Juragan Fuqing dan Jenderal Kemusuk
“Ya, saya memang antek Soeharto, tapi bukan antek yang jelek,” kata Liem Sioe Liong tanpa sungkan kepada Richard Borsuk, penulis buku Liem Sioe Liong dan Salim Group, Pilar Bisnis Soeharto, beberapa waktu lalu. Selama puluhan tahun, Liem, yang belakangan dikenal sebagai Sudono Salim, menjadi cukong sekaligus kasir yang sangat dermawan bagi Soeharto, keluarganya, dan orang-orang di sekelilingnya.
Om Liem, orang-orang biasa menyapanya, meninggal di Singapura pada Juni 2012. Sahabatnya, mantan presiden Soeharto, mendahuluinya empat tahun sebelumnya. Soeharto, yang pernah begitu lama berkuasa di Indonesia, meninggal pada 27 Januari sembilan tahun lalu.
Sampai akhir hayatnya, Liem dan Soeharto, yang lima tahun lebih muda, masih bersahabat. “Kami sudah seperti saudara,” Liem mengibaratkan. Tak peduli banyak orang mencaci Keluarga Cendana, dia tak pernah bicara jelek soal Soeharto. “Dia orang yang baik hati dan penuh kasih sayang…. Dia membentuk yayasan amal untuk membantu orang.”
Soeharto pun, kendati sangat berkuasa dan ditakuti semua orang, kata Liem, selalu bersikap hormat kepada dia. “Pak Harto selalu berdiri jika saya masuk ruangan. Suatu kali saya berkata, ‘Jangan begitu. Kita hanya berdiri untuk menghormati senior.’ Tapi dia hanya tertawa dan berkata, ‘Saya hanya orang biasa,’” Liem menuturkan.
Ya, saya memang antek Soeharto, tapi bukan antek yang jelek.”
Liem Sioe Liong alias Sudono Salim, pendiri Grup Salim
Sama-sama jarang bicara keras, sama-sama pintar menyimpan perasaan, dan sama-sama percaya hal-hal klenik-lah barangkali yang membuat hubungan mereka sangat awet. Padahal mereka berasal dari dua dunia yang jauh beda. Liem seorang Cina totok, Soeharto orang Jawa. Liem lahir di Fuqing, Provinsi Fujian, Tiongkok. Soeharto lahir di Kemusuk, desa kecil di sebelah barat Kota Yogyakarta.
Mereka memang bersahabat, tapi keduanya juga saling memanfaatkan. Untuk Pak Harto, Om Liem tak pernah mengeluh sekalipun harus merogoh kantongnya dalam-dalam. Ketika pada awal 1990-an Bank Duta, yang sebagian besar sahamnya dimiliki tiga yayasan yang dikendalikan oleh Presiden Soeharto, nyaris bangkrut lantaran salah kelola, Liem, bersama beberapa pengusaha tajir lain, pulalah yang diminta sahabatnya itu untuk saweran menolong bank tersebut.
Pada 4 Oktober 1990, manajemen Bank Duta membuka borok di bank yang dikuasai oleh Yayasan Dharmais, Yayasan Dakab, dan Yayasan Supersemar itu. Total kerugian mereka US$ 419,6 juta atau lebih dari Rp 5 triliun dengan nilai tukar hari ini. Anthoni Salim, putra Liem dan penerus waris utama bisnis Om Liem, mengakui ayahnyalah sponsor utama penyelamatan Bank Duta. “Kami memang kontributor utama,” kata Anthoni belasan tahun kemudian.
Apa yang ayahnya lakukan, kata Anthoni, hanyalah “balas budi” atas semua hal yang telah mereka terima. Grup Salim tumbuh besar, menggurita, dan jadi raksasa, bersama dengan makin kokohnya kekuasaan Presiden Soeharto. Sebelum Soeharto berkuasa di Jalan Medan Merdeka Utara, di Istana Merdeka, Liem memang sudah punya bisnis lumayan.
