Pria Sipil Inggris Lolos Menyamar ke Basis Pelatihan Taliban
LONDON — Seorang pria Inggris mungkin menjadi orang sipil Barat pertama yang dapat menyusup ke kamp pelatihan Taliban dan kemudian bisa meloloskan diri untuk menceritakan kisahnya. Cal Sarwar dari Falkirk, Skotlandia, berpura-pura menjadi seorang Muslim yang kecewa dengan memendam kebencian mendalam terhadap Barat yang mau bergabung dengan militan Taliban di wilayah Waziristan di Pakistan barat laut.
Jika penyamarannya terungkap, Sarwar, yang tidak punya pengalaman militer dan pergi tanpa ada dukungan atau rencana untuk melarikan diri, yakin bahwa dia akan langsung dibunuh atau disandera. Namun, dia mendapatkan kepercayaan mereka dan kembali dengan selamat setelah mengalami, apa yang dikatakannya, sebuah lingkungan yang "menakutkan yang terbiasa dengan kekerasan".
Setelah kembali ke Inggris, Sarwar melaporkan pengalamannya itu kepada polisi dan dia telah diwawancarai petugas kontra-terorisme terkait apa yang dilihatnya.
Ketika berbicara tentang misinya yang luar biasa itu, dia mengatakan, "Sejak 9/11, saya menjadi semakin khawatir dengan ancaman terorisme dan, lebih khusus, dengan risiko terhadap keluarga saya sendiri dan anak-anak Inggris yang tidak bersalah lainnya, yang dicuci otaknya oleh kaum ekstremis melalui pemasaran internet yang cerdas."
"Setelah memendam rasa takut itu selama bertahun-tahun, saya punya kesempatan untuk melakukan sesuatu terkait hal itu saat saya pergi ke Pakistan dalam sebuah misi bantuan. Saya tahu bahwa itu merupakan kesempatan terbaik saya untuk memahami bagaimana organisasi teror itu beroperasi dan, dengan bersenjatakan pengetahuan itu, saya ingin mencegah anggota keluarga saya sendiri, teman-teman mereka dan banyak Muslim Inggris lainnya dan kaum non-Muslim terjerumus ke orang-orang jahat itu."
"Setelah melakukan penyelidikan secara diam-diam, saya bertemu seorang penghubung (fixer) Taliban yang mengantarkan saya ke kamp pelatihan. Apa yang saya pelajari, dan apa yang saya lihat, membuat saya ketakutan. Tempat itu bukanlah holiday camp, tetapi saya bisa melihat daya tarik dan kegembiraan dari sudut pandang seorang remaja."
Kelompok militan Taliban muncul awal tahun 1990-an di Pakistan utara dalam kekacauan dan perang saudara menyusul penarikan pasukan Soviet dari Afganistan. Kelompok itu bermula dari sekitar 50 siswa madrasah bersenjata, lalu menyebar ke seluruh Afganistan dengan menumpas panglima perang yang korup dan menindak praktik "bacha bazi", suatu bentuk perbudakan seks anak. Kelompok tersebut memerintah negara itu sebagai Emirat Islam Afganistan dari September 1996 hingga Desember 2001, dengan Kandahar sebagai ibu kota. Kekuasaannya runtuh saat invasi pimpinan AS tahun 2001. Sekarang Taliban memimpin perlawanan terhadap tentara AS.
Sarwar mengatakan, "Tidak ada, sama sekali tidak ada hal, yang mempersiapkan Anda untuk menerima kebrutalan Taliban."
Ia menyaksikan kebrutalan Taliban saat dirinya mengunjungi Pakistan dalam sebuah misi bantuan selama empat minggu bersama The Equality Insaaf Human Rights Foundation tahun 2012. Dalam misinya untuk mendistribusikan paket kebersihan, ia mengunjungi sejumlah panti asuhan dan madrasah di seluruh Punjab dan Pakistan utara, di mana dia mengaku menyaksikan para ulama dan orang yang lebih tua memukuli dan menganiaya anak-anak. Dia menyaksikan anak-anak berusia empat tahun mendapat pemukulan yang kejam, sering karena pelanggaran ringan seperti melihat ke arah yang salah, tidak bisa membacakan ayat Al Quran dengan benar, atau karena berbicara saat shalat. Pemukulan bisa berupa tamparan hingga serangan dengan menggunakan pentungan, tongkat, atau batangan besi.
Menurut dia, sangat lumrah bahwa anak-anak berusia antara empat hingga 16 tahun menderita patah tulang. "Mereka membenarkan pemukulan itu dengan mengklaim bahwa anak-anak belum menjadi Muslim yang "pantas" dan bahwa mereka harus diberi pelajaran," kata Sarwar.
