Kisah Pilu Desa Adat di Lombok yang 'Mati Suri'
Salah satu sudut masjid kuno Desa adat Karang Bayan & Salah satu rumah adat yang terjaga keasliannya di Karang Bayan
Jakarta - Lombok punya banyak desa wisata. Tapi tak semua ceritanya indah, seperti Desa Karang Bayan yang dulunya ramai tapi kini sepi bak mati suri.
Desa Tradisional Karang Bayan, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, NTB pernah menjadi tujuan utama destinasi wisata budaya. Pesatnya arus modernisasi di perkampungan tersebut malah membuat para turis enggan untuk berkunjung lagi.
Menurut Adiawan (33), kerap dipanggil Adi dan merupakan generasi ke-10 dari warga asli Desa Karang Bayan mengakui hal tersebut. Belasan tahun lampau warga merupakan penggarap lahan pertanian dan berladang.
Namun kata Adi, seiring meningkatnya perkembangan wisata di desanya pada tahun 1980-an warga beralih pekerjaannya menjadi pengrajin. Kerajinan tangan seperti pembuatan tas anyaman bambu adalah mata pencaharian dan penghasilan utama masyarakat Karang Bayan pada saat itu.
"Awal dibangun kampung ini adalah peletakan batu pertama (ina-ina) bisa disebut pula batu petilasan. Lalu pembangunan masjid dan rumah. Bangunan tradisional ini yang menjadi daya tarik wisata," kata Adi memulai ceritanya saat ditemui detikTrvael di Desa Karang Bayan, beberapa waktu lalu.
"Pekerjaan orang itu dulunya bertani. Terus masyarakat menjadi pembuat kerjinan. Itu pada tahun 1981 sampai tahun 2000," sambung dia.
Keadaan berubah tatkala meletus Bom Bali. Para wisatawan mancanegara urung datang ke desanya. Kata Adi, turis tersebut takut dengan stigma teroris yang melekat pada pribumi.
Setelah keadaan keamanan berangsur membaik, tapi kata Adi itu tidak diperoleh di desanya. Turis masih enggan datang dikarenakan perubahan yang signifikan terjadi pada bangunan di desanya yang menghilangkan kesan asli masyarakat adat tradisional.
"Para pengrajin bangkrut semenjak Bom Bali. Lalu sekarang warga beralih lagi bertani dan berkebun. Kalau sekarang tamu nggak mau datang bukan alasan bom lagi tapi dari sisi orisinalitasnya yang tidak terjaga. Rumah-rumah berubah menjadi modern," jelas Adi. Adi yang punya kios kerajinan akhirnya gulung tikar dan ia sekarang menjadi pegawai swasta di Kota Mataram.
Menilik pada bangunan adat, sebenarnya masih terdapat 3 bangunan. Namun, satu rumah tersebut sudah dipugar oleh pemerintah karena rawan terhadap bencana alam seperti gempa bumi.
"Seperti wujud masjid ini masih asli dan bisa di bilang berumur 700 tahun. Kalau rumah adat ini sudah dipugar karena tidak kuat jika ada gempa," kata Adi sambil menunjuk bangunan adat yang sudah memakai semen dan mempunyai ukiran yang menunjukkan pemiliknya merupakan golongan terhomat di desa.
"Kalau tangga rumah ini menunjukkan Waktu Telu yaitu kelahiran, dewasa dan kematian. Filosofinya rumah rendah adalah supaya terhindar dari terjangan angin. Selain itu berarti pula jika orang luar bertamu akan langsung menunduk walaupun tanpa mengucap salam terlebih dahulu. Bermakna penghormatan pada masyarakat di sini," urai dia.
Kata Adi, masyarakat percaya jika batu petilasan (ina-ina) merupakan buatan para wali. Masyarakat setempat percaya bahwa petilasan tersebut sampai saat ini ditunggui oleh mahkluk halus. Oelh karenanya wanita yang sedang berhalangan pun tidak boleh mendekat.
