Socios, Socis dan Demokrasi dalam Kepemilikan Kesebelasan di Spanyol
"Elections belong to the people. It's their decision. If they decide to turn their back on the fire and burn their behinds, then they will just have to sit on their blisters."
Abraham Lincoln secara gamblang mejelaskan bagaimana demokrasi di suatu komunitas sosial berjalan. Semua hal baik dan buruknya akan mereka tanggung sendiri ketika menuai hasil pilihannya tersebut. Masing-masing ikut bertanggung jawab dalam dan dengan pilihannya itu. Jikapun pilihannya terbukti salah, karena orang yang dipilih ternyata tidak amanah, demokrasi memberi peluang untuk mengoreksinya lagi dalam pemilihan berikutnya. Tidak ada diktator, tidak boleh ada diktator.
Dalam dunia sepakbola, terutama di Eropa, tak banyak klub yang memiliki pesta demokrasi seperti pemilihan presiden oleh para anggotanya. Sudah barang tentu, ranah politik ini akan dibumbui dengan segala kontroversi, janji-janji manis serta saling serang antarkandidat itu sendiri. Selayaknya kampanye dalam politik praktis.
FC Barcelona, seperti Real Madrid, Athletic Bilbao dan Osasuna adalah empat klub tradisional asal Spanyol yang masih menjunjung tinggi pesta demokrasi tersebut. Mereka, lewat para socis (anggota socios), berhak menentukan pilihan mereka dalam rangkaian pemilihan umum yang digelar biasanya antara 4 tahun, 5 tahun atau bahkan 6 tahun sekali. Siapa yang akan memimpin kesebelasan ditentukan oleh pilihan para socis ini.
Dalam masa kampanye, para kandidat presiden biasanya memaparkan proyek-proyek jangka panjang bagi kemajuan kesebelasan, baik dari skema bisnis, keuangan. Tapi janji-janji jangka pendek biasanya lebih mendominasi. Janji-janji jangka pendek ini seringkali berupa iming-iming akan mendatangkan pemain bintang.
Kasus termasyhur tentu kampanye politik Florentino Perez di tahun 2000, yang berjanji mendaratkan Luis Figo dari sang rival, Barcelona. Ia berjanji kepada para socis Real Madrid bahwa jika bintang Portugal itu gagal bermain untuk Madrid, maka ia akan membayar penuh tiket musiman para suporter Real Madrid. Dan janji itu bisa ia penuhi.
Kasus serupa pernah menimpa kampanye Joan Laporta di tahun 2003 yang ingin mendatangkan David Beckham. Namun, hal tersebut hanyalah pancingan semata untuk menaikkan jumlah voter untuk Laporta itu. Karena pada praktiknya, yang didatangkan Joan Laporta adalah Ronaldinho dari Paris St Germain.
Blessing in Disguise, malahan Ronaldinho-lah yang membuka kran kejayaan Blaugrana pasca kering gelar di tahun 2000-an awal. Ronaldinho menjadi katalisator kesuksesan Barcelona di era kepelatihan Frank Rijkaard, termasuk menjuarai Liga Champions 2005/2006.
Begitu pun dengan pemilihan Presiden di Osasuna. Pada 2002, Jose Francisco Izco Illundain mendeklarasikan janjinya untuk membawa Javier Agueirre untuk melatih tim mereka jika ia menjadi presiden kelak.
Namun, setelah terpilih, durasi masa jabatan seorang presiden sebuah klub bisa saja kurang dari enam atau lima tahun. Hal ini bisa terjadi jika para socis dan suporter sudah tidak percaya dan menuntut presiden tersebut untuk mundur.
Bermacam alasan pernah berhasil memaksa sejumlah presiden mundur sebelum waktunya. Dari buruknya performa kesebelasan di atas lapangan hijau, adanya praktik suap atau korupsi dalam pengelolaan keuangan klub atau bahkan pengemplangan pajak dalam proses transfer pemain pun sering menjadi alasan kuat bagi para socis untuk melengserkan seorang presiden.
Sandro Rosell dituntut mundur dari kursi kepresidenannya karena kebijakannya yang buruk dan tersangkut masalah transfer Neymar di tahun 2013. Bahkan, Rosell di penghujung 2014, sempat menerima ancaman pembunuhan. Dentuman peluru di depan rumahnya berhasil memaksa Rosell meletakkan jabatannya dua tahun lebih cepat dari jadwal yang seharusnya pada 2016 nanti.
