Kesuksesan FC Porto Menaklukkan Industri Sepakbola
Dalam bisnis, ada teori mengatakan bahwa Anda harus mengambil risiko tinggi jika ingin mendapat keuntungan yang tinggi. Biasanya ini berlaku kepada para pelaku saham, investasi, dan pasar modal.
Teori ini diterapkan oleh banyak tim sepakbola di Eropa. Demi mendapatkan "return" atau prestasi, mereka tak ragu untuk merogoh koceknya lebih dalam agar bisa merekrut pemain-pemain yang kiranya bisa mengantarkan klub ke raihan tertinggi.
Hal inilah yang sedang dilakukan oleh Real Madrid. Mereka tak ragu untuk membeli dan menggaji Ronaldo dengan biaya sangat mahal demi melanjutkan tren Madrid sebagai tim jawara. Dan hasilnya telah terbuki dengan trofi-trofi yang pemain timnas Portugal itu persembahkan.
Namun hal berbeda dilakukan oleh klub asal Portugal, FC Porto. Mereka tak mendatangkan pemain bernilai tinggi. Yang ada, justru mereka lebih gemar menjual para pemain terbaiknya dengan banderol yang sangat mahal.
Ya, hampir setiap bursa transfer Porto selalu menjual para pemain andalannya. Yang terbaru, Eliaquim Mangala dilepas ke Manchester City dengan nilai transfer 53 juta euro.
Mangala sebenarnya menghuni skuat utama Porto pada musim lalu. Total 33 penampilan berhasil dicatatkan pemain berusia 23 tahun ini. Akan tetapi, ia tetap menjadi korban ritual Porto yang tak ragu untuk melepas para pemain utama mereka, hal yang telah dilakukan sejak satu dekade lalu.
Menjual pemain bintang memang jadi hal yang lumrah bagi Porto. Sudah tak terhitung berapa pemain yang dilego tim asal Estadio Dragao ini. Namun, yang lebih penting dari itu semua, dari setiap transfer mereka selalu menghasilkan keuntungan yang besar.
Anehnya, meski terus kehilangan pemain pilar, Porto masih mampu untuk meraih trofi juara. Dalam 10 tahun terakhir, klub ini berhasil meraih delapan titel juara liga (belum termasuk dua trofi Europa League dan satu Liga Champions).
Lho, bagaimana bisa?
Dimulai Pada Era Mourinho
Pada 2002, Porto menunjuk seorang pelatih bernama Jose Mourinho. Penunjukkan ini sebenarnya merupakan perjudian besar karena saat itu Mou belum memiliki prestasi mentereng. Hanya saja, pengalamannya pernah bekerja sama dengan Bobby Robson dan Louis van Gaal menjadi pertimbangan tersendiri.
Tanpa disangka-sangka Mou mampu berprestasi di musim pertamanya. Musim 2002/2003, Porto berhasil meraih trebble winner dengan menyabet gelar juara liga, Piala Portugal, dan Europa League (saat itu masih bernama UEFA Cup).
Musim berikutnya bahkan lebih spesial. Mou berhasil menyandingkan trofi juara liga dan trofi Liga Champions. Prestasi ini sangat-sangat mengejutkan tanah Eropa karena nama Porto sebelumnya tak begitu bersinar di kompetisi Eropa selama beberapa dekade.
Keberhasilan tersebut membuat Mou dilirik tim baru asal Inggris, Chelsea. Mou pun tak ragu untuk hijrah ke London dengan harapan bisa berprestasi di tingkat yang lebih tinggi. Untuk mewujudkannya, ia datang ke Chelsea bersama pemain-pemain Porto yang berhasil mengantarkannya pada kejayaan.
Ricardo Carvalho dan Paulo Ferreira dibeli Chelsea dengan total transfer 40 juta poundsterling. Carvalho adalah produk asli binaan Porto, sedangkan Ferreira didatangkan dari Vitoria dengan nilai transfer 1,5 juta poundsterling.
Transfer ini sangat menguntungkan Porto. Sejak kepergian Mourinho, menjual pemain utama menjadi rutinitas tersendiri bagi Porto.