"Ada pantangannya di sini itu, bagi perempuan yang sedang berhalangan tidak boleh lewat sini. Hal itu dikarenakan mungkin dekat masjid. Kalau ada perempuan dia jalan lewat sini dan melenceng maka bisa dipastikan dia sedang berhalangan. Para orang tua sangat menghargai sekali tempat ini," ucap Adi.
Selain itu ungkap Adi, dulu masyarakat sekitar percaya pada cerita jika dalam satu rumah adat tinggal lebih dari satu anak laki-laki maka salah satunya akan meninggal. Namun, kata dia hal itu bisa diartikan pada khawatirnya orang tua akan ada perselisihan di antara dua saudara laki-laki itu.
"Hanya perbedaan dari penyampaian antara orang tua dulu dengan generasi sekarang. Mungkin dengan seperti itu lebih efektif agar hanya satu anak laki-laki saja yang tinggal di rumah. Mengajarkan anak untuk merantau dan mandiri juga," jelas Adi.
Rumah adat di Desa Tradisional Karang Bayan saat ini hanya dihuni oleh Merti (95) seorang diri. Ia adalah nenek Adi.
Desa Tradisional Karang Bayan berjarak kurang lebih 15 kilometer dari pusat Kota Mataram atau dapat ditempuh dengan waktu kurang dari sejam perjalanan. Para turis bisa mencapainya dengan kendaraan pribadi karena tidak ada kendaraan umum dan jalan menuju ke desa ini terbilang baik.
Desa ini sejarahnya pernah dijajah oleh Kerajaan Karang Asem Bali. Oleh karenanya walaupun mayoritas berpenduduk muslim, namun sekitar 20 persennya beragama Hindu dan hidup berdampingan dengan damai.
"Kalau untuk barang antik pun masih ada beberapa tapi koleksi pribadi dan jarang dikeluarkan. Namun pada masa PKI dulu beberapa barang tersebut dihancurkan dan dibakar," pungkas Adi.
Sebenarnya, budaya dan adat di Desa Karang Bayan masih menarik dan punya potensi wisata. Sayangnya modernisasi dan kurang perhatian pemerintah setempat mengenai hal tersebut, seolah membuat desa wisata yang cantik ini bak mati suri.
Salah satu sudut masjid kuno Desa adat Karang Bayan & Salah satu rumah adat yang terjaga keasliannya di Karang Bayan
Jakarta - Lombok punya banyak desa wisata. Tapi tak semua ceritanya indah, seperti Desa Karang Bayan yang dulunya ramai tapi kini sepi bak mati suri.
Desa Tradisional Karang Bayan, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, NTB pernah menjadi tujuan utama destinasi wisata budaya. Pesatnya arus modernisasi di perkampungan tersebut malah membuat para turis enggan untuk berkunjung lagi.
Menurut Adiawan (33), kerap dipanggil Adi dan merupakan generasi ke-10 dari warga asli Desa Karang Bayan mengakui hal tersebut. Belasan tahun lampau warga merupakan penggarap lahan pertanian dan berladang.
Namun kata Adi, seiring meningkatnya perkembangan wisata di desanya pada tahun 1980-an warga beralih pekerjaannya menjadi pengrajin. Kerajinan tangan seperti pembuatan tas anyaman bambu adalah mata pencaharian dan penghasilan utama masyarakat Karang Bayan pada saat itu.
"Awal dibangun kampung ini adalah peletakan batu pertama (ina-ina) bisa disebut pula batu petilasan. Lalu pembangunan masjid dan rumah. Bangunan tradisional ini yang menjadi daya tarik wisata," kata Adi memulai ceritanya saat ditemui detikTrvael di Desa Karang Bayan, beberapa waktu lalu.
"Pekerjaan orang itu dulunya bertani. Terus masyarakat menjadi pembuat kerjinan. Itu pada tahun 1981 sampai tahun 2000," sambung dia.
Keadaan berubah tatkala meletus Bom Bali. Para wisatawan mancanegara urung datang ke desanya. Kata Adi, turis tersebut takut dengan stigma teroris yang melekat pada pribumi.
Setelah keadaan keamanan berangsur membaik, tapi kata Adi itu tidak diperoleh di desanya. Turis masih enggan datang dikarenakan perubahan yang signifikan terjadi pada bangunan di desanya yang menghilangkan kesan asli masyarakat adat tradisional.