Socios sebagai Pemilik Suara
Sebetulnya banyak klub di Spanyol, terutama sebelum 1992, yang menganut sistem keanggotaan socios tersebut. Namun, sejalan dengan peraturan yang dikeluarkan RFEF pada 199, yang menyatakan bahwa kesebelasan dengan neraca keuangan yang negatif diharuskan mengubah kepemilikannya, banyak tim yang akhirnya berubah. Banyak dari mereka yang menjadi perusahaan publik dengan kepemilikian terbatas (SADs).
Hasilnya, hanya sisa empat kesebelasan (Barcelona, Real Madrid, Athletic Bilbao dan Osasuna) yang masih mempraktikkan sistem kepemilikan dan keanggotaan socios hingga hari ini.
Meski begitu, pada 2013 Michel Platini yang menjabat presiden UEFA, saat ia mengunjungi Bilbao, sempat mengutarakan kekagumannya terhadap sistem demokrasi ala socios yang dipraktikkan di Bilbao ini. Tak mengherankan jika ia langsung mengungkapkan hal tersebut karena ia sedang mengunjungi sebuah kota yang memiliki kesebelasan paling tradisional dan demokratis se-Liga Spanyol: Athletic Bilbao.
Platini mengungkapkan: “Perkumpulan anggota di suatu kesebelasan lebih terkontrol oleh sistem socios yang mana socios tersebutlah yang memiliki lahan mereka sendiri. Belum lagi socios yang juga menginvestasikan pembinaan pemain muda dan juga memelihara identitas kesebelasan mereka secara ideal dan utuh.”
Tak lupa juga Platini memuji sistem kepemilikan socios ini sebagai salah satu referensi ideal sebuah model kepemilikan sepakbola. Ia mengungkapkan bahwa para socios mampu menjaga neraca pengeluaran agar sebanding dengan pemasukan. Kontrol socios memungkinkan sebuah kesebelasan tidak bangkrut dengan mudah oleh godaan jor-joran dalam belanja pemain.
Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi di lapangan?
Layaknya rakyat yang bernaung pada suatu negara, para anggota socios ini sebetulnya hanya memiliki suara pada saat pemilihan presiden ataupun ketika diadakannya musyawarah umum atas penentuan suatu kebijakan. Sisanya, para socios sebetulnya menyerahkan setir kekuasaan pada seorang presiden terpilih.
Jadi, secara tidak langsung, para socios tidaklah benar-benar bisa mengatur pengeluaran klub seperti apa yang diharapkan Platini dalam kutipan di atas karena pada praktiknya, kebijakan semuanya ada ditangan seorang presiden itu sendiri.
Hal ini sejalan dengan kutipan Lincoln di bagian paling awal karena sesungguhnya, para socios yang bertindak sebagi voters akan menanggung hasil dari pilihannya dalam proses demokrasi tersebut. Mau tidak mau, buruk ataupun tidak buruk, semua tanggungannya akan berimbas pada kebijakan kesebelasan selama masa mandat dari presiden terpilih tersebut. Socios tak bisa ikut campur.
Mereka tentu bisa memprotes. Dan jika protes itu semakin massif, maka seorang presiden bisa dijatuhkan di tengah periode kekuasaannya. Tidak beda jauh dengan seorang kepala negara/pemerintahan yang dijatuhkan oleh massa yang berunjukrasa.
Menariknya, Real Madrid dan Barcelona ternyata menggunakan sistem keanggotaan socios sebagai bagian dari sejarah panjang mereka. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa peneletian menyebutkan bahwa socios Barcelona ternyata lebih proaktif dan kritis dalam kebijakan presiden dibandingkan socios Real Madrid. Rujukannya jelas: socis Real Madrid sudah ikut terbawa langgam pembelian pemain bintang ala Perez.
Pernyataan tersebut memang tak bisa disalahkan namun tak bisa juga sepenuhnya dibenarkan. Satu yang jelas adalah beberapa waktu yang lalu, FC Barcelona justru sedang sangat bergairah dalam urusan pemilihan presiden yang baru daripada sibuk dengan rumor belanja pemain dalam pasar transfer musim panas ini.
FC Barcelona pada musim panas ini memang tak terlalu panas dalam urusan pergerakan di bursa transfer. Meski sudah mendatangkan Alex Vidal dan Arda Turan beberapa pekan lalu, pergerakan transfer Barcelona tidak terlalu kencang.
