Suatu hari saya naik bis dari Surabaya menuju ke Malang. Saat itu saya sangat mengantuk, sebab baru selesai memberi rekoleksi pada murid-murid sebuah SMA swasta di Prigen. Pada malam terakhir rekoleksi, anak-anak tidak mau tidur pada jamnya. Mereka ingin begadang sambil mengobrol berbagai macam topik.
Saya pikir ini adalah kesempatan untuk memasukkan ajaran Gereja secara lebih mendalam, sebab menjawab berbagai macam pertanyaan kongkrit tentang masalah remaja. Maka dengan makan kacang dan kue-kue yang mereka bawa, kami ngobrol sampai nyaris pagi.
Ketika naik bis, saya berharap bisa langsung tidur. Kebetulan ada tempat kosong, maka langsung saya duduk dengan harapan tidak akan ada orang yang duduk di sebelah saya. Apalagi orang yang ingin mengajak ngobrol.
Saya ingin segera memejamkan mata. Tapi, beberapa saat sebelum bis berangkat, seorang bapak duduk di sebelah saya.
Bapak ini berpakaian sangat rapi. Baju putih lengan panjang, dipadu dengan celana coklat kehitaman. Sebuah tas yang cukup bagus ada dalam genggamannya. Usia bapak ini kira-kira 50 tahun. Saya menduga dia seorang eksekutif atau pegawai yang telah punya kedudukan lumayan. Pendek kata penampilannya jauh sangat rapi dan perlente, sangat berbeda dengan saya yang hanya memakai blue jeans, kaos oblong dan bersandal jepit.
Setelah melirik sejenak padanya, saya bersiap memejamkan mata, sebab pria disebelah saya tampaknya juga tidak ingin diganggu. Dia mulai membaca koran yang dibawanya.
"Koran kok isinya hanya tentang kekerasan," katanya seperti mengeluh.
"Apakah sudah tidak ada kasih di dunia ini?" tanyanya pada saya.
Sebagai basa basi saya hanya tersenyum. Saya malas untuk menjawab, sebab mata sudah tidak bisa diajak kompromi.
"Apakah mahasiswa itu tidak bosan mengadakan demonstrasi?" tanyanya lagi.
Sekali lagi saya hanya tersenyum.
"Adik ini kuliah atau sudah kerja?" Mau tidak mau saya harus menjawab pertanyaan ini.
"Saya masih kuliah, Pak," jawab saya singkat.
"Dimana?" tanyanya mendesak.
"Malang" jawab saya singkat lagi.
Saya berharap orang itu tidak bertanya-tanya lagi. Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ternyata dia tidak berhenti bicara. Dia bicara lagi yang isinya nasehat-nasehat agar saya tidak ikut-ikutan demonstrasi dan melakukan kejahatan. Saya terpaksa mendengarkan dan sebentar-sebentar menganggukkan kepala menyetujui semua pendapatnya. Dengan harapan dia merasa puas.
Tampaknya dia pun senang melihat saya setuju dengan pendapatnya.
Sesaat bapak itu diam, tiba-tiba dia bertanya lagi.
"Maaf dik, kalau boleh tahu adik ini beragama apa?"
"Katolik."
"Oh...... Katolik," serunya dengan menantapku lebih seksama.
"Kalau saya seorang gembala jemaat Kristen." Dia lalu mengulurkan tangannya.Saya pun menjabat uluran tangannya.
"Dik, maaf ya," katanya setelah berhenti sejenak.
"Mengapa orang Katolik memuja Maria?"
"Entahlah, Pak," jawab saya seenaknya saja.
"Apa adik tidak pernah berdoa pada Maria?"
"Sering."
"Mengapa berdoa saja harus berbelit-belit. Melalui birokrasi yang panjang."
"Maksud bapak?" tanya saya bodoh.
"Kan seharusnya orang berdoa langsung saja pada Yesus, mengapa harus melalui Maria baru ke Yesus?" tanyanya mempertegas.
Sebetulnya saya enggan berdiskusi soal iman seperti ini, sebab biasanya diskusi seperti ini tidak menemukan kata akhir. Semua akan bertahan pada pendapatnya dan hanya mencari pembenaran bagi apa yang diyakininya.
Bagi saya iman itu tidak perlu didiskusikan. Iman itu dijalani, diaktualisasikan dalam hidup. Selain itu, percuma saya berbicara tentang Maria, kalau orang yang saya ajak bicara sudah tidak percaya bahkan menolak peran Maria.
"Ya memang orang Katolik bodoh," jawab saya seenaknya. Saya berharap bapak ini puas dan tidak tanya-tanya lagi. Tapi dugaan saya salah.
Bapak ini seperti mendapat angin. Dia semakin bersemangat untuk menjelekkan Maria. Dia mencoba meyakinkan saya bahwa ajaran Katolik salah.
Lama-lama saya jengkel juga mendengar bapak ini dengan seenaknya menjelekkan Maria.
