transfer pemain justru semakin marakpada beberapa musim terakhir ini. Bagaimana ini bisa terjadi?
Pertumbuhan ekonomi di Inggris juga sedang mengalami penurunan, dengan tingkat pengangguran semakin meninggi, danmereka yang terusir dari rumahnya semakin banyak. Padahal, selama ini Inggris selalu merasa “di atas angin” dan kerap merasa lebih tinggi dari negara-negara Eropa lainnya.
Contoh paling nyata dari hal ini adalah Inggris masih memakai mata uangnya sendiri, yaitu poundsterling, ketika negara-negara Eropa lain sudah menggunakan mata uang euro.
Jika dilihat dari pemasukan tiket, Liga Primer Inggris memang yang paling tinggi dibandingkan negara lainnya.Namun, sepakbola Jerman secara struktur lebih mapan dan tahan guncangan.
Klub-klub Jerman berinvestasi sebanyak 100 juta euro per tahun untuk keperluan akademi sepakbola untuk mengembangkan talenta-talenta baru, mengurangi keperluan transfer pemain, dan juga gaji pemain.
Sementara itu, Liga Inggris lebih gemar menunjukkan label “liga terbaik di dunia”-nya dengan menunjukkan taburan pemain-pemain bintang, yang tentunya berasal dari seluruh dunia.
Ketamakan ini seolah memakan Liga Primer hidup-hidup. Jumlah pemain asli Britania Raya (Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara) kalah jauh dibandingkan dengan pemain asing.
Klub-Klub Inggris yang "Loyal"
Musim panas ini tercatat sebagai musim panas yang paling panas dan sibuk sepanjang sejarah klub-klub Liga Primer. Untuk ukuran sebuah negara, sesuai dengan grafik sebelumnya, Inggris sudah menjadi rumah bagi tim-tim olahraga dengan pembayaran tertinggi di dunia.
Sampai musim lalu (bursa transfer Januari 2014), klub-klub Liga Primer menghabiskan 835 juta pound untuk membeli pemain. Patut dicatat, angka-angka ini tidak termasuk gaji pemain.
Sementara yang terbaru, yaitu pada musim panas ini, klub-klub Liga Primer sudah mengeluarkan 901 juta pound untuk mendatangkan 292 pemain. Kemudian jika kita mengerucutkan untuk hanya melihat pemain-pemain yang dibeli mahal saja, dalam 14 tahun terakhir ini Liga Primer sudah mendapatkan kenaikan yang signifikan.
Pemain-pemain dengan harga tinggi (atau bisa didefinisikan sebagai pemain berharga 25 juta euro atau lebih) datang memecahkan rekor demi rekor transfer di Britania Raya.
Pada masa lalu, misalnya, pada masa Denilson menjadi pemain termahal di dunia pada tahun 1998, jarang terlihat transfer pemain-pemain dengan harga tinggi terjadi. Butuh rentang waktu 7 sampai 8 tahun bagi kita untuk melihat pemain dengan harga 25 juta euro.
Namun setidaknya sejak tahun 2008, kita bisa menemukan 5 sampai 7 pemain atau bahkan lebih, yang berpindah klub dengan biaya transfer di atas 25 juta euro.
Untuk melihat bagaimana Liga Primer bertransformasi menjadi tujuan pemain-pemain mahal, kita bisa melihat grafik di atas. Sejak tahun 2008 sampai 2014, banyak pemain mahal yang datang menuju Briania Raya. Sementara yang meninggalkan Britania Raya hanya sedikit saja.
Semua angka di atas mengilustrasikan sesuatu yang aneh, gila, dan tidak bisa diterima secara ilmu ekonomi. Klub-klub Liga Primer dinilai terlalu "loyal" untuk membeli pemain. Mereka sangat boros dan dengan mudahnya bisa mengeluarkan uang banyak untuk mendatangkan seorang pemain sambil mengacaukan pasar pemain se-Eropa, bahkan se-dunia.
Pembenarannya, klub-klub Liga Primer memang bisa mengeluarkan uang sebanyak ini dari hasil sponsor dan pemasukan siaran televisi yang sangat tinggi.
Misalnya saja musim ini.