Barcelona dan suporternya malah lebih sibuk menyimak kampanye-kampanye para kandidat presiden. Mereka sangat antusias menanti datangnya hari pemilihan yang dimajukan setahun. Harusnya, pemilihan presiden dilakukan pada musim panas 2016. Namun krisis akibat skandal transfer Neymar di era Rosell memaksa Barcelona untuk memajukan waktu pemilihan.
Setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya Josep Maria Bartomeu keluar sebagai pemenang dalam pemilihan presiden Barcelona untuk periode 2015 hingga 2021. Kemenangannya tak main-main, ia berhasil meraup 54, 63% suara, jauh meninggalkan para pesaingnya. 33,03% sisanya untuk Joan Laporta, 7, 16 % suara untuk Agusti Benedito dan hanya 3,7% suara saja untuk Toni Freixa.
Bahkan jumlah suara yang diraih ketiga pesaing Bartomeu, jika disatukan, nyatanya masih tak cukup untuk mengungguli 54,63% suara milik Bartomeu.
Hal tersebut tak mengherankan karena Bartomeu adalah calon presiden yang berstatus petahana. Sebagaimana pemilihan presiden sebuah negara, status sebagai petahana sangat membantunya dalam kampanye. Ada banyak fasilitas dan privilege yang ia miliki untuk memudahkannya meyakinkan para anggota socios untuk memilih dirinya.
Belum lagi ditambah dengan fakta raihan trigelar akhir musim lalu yang semakin menguatkan posisi Bartomeu di mata para socios. Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar voter hanya peduli dengan hasil di lapangan. Gelar dan kejayaan, biar bagaimanapun masih menjadi lambang kejayaan.
Posisi di atas angin Bartomeu ini sebetulnya mendapat saingan yang cukup serius ketika Joan Laporta maju sebagi calon presiden kali ini. Joan laporta adalah presiden tersukses Barcelona dalam kurun 2003 hingga 2010. Ia banyak melahirkan kebijakan finansial yang menyelamatkan Barcelona. Di masa kepemimpinannya pula Barcelona meraih banyak gelar (termasuk trigelar di era kepelatihan Pep Guardiola).
Lalu apa yang menyebabkan Laporta tak bisa menyaingi Bartomeu walau ia berstatus sebagai salah satu presiden terbaik dalam sejarah Barcelona?
Tanpa memedulikan capres lainnya seperti Agusti Benedito dan Toni Freixa, seorang Joan Laporta sebetunya hanya kalah strategi kampanye. Ia terlalu banyak mengungkit-ungkit sisa-sisa kejayaannya. Laporta terlalu banyak mengagungkan Pep Guardiola, sponsorhip dengan UNICEF dan hanya fokus menjatuhkan Bartomeu dengan tuduhan penggelapan dana transfer Neymar Jr. yang sudah membuat Rosell mundur dari jabatan presiden sebelum digantikan Bartomeu.
Cara kampanye yang kurang visioner tersebut pada akhirnya kalah dengan kampanye efektif nan licik a la Bartomeu. Sebelum mencalonkan diri kembali, Bartomeu sudah mengamankan jasa seorang Aleix Vidal dan memperpanjang kontrak sang pelatih Luis Enrique. Ia juga secara cerdik meyakinkan Dani Alves untuk bertahan dan memperpanjang kotrak Jordi Alba dan Pedro yang statusnya pemain asli La Masia.
Bahkan beberapa sumber meyakini, perekrutan Arda Turan oleh managing committee ada campur tangan Bartomeu yang saat itu tidak menjabat presiden lagi dan hanya berstatus kandidat presiden saja. Namun, ketika ditanya oleh beberapa media massa, Bartomeu berdalih kedatangan Arda Turan adalah permintaan Luis Enrique sendiri.
Dalam acara debat yang ditujukan untuk para kandidat di berbagai media massa, Bartomeu lebih terlihat menghindar dan hanya menghadiri debat resmi. Ia hanya fokus melakukan pendekatan terhadap para socios karena ia sadar hanya dari socis ia mendapatkan suara dalam pemilihan umum.
Fokus kampanye yang dijalani Bartomeu dalam meraih simpati para anggota socios yang sudah uzur dan para socis perempuan membuat ia unggul suara atas tiga pesaingnya. Sekali lagi, inilah demokrasi, semua socis berhak memilih, semuanya juga mesti lapang dada menerima hasilnya.
Kesimpulan
Selalu menarik jika mengikuti dinamika pemilihan presiden di suatu kesebelasan terutama di Liga Spanyol yang merupakan salah satu liga terbaik di dunia. Perjalanan panjang kandidat presiden dalam mengumbar janji-janji mereka menjadi keunikan tersindiri dibandingkan kesebelasan yang diakuisisi oleh para konglomerat.
