Perpisahan Yang Ditolak Allah
Kisah inspiratif yang menyentuh seringkali muncul tak terduga, di saat-saat yang sepertinya biasa saja. Beberapa waktu lalu, ketika sedang menunggu, seorang bapak tua membagikan ceritanya kepada salah seorang tim Vemale. Sebut saja namanya pak Alif, usianya sudah menjelang 80 tahun tetapi badannya masih tegap dan pandangan matanya tajam penuh damai. Kisah yang dituturkan setelahnya membuat Vemale tertegun sesaat, mengagumi cara Allah menyatakan takdir manusia. Berikut ini kami tuliskan kembali seperti bagaimana beliau menuturkannya.
***
Saya dilahirkan dari keluarga yang religius, orang tua saya pemuka agama di pinggiran kota Bandung. Setelah lulus kuliah saya mendedikasikan hidup untuk melayani masyarakat di banyak kegiatan sosial, sama seperti pekerjaan orang tua saya. Saya masih sangat muda ketika orang tua menikahkan saya dengan gadis pilihan mereka, yang kebetulan juga gadis idaman saya, seorang wanita dari Medan, cantik parasnya dan rendah hati.
"Kami terbiasa untuk selalu kelihatan rukun meski sebenarnya kami tidak pernah bicara satu dengan yang lain."
Setelah menikah kami pindah ke Medan. Di sana kami dikenal sebagai keluarga pemuka agama muda. Saya sehari-harinya melayani penduduk setempat di bidang sosial kemasyarakatan dan banyak dipanggil orang ke sana ke mari untuk memberikan ceramah, mulai dari komunitas di Banjarmasin, Gorontalo, bahkan sampai ke luar negeri. Saya sering dipanggil berceramah Sydney, London, bahkan Copenhagen, L.A. dan New York. Begitu sibuknya saya sampai-sampai tidak mengenal istri saya. Dari situ mahligai pernikahan kami mulai diterpa badai, kami seperti dua orang asing yang tidur seranjang dan tidak pernah ada komunikasi. Hanya menutup mata dan bangun sambil saling tidak peduli.
Di luar banyak orang menilai kami berdua adalah pasangan yang harmonis dan penuh kasih sayang, tetapi sesungguhnya kami hanya berakting karena posisi kami sebagai pemuka agama yang cukup terpandang. Kami terbiasa untuk selalu kelihatan rukun meski sebenarnya kami tidak pernah bicara satu dengan yang lain. Suatu hari kami sepakat untuk berpisah, karena kami merasa tidak harmonis lagi. Pernikahan kami tidak dikaruniai anak, banyak orang mengira itu penyebabnya, tetapi bukan karena itu kami berpisah. Perpisahan ini semata-mata karena kami berdua sudah tidak tahan satu dengan yang lain. Hati saya sebenarnya tidak mau cerai karena buat agama saya, perceraian adalah tidak mungkin karena apa yang disatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Istri saya pun demikian, dia tidak siap dengan perceraian apalagi kami berdua adalah pemuka agama. Tetapi semua tidak dapat dielakkan. Delapan tahun usia pernikahan kami ketika kami berpisah.
***
Saya kembali ke Bandung setelah perceraian itu, pelan-pelan saya mulai membangun kredibilitas saya dan mulai aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan lagi. Beberapa tahun kemudian saya bertemu seorang wanita keturunan Cina asal Semarang dan kami menikah. Tetapi perkawinan ini tidak bertahan lama, hanya 3 tahun karena istri saya dipanggil Tuhan.
Saya dengar mantan istri saya di Medan juga menikah lagi dengan seorang pengusaha. Setelah itu saya tidak pernah lagi menerima kabar mengenai dirinya, tidak tahu dia di mana, tidak tahu bagaimana keadaannya. Bertahun-tahun saya sendiri, saya tidak punya hasrat untuk menikah lagi.
....suatu pagi, di tahun 1975, saat usia saya menjelang 45 tahun, saya menerima sebuah undangan dari orang yang tidak saya kenal untuk berceramah di Beijing, Cina. Di tahun itu Cina adalah negara yang benar-benar anti agama, dan saya agak ngeri berangkat ke sana. Saya bergejolak antara berangkat atau tidak, tetapi akhirnya saya putuskan berangkat. Saya diundang untuk berceramah di depan keluarga kaya raya asal Medan yang tinggal ibunya meninggal dan dimakamkan di Beijing. Mereka sedang yang memperingati 1 tahun kematian ibu mereka.
Acaranya diadakan di tempat pemakaman, yang jauh dari mana-mana. Setelah menjalankan tugas, saya merenung. Orang-orang semua sudah jalan kembali ke mobil, saya masih tetap berdiri di depan makam sang ibu itu. Saya bertanya-tanya mengapa saya ada di sini, di tempat yang jauh, diundang oleh orang yang tidak saya kenal. Mereka bisa mencari penceramah lain, tidak harus saya.