Keberhasilan Pembinaan Pemain
Dari musim ke musim, Porto seolah tak pernah kehabisan stok pemain bintang meski rutin melakukan penjualan. Dari era Carvalho, Deco, Maniche dan Lisandro Lopez, kemudian digantikan Pepe, Raul Meireles, Falcao dan Bruno Alves, dan terus berlanjut hingga Hulk, Joao Moutinho, James Rodriguez, Fernando dan Mangala.
Para pemain di atas adalah bentuk keberhasilan dari para pencari bakat Porto. Semenjak Mourinho mengajak Carvalho dan Fereira, pencarian pemain muda berbakat dengan harga murah terus dilakukan. Porto bahkan sampai menyebar 250 pencari bakat ke seluruh dunia.
Hal itu diakui General Manager Porto, Anterio Henrique, pada media France Football.
"Kita menggunakan 250 pencari bakat ke seluruh dunia. Kita mengkategorikannya dengan pencari bakat internal dan eksternal. Nantinya, para pemandu bakat tersebut akan menyodorkan dua pemain pada setiap posisi dan nantinya kami akan memilih siapa saja yang cukup berkualitas untuk mendapatkan kontrak dari Porto," ujarnya.
Karena itulah musuh bebuyutan Benfica ini tak ragu untuk menjual pemain-pemainnya. Karena, ketika seorang pemain Porto mendapatkan tawaran dari tim lain, Porto sudah menyiapkan pemain yang akan menggantikan pemain tersebut dengan kualitas yang tak jauh berbeda.
Misalnya ketika Porto mengandalkan Maniche dan Deco untuk pemain di lini tengah. Porto lantas mendatangkan Raul Meireles, Paulo Assuncao, Diego, dan Anderson sebagai cadangan. Bahkan ketika enam pemain tersebut dilepas Porto sudah memiliki pengganti dengan adanya Lucho Gonzalez, Freddy Guarin, Fernando, dan Mario Bolatti.
Meski terjadi persaingan, para pemain tersebut tetap bertahan dengan tim karena mereka mendapatkan gaji berlipat ketimbang di tim sebelumnya. Apalagi sebelum direkrut Porto mereka bisa dibilang sebagai pemain antah berantah. Menjajal kemampuan di Porto merupakan kesempatan bagi mereka agar bisa tampil di kompetisi Eropa.
Maka dari itu, bagi Porto, bermain di kompetisi Eropa adalah sebuah keharusan agar para pemain incarannya tertarik untuk bergabung.
Selain itu, sejarah kolonialisme menunjukkan bahwa Portugal memiliki kedekatan budaya dengan Amerika Latin. Tak heran para pemain tersebut tak mendapatkan hambatan berarti untuk beradaptasi di Portugal.
Karena hal inilah Porto mampu memaksimalkan potensi mereka.
Strategi Transfer
Keberhasilan Porto menjual pemainnya dengan harga mahal tak bisa dilepaskan dari peran seorang agen bernama Jorge Mendes.
Pendiri perusahaan agensi Gestifute itu memiliki hubungan erat dengan bos Porto, Pinto da Costa. Mendes menjadi agen kepercayaan da Costa, setelah sang pemilik kecewa pada agen sebelumnya, Jose Veiga. Pasalnua Porto tak menemukan kata sepakat untuk perpanjangan kontrak klien Veiga, Sergio Conceicao.
Gestifute didirikan pada tahun 1996. Perusahaan yang berbasis di kota Porto ini berkembang dengan cepat setelah mendapatkan tanda tangan banyak pemain berbakat di Portugal, Brasil, dan Argentina.
Mendes nantinya akan mengusulkan pemain mana yang tepat untuk bermain dengan Porto. Mendes juga bisa memperkirakan uang yang bisa diterima klub, ketika pemain ini sudah memasuki masa ‘panen’. Ini karena Mendes sudah memiliki jejaring luas dengan tim, manajer, dan pemilik klub-klub Eropa.
Pemain yang berada dalam asuhan Mendes takkan kesulitan untuk mencari klub.