Dia punya pabrik tekstil dan punya Bank Central Asia (BCA). Tapi dua usaha ini masih kecil. Di Jakarta, nama Liem Sioe Liong nyaris tak terdengar. “Sampai Soeharto berkuasa, Liem bukan siapa-siapa. Dia hanya anak kemarin sore,” Sofjan Wanandi, sesama pengusaha Tionghoa, mengibaratkan usaha Liem kala itu.
Istana tak hanya membuka pintu lebar-lebar bagi Liem dan kelompoknya untuk menguasai penggilingan gandum lewat Bogasari di negeri ini, tapi juga memberikan satu dari dua izin impor cengkeh kepada perusahaan Om Liem. Satu izin impor lainnya dihadiahkan kepada perusahaan milik Probosutedjo, adik tiri Soeharto. Duit dari dua usaha inilah yang jadi fondasi awal gurita bisnis Grup Salim.
* * *
Setelah dua pekan terombang-ambing di atas kapal yang berlayar dari Pelabuhan Xiamen, Tiongkok, Liem Sioe Liong tiba di Tanjung Perak, Surabaya. “Kapal berlabuh di Surabaya pada hari ke-21, bulan ke-7, tahun 1938,” Liem menuturkan kepada Richard Borsuk puluhan tahun kemudian.
Saat itu umurnya baru 21 tahun dan tak bisa berbahasa Indonesia, apalagi bahasa Jawa. Liem menyusul kakaknya, Liem Sioe Hie, yang sudah beberapa tahun tinggal di Kudus, Jawa Tengah. Ada beberapa kerabatnya yang lain, sesama perantau dari Fuqing, yang juga tinggal di Kudus. Selama belasan tahun, kota rokok kretek itu jadi kampung kedua bagi Liem. Seperti para perantau Hokchia lain, Liem juga berdagang dari kampung ke kampung, mengkreditkan barangnya.
Nyonya Ang Tong Seng menuturkan kepada Sori Ersa Siregar, penulis buku Liem Sioe Liong: Dari Futching ke Mancanegara, betapa pintar Liem menjual barang dagangan. Dengan cepat Liem mengumpulkan pelanggan di kampung-kampung di sekitar Kudus. “Waktu itu saya masih muda dan kuat, juga sangat tampan. Para nyonya sepertinya menyukai saya. Saya belajar bahasa Jawa dari mereka,” kata Liem.
Jaringan kenalannya terus melebar hingga ke Semarang. Lewat satu kejadian, Liem bersahabat dengan Hasan Din, ayah Fatmawati dan mertua Presiden Sukarno. Berkat keluwesannya, dia juga menjalin pertemanan dengan kalangan tentara di Semarang. Adalah Sulardi yang memperkenalkan Liem dengan Soeharto, Panglima Divisi Diponegoro yang bermarkas di Semarang.
Sulardi dan adiknya, Sudwikatmono, merupakan saudara sepupu Soeharto. Tak sekadar saudara sepupu, Soeharto lama dititipkan ayahnya di rumah orang tua Sulardi. Ketika Soeharto bergerilya melawan Belanda dan kemudian diangkat sebagai Panglima Diponegoro pada 1950-an, Sulardi-lah yang mengurus logistik prajuritnya. Sulardi banyak berhubungan dengan pedagang Tionghoa, salah satunya Liem Sioe Liong.
“Kakak saya bercerita bahwa ada pemasok barang yang lebih menonjol ketimbang yang lain. Dia ramah dan bersemangat. Namanya Liem…. Pasokan barang dari Liem biasanya yang paling dulu tiba,” kata Sudwikatmono. Kolonel Soeharto pun suka kepada Liem. “Dia selalu bersungguh-sungguh dan tak pernah membohongi kami. Dia bilang bahwa kopi yang dia kirim dicampur dengan jagung. Dia tak berbohong dengan mengatakan bahwa itu kopi asli.”
Saat itu Liem sudah kenal dengan Soeharto dan Sulardi, tapi Soeharto kala itu bukanlah perwira militer dengan kekuasaan besar. Liem, saudara-saudaranya, dan teman kongsinya, Hasan Din, tak mendapatkan banyak manfaat dan fasilitas dari Soeharto hingga sang jenderal menjadi Presiden Indonesia.