"Pak," kata saya tenang. "Apakah di Gereja bapak ada kebiasaan, misalnya ada jemaat yang sakit, lalu dia meminta tolong agar pendeta mendoakannya?"
"Ada," jawabnya cepat, "Jika ada jemaat saya yang sakit, maka saya dengan beberapa jemaat mengunjunginya. Lalu kami berdoa mohon kesembuhan baginya."
"Misalnya, Pak," tanya saya mencoba mencari ketegasan, "Jika saya adalah salah satu jemaat bapak, bolehkah saya mengatakan, Pak Pendeta, tolong doakan saya, sebab saya sedang dalam kesulitan."
"Ya... ya.... bisa saja," jawabnya dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Saya tersenyum. Jebakan yang saya buat ternyata cukup bagus, sehingga bapak tua ini masuk dalam perangkap.
"Pak," kata saya perlahan, tapi tegas, "Jemaat bapak jauh lebih to*** dari pada umat Katolik!"
Bapak disamping saya itu tampak terkejut dan marah.
"Seandainya Yesus duduk di depan sana," kata saya cepat dengan menunjuk pada sopir, "Lalu bapak datang dengan membawa permohonan dari jemaat bapak dan Maria juga datang dengan membawa permohonan saya.
Permohonan siapakah kira-kira yang akan dikabulkan oleh Yesus?
Apakah permohonan bapak?
Apakah bapak lebih hebat dari ibu-Nya?"
Bapak di sebelah saya itu semakin tampak jengkel dengan perkataan saya.
Tapi sebelum dia bicara langsung saya cecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. "Siapakah yang memaksa Yesus untuk membuat mujijat di Kana? Maria, Pak!
Siapakah yang setia pada Yesus sampai di bawah kaki salib? Maria, Pak!" kata saya dengan nada yang semakin meninggi,
"Tapi siapakah yang menyalibkan Yesus? Para imam-imam kepala, kaum Farisi dan ahli-ahli kitab, Pak!
Saya rasa kalau kejadian itu terjadi saat ini, mungkin bapak adalah salah satu yang ikut mengadili dan menfitnah Yesus agar Dia disalibkan!"
Saya lihat wajah bapak itu memerah, entah marah atau malu
saya tidak tahu. Tapi setelah itu dia diam tidak bertanya-tanya lagi.
Apalagi menjelekkan Maria. Saya bisa tidur dengan tenang sampai Malang.
Untung bapak itu tidak tahu bahwa saya juga seorang imam.
Maka berdoalah melalui Maria, sebab dia adalah ibu yang baik yang akan membawa permohonan-permohonan kita pada Yesus, putranya.
Saya pikir ini adalah kesempatan untuk memasukkan ajaran Gereja secara lebih mendalam, sebab menjawab berbagai macam pertanyaan kongkrit tentang masalah remaja. Maka dengan makan kacang dan kue-kue yang mereka bawa, kami ngobrol sampai nyaris pagi.
Ketika naik bis, saya berharap bisa langsung tidur. Kebetulan ada tempat kosong, maka langsung saya duduk dengan harapan tidak akan ada orang yang duduk di sebelah saya. Apalagi orang yang ingin mengajak ngobrol.
Saya ingin segera memejamkan mata. Tapi, beberapa saat sebelum bis berangkat, seorang bapak duduk di sebelah saya.
Bapak ini berpakaian sangat rapi. Baju putih lengan panjang, dipadu dengan celana coklat kehitaman. Sebuah tas yang cukup bagus ada dalam genggamannya. Usia bapak ini kira-kira 50 tahun. Saya menduga dia seorang eksekutif atau pegawai yang telah punya kedudukan lumayan. Pendek kata penampilannya jauh sangat rapi dan perlente, sangat berbeda dengan saya yang hanya memakai blue jeans, kaos oblong dan bersandal jepit.
Setelah melirik sejenak padanya, saya bersiap memejamkan mata, sebab pria disebelah saya tampaknya juga tidak ingin diganggu. Dia mulai membaca koran yang dibawanya.
"Koran kok isinya hanya tentang kekerasan," katanya seperti mengeluh.
"Apakah sudah tidak ada kasih di dunia ini?" tanyanya pada saya.
Sebagai basa basi saya hanya tersenyum. Saya malas untuk menjawab, sebab mata sudah tidak bisa diajak kompromi.
"Apakah mahasiswa itu tidak bosan mengadakan demonstrasi?" tanyanya lagi.
Sekali lagi saya hanya tersenyum.
"Adik ini kuliah atau sudah kerja?" Mau tidak mau saya harus menjawab pertanyaan ini.
"Saya masih kuliah, Pak," jawab saya singkat.
"Dimana?" tanyanya mendesak.
"Malang" jawab saya singkat lagi.