Dalam bisnis, ada teori mengatakan bahwa Anda harus mengambil risiko tinggi jika ingin mendapat keuntungan yang tinggi. Biasanya ini berlaku kepada para pelaku saham, investasi, dan pasar modal.
Teori ini diterapkan oleh banyak tim sepakbola di Eropa. Demi mendapatkan "return" atau prestasi, mereka tak ragu untuk merogoh koceknya lebih dalam agar bisa merekrut pemain-pemain yang kiranya bisa mengantarkan klub ke raihan tertinggi.
Hal inilah yang sedang dilakukan oleh Real Madrid. Mereka tak ragu untuk membeli dan menggaji Ronaldo dengan biaya sangat mahal demi melanjutkan tren Madrid sebagai tim jawara. Dan hasilnya telah terbuki dengan trofi-trofi yang pemain timnas Portugal itu persembahkan.
Namun hal berbeda dilakukan oleh klub asal Portugal, FC Porto. Mereka tak mendatangkan pemain bernilai tinggi. Yang ada, justru mereka lebih gemar menjual para pemain terbaiknya dengan banderol yang sangat mahal.
Ya, hampir setiap bursa transfer Porto selalu menjual para pemain andalannya. Yang terbaru, Eliaquim Mangala dilepas ke Manchester City dengan nilai transfer 53 juta euro.
Mangala sebenarnya menghuni skuat utama Porto pada musim lalu. Total 33 penampilan berhasil dicatatkan pemain berusia 23 tahun ini. Akan tetapi, ia tetap menjadi korban ritual Porto yang tak ragu untuk melepas para pemain utama mereka, hal yang telah dilakukan sejak satu dekade lalu.
Menjual pemain bintang memang jadi hal yang lumrah bagi Porto. Sudah tak terhitung berapa pemain yang dilego tim asal Estadio Dragao ini. Namun, yang lebih penting dari itu semua, dari setiap transfer mereka selalu menghasilkan keuntungan yang besar.
Anehnya, meski terus kehilangan pemain pilar, Porto masih mampu untuk meraih trofi juara. Dalam 10 tahun terakhir, klub ini berhasil meraih delapan titel juara liga (belum termasuk dua trofi Europa League dan satu Liga Champions).
Lho, bagaimana bisa?
Dimulai Pada Era Mourinho
Pada 2002, Porto menunjuk seorang pelatih bernama Jose Mourinho. Penunjukkan ini sebenarnya merupakan perjudian besar karena saat itu Mou belum memiliki prestasi mentereng. Hanya saja, pengalamannya pernah bekerja sama dengan Bobby Robson dan Louis van Gaal menjadi pertimbangan tersendiri.
Tanpa disangka-sangka Mou mampu berprestasi di musim pertamanya. Musim 2002/2003, Porto berhasil meraih trebble winner dengan menyabet gelar juara liga, Piala Portugal, dan Europa League (saat itu masih bernama UEFA Cup).
Musim berikutnya bahkan lebih spesial. Mou berhasil menyandingkan trofi juara liga dan trofi Liga Champions. Prestasi ini sangat-sangat mengejutkan tanah Eropa karena nama Porto sebelumnya tak begitu bersinar di kompetisi Eropa selama beberapa dekade.
Keberhasilan tersebut membuat Mou dilirik tim baru asal Inggris, Chelsea. Mou pun tak ragu untuk hijrah ke London dengan harapan bisa berprestasi di tingkat yang lebih tinggi. Untuk mewujudkannya, ia datang ke Chelsea bersama pemain-pemain Porto yang berhasil mengantarkannya pada kejayaan.
Ricardo Carvalho dan Paulo Ferreira dibeli Chelsea dengan total transfer 40 juta poundsterling. Carvalho adalah produk asli binaan Porto, sedangkan Ferreira didatangkan dari Vitoria dengan nilai transfer 1,5 juta poundsterling.
Transfer ini sangat menguntungkan Porto. Sejak kepergian Mourinho, menjual pemain utama menjadi rutinitas tersendiri bagi Porto.