Sudah barang tentu semua sistem kepemilikan ada sisi baik dan buruknya, termasuk model kepemilikan ala socios. Bahwa kini hanya tinggal empat kesebelasan yang masih mempertahankan sistem tersebut memperlihatkan bahwa socios juga punya kelemahan.
Tapi di tengah konglomerasi kepemilikan kesebelasan-kesebelasan Eropa, yang seringkali tidak memedulikan para suporter lokal, model kepemilikan ala socios ini bisa menjadi alternatif yang menarik untuk dipelajari. Agar ada warna yang berbeda, juga sebagai wacana tandingan terhadap libido para konglomerat dunia yang ingin menancapkan kukunya dalam industri sepakbola.
"Elections belong to the people. It's their decision. If they decide to turn their back on the fire and burn their behinds, then they will just have to sit on their blisters."
Abraham Lincoln secara gamblang mejelaskan bagaimana demokrasi di suatu komunitas sosial berjalan. Semua hal baik dan buruknya akan mereka tanggung sendiri ketika menuai hasil pilihannya tersebut. Masing-masing ikut bertanggung jawab dalam dan dengan pilihannya itu. Jikapun pilihannya terbukti salah, karena orang yang dipilih ternyata tidak amanah, demokrasi memberi peluang untuk mengoreksinya lagi dalam pemilihan berikutnya. Tidak ada diktator, tidak boleh ada diktator.
Dalam dunia sepakbola, terutama di Eropa, tak banyak klub yang memiliki pesta demokrasi seperti pemilihan presiden oleh para anggotanya. Sudah barang tentu, ranah politik ini akan dibumbui dengan segala kontroversi, janji-janji manis serta saling serang antarkandidat itu sendiri. Selayaknya kampanye dalam politik praktis.
FC Barcelona, seperti Real Madrid, Athletic Bilbao dan Osasuna adalah empat klub tradisional asal Spanyol yang masih menjunjung tinggi pesta demokrasi tersebut. Mereka, lewat para socis (anggota socios), berhak menentukan pilihan mereka dalam rangkaian pemilihan umum yang digelar biasanya antara 4 tahun, 5 tahun atau bahkan 6 tahun sekali. Siapa yang akan memimpin kesebelasan ditentukan oleh pilihan para socis ini.
Dalam masa kampanye, para kandidat presiden biasanya memaparkan proyek-proyek jangka panjang bagi kemajuan kesebelasan, baik dari skema bisnis, keuangan. Tapi janji-janji jangka pendek biasanya lebih mendominasi. Janji-janji jangka pendek ini seringkali berupa iming-iming akan mendatangkan pemain bintang.
Kasus termasyhur tentu kampanye politik Florentino Perez di tahun 2000, yang berjanji mendaratkan Luis Figo dari sang rival, Barcelona. Ia berjanji kepada para socis Real Madrid bahwa jika bintang Portugal itu gagal bermain untuk Madrid, maka ia akan membayar penuh tiket musiman para suporter Real Madrid. Dan janji itu bisa ia penuhi.
Kasus serupa pernah menimpa kampanye Joan Laporta di tahun 2003 yang ingin mendatangkan David Beckham. Namun, hal tersebut hanyalah pancingan semata untuk menaikkan jumlah voter untuk Laporta itu. Karena pada praktiknya, yang didatangkan Joan Laporta adalah Ronaldinho dari Paris St Germain.
Blessing in Disguise, malahan Ronaldinho-lah yang membuka kran kejayaan Blaugrana pasca kering gelar di tahun 2000-an awal. Ronaldinho menjadi katalisator kesuksesan Barcelona di era kepelatihan Frank Rijkaard, termasuk menjuarai Liga Champions 2005/2006.
Begitu pun dengan pemilihan Presiden di Osasuna. Pada 2002, Jose Francisco Izco Illundain mendeklarasikan janjinya untuk membawa Javier Agueirre untuk melatih tim mereka jika ia menjadi presiden kelak.
Namun, setelah terpilih, durasi masa jabatan seorang presiden sebuah klub bisa saja kurang dari enam atau lima tahun. Hal ini bisa terjadi jika para socis dan suporter sudah tidak percaya dan menuntut presiden tersebut untuk mundur.