"Ini merupakan budaya di mana pendidikan paksa dan hukuman fisik bergandeng tangan. Ini merupakan budaya di mana anak-anak harus takut terhadap orangtuanya, dan Islam secara umum, dari usia yang sangat muda."
Dia mengatakan, panti asuhan telah menjadi tempat untuk merekrut teroris. Tempat-tempat itu mengambil keuntungan dari kerentanan anak-anak.
Sarwar memutuskan untuk mempelajari lebih lanjut tentang Taliban dan berusaha untuk menyusup ke basis kelompok itu saat berada kota Multan, di wilayah Punjab, Pakistan. Dia berkendara ke utara ke daerah yang dikenal karena link-nya yang kuat dengan Taliban. Dalam beberapa hari, sebuah kesepakatan tercapai dengan seorang pemimpin suku yang mengatur Sarwar bisa bertemu seorang penghubung, mantan tentara Afganistan yang dipanggil Masood, di Lembah Shawal yang berbahaya di Waziristan Utara.
Masood, yang membawa sepucuk pistol, mengawal Sarwar ke pemukiman Taliban di mana dia dicecar oleh seorang pemimpin bersenjata tentang niatnya. "Saya diinterogasi selama 45 menit di bawah pengawasan para penjaganya yang bersenjata, dan saya takut," kata Sarwar. "Orang itu mengatakan, Taliban membutuhkan uang. Maka, saya bilang kepada mereka bahwa saya bisa mengusahakan itu di Inggris buat mereka. Ini hanya trik agar bisa masuk."
Dia diminta untuk kembali keesokan harinya, dan dibawa kembali ke kamp dengan menggunakan kendaraan 4x4 yang dipenuhi pemberontak bersenjata. "Itu adalah satu-satunya kesempatan saya benar-benar yakin bahwa saya akan dibunuh, bahwa saya sedang dibawa pergi ke tengah pegunungan untuk dihabisi secara keji," kata Sarwar.
Namun, dia terkejut. Dia ternyata disambut "dengan tangan terbuka" dan diantar untuk bertemu banyak orang di kamp itu. Dia juga sekilas melihat gudang senjata mereka, sebuah tenda yang penuh dengan tas-tas berisi pistol, senapan serbu Kalashnikov, dan amunisi.
Salah seorang pemimpin di situ mengatakan kepadanya bahwa kamp itu "berjalan baik-baik saja" dan sedang melatih tujuh atau delapan pria Inggris yang berasal dari London.
Sarwar kemudian ditawarkan untuk mengikuti pelatihan di "akademi" itu dengan bayaran 1.000 poundsterling (atau Rp 19,5 juta). Dia diberi tahu bahwa uang itu akan digunakan untuk mendanai fasilitas pelatihan dan membeli komponen pembuatan bom.
Sarwar pura-pura tertarik. Setelah dua hari di sana, dia meninggalkan tempat itu dengan alasan palsu, yaitu untuk mendapatkan uang tunai guna membayar biaya pelatihan. Namun, dia tidak pernah kembali ke sana.
Dia mengatakan, "Tidak bisa dipercaya bahwa saya berhasil bertemu dan kemudian diundang untuk bergabung dengan Taliban hanya dalam tujuh hari. Jika saya bisa melakukan hal itu hanya berdasarkan kemauan dan tanpa penelitian sebelumnya, maka tidak mengherankan bahwa anak-anak muda Inggris direkrut oleh Taliban, ISIS, dan kelompok-kelompok lainnya."
Sarwar mengatakan, pengalamannya itu akan membantu dirinya untuk mencegah anak-anaknya sendiri bergabung dengan sel teror, atau menjadi pelaku teror tunggal (lone wolfs).
Ia memutuskan untuk menulis sebuah laporan yang dibumbui fiksi tentang pengalamannya dalam upaya untuk merangkul lebih banyak orang dan memberikan wawasan tentang cara berpikir kaum teroris.
Buku itu, yang berjudul The Cell, The Wolf & The Faith: They Love Death More Than We Love Life, diterbitkan E&P dan sekarang dijual dalam format cetak dan e-book.
Sarwar memutuskan untuk tidak menggunakan nama samaran dalam menerbitkan bukunya, yang ditulis sebagai sebuah thriller. "Sebagai seorang Muslim, saya tidak sedang mengkritik Islam, agama yang saya anut," katanya. "Naskah (buku) saya telah dibaca oleh banyak sarjana dan ulama dari seluruh dunia Islam dan saya telah diyakinkan bahwa buku saya tidak mengandung unsur-unsur hujatan, penghinaan, atau yang bersifat menghina agama atau keyakinan lain, termasuk Islam. Saya hanya mengecam segelitir umat Islam yang terus-menerus menggunakan nama Islam secara sembarangan dan untuk tujuan politik atau militeristik mereka sendiri."