“Pada mulanya, usaha kami tak berkembang berdasar rencana, tapi kebutuhan. Saat ada kesempatan bagus, kami hanya menangkapnya,” kata Anthoni Salim dikutip Marleen Dieleman dalam bukunya, The Rhythm of Strategy: A Corporate Biography of the Salim Group of Indonesia. Kebetulan Soeharto membuka banyak “kesempatan bagus” bagi usaha Liem.
Menteri Negara Perumahan Rakyat Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) Akbar Tandjung mengatakan taktik “menempel” Soeharto dan keluarganya bukan cuma Salim yang melakukannya. Menurut Akbar, hal tersebut lumrah dilakukan pelaku usaha pada masa itu.
"Pola serupa juga berlaku bagi pengusaha lainnya. Bukan hanya Liem, pengusaha lain pun diberi kesempatan yang sama untuk mengembangkan bisnis," ujar mantan Ketua Umum Partai Golongan Karya itu kepada detikX beberapa hari lalu. Keluarga Akbar pernah punya hubungan bisnis dengan Liem di perusahaan pembuat susu kemasan Indomilk. Akbar juga berkawan karib dengan Anthoni Salim.
Liem, seperti kata teman-temannya, adalah orang yang pintar mengendus peluang. Tapi tanpa meminjam kuasa Pak Harto, kemungkinan besar bakal lain akhir ceritanya. Dia mungkin tak akan sempat memegang predikat pengusaha paling tajir di Indonesia dan Asia Tenggara.
Saat sahabatnya, Soeharto, dipaksa turun dari kekuasaan, tak ada keluarga Liem yang ada di Indonesia kecuali Anthoni. Om Liem tengah menjalani operasi mata di Amerika Serikat. Ketika situasi Jakarta makin genting, beberapa pekan sebelum Presiden Soeharto mundur, keluarga besar Liem yang tersisa di Jakarta buru-buru “mengungsi” ke Singapura.
Sebagai pengusaha terkaya dan kroni terdekat Keluarga Cendana, keluarga Liem juga ikut kena getah kejatuhan Soeharto. Pada 14 Mei 1998, sepekan sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran diri, sekelompok orang menggeruduk kompleks rumah Om Liem di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Hanya ada Sutoyo, kerabat Liem, bersama beberapa penjaga di rumah itu.
Lewat telepon di kantornya di gedung Indocement, Jalan Jenderal Sudirman, Anthoni minta para penjaga tak melawan. “Lebih baik rumah terbakar daripada ada yang terluka,” kata Anthoni. Gerombolan itu membakar habis satu bagian dari kompleks rumah Liem. Hari itu juga Anthoni memutuskan meninggalkan Indonesia menuju Singapura. Malam-malam dari kantornya, Anthoni ditemani orang kepercayaannya, Benny Santoso, langsung menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Di sana sudah menunggu pesawat Boeing 727.
Soeharto lengser, bisnis Liem di Indonesia ikut berguguran terseret kejatuhan salah satu pilar utama bisnis mereka, BCA. Liem terpaksa menyerahkan ratusan perusahaannya untuk menambal utang BCA kepada pemerintah. Anthoni-lah yang mengendalikan penyelamatan kapal bisnis Liem yang terancam karam dan di kemudian hari memimpin kebangkitan kembali gurita bisnis Grup Salim.
Liem Sioe Liong bukan lagi bos besar Grup Salim, demikian pula Soeharto bukan lagi presiden yang sangat berkuasa. Tapi keduanya masih bersahabat sampai akhir hayat. Setiap kali ke Jakarta, Liem, yang belakangan tinggal di Singapura, acap kali mampir ke Cendana. Pada akhir 2006, Liem bertamu ke rumah Soeharto.
Sugeng Suparwoto, yang dekat dengan Siti Hardijanti Rukmana, putri Soeharto, membenarkan kedatangan Liem tersebut. "Kami mengucap selamat berpisah di pintu," kata Liem kepada Richard Borsuk. "Dan Pak Harto menangis."