"Para pengrajin bangkrut semenjak Bom Bali. Lalu sekarang warga beralih lagi bertani dan berkebun. Kalau sekarang tamu nggak mau datang bukan alasan bom lagi tapi dari sisi orisinalitasnya yang tidak terjaga. Rumah-rumah berubah menjadi modern," jelas Adi. Adi yang punya kios kerajinan akhirnya gulung tikar dan ia sekarang menjadi pegawai swasta di Kota Mataram.
Menilik pada bangunan adat, sebenarnya masih terdapat 3 bangunan. Namun, satu rumah tersebut sudah dipugar oleh pemerintah karena rawan terhadap bencana alam seperti gempa bumi.
"Seperti wujud masjid ini masih asli dan bisa di bilang berumur 700 tahun. Kalau rumah adat ini sudah dipugar karena tidak kuat jika ada gempa," kata Adi sambil menunjuk bangunan adat yang sudah memakai semen dan mempunyai ukiran yang menunjukkan pemiliknya merupakan golongan terhomat di desa.
"Kalau tangga rumah ini menunjukkan Waktu Telu yaitu kelahiran, dewasa dan kematian. Filosofinya rumah rendah adalah supaya terhindar dari terjangan angin. Selain itu berarti pula jika orang luar bertamu akan langsung menunduk walaupun tanpa mengucap salam terlebih dahulu. Bermakna penghormatan pada masyarakat di sini," urai dia.
Kata Adi, masyarakat percaya jika batu petilasan (ina-ina) merupakan buatan para wali. Masyarakat setempat percaya bahwa petilasan tersebut sampai saat ini ditunggui oleh mahkluk halus. Oelh karenanya wanita yang sedang berhalangan pun tidak boleh mendekat.
"Ada pantangannya di sini itu, bagi perempuan yang sedang berhalangan tidak boleh lewat sini. Hal itu dikarenakan mungkin dekat masjid. Kalau ada perempuan dia jalan lewat sini dan melenceng maka bisa dipastikan dia sedang berhalangan. Para orang tua sangat menghargai sekali tempat ini," ucap Adi.
Selain itu ungkap Adi, dulu masyarakat sekitar percaya pada cerita jika dalam satu rumah adat tinggal lebih dari satu anak laki-laki maka salah satunya akan meninggal. Namun, kata dia hal itu bisa diartikan pada khawatirnya orang tua akan ada perselisihan di antara dua saudara laki-laki itu.
"Hanya perbedaan dari penyampaian antara orang tua dulu dengan generasi sekarang. Mungkin dengan seperti itu lebih efektif agar hanya satu anak laki-laki saja yang tinggal di rumah. Mengajarkan anak untuk merantau dan mandiri juga," jelas Adi.
Rumah adat di Desa Tradisional Karang Bayan saat ini hanya dihuni oleh Merti (95) seorang diri. Ia adalah nenek Adi.
Desa Tradisional Karang Bayan berjarak kurang lebih 15 kilometer dari pusat Kota Mataram atau dapat ditempuh dengan waktu kurang dari sejam perjalanan. Para turis bisa mencapainya dengan kendaraan pribadi karena tidak ada kendaraan umum dan jalan menuju ke desa ini terbilang baik.
Desa ini sejarahnya pernah dijajah oleh Kerajaan Karang Asem Bali. Oleh karenanya walaupun mayoritas berpenduduk muslim, namun sekitar 20 persennya beragama Hindu dan hidup berdampingan dengan damai.
"Kalau untuk barang antik pun masih ada beberapa tapi koleksi pribadi dan jarang dikeluarkan. Namun pada masa PKI dulu beberapa barang tersebut dihancurkan dan dibakar," pungkas Adi.
Sebenarnya, budaya dan adat di Desa Karang Bayan masih menarik dan punya potensi wisata. Sayangnya modernisasi dan kurang perhatian pemerintah setempat mengenai hal tersebut, seolah membuat desa wisata yang cantik ini bak mati suri.
0 komentar:
Post a Comment