Bermacam alasan pernah berhasil memaksa sejumlah presiden mundur sebelum waktunya. Dari buruknya performa kesebelasan di atas lapangan hijau, adanya praktik suap atau korupsi dalam pengelolaan keuangan klub atau bahkan pengemplangan pajak dalam proses transfer pemain pun sering menjadi alasan kuat bagi para socis untuk melengserkan seorang presiden.
Sandro Rosell dituntut mundur dari kursi kepresidenannya karena kebijakannya yang buruk dan tersangkut masalah transfer Neymar di tahun 2013. Bahkan, Rosell di penghujung 2014, sempat menerima ancaman pembunuhan. Dentuman peluru di depan rumahnya berhasil memaksa Rosell meletakkan jabatannya dua tahun lebih cepat dari jadwal yang seharusnya pada 2016 nanti.
Socios sebagai Pemilik Suara
Sebetulnya banyak klub di Spanyol, terutama sebelum 1992, yang menganut sistem keanggotaan socios tersebut. Namun, sejalan dengan peraturan yang dikeluarkan RFEF pada 199, yang menyatakan bahwa kesebelasan dengan neraca keuangan yang negatif diharuskan mengubah kepemilikannya, banyak tim yang akhirnya berubah. Banyak dari mereka yang menjadi perusahaan publik dengan kepemilikian terbatas (SADs).
Hasilnya, hanya sisa empat kesebelasan (Barcelona, Real Madrid, Athletic Bilbao dan Osasuna) yang masih mempraktikkan sistem kepemilikan dan keanggotaan socios hingga hari ini.
Meski begitu, pada 2013 Michel Platini yang menjabat presiden UEFA, saat ia mengunjungi Bilbao, sempat mengutarakan kekagumannya terhadap sistem demokrasi ala socios yang dipraktikkan di Bilbao ini. Tak mengherankan jika ia langsung mengungkapkan hal tersebut karena ia sedang mengunjungi sebuah kota yang memiliki kesebelasan paling tradisional dan demokratis se-Liga Spanyol: Athletic Bilbao.
Platini mengungkapkan: “Perkumpulan anggota di suatu kesebelasan lebih terkontrol oleh sistem socios yang mana socios tersebutlah yang memiliki lahan mereka sendiri. Belum lagi socios yang juga menginvestasikan pembinaan pemain muda dan juga memelihara identitas kesebelasan mereka secara ideal dan utuh.”
Tak lupa juga Platini memuji sistem kepemilikan socios ini sebagai salah satu referensi ideal sebuah model kepemilikan sepakbola. Ia mengungkapkan bahwa para socios mampu menjaga neraca pengeluaran agar sebanding dengan pemasukan. Kontrol socios memungkinkan sebuah kesebelasan tidak bangkrut dengan mudah oleh godaan jor-joran dalam belanja pemain.
Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi di lapangan?
Layaknya rakyat yang bernaung pada suatu negara, para anggota socios ini sebetulnya hanya memiliki suara pada saat pemilihan presiden ataupun ketika diadakannya musyawarah umum atas penentuan suatu kebijakan. Sisanya, para socios sebetulnya menyerahkan setir kekuasaan pada seorang presiden terpilih.
Jadi, secara tidak langsung, para socios tidaklah benar-benar bisa mengatur pengeluaran klub seperti apa yang diharapkan Platini dalam kutipan di atas karena pada praktiknya, kebijakan semuanya ada ditangan seorang presiden itu sendiri.
Hal ini sejalan dengan kutipan Lincoln di bagian paling awal karena sesungguhnya, para socios yang bertindak sebagi voters akan menanggung hasil dari pilihannya dalam proses demokrasi tersebut. Mau tidak mau, buruk ataupun tidak buruk, semua tanggungannya akan berimbas pada kebijakan kesebelasan selama masa mandat dari presiden terpilih tersebut. Socios tak bisa ikut campur.
Mereka tentu bisa memprotes. Dan jika protes itu semakin massif, maka seorang presiden bisa dijatuhkan di tengah periode kekuasaannya. Tidak beda jauh dengan seorang kepala negara/pemerintahan yang dijatuhkan oleh massa yang berunjukrasa.
Menariknya, Real Madrid dan Barcelona ternyata menggunakan sistem keanggotaan socios sebagai bagian dari sejarah panjang mereka. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa peneletian menyebutkan bahwa socios Barcelona ternyata lebih proaktif dan kritis dalam kebijakan presiden dibandingkan socios Real Madrid. Rujukannya jelas: socis Real Madrid sudah ikut terbawa langgam pembelian pemain bintang ala Perez.
