Mengajarkan Keberagaman Budaya di Sekolah Australia
Melbourne - Setiap tahun di Australia diselenggarakan hari Keberagaman Budaya (Multicultural Day) dimana warga di sini menunjukkan asal mereka masing-masing lewat pakaian, budaya, cerita dan yang lainnya. SD Clayton North di Melbourne juga melakukan hal yang sama, dan Agus Mutohar salah seorang orang tua murid asal Indonesia menjelaskan kegiatan tersebut di mana para murid asal Indonesia tampil membawakan angklung.
Realitas keberagaman budaya yang ada di masyarakat bisa memberikan kesempatan yang baik untuk menghargai keunikan masing-masing budaya. Selain itu, keberagaman budaya bisa menjadi tantangan di tengah-tengah masyarakat jika tidak dikelola dengan baik.
Kondisi demografis Australia yang beragam membuat sekolah di Australia menggunakan berbagai kesempatan untuk mengenalkan keberagaman budaya.
Dalam peringatan Harmony day yang telah dirayakan di Australia sejak tahun 1991, sekolah dasar Clayton North (Clayton North Primary School CNPS) mengadakan multicultural week atau minggu multikultural untuk melibatkan siswa dalam membuat suguhan budaya dari berbagai penjuru dunia.
Dalam minggu multicultural ini terdapat dua acara besar yaitu multicultural lunch dimana para orang tua wali murid diwajibkan untuk membuat masakan dari berbagai kultur.
Terlihat beberapa wali murid Indonesia menyuguhkan makanan tradisional seperti sate ayam, tempe goreng serta kue-kue tradisional lainnya.
Latar belakang agama yang berbeda juga tidak menghalangi murid untuk mencicipi berbagai makanan tradisional dari berbagai negara karena pihak sekolah mewajibkan para orang tua untuk memberikan keterangan bahan makanan yang dibuat dan nantinya makanan yang halal akan dijadikan satu dalam satu meja.
Selain itu, pihak sekolah juga mengadakan parade harmony yang menyuguhkan keberagaman budaya dari berbagai negara seperti India, China, Bangladesh, Jepang, Indonesia, dan Australia yang berlangsung pada hari Rabu.
Parade harmoni ini dibuka oleh Mayor Monash yang menyampaikan tentang pentingnya mengelola keberagaman di masyarakat.
"Menghadirkan berbagai budaya sangat penting sebagai sarana mengelola kohesi sosial di kota monash yang ditinggali penduduk yang berasal dari lebih dari 48 negara dan lebih dari 39 persen penduduk Monash lahir di manca negara", papar Rebecca Paterson
Sebagian orang tua murid Indonesia, mahasiswa Indonesia, dan siswa CNPS tampil dalam parade budaya ini. Mereka menampilan pertunjukan angklung yang membawakan lagu Tanah Airku dan Twinkle-twinkle little star.
Para guru, murid, dan masyarakat yang menyaksikan pertunjukan tersebut tampak larut dalam alunan musik angklung yang dibawakan oleh 25 orang ini.
"Pertunjukan angklung yang kami inisiasi beberapa waktu lalu ini merupakan sarana untuk mempromosikan budaya Indonesia di Australia sekaligus mengobati kerinduan akan tanah air", jelas Hadi Hajrianto, inisiator pertunjukan angklung yang juga kandidat doktor Information technology, Monash University.
Pada parade multikultural ini, semua siswa juga diajak oleh pihak sekolah untuk mengenakan pakaian tradisional mereka.
Tampak beberapa siswa yang berasal dari Indonesia mengenakan batik.
Di tengah-tengah merebaknya diskriminasi di berbagai negara, acara-acara seperti multicultural week ini memiliki peran penting untuk mengenalkan keragaman etnik dan budaya dunia.
Para siswa yang sudah terbiasa dengan keragaman budaya, tentu akan lebih mudah menerima orang lain yang berbeda dan mudah beradaptasi di lingkungan yang baru.
Sekolah seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai lembaga pendidikan yang kaku yang terdiri dari dari aturan, menajemen sekolah, tenaga pendidik, dan peserta didik.
Sebagai bagian dari struktur masyarakat, sekolah perlu turut serta dalam menghadirkan realitas sosial yang beragam lewat berbagai kegiatan di sekolah sebagai upaya menghindari konflik sosial di masyarakat.
* Agus Mutohar, Penerima beasiswa LPDP dan Kandidat doktor bidang pendidikan di Monash University, Australia.