Pada 2012, Liga Primer mengikat kontrak baru dengan perusahaan televisi BT Group terkait penyiaran Liga Inggris. Nilai kontrak itu mencapai 738 juta pound dengan masa perjanjian sepanjang tiga tahun untuk 38 pekan per musim.
Sementara itu, pemegang kontrak hak siar Liga Inggris terbesar tetap berada di tangan Sky Sports yang telah menyiarkan kompetisi tersebut selama 20 tahun. Sky membayar 2,3 miliar pound untuk menayangkan 116 pertandingan permusim selama tiga musim, mulai dari 2013/2014.
Total dana yang diterima oleh Primer League dari Sky dan BT mencapai 3 miliar pound, atau naik 71% dari kontrak sebelumnya. Ini belum termasuk dengan hak siar internasional, atau hak siar Liga Inggris untuk negara-negara lainnya.
Menurut Deloitte, dari uang televisi tersebut, rata-rata tiap klubnya memperoleh 25 juta pound lebih banyak ketimbang musim lalu, sehingga rata-rata uang yang diterima oleh tiap klub EPLberkisar di angkat 60 juta pound.
Hal inilah yang mendorong Liga Inggris bisa memecahkan rekor transfer pembelian pemain. Di sisi lain, para pemegang hak siar pun tak sia-sia mengeluarkan dana sedemikian banyak.
Misalnya saja BT Group. Mereka berani membayar ratusan juta poundsterling demi untuk mengenalkanproduk baru mereka berupa TV digital. Hal yang sama terjadi nyaris 24 tahun lalu, yaitu ketika Sky Sports menggunakan Primer League untuk mengenalkan TV satelit.
Berkaca pada kesuksesan Sky Sports mempenetrasi pasar Inggris, bukan mustahil kesuksesan yang sama juga dapat diperoleh BT Group.
Ini memang merupakan bisnis yang sangat menarik. Bagaimana tidak, karena klub, pemain, atau penyiar tidak mengalami kerugian sama sekali meskipun harga hak siar menjadi tinggi.
Bayangkan, ketika konsumen tidak mampu membayar mahal untuk menonton Liga Primer, biasanya konsumen akan menyalahkan perusahaan televisi kabel mereka, bukan pemegang hak siar ataupun klub favorit mereka.
Sepakbola adalah Bisnis yang Tidak Normal
Jika kita melihat faktor ekonomi yang bisa menjadi indikator pengeluaran klub, maka kita bisa menggunakan ukuran penjualan, neraca aset, dan return on assets (RoA). RoA adalah rasio laba bersih yang berbanding terbalik dengan keseluruhan aktiva untuk menghasilkan laba.
Rasio ini menunjukan berapa besar laba bersih yang diperoleh perusahaan diukur dari nilai aktivanya,untuk kemudian diproyeksikan ke masa mendatang.Ukuran ini digunakan melihat kemampuan perusahaan menghasilkan laba pada masa-masa mendatang.
Ketika dievaluasi sebagai bisnis normal, Liga Primer diprediksi akan bangkrut dalam dua tahun saja. Ini terlihat sebagai suatu keanehan, karena bukankah klub mendapatkan demikian banyaknya pemasukan dari penjualan pemain dan sponsor?
Alasan utama prediksi tersebut adalah jurang keuntungan yang cukup jauh antara sepakbola dengan perusahaan secara umum. Liga Primer memiliki RoA minus 5% akibat dari tingginya gaji pemain-pemainnya dan juga neraca negatif yang dihasilkan dari ketimpangan transfer masuk dengan transfer keluar.
Ajaibnya, neraca ini sudah menunjukkan nilai yang sama sejak tahun 2009. Lima tahun telah berlalu dan situasi masih belum juga berubah. Para pakar ekonomi juga masih tidak yakin kalau neraca ini akan berubah pada tahun-tahun berikutnya.
Hei! Bukankah tadi dikatakan bahwa evaluasi ini memprediksi Liga Primer akan bangkrut dalam dua tahun ke depan? Berarti seharusnya pada tahun 2011 Liga Primer sudah mengalami kebangkrutan, dong? Namun, kenapa itu tidak terjadi?