"Kami yakin ini semua adalah rencana-Nya karena Allah tidak setuju dengan perceraian."
Kemudian samar-samar saya melihat ada wanita di kejauhan sedang berdiri di depan sebuah makam. Saya tergerak untuk berjalan mendekat. Jaraknya cukup jauh, mungkin 300-an meter dari tempat saya berdiri. Ketika semakin dekat, saya dengar wanita tersebut menangis. Saya tidak bisa bicara dalam bahasa Mandarin, jadi saya menyapanya dengan bahasa Inggris:
"Madam, why are you crying alone here? Anything I can help?"
Wanita itu diam tertunduk sambil menutup mukanya dengan sapu tangan. Saya merasa iba melihatnya sendirian di tempat itu. Kemudian.. Alangkah terkejutnya saya ketika wanita itu mengangkat kepalanya! Dia melihat saya dengan tertegun juga.. Dia adalah mantan istri saya yang sudah 11 tahun tidak pernah bertemu dan entah bagaimana kami bisa bertemu di tempat yang asing dan tidak lazim seperti ini.
Saat itu juga hati saya bergetar. Saya tahu ini rencana Tuhan, mempertemukan saya kembali dengan dia. Saya langsung mencecarnya dengan banyak pertanyaan,
"Mengapa kamu di sini? Apa yang kamu kerjakan? Siapa yang meninggal?"
"Suamiku. Suamiku meninggal beberapa tahun lalu saat bertugas di Beijing. Aku datang ke sini berziarah."
Hati saya semakin berdegup kencang, saya benar-benar yakin kalau kami memang dipertemukan kembali. Kami berbincang-bincang beberapa lama dan dia pun merasakan apa yang saya rasakan. Saya mengajaknya pulang bersama-sama dengan rombongan saya, dan sepanjang jalan kami bercerita pengalaman kami selama 11 tahun terakhir.
***
Sepulang dari Beijing, kami memutuskan untuk menikah lagi. Kami merasa bahwa Allah telah mempertemukan kami kembali. Kami yakin ini semua adalah rencana-Nya karena Allah tidak setuju dengan perceraian.
Sampai hari ini usia pernikahan kami yang kedua sudah 37 tahun, usia saya sudah 82 tahun. Sungguh pernikahan yang sangat indah, kami benar-benar hidup dalam keharmonisan dan cinta kasih yang mendalam.
Kami semakin percaya, bahwa apa yang disatukan oleh Allah tidak bisa diceraikan oleh manusia...
Kisah inspiratif yang menyentuh seringkali muncul tak terduga, di saat-saat yang sepertinya biasa saja. Beberapa waktu lalu, ketika sedang menunggu, seorang bapak tua membagikan ceritanya kepada salah seorang tim Vemale. Sebut saja namanya pak Alif, usianya sudah menjelang 80 tahun tetapi badannya masih tegap dan pandangan matanya tajam penuh damai. Kisah yang dituturkan setelahnya membuat Vemale tertegun sesaat, mengagumi cara Allah menyatakan takdir manusia. Berikut ini kami tuliskan kembali seperti bagaimana beliau menuturkannya.
***
Saya dilahirkan dari keluarga yang religius, orang tua saya pemuka agama di pinggiran kota Bandung. Setelah lulus kuliah saya mendedikasikan hidup untuk melayani masyarakat di banyak kegiatan sosial, sama seperti pekerjaan orang tua saya. Saya masih sangat muda ketika orang tua menikahkan saya dengan gadis pilihan mereka, yang kebetulan juga gadis idaman saya, seorang wanita dari Medan, cantik parasnya dan rendah hati.
"Kami terbiasa untuk selalu kelihatan rukun meski sebenarnya kami tidak pernah bicara satu dengan yang lain."
Setelah menikah kami pindah ke Medan. Di sana kami dikenal sebagai keluarga pemuka agama muda. Saya sehari-harinya melayani penduduk setempat di bidang sosial kemasyarakatan dan banyak dipanggil orang ke sana ke mari untuk memberikan ceramah, mulai dari komunitas di Banjarmasin, Gorontalo, bahkan sampai ke luar negeri. Saya sering dipanggil berceramah Sydney, London, bahkan Copenhagen, L.A. dan New York. Begitu sibuknya saya sampai-sampai tidak mengenal istri saya. Dari situ mahligai pernikahan kami mulai diterpa badai, kami seperti dua orang asing yang tidur seranjang dan tidak pernah ada komunikasi. Hanya menutup mata dan bangun sambil saling tidak peduli.