Pernyataan tersebut memang tak bisa disalahkan namun tak bisa juga sepenuhnya dibenarkan. Satu yang jelas adalah beberapa waktu yang lalu, FC Barcelona justru sedang sangat bergairah dalam urusan pemilihan presiden yang baru daripada sibuk dengan rumor belanja pemain dalam pasar transfer musim panas ini.
FC Barcelona pada musim panas ini memang tak terlalu panas dalam urusan pergerakan di bursa transfer. Meski sudah mendatangkan Alex Vidal dan Arda Turan beberapa pekan lalu, pergerakan transfer Barcelona tidak terlalu kencang.
Barcelona dan suporternya malah lebih sibuk menyimak kampanye-kampanye para kandidat presiden. Mereka sangat antusias menanti datangnya hari pemilihan yang dimajukan setahun. Harusnya, pemilihan presiden dilakukan pada musim panas 2016. Namun krisis akibat skandal transfer Neymar di era Rosell memaksa Barcelona untuk memajukan waktu pemilihan.
Setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya Josep Maria Bartomeu keluar sebagai pemenang dalam pemilihan presiden Barcelona untuk periode 2015 hingga 2021. Kemenangannya tak main-main, ia berhasil meraup 54, 63% suara, jauh meninggalkan para pesaingnya. 33,03% sisanya untuk Joan Laporta, 7, 16 % suara untuk Agusti Benedito dan hanya 3,7% suara saja untuk Toni Freixa.
Bahkan jumlah suara yang diraih ketiga pesaing Bartomeu, jika disatukan, nyatanya masih tak cukup untuk mengungguli 54,63% suara milik Bartomeu.
Hal tersebut tak mengherankan karena Bartomeu adalah calon presiden yang berstatus petahana. Sebagaimana pemilihan presiden sebuah negara, status sebagai petahana sangat membantunya dalam kampanye. Ada banyak fasilitas dan privilege yang ia miliki untuk memudahkannya meyakinkan para anggota socios untuk memilih dirinya.
Belum lagi ditambah dengan fakta raihan trigelar akhir musim lalu yang semakin menguatkan posisi Bartomeu di mata para socios. Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar voter hanya peduli dengan hasil di lapangan. Gelar dan kejayaan, biar bagaimanapun masih menjadi lambang kejayaan.
Posisi di atas angin Bartomeu ini sebetulnya mendapat saingan yang cukup serius ketika Joan Laporta maju sebagi calon presiden kali ini. Joan laporta adalah presiden tersukses Barcelona dalam kurun 2003 hingga 2010. Ia banyak melahirkan kebijakan finansial yang menyelamatkan Barcelona. Di masa kepemimpinannya pula Barcelona meraih banyak gelar (termasuk trigelar di era kepelatihan Pep Guardiola).
Lalu apa yang menyebabkan Laporta tak bisa menyaingi Bartomeu walau ia berstatus sebagai salah satu presiden terbaik dalam sejarah Barcelona?
Tanpa memedulikan capres lainnya seperti Agusti Benedito dan Toni Freixa, seorang Joan Laporta sebetunya hanya kalah strategi kampanye. Ia terlalu banyak mengungkit-ungkit sisa-sisa kejayaannya. Laporta terlalu banyak mengagungkan Pep Guardiola, sponsorhip dengan UNICEF dan hanya fokus menjatuhkan Bartomeu dengan tuduhan penggelapan dana transfer Neymar Jr. yang sudah membuat Rosell mundur dari jabatan presiden sebelum digantikan Bartomeu.
Cara kampanye yang kurang visioner tersebut pada akhirnya kalah dengan kampanye efektif nan licik a la Bartomeu. Sebelum mencalonkan diri kembali, Bartomeu sudah mengamankan jasa seorang Aleix Vidal dan memperpanjang kontrak sang pelatih Luis Enrique. Ia juga secara cerdik meyakinkan Dani Alves untuk bertahan dan memperpanjang kotrak Jordi Alba dan Pedro yang statusnya pemain asli La Masia.
Bahkan beberapa sumber meyakini, perekrutan Arda Turan oleh managing committee ada campur tangan Bartomeu yang saat itu tidak menjabat presiden lagi dan hanya berstatus kandidat presiden saja. Namun, ketika ditanya oleh beberapa media massa, Bartomeu berdalih kedatangan Arda Turan adalah permintaan Luis Enrique sendiri.
Dalam acara debat yang ditujukan untuk para kandidat di berbagai media massa, Bartomeu lebih terlihat