“Ya, saya memang antek Soeharto, tapi bukan antek yang jelek,” kata Liem Sioe Liong tanpa sungkan kepada Richard Borsuk, penulis buku Liem Sioe Liong dan Salim Group, Pilar Bisnis Soeharto, beberapa waktu lalu. Selama puluhan tahun, Liem, yang belakangan dikenal sebagai Sudono Salim, menjadi cukong sekaligus kasir yang sangat dermawan bagi Soeharto, keluarganya, dan orang-orang di sekelilingnya.
Om Liem, orang-orang biasa menyapanya, meninggal di Singapura pada Juni 2012. Sahabatnya, mantan presiden Soeharto, mendahuluinya empat tahun sebelumnya. Soeharto, yang pernah begitu lama berkuasa di Indonesia, meninggal pada 27 Januari sembilan tahun lalu.
Sampai akhir hayatnya, Liem dan Soeharto, yang lima tahun lebih muda, masih bersahabat. “Kami sudah seperti saudara,” Liem mengibaratkan. Tak peduli banyak orang mencaci Keluarga Cendana, dia tak pernah bicara jelek soal Soeharto. “Dia orang yang baik hati dan penuh kasih sayang…. Dia membentuk yayasan amal untuk membantu orang.”
Soeharto pun, kendati sangat berkuasa dan ditakuti semua orang, kata Liem, selalu bersikap hormat kepada dia. “Pak Harto selalu berdiri jika saya masuk ruangan. Suatu kali saya berkata, ‘Jangan begitu. Kita hanya berdiri untuk menghormati senior.’ Tapi dia hanya tertawa dan berkata, ‘Saya hanya orang biasa,’” Liem menuturkan.
Ya, saya memang antek Soeharto, tapi bukan antek yang jelek.”
Liem Sioe Liong alias Sudono Salim, pendiri Grup Salim
Sama-sama jarang bicara keras, sama-sama pintar menyimpan perasaan, dan sama-sama percaya hal-hal klenik-lah barangkali yang membuat hubungan mereka sangat awet. Padahal mereka berasal dari dua dunia yang jauh beda. Liem seorang Cina totok, Soeharto orang Jawa. Liem lahir di Fuqing, Provinsi Fujian, Tiongkok. Soeharto lahir di Kemusuk, desa kecil di sebelah barat Kota Yogyakarta.
Mereka memang bersahabat, tapi keduanya juga saling memanfaatkan. Untuk Pak Harto, Om Liem tak pernah mengeluh sekalipun harus merogoh kantongnya dalam-dalam. Ketika pada awal 1990-an Bank Duta, yang sebagian besar sahamnya dimiliki tiga yayasan yang dikendalikan oleh Presiden Soeharto, nyaris bangkrut lantaran salah kelola, Liem, bersama beberapa pengusaha tajir lain, pulalah yang diminta sahabatnya itu untuk saweran menolong bank tersebut.
Pada 4 Oktober 1990, manajemen Bank Duta membuka borok di bank yang dikuasai oleh Yayasan Dharmais, Yayasan Dakab, dan Yayasan Supersemar itu. Total kerugian mereka US$ 419,6 juta atau lebih dari Rp 5 triliun dengan nilai tukar hari ini. Anthoni Salim, putra Liem dan penerus waris utama bisnis Om Liem, mengakui ayahnyalah sponsor utama penyelamatan Bank Duta. “Kami memang kontributor utama,” kata Anthoni belasan tahun kemudian.
Apa yang ayahnya lakukan, kata Anthoni, hanyalah “balas budi” atas semua hal yang telah mereka terima. Grup Salim tumbuh besar, menggurita, dan jadi raksasa, bersama dengan makin kokohnya kekuasaan Presiden Soeharto. Sebelum Soeharto berkuasa di Jalan Medan Merdeka Utara, di Istana Merdeka, Liem memang sudah punya bisnis lumayan.