Keberhasilan Pembinaan Pemain
Dari musim ke musim, Porto seolah tak pernah kehabisan stok pemain bintang meski rutin melakukan penjualan. Dari era Carvalho, Deco, Maniche dan Lisandro Lopez, kemudian digantikan Pepe, Raul Meireles, Falcao dan Bruno Alves, dan terus berlanjut hingga Hulk, Joao Moutinho, James Rodriguez, Fernando dan Mangala.
Para pemain di atas adalah bentuk keberhasilan dari para pencari bakat Porto. Semenjak Mourinho mengajak Carvalho dan Fereira, pencarian pemain muda berbakat dengan harga murah terus dilakukan. Porto bahkan sampai menyebar 250 pencari bakat ke seluruh dunia.
Hal itu diakui General Manager Porto, Anterio Henrique, pada media France Football.
"Kita menggunakan 250 pencari bakat ke seluruh dunia. Kita mengkategorikannya dengan pencari bakat internal dan eksternal. Nantinya, para pemandu bakat tersebut akan menyodorkan dua pemain pada setiap posisi dan nantinya kami akan memilih siapa saja yang cukup berkualitas untuk mendapatkan kontrak dari Porto," ujarnya.
Karena itulah musuh bebuyutan Benfica ini tak ragu untuk menjual pemain-pemainnya. Karena, ketika seorang pemain Porto mendapatkan tawaran dari tim lain, Porto sudah menyiapkan pemain yang akan menggantikan pemain tersebut dengan kualitas yang tak jauh berbeda.
Misalnya ketika Porto mengandalkan Maniche dan Deco untuk pemain di lini tengah. Porto lantas mendatangkan Raul Meireles, Paulo Assuncao, Diego, dan Anderson sebagai cadangan. Bahkan ketika enam pemain tersebut dilepas Porto sudah memiliki pengganti dengan adanya Lucho Gonzalez, Freddy Guarin, Fernando, dan Mario Bolatti.
Meski terjadi persaingan, para pemain tersebut tetap bertahan dengan tim karena mereka mendapatkan gaji berlipat ketimbang di tim sebelumnya. Apalagi sebelum direkrut Porto mereka bisa dibilang sebagai pemain antah berantah. Menjajal kemampuan di Porto merupakan kesempatan bagi mereka agar bisa tampil di kompetisi Eropa.
Maka dari itu, bagi Porto, bermain di kompetisi Eropa adalah sebuah keharusan agar para pemain incarannya tertarik untuk bergabung.
Selain itu, sejarah kolonialisme menunjukkan bahwa Portugal memiliki kedekatan budaya dengan Amerika Latin. Tak heran para pemain tersebut tak mendapatkan hambatan berarti untuk beradaptasi di Portugal.
Karena hal inilah Porto mampu memaksimalkan potensi mereka.
Strategi Transfer
Keberhasilan Porto menjual pemainnya dengan harga mahal tak bisa dilepaskan dari peran seorang agen bernama Jorge Mendes.
Pendiri perusahaan agensi Gestifute itu memiliki hubungan erat dengan bos Porto, Pinto da Costa. Mendes menjadi agen kepercayaan da Costa, setelah sang pemilik kecewa pada agen sebelumnya, Jose Veiga. Pasalnua Porto tak menemukan kata sepakat untuk perpanjangan kontrak klien Veiga, Sergio Conceicao.
Gestifute didirikan pada tahun 1996. Perusahaan yang berbasis di kota Porto ini berkembang dengan cepat setelah mendapatkan tanda tangan banyak pemain berbakat di Portugal, Brasil, dan Argentina.
Mendes nantinya akan mengusulkan pemain mana yang tepat untuk bermain dengan Porto. Mendes juga bisa memperkirakan uang yang bisa diterima klub, ketika pemain ini sudah memasuki masa ‘panen’. Ini karena Mendes sudah memiliki jejaring luas dengan tim, manajer, dan pemilik klub-klub Eropa.
Pemain yang berada dalam asuhan Mendes takkan kesulitan untuk mencari klub.
0 komentar:
Post a Comment