LONDON — Seorang pria Inggris mungkin menjadi orang sipil Barat pertama yang dapat menyusup ke kamp pelatihan Taliban dan kemudian bisa meloloskan diri untuk menceritakan kisahnya. Cal Sarwar dari Falkirk, Skotlandia, berpura-pura menjadi seorang Muslim yang kecewa dengan memendam kebencian mendalam terhadap Barat yang mau bergabung dengan militan Taliban di wilayah Waziristan di Pakistan barat laut.
Jika penyamarannya terungkap, Sarwar, yang tidak punya pengalaman militer dan pergi tanpa ada dukungan atau rencana untuk melarikan diri, yakin bahwa dia akan langsung dibunuh atau disandera. Namun, dia mendapatkan kepercayaan mereka dan kembali dengan selamat setelah mengalami, apa yang dikatakannya, sebuah lingkungan yang "menakutkan yang terbiasa dengan kekerasan".
Setelah kembali ke Inggris, Sarwar melaporkan pengalamannya itu kepada polisi dan dia telah diwawancarai petugas kontra-terorisme terkait apa yang dilihatnya.
Ketika berbicara tentang misinya yang luar biasa itu, dia mengatakan, "Sejak 9/11, saya menjadi semakin khawatir dengan ancaman terorisme dan, lebih khusus, dengan risiko terhadap keluarga saya sendiri dan anak-anak Inggris yang tidak bersalah lainnya, yang dicuci otaknya oleh kaum ekstremis melalui pemasaran internet yang cerdas."
"Setelah memendam rasa takut itu selama bertahun-tahun, saya punya kesempatan untuk melakukan sesuatu terkait hal itu saat saya pergi ke Pakistan dalam sebuah misi bantuan. Saya tahu bahwa itu merupakan kesempatan terbaik saya untuk memahami bagaimana organisasi teror itu beroperasi dan, dengan bersenjatakan pengetahuan itu, saya ingin mencegah anggota keluarga saya sendiri, teman-teman mereka dan banyak Muslim Inggris lainnya dan kaum non-Muslim terjerumus ke orang-orang jahat itu."
"Setelah melakukan penyelidikan secara diam-diam, saya bertemu seorang penghubung (fixer) Taliban yang mengantarkan saya ke kamp pelatihan. Apa yang saya pelajari, dan apa yang saya lihat, membuat saya ketakutan. Tempat itu bukanlah holiday camp, tetapi saya bisa melihat daya tarik dan kegembiraan dari sudut pandang seorang remaja."
Kelompok militan Taliban muncul awal tahun 1990-an di Pakistan utara dalam kekacauan dan perang saudara menyusul penarikan pasukan Soviet dari Afganistan. Kelompok itu bermula dari sekitar 50 siswa madrasah bersenjata, lalu menyebar ke seluruh Afganistan dengan menumpas panglima perang yang korup dan menindak praktik "bacha bazi", suatu bentuk perbudakan seks anak. Kelompok tersebut memerintah negara itu sebagai Emirat Islam Afganistan dari September 1996 hingga Desember 2001, dengan Kandahar sebagai ibu kota. Kekuasaannya runtuh saat invasi pimpinan AS tahun 2001. Sekarang Taliban memimpin perlawanan terhadap tentara AS.
Sarwar mengatakan, "Tidak ada, sama sekali tidak ada hal, yang mempersiapkan Anda untuk menerima kebrutalan Taliban."
Ia menyaksikan kebrutalan Taliban saat dirinya mengunjungi Pakistan dalam sebuah misi bantuan selama empat minggu bersama The Equality Insaaf Human Rights Foundation tahun 2012. Dalam misinya untuk mendistribusikan paket kebersihan, ia mengunjungi sejumlah panti asuhan dan madrasah di seluruh Punjab dan Pakistan utara, di mana dia mengaku menyaksikan para ulama dan orang yang lebih tua memukuli dan menganiaya anak-anak. Dia menyaksikan anak-anak berusia empat tahun mendapat pemukulan yang kejam, sering karena pelanggaran ringan seperti melihat ke arah yang salah, tidak bisa membacakan ayat Al Quran dengan benar, atau karena berbicara saat shalat. Pemukulan bisa berupa tamparan hingga serangan dengan menggunakan pentungan, tongkat, atau batangan besi.
Menurut dia, sangat lumrah bahwa anak-anak berusia antara empat hingga 16 tahun menderita patah tulang. "Mereka membenarkan pemukulan itu dengan mengklaim bahwa anak-anak belum menjadi Muslim yang "pantas" dan bahwa mereka harus diberi pelajaran," kata Sarwar.