Dia punya pabrik tekstil dan punya Bank Central Asia (BCA). Tapi dua usaha ini masih kecil. Di Jakarta, nama Liem Sioe Liong nyaris tak terdengar. “Sampai Soeharto berkuasa, Liem bukan siapa-siapa. Dia hanya anak kemarin sore,” Sofjan Wanandi, sesama pengusaha Tionghoa, mengibaratkan usaha Liem kala itu.
Istana tak hanya membuka pintu lebar-lebar bagi Liem dan kelompoknya untuk menguasai penggilingan gandum lewat Bogasari di negeri ini, tapi juga memberikan satu dari dua izin impor cengkeh kepada perusahaan Om Liem. Satu izin impor lainnya dihadiahkan kepada perusahaan milik Probosutedjo, adik tiri Soeharto. Duit dari dua usaha inilah yang jadi fondasi awal gurita bisnis Grup Salim.
* * *
Setelah dua pekan terombang-ambing di atas kapal yang berlayar dari Pelabuhan Xiamen, Tiongkok, Liem Sioe Liong tiba di Tanjung Perak, Surabaya. “Kapal berlabuh di Surabaya pada hari ke-21, bulan ke-7, tahun 1938,” Liem menuturkan kepada Richard Borsuk puluhan tahun kemudian.
Saat itu umurnya baru 21 tahun dan tak bisa berbahasa Indonesia, apalagi bahasa Jawa. Liem menyusul kakaknya, Liem Sioe Hie, yang sudah beberapa tahun tinggal di Kudus, Jawa Tengah. Ada beberapa kerabatnya yang lain, sesama perantau dari Fuqing, yang juga tinggal di Kudus. Selama belasan tahun, kota rokok kretek itu jadi kampung kedua bagi Liem. Seperti para perantau Hokchia lain, Liem juga berdagang dari kampung ke kampung, mengkreditkan barangnya.
Nyonya Ang Tong Seng menuturkan kepada Sori Ersa Siregar, penulis buku Liem Sioe Liong: Dari Futching ke Mancanegara, betapa pintar Liem menjual barang dagangan. Dengan cepat Liem mengumpulkan pelanggan di kampung-kampung di sekitar Kudus. “Waktu itu saya masih muda dan kuat, juga sangat tampan. Para nyonya sepertinya menyukai saya. Saya belajar bahasa Jawa dari mereka,” kata Liem.
Jaringan kenalannya terus melebar hingga ke Semarang. Lewat satu kejadian, Liem bersahabat dengan Hasan Din, ayah Fatmawati dan mertua Presiden Sukarno. Berkat keluwesannya, dia juga menjalin pertemanan dengan kalangan tentara di Semarang. Adalah Sulardi yang memperkenalkan Liem dengan Soeharto, Panglima Divisi Diponegoro yang bermarkas di Semarang.
Sulardi dan adiknya, Sudwikatmono, merupakan saudara sepupu Soeharto. Tak sekadar saudara sepupu, Soeharto lama dititipkan ayahnya di rumah orang tua Sulardi. Ketika Soeharto bergerilya melawan Belanda dan kemudian diangkat sebagai Panglima Diponegoro pada 1950-an, Sulardi-lah yang mengurus logistik prajuritnya. Sulardi banyak berhubungan dengan pedagang Tionghoa, salah satunya Liem Sioe Liong.
“Kakak saya bercerita bahwa ada pemasok barang yang lebih menonjol ketimbang yang lain. Dia ramah dan bersemangat. Namanya Liem…. Pasokan barang dari Liem biasanya yang paling dulu tiba,” kata Sudwikatmono. Kolonel Soeharto pun suka kepada Liem. “Dia selalu bersungguh-sungguh dan tak pernah membohongi kami. Dia bilang bahwa kopi yang dia kirim dicampur dengan jagung. Dia tak berbohong dengan mengatakan bahwa itu kopi asli.”
Saat itu Liem sudah kenal dengan Soeharto dan Sulardi, tapi Soeharto kala itu bukanlah perwira militer dengan kekuasaan besar. Liem, saudara-saudaranya, dan teman kongsinya, Hasan Din, tak mendapatkan banyak manfaat dan fasilitas dari Soeharto hingga sang jenderal menjadi Presiden Indonesia.