Jawabannya adalah....para pakar ekonomi masih belum bisa menjawabnya. Sepakbola sudah menjadi sebuah UFO (unidentified financial object) bukan saja bagi Inggris, bukan saja bagi Eropa juga, tetapi bagi seluruh dunia. Sepakbola benar-benar sebuah "barang" yang ajaib.
Uang Tidak Bisa Membeli Kesuksesan
Secara ilmu dasar ekonomi, terlihat indikasi bahwa kebangkrutan satu liga bisa terjadi di masa depan. Hal ini bisa diawali dengan bangkrutnya beberapa klub di liga tersebut.
Bahkan, liga yang secara finansial tergolong aman, msalnya Jerman atau Prancis, belum tentu kebal dengan risiko finansial tersebut. Kenyataannya, kebangkrutan satu liga dapat menjadi sebuah trigger untuk terjadinya bencana kebangkrutan sistematis yang massal kepada liga-liga lainnya.
Kejadian seperti ini terjadi pada kondisi umum ekonomi di Eropa, ketika, misalnya, ekonomi Yunani yang ambruk bisa berdampak buruk juga juga bagi negara-negara Eropa lainnya.
Dalam kondisi penuh ancaman seperti ini, normalnya investor tidak akan mau berinvestasi. Alasan mereka menaruh uang mungkin hanya untuk mencari kejayaan trofi (glory hunter), untuk membangun landasan dalam berpolitik, atau memang hanya untuk menghambur-hamburkan uang demi memenuhi ego pribadi (sugar daddy).
Isu finansial dari liga-liga besar di Eropa dapat mendemonstrasikan sebuah kebangkrutan sistematis seperti yang juga terjadi pada industri bank. Ini menjadi sangat jelas bahwa perubahan struktural sangat dibutuhkan untuk memodelkan bisnis sepakbola Eropa.
UEFA telah merencanakan sistem “financial fair play” (FFP) yang efeknya belum terlihat sama sekali selain hanya sebagai ancaman-ancaman kosong.
Kenapa Sepakbola Tidak akan Mati? Jadi, apakah benar beberapa liga top di Eropa akan bangkrut dan menghilang pada tahun-tahun mendatang?
Bangkrut mungkin iya, tetapi eksistensi mereka akan tetap ada. Mungkin secara jelasnya beberapa klub akan mulai bangkrut, berkompetisi di tingkat yang lebih rendah, memotong gaji pemain mereka, dan akhirnya hanya memiliki pemain-pemain kelas dua saja.
Glasgow Rangers adalah korban yang paling nyata dari kebangkrutan ini. Selain itu, di Inggris Raya saja masih banyak contoh lainnya seperti Wimbledon (yang akhirnya terpecah dua menjadi MK Dons dan AFC Wimbledon), Leeds United, Aldershot Town, Portsmouth, dan lainnya. Contoh terbaru yang berpotensi mengalami hal serupa adalah Blackpool.
Persoalan selanjutnya adalah, apakah mereka mampu bangkit dan mengais kejayaan lagi. Harapan terbentang lebar tentunya. Rangers sedang bangkit, bahkan Fiorentina yang bangkrut dan sampai bermain di Serie C, sekarang sudah bermain di Serie A kembali dan hampir secara reguler bermain di Eropa.
Memang klub-klub sepakbola bertahan karena beberapa pelanggan mereka yang berlabel “fans” tetap setia seberapa buruk pun produk yang dihasilkan. Bayangkan jika perusahaan sekelas Mercedes-Benz memecat para ahli mereka dan menyewa pekerja biasa-biasa saja untuk menghasilkan mobil yang buruk.
Atau Etihad Airways menyewa supir taksi untuk menerbangkan pesawat mereka. Pemerintah pasti akan menghentikannya dan sebagian besar pelanggan tidak mau berurusan dengan produk-produk buruk.
Namun, tidak demikian dengan sepakbola. Fans akan selalu setia mendukung tim mereka.
Maka dari itu tidak heran jika investor tidak pernah ragu untuk menanamkan modal di klub. Seberapapun risikonya, sepakbola memang seperti zombie: mereka mungkin bisa mati, tetapi mereka akan selamanya menggentayangi kehidupan kita.
0 komentar:
Post a Comment