Saya berharap orang itu tidak bertanya-tanya lagi. Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ternyata dia tidak berhenti bicara. Dia bicara lagi yang isinya nasehat-nasehat agar saya tidak ikut-ikutan demonstrasi dan melakukan kejahatan. Saya terpaksa mendengarkan dan sebentar-sebentar menganggukkan kepala menyetujui semua pendapatnya. Dengan harapan dia merasa puas.
Tampaknya dia pun senang melihat saya setuju dengan pendapatnya.
Sesaat bapak itu diam, tiba-tiba dia bertanya lagi.
"Maaf dik, kalau boleh tahu adik ini beragama apa?"
"Katolik."
"Oh...... Katolik," serunya dengan menantapku lebih seksama.
"Kalau saya seorang gembala jemaat Kristen." Dia lalu mengulurkan tangannya.Saya pun menjabat uluran tangannya.
"Dik, maaf ya," katanya setelah berhenti sejenak.
"Mengapa orang Katolik memuja Maria?"
"Entahlah, Pak," jawab saya seenaknya saja.
"Apa adik tidak pernah berdoa pada Maria?"
"Sering."
"Mengapa berdoa saja harus berbelit-belit. Melalui birokrasi yang panjang."
"Maksud bapak?" tanya saya bodoh.
"Kan seharusnya orang berdoa langsung saja pada Yesus, mengapa harus melalui Maria baru ke Yesus?" tanyanya mempertegas.
Sebetulnya saya enggan berdiskusi soal iman seperti ini, sebab biasanya diskusi seperti ini tidak menemukan kata akhir. Semua akan bertahan pada pendapatnya dan hanya mencari pembenaran bagi apa yang diyakininya.
Bagi saya iman itu tidak perlu didiskusikan. Iman itu dijalani, diaktualisasikan dalam hidup. Selain itu, percuma saya berbicara tentang Maria, kalau orang yang saya ajak bicara sudah tidak percaya bahkan menolak peran Maria.
"Ya memang orang Katolik bodoh," jawab saya seenaknya. Saya berharap bapak ini puas dan tidak tanya-tanya lagi. Tapi dugaan saya salah.
Bapak ini seperti mendapat angin. Dia semakin bersemangat untuk menjelekkan Maria. Dia mencoba meyakinkan saya bahwa ajaran Katolik salah.
Lama-lama saya jengkel juga mendengar bapak ini dengan seenaknya menjelekkan Maria.
"Pak," kata saya tenang. "Apakah di Gereja bapak ada kebiasaan, misalnya ada jemaat yang sakit, lalu dia meminta tolong agar pendeta mendoakannya?"
"Ada," jawabnya cepat, "Jika ada jemaat saya yang sakit, maka saya dengan beberapa jemaat mengunjunginya. Lalu kami berdoa mohon kesembuhan baginya."
"Misalnya, Pak," tanya saya mencoba mencari ketegasan, "Jika saya adalah salah satu jemaat bapak, bolehkah saya mengatakan, Pak Pendeta, tolong doakan saya, sebab saya sedang dalam kesulitan."
"Ya... ya.... bisa saja," jawabnya dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Saya tersenyum. Jebakan yang saya buat ternyata cukup bagus, sehingga bapak tua ini masuk dalam perangkap.
"Pak," kata saya perlahan, tapi tegas, "Jemaat bapak jauh lebih to*** dari pada umat Katolik!"
Bapak disamping saya itu tampak terkejut dan marah.
"Seandainya Yesus duduk di depan sana," kata saya cepat dengan menunjuk pada sopir, "Lalu bapak datang dengan membawa permohonan dari jemaat bapak dan Maria juga datang dengan membawa permohonan saya.
Permohonan siapakah kira-kira yang akan dikabulkan oleh Yesus?
Apakah permohonan bapak?
Apakah bapak lebih hebat dari ibu-Nya?"
Bapak di sebelah saya itu semakin tampak jengkel dengan perkataan saya.
Tapi sebelum dia bicara langsung saya cecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. "Siapakah yang memaksa Yesus untuk membuat mujijat di Kana? Maria, Pak!
Siapakah yang setia pada Yesus sampai di bawah kaki salib? Maria, Pak!" kata saya dengan nada yang semakin meninggi,
"Tapi siapakah yang menyalibkan Yesus? Para imam-imam kepala, kaum Farisi dan ahli-ahli kitab, Pak!
Saya rasa kalau kejadian itu terjadi saat ini, mungkin bapak adalah salah satu yang ikut mengadili dan menfitnah Yesus agar Dia disalibkan!"
Saya lihat wajah bapak itu memerah, entah marah atau malu
saya tidak tahu. Tapi setelah itu dia diam tidak bertanya-tanya lagi.
Apalagi menjelekkan Maria. Saya bisa tidur dengan tenang sampai Malang.
Untung bapak itu tidak tahu bahwa saya juga seorang imam.
Maka berdoalah melalui Maria, sebab dia adalah ibu yang baik yang akan membawa permohonan-permohonan kita pada Yesus, putranya.
0 komentar:
Post a Comment