Di luar banyak orang menilai kami berdua adalah pasangan yang harmonis dan penuh kasih sayang, tetapi sesungguhnya kami hanya berakting karena posisi kami sebagai pemuka agama yang cukup terpandang. Kami terbiasa untuk selalu kelihatan rukun meski sebenarnya kami tidak pernah bicara satu dengan yang lain. Suatu hari kami sepakat untuk berpisah, karena kami merasa tidak harmonis lagi. Pernikahan kami tidak dikaruniai anak, banyak orang mengira itu penyebabnya, tetapi bukan karena itu kami berpisah. Perpisahan ini semata-mata karena kami berdua sudah tidak tahan satu dengan yang lain. Hati saya sebenarnya tidak mau cerai karena buat agama saya, perceraian adalah tidak mungkin karena apa yang disatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Istri saya pun demikian, dia tidak siap dengan perceraian apalagi kami berdua adalah pemuka agama. Tetapi semua tidak dapat dielakkan. Delapan tahun usia pernikahan kami ketika kami berpisah.
***
Saya kembali ke Bandung setelah perceraian itu, pelan-pelan saya mulai membangun kredibilitas saya dan mulai aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan lagi. Beberapa tahun kemudian saya bertemu seorang wanita keturunan Cina asal Semarang dan kami menikah. Tetapi perkawinan ini tidak bertahan lama, hanya 3 tahun karena istri saya dipanggil Tuhan.
Saya dengar mantan istri saya di Medan juga menikah lagi dengan seorang pengusaha. Setelah itu saya tidak pernah lagi menerima kabar mengenai dirinya, tidak tahu dia di mana, tidak tahu bagaimana keadaannya. Bertahun-tahun saya sendiri, saya tidak punya hasrat untuk menikah lagi.
....suatu pagi, di tahun 1975, saat usia saya menjelang 45 tahun, saya menerima sebuah undangan dari orang yang tidak saya kenal untuk berceramah di Beijing, Cina. Di tahun itu Cina adalah negara yang benar-benar anti agama, dan saya agak ngeri berangkat ke sana. Saya bergejolak antara berangkat atau tidak, tetapi akhirnya saya putuskan berangkat. Saya diundang untuk berceramah di depan keluarga kaya raya asal Medan yang tinggal ibunya meninggal dan dimakamkan di Beijing. Mereka sedang yang memperingati 1 tahun kematian ibu mereka.
Acaranya diadakan di tempat pemakaman, yang jauh dari mana-mana. Setelah menjalankan tugas, saya merenung. Orang-orang semua sudah jalan kembali ke mobil, saya masih tetap berdiri di depan makam sang ibu itu. Saya bertanya-tanya mengapa saya ada di sini, di tempat yang jauh, diundang oleh orang yang tidak saya kenal. Mereka bisa mencari penceramah lain, tidak harus saya.
"Kami yakin ini semua adalah rencana-Nya karena Allah tidak setuju dengan perceraian."
Kemudian samar-samar saya melihat ada wanita di kejauhan sedang berdiri di depan sebuah makam. Saya tergerak untuk berjalan mendekat. Jaraknya cukup jauh, mungkin 300-an meter dari tempat saya berdiri. Ketika semakin dekat, saya dengar wanita tersebut menangis. Saya tidak bisa bicara dalam bahasa Mandarin, jadi saya menyapanya dengan bahasa Inggris:
"Madam, why are you crying alone here? Anything I can help?"
Wanita itu diam tertunduk sambil menutup mukanya dengan sapu tangan. Saya merasa iba melihatnya sendirian di tempat itu. Kemudian.. Alangkah terkejutnya saya ketika wanita itu mengangkat kepalanya! Dia melihat saya dengan tertegun juga.. Dia adalah mantan istri saya yang sudah 11 tahun tidak pernah bertemu dan entah bagaimana kami bisa bertemu di tempat yang asing dan tidak lazim seperti ini.
Saat itu juga hati saya bergetar. Saya tahu ini rencana Tuhan, mempertemukan saya kembali dengan dia. Saya langsung mencecarnya dengan banyak pertanyaan,
"Mengapa kamu di sini? Apa yang kamu kerjakan? Siapa yang meninggal?"
"Suamiku. Suamiku meninggal beberapa tahun lalu saat bertugas di Beijing. Aku datang ke sini berziarah."
Hati saya semakin berdegup kencang, saya benar-benar yakin kalau kami memang dipertemukan kembali. Kami berbincang-bincang beberapa lama dan dia pun merasakan apa yang saya rasakan. Saya mengajaknya pulang bersama-sama dengan rombongan saya, dan sepanjang jalan kami bercerita pengalaman kami selama 11 tahun terakhir.
***
Sepulang dari Beijing, kami memutuskan untuk menikah lagi. Kami merasa bahwa Allah telah mempertemukan kami kembali. Kami yakin ini semua adalah rencana-Nya karena Allah tidak setuju dengan perceraian.
Sampai hari ini usia pernikahan kami yang kedua sudah 37 tahun, usia saya sudah 82 tahun. Sungguh pernikahan yang sangat indah, kami benar-benar hidup dalam keharmonisan dan cinta kasih yang mendalam.
Kami semakin percaya, bahwa apa yang disatukan oleh Allah tidak bisa diceraikan oleh manusia...
0 komentar:
Post a Comment