Tinggalkan yang Instant!? Siapa Takut.....
Januari 2003....
Namanya Echi, dia teman dekatku. Hari itu aku melihatnya menangis. Echi
baru saja kembali ke Yogyakarta setelah hampir seminggu di Jakarta. Echi
baru saja menceritakan padaku kalau pacarnya, Hans, baru saja lari dan
menikah dengan perempuan lain. Echi adalah gadis manis dari Kota
Kembang, Bandung. Dia seumuran denganku, kami berasal dari universitas
yang sama, tinggal dalam kos yang sama, dan sama-sama duduk di semester
6. Kami telah bersahabat sejak 2 tahun yang lalu, sejak Echi pindah ke
kosku.
Echi dan Hans sudah berpacaran selama hampir 2 tahun. Mereka bertemu
dalam suatu latihan pertunjukan dimana mereka berdua ikut ambil bagian
di dalamnya. Echi telah sangat dekat dengan keluarga Hans. Echi bahkan
sering menginap di rumah keluarga Hans untuk beberapa alasan: membantu
memasak, mencuci pakaian, acara keluarga, hingga alasan yang paling
sepele 'kangen sama Hans'. Dari cerita Echi aku juga mengetahui kalau
perekonomian keluarga Hans tidak terlalu baik. Beberapa kali bahkan Echi
meminjamkan uang kepada keluarga Hans untuk keperluan seperti:
memperbaiki alat elektronik yang rusak, membeli bahan kebutuhan
sehari-hari, hingga operasi katarak Ayah Hans. Dan barangkali memang
begitulah cinta, ada pengorbanan yang harus dibayar mahal untuk
menunjukkan 'betapa aku mencintaimu' .
Mulanya semua baik-baik saja, tetapi sejak sebulan kemarin semua
berubah. Echi sering tampak muram dan tidak bersemangat. Usut punya
usut, ayah Hans, Pak Gondo, menjodohkan Hans dengan Vira, putri dari
pengusaha kaya tempat Pak Gondo bekerja. Pernikahan Vira dan Hans
bertujuan untuk membalas budi baik keluarga Vira pada Pak Gondo. Untuk
tujuan tersebut, Hans dilarikan Pak Gondo ke Jakarta agar terpisah dari
Echi. Pernikahan akan dilangsungkan sesegera mungkin tanpa diketahui
Echi.
Echi menangkap gelagat tersebut sehingga kedatangannya ke Jakarta tidak
lain adalah untuk menggagalkan rencana pernikahan Hans dan Vira
tersebut. Kedatangan Echi ke Jakarta rupanya tidak memperoleh simpati
dari Hans. Hans memperlakukan Echi dengan kasar dan sangat buruk. Entah
kemana larinya janji-janji indah ketika mereka pacaran dulu, semua
menguap diterbangkan emosi. Bahkan, untuk mengancam Echi, Hans sempat
naik ke loteng untuk menggantung dirinya pada seutas tali tambang bila
Echi tidak juga meninggalkannya.
Alhasil, Echi yang di hadapanku saat itu adalah Echi yang pulang dengan
perasaan kalah karena tidak mampu mengambil kembali Hans miliknya. Bukan
karena ia tidak memperjuangkannya tetapi karena Hans telah berpaling dan
meninggalkannya. Aku sedikit heran kenapa Echi begitu ngotot untuk
mengejar Hans yang telah mengkhianatinya. Hari itu juga, dengan
kejujuran yang pedih, aku mengetahui kalau Echi pernah mengandung anak
Hans. Hans tidak siap dengan kehamilan Echi sehingga pada bulan pertama
kehamilan mereka berdua sepakat untuk menggugurkan kandungan tersebut.
Kehilangan Hans merupakan kesakitan tersendiri buat Echi. Echi tidak
hanya kehilangan Hans tetapi juga telah kehilangan kehormatan seorang
perempuan. Kepercayaan bahwa Hans akan bertanggung jawab tak pernah
terbukti. Hari-hari selanjutnya adalah masa yang berat buat Echi. Ia
kehilangan rasa percaya dirinya, bukan saja karena telah dinodai oleh
Hans tetapi juga karena tidak diinginkan oleh keluarga dan teman-teman
yang mengetahui kisah kelamnya.
Kisah Hans dan Echi adalah satu dari banyak potret dunia saat ini. Kita
pernah suatu kali menjadi Hans yang egois, menjadi Echi yang labil dan
kehilangan kepercayaan diri, juga bersikap tidak peduli, dan menghakimi
seperti keluarga dan teman-teman Echi. Setiap orang dapat berubah dengan
cepat dan menjadi siapa saja yang dia inginkan. Tetapi, kesadaran bahwa
saya adalah gambar Allah (Kej I: 26-27) dan diciptakan amat baik adanya
sedikit banyak dapat membangun suatu keinginan dalam diri untuk hidup
baik dan seturut panggilan Allah.