Melbourne - Setiap tahun di Australia diselenggarakan hari Keberagaman Budaya (Multicultural Day) dimana warga di sini menunjukkan asal mereka masing-masing lewat pakaian, budaya, cerita dan yang lainnya. SD Clayton North di Melbourne juga melakukan hal yang sama, dan Agus Mutohar salah seorang orang tua murid asal Indonesia menjelaskan kegiatan tersebut di mana para murid asal Indonesia tampil membawakan angklung.
Realitas keberagaman budaya yang ada di masyarakat bisa memberikan kesempatan yang baik untuk menghargai keunikan masing-masing budaya. Selain itu, keberagaman budaya bisa menjadi tantangan di tengah-tengah masyarakat jika tidak dikelola dengan baik.
Kondisi demografis Australia yang beragam membuat sekolah di Australia menggunakan berbagai kesempatan untuk mengenalkan keberagaman budaya.
Dalam peringatan Harmony day yang telah dirayakan di Australia sejak tahun 1991, sekolah dasar Clayton North (Clayton North Primary School CNPS) mengadakan multicultural week atau minggu multikultural untuk melibatkan siswa dalam membuat suguhan budaya dari berbagai penjuru dunia.
Dalam minggu multicultural ini terdapat dua acara besar yaitu multicultural lunch dimana para orang tua wali murid diwajibkan untuk membuat masakan dari berbagai kultur.
Terlihat beberapa wali murid Indonesia menyuguhkan makanan tradisional seperti sate ayam, tempe goreng serta kue-kue tradisional lainnya.
Latar belakang agama yang berbeda juga tidak menghalangi murid untuk mencicipi berbagai makanan tradisional dari berbagai negara karena pihak sekolah mewajibkan para orang tua untuk memberikan keterangan bahan makanan yang dibuat dan nantinya makanan yang halal akan dijadikan satu dalam satu meja.
Selain itu, pihak sekolah juga mengadakan parade harmony yang menyuguhkan keberagaman budaya dari berbagai negara seperti India, China, Bangladesh, Jepang, Indonesia, dan Australia yang berlangsung pada hari Rabu.
Parade harmoni ini dibuka oleh Mayor Monash yang menyampaikan tentang pentingnya mengelola keberagaman di masyarakat.
"Menghadirkan berbagai budaya sangat penting sebagai sarana mengelola kohesi sosial di kota monash yang ditinggali penduduk yang berasal dari lebih dari 48 negara dan lebih dari 39 persen penduduk Monash lahir di manca negara", papar Rebecca Paterson
Sebagian orang tua murid Indonesia, mahasiswa Indonesia, dan siswa CNPS tampil dalam parade budaya ini. Mereka menampilan pertunjukan angklung yang membawakan lagu Tanah Airku dan Twinkle-twinkle little star.
Para guru, murid, dan masyarakat yang menyaksikan pertunjukan tersebut tampak larut dalam alunan musik angklung yang dibawakan oleh 25 orang ini.
"Pertunjukan angklung yang kami inisiasi beberapa waktu lalu ini merupakan sarana untuk mempromosikan budaya Indonesia di Australia sekaligus mengobati kerinduan akan tanah air", jelas Hadi Hajrianto, inisiator pertunjukan angklung yang juga kandidat doktor Information technology, Monash University.
Pada parade multikultural ini, semua siswa juga diajak oleh pihak sekolah untuk mengenakan pakaian tradisional mereka.
Tampak beberapa siswa yang berasal dari Indonesia mengenakan batik.
Di tengah-tengah merebaknya diskriminasi di berbagai negara, acara-acara seperti multicultural week ini memiliki peran penting untuk mengenalkan keragaman etnik dan budaya dunia.
Para siswa yang sudah terbiasa dengan keragaman budaya, tentu akan lebih mudah menerima orang lain yang berbeda dan mudah beradaptasi di lingkungan yang baru.
Sekolah seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai lembaga pendidikan yang kaku yang terdiri dari dari aturan, menajemen sekolah, tenaga pendidik, dan peserta didik.
Sebagai bagian dari struktur masyarakat, sekolah perlu turut serta dalam menghadirkan realitas sosial yang beragam lewat berbagai kegiatan di sekolah sebagai upaya menghindari konflik sosial di masyarakat.
* Agus Mutohar, Penerima beasiswa LPDP dan Kandidat doktor bidang pendidikan di Monash University, Australia.
0 komentar:
Post a Comment