“Pada mulanya, usaha kami tak berkembang berdasar rencana, tapi kebutuhan. Saat ada kesempatan bagus, kami hanya menangkapnya,” kata Anthoni Salim dikutip Marleen Dieleman dalam bukunya, The Rhythm of Strategy: A Corporate Biography of the Salim Group of Indonesia. Kebetulan Soeharto membuka banyak “kesempatan bagus” bagi usaha Liem.
Menteri Negara Perumahan Rakyat Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) Akbar Tandjung mengatakan taktik “menempel” Soeharto dan keluarganya bukan cuma Salim yang melakukannya. Menurut Akbar, hal tersebut lumrah dilakukan pelaku usaha pada masa itu.
"Pola serupa juga berlaku bagi pengusaha lainnya. Bukan hanya Liem, pengusaha lain pun diberi kesempatan yang sama untuk mengembangkan bisnis," ujar mantan Ketua Umum Partai Golongan Karya itu kepada detikX beberapa hari lalu. Keluarga Akbar pernah punya hubungan bisnis dengan Liem di perusahaan pembuat susu kemasan Indomilk. Akbar juga berkawan karib dengan Anthoni Salim.
Liem, seperti kata teman-temannya, adalah orang yang pintar mengendus peluang. Tapi tanpa meminjam kuasa Pak Harto, kemungkinan besar bakal lain akhir ceritanya. Dia mungkin tak akan sempat memegang predikat pengusaha paling tajir di Indonesia dan Asia Tenggara.
Saat sahabatnya, Soeharto, dipaksa turun dari kekuasaan, tak ada keluarga Liem yang ada di Indonesia kecuali Anthoni. Om Liem tengah menjalani operasi mata di Amerika Serikat. Ketika situasi Jakarta makin genting, beberapa pekan sebelum Presiden Soeharto mundur, keluarga besar Liem yang tersisa di Jakarta buru-buru “mengungsi” ke Singapura.
Sebagai pengusaha terkaya dan kroni terdekat Keluarga Cendana, keluarga Liem juga ikut kena getah kejatuhan Soeharto. Pada 14 Mei 1998, sepekan sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran diri, sekelompok orang menggeruduk kompleks rumah Om Liem di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Hanya ada Sutoyo, kerabat Liem, bersama beberapa penjaga di rumah itu.
Lewat telepon di kantornya di gedung Indocement, Jalan Jenderal Sudirman, Anthoni minta para penjaga tak melawan. “Lebih baik rumah terbakar daripada ada yang terluka,” kata Anthoni. Gerombolan itu membakar habis satu bagian dari kompleks rumah Liem. Hari itu juga Anthoni memutuskan meninggalkan Indonesia menuju Singapura. Malam-malam dari kantornya, Anthoni ditemani orang kepercayaannya, Benny Santoso, langsung menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Di sana sudah menunggu pesawat Boeing 727.
Soeharto lengser, bisnis Liem di Indonesia ikut berguguran terseret kejatuhan salah satu pilar utama bisnis mereka, BCA. Liem terpaksa menyerahkan ratusan perusahaannya untuk menambal utang BCA kepada pemerintah. Anthoni-lah yang mengendalikan penyelamatan kapal bisnis Liem yang terancam karam dan di kemudian hari memimpin kebangkitan kembali gurita bisnis Grup Salim.
Liem Sioe Liong bukan lagi bos besar Grup Salim, demikian pula Soeharto bukan lagi presiden yang sangat berkuasa. Tapi keduanya masih bersahabat sampai akhir hayat. Setiap kali ke Jakarta, Liem, yang belakangan tinggal di Singapura, acap kali mampir ke Cendana. Pada akhir 2006, Liem bertamu ke rumah Soeharto.
Sugeng Suparwoto, yang dekat dengan Siti Hardijanti Rukmana, putri Soeharto, membenarkan kedatangan Liem tersebut. "Kami mengucap selamat berpisah di pintu," kata Liem kepada Richard Borsuk. "Dan Pak Harto menangis."
0 komentar:
Post a Comment