Hidup di dalam Allah membutuhkan keberanian besar, lebih-lebih saat ini,
ketika dunia kita sedang terkena epidemi instant. Tidak hanya mie dan
minuman instant saja yang jadi menu sehari-hari, tetapi juga cinta
instant, sukses instant, hingga kenikmatan instant. Banyak hal
diiming-imingi untuk memperoleh kesenangan sesaat. Narkoba dan seks
bebas pun menjadi gaya hidup yang dianggap fantastis. Manusia dan
kehidupannya telah dikalahkan oleh uang, kesuksesan, kekuasaan, dan rasa
aman. Echi bahkan harus membayar mahal rasa amannya dengan mengorbankan
nyawa satu manusia, anaknya sendiri. Mau berjuang melalui pintu sempit
(Mat 7: 13-14) adalah ajakan Allah untuk keluar dari kemudahan-kemudahan
tersebut, menghargai proses, dan bergerak untuk menghargai kehidupan
dengan lebih baik.
Membuka diri bagi Allah berarti siap untuk mengimani Allah,
berpengharapan, dan hidup dalam kasih (1 Tes 5: 8). Dunia saat ini
semakin dingin dan tidak ramah karena setiap orang mencari
keselamatannya sendiri dengan cara mereka sendiri. Hans cukup
meninggalkan Echi dan lari ke Vira untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Keluarga dan teman-teman Echi menjauhi dan mengucilkannya ketika
'jatuh'. Dengan cara yang berbeda atau bahkan mungkin sama, kita pernah
mengucilkan dan meninggalkan teman yang membutuhkan kita untuk bangkit
dari 'kejatuhannya' . Seringkali kita lupa bahwa senyum yang sedikit saja
dapat menjadi berkat kehangatan untuk orang lain.
Agustus 2007.....
Hari ini, Echi bekerja di suatu perusahaan besar di Bogor, dia menjadi
wanita mandiri dan berhasil. Tetapi semua tidak diperolehnya dengan
mudah. Ia harus memupuk rasa percaya dirinya setelah Hans
meninggalkannya. Ia berjuang menumbuhkan dalam hatinya rasa takut akan
Allah. Ia meninggalkan gaya hidupnya yang lama dan bergerak mencari
pengharapan di dalam Allah. Echi hari ini adalah Echi yang dengan sekuat
tenaga memutar 'roda hidupnya'. Kalau Echi saja bisa, kenapa kita
tidak!? Memulai pembaharuan, dari diri kita sendiri, dari hal yang
paling kecil, dan dari sekarang...
Kaum Muda Dunia BERSATULAH!! !!!
Januari 2003....
Namanya Echi, dia teman dekatku. Hari itu aku melihatnya menangis. Echi
baru saja kembali ke Yogyakarta setelah hampir seminggu di Jakarta. Echi
baru saja menceritakan padaku kalau pacarnya, Hans, baru saja lari dan
menikah dengan perempuan lain. Echi adalah gadis manis dari Kota
Kembang, Bandung. Dia seumuran denganku, kami berasal dari universitas
yang sama, tinggal dalam kos yang sama, dan sama-sama duduk di semester
6. Kami telah bersahabat sejak 2 tahun yang lalu, sejak Echi pindah ke
kosku.
Echi dan Hans sudah berpacaran selama hampir 2 tahun. Mereka bertemu
dalam suatu latihan pertunjukan dimana mereka berdua ikut ambil bagian
di dalamnya. Echi telah sangat dekat dengan keluarga Hans. Echi bahkan
sering menginap di rumah keluarga Hans untuk beberapa alasan: membantu
memasak, mencuci pakaian, acara keluarga, hingga alasan yang paling
sepele 'kangen sama Hans'. Dari cerita Echi aku juga mengetahui kalau
perekonomian keluarga Hans tidak terlalu baik. Beberapa kali bahkan Echi
meminjamkan uang kepada keluarga Hans untuk keperluan seperti:
memperbaiki alat elektronik yang rusak, membeli bahan kebutuhan
sehari-hari, hingga operasi katarak Ayah Hans. Dan barangkali memang
begitulah cinta, ada pengorbanan yang harus dibayar mahal untuk
menunjukkan 'betapa aku mencintaimu' .
Mulanya semua baik-baik saja, tetapi sejak sebulan kemarin semua
berubah. Echi sering tampak muram dan tidak bersemangat. Usut punya
usut, ayah Hans, Pak Gondo, menjodohkan Hans dengan Vira, putri dari
pengusaha kaya tempat Pak Gondo bekerja. Pernikahan Vira dan Hans
bertujuan untuk membalas budi baik keluarga Vira pada Pak Gondo. Untuk
tujuan tersebut, Hans dilarikan Pak Gondo ke Jakarta agar terpisah dari
Echi. Pernikahan akan dilangsungkan sesegera mungkin tanpa diketahui
Echi.