"Ini merupakan budaya di mana pendidikan paksa dan hukuman fisik bergandeng tangan. Ini merupakan budaya di mana anak-anak harus takut terhadap orangtuanya, dan Islam secara umum, dari usia yang sangat muda."
Dia mengatakan, panti asuhan telah menjadi tempat untuk merekrut teroris. Tempat-tempat itu mengambil keuntungan dari kerentanan anak-anak.
Sarwar memutuskan untuk mempelajari lebih lanjut tentang Taliban dan berusaha untuk menyusup ke basis kelompok itu saat berada kota Multan, di wilayah Punjab, Pakistan. Dia berkendara ke utara ke daerah yang dikenal karena link-nya yang kuat dengan Taliban. Dalam beberapa hari, sebuah kesepakatan tercapai dengan seorang pemimpin suku yang mengatur Sarwar bisa bertemu seorang penghubung, mantan tentara Afganistan yang dipanggil Masood, di Lembah Shawal yang berbahaya di Waziristan Utara.
Masood, yang membawa sepucuk pistol, mengawal Sarwar ke pemukiman Taliban di mana dia dicecar oleh seorang pemimpin bersenjata tentang niatnya. "Saya diinterogasi selama 45 menit di bawah pengawasan para penjaganya yang bersenjata, dan saya takut," kata Sarwar. "Orang itu mengatakan, Taliban membutuhkan uang. Maka, saya bilang kepada mereka bahwa saya bisa mengusahakan itu di Inggris buat mereka. Ini hanya trik agar bisa masuk."
Dia diminta untuk kembali keesokan harinya, dan dibawa kembali ke kamp dengan menggunakan kendaraan 4x4 yang dipenuhi pemberontak bersenjata. "Itu adalah satu-satunya kesempatan saya benar-benar yakin bahwa saya akan dibunuh, bahwa saya sedang dibawa pergi ke tengah pegunungan untuk dihabisi secara keji," kata Sarwar.
Namun, dia terkejut. Dia ternyata disambut "dengan tangan terbuka" dan diantar untuk bertemu banyak orang di kamp itu. Dia juga sekilas melihat gudang senjata mereka, sebuah tenda yang penuh dengan tas-tas berisi pistol, senapan serbu Kalashnikov, dan amunisi.
Salah seorang pemimpin di situ mengatakan kepadanya bahwa kamp itu "berjalan baik-baik saja" dan sedang melatih tujuh atau delapan pria Inggris yang berasal dari London.
Sarwar kemudian ditawarkan untuk mengikuti pelatihan di "akademi" itu dengan bayaran 1.000 poundsterling (atau Rp 19,5 juta). Dia diberi tahu bahwa uang itu akan digunakan untuk mendanai fasilitas pelatihan dan membeli komponen pembuatan bom.
Sarwar pura-pura tertarik. Setelah dua hari di sana, dia meninggalkan tempat itu dengan alasan palsu, yaitu untuk mendapatkan uang tunai guna membayar biaya pelatihan. Namun, dia tidak pernah kembali ke sana.
Dia mengatakan, "Tidak bisa dipercaya bahwa saya berhasil bertemu dan kemudian diundang untuk bergabung dengan Taliban hanya dalam tujuh hari. Jika saya bisa melakukan hal itu hanya berdasarkan kemauan dan tanpa penelitian sebelumnya, maka tidak mengherankan bahwa anak-anak muda Inggris direkrut oleh Taliban, ISIS, dan kelompok-kelompok lainnya."
Sarwar mengatakan, pengalamannya itu akan membantu dirinya untuk mencegah anak-anaknya sendiri bergabung dengan sel teror, atau menjadi pelaku teror tunggal (lone wolfs).
Ia memutuskan untuk menulis sebuah laporan yang dibumbui fiksi tentang pengalamannya dalam upaya untuk merangkul lebih banyak orang dan memberikan wawasan tentang cara berpikir kaum teroris.
Buku itu, yang berjudul The Cell, The Wolf & The Faith: They Love Death More Than We Love Life, diterbitkan E&P dan sekarang dijual dalam format cetak dan e-book.
Sarwar memutuskan untuk tidak menggunakan nama samaran dalam menerbitkan bukunya, yang ditulis sebagai sebuah thriller. "Sebagai seorang Muslim, saya tidak sedang mengkritik Islam, agama yang saya anut," katanya. "Naskah (buku) saya telah dibaca oleh banyak sarjana dan ulama dari seluruh dunia Islam dan saya telah diyakinkan bahwa buku saya tidak mengandung unsur-unsur hujatan, penghinaan, atau yang bersifat menghina agama atau keyakinan lain, termasuk Islam. Saya hanya mengecam segelitir umat Islam yang terus-menerus menggunakan nama Islam secara sembarangan dan untuk tujuan politik atau militeristik mereka sendiri."
0 komentar:
Post a Comment