Echi menangkap gelagat tersebut sehingga kedatangannya ke Jakarta tidak
lain adalah untuk menggagalkan rencana pernikahan Hans dan Vira
tersebut. Kedatangan Echi ke Jakarta rupanya tidak memperoleh simpati
dari Hans. Hans memperlakukan Echi dengan kasar dan sangat buruk. Entah
kemana larinya janji-janji indah ketika mereka pacaran dulu, semua
menguap diterbangkan emosi. Bahkan, untuk mengancam Echi, Hans sempat
naik ke loteng untuk menggantung dirinya pada seutas tali tambang bila
Echi tidak juga meninggalkannya.
Alhasil, Echi yang di hadapanku saat itu adalah Echi yang pulang dengan
perasaan kalah karena tidak mampu mengambil kembali Hans miliknya. Bukan
karena ia tidak memperjuangkannya tetapi karena Hans telah berpaling dan
meninggalkannya. Aku sedikit heran kenapa Echi begitu ngotot untuk
mengejar Hans yang telah mengkhianatinya. Hari itu juga, dengan
kejujuran yang pedih, aku mengetahui kalau Echi pernah mengandung anak
Hans. Hans tidak siap dengan kehamilan Echi sehingga pada bulan pertama
kehamilan mereka berdua sepakat untuk menggugurkan kandungan tersebut.
Kehilangan Hans merupakan kesakitan tersendiri buat Echi. Echi tidak
hanya kehilangan Hans tetapi juga telah kehilangan kehormatan seorang
perempuan. Kepercayaan bahwa Hans akan bertanggung jawab tak pernah
terbukti. Hari-hari selanjutnya adalah masa yang berat buat Echi. Ia
kehilangan rasa percaya dirinya, bukan saja karena telah dinodai oleh
Hans tetapi juga karena tidak diinginkan oleh keluarga dan teman-teman
yang mengetahui kisah kelamnya.
Kisah Hans dan Echi adalah satu dari banyak potret dunia saat ini. Kita
pernah suatu kali menjadi Hans yang egois, menjadi Echi yang labil dan
kehilangan kepercayaan diri, juga bersikap tidak peduli, dan menghakimi
seperti keluarga dan teman-teman Echi. Setiap orang dapat berubah dengan
cepat dan menjadi siapa saja yang dia inginkan. Tetapi, kesadaran bahwa
saya adalah gambar Allah (Kej I: 26-27) dan diciptakan amat baik adanya
sedikit banyak dapat membangun suatu keinginan dalam diri untuk hidup
baik dan seturut panggilan Allah.
Hidup di dalam Allah membutuhkan keberanian besar, lebih-lebih saat ini,
ketika dunia kita sedang terkena epidemi instant. Tidak hanya mie dan
minuman instant saja yang jadi menu sehari-hari, tetapi juga cinta
instant, sukses instant, hingga kenikmatan instant. Banyak hal
diiming-imingi untuk memperoleh kesenangan sesaat. Narkoba dan seks
bebas pun menjadi gaya hidup yang dianggap fantastis. Manusia dan
kehidupannya telah dikalahkan oleh uang, kesuksesan, kekuasaan, dan rasa
aman. Echi bahkan harus membayar mahal rasa amannya dengan mengorbankan
nyawa satu manusia, anaknya sendiri. Mau berjuang melalui pintu sempit
(Mat 7: 13-14) adalah ajakan Allah untuk keluar dari kemudahan-kemudahan
tersebut, menghargai proses, dan bergerak untuk menghargai kehidupan
dengan lebih baik.
Membuka diri bagi Allah berarti siap untuk mengimani Allah,
berpengharapan, dan hidup dalam kasih (1 Tes 5: 8). Dunia saat ini
semakin dingin dan tidak ramah karena setiap orang mencari
keselamatannya sendiri dengan cara mereka sendiri. Hans cukup
meninggalkan Echi dan lari ke Vira untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Keluarga dan teman-teman Echi menjauhi dan mengucilkannya ketika
'jatuh'. Dengan cara yang berbeda atau bahkan mungkin sama, kita pernah
mengucilkan dan meninggalkan teman yang membutuhkan kita untuk bangkit
dari 'kejatuhannya' . Seringkali kita lupa bahwa senyum yang sedikit saja
dapat menjadi berkat kehangatan untuk orang lain.
Agustus 2007.....
Hari ini, Echi bekerja di suatu perusahaan besar di Bogor, dia menjadi
wanita mandiri dan berhasil. Tetapi semua tidak diperolehnya dengan
mudah. Ia harus memupuk rasa percaya dirinya setelah Hans
meninggalkannya. Ia berjuang menumbuhkan dalam hatinya rasa takut akan
Allah. Ia meninggalkan gaya hidupnya yang lama dan bergerak mencari
pengharapan di dalam Allah. Echi hari ini adalah Echi yang dengan sekuat
tenaga memutar 'roda hidupnya'. Kalau Echi saja bisa, kenapa kita
tidak!? Memulai pembaharuan, dari diri kita sendiri, dari hal yang
paling kecil, dan dari sekarang...
Kaum Muda Dunia BERSATULAH!! !!!
0 komentar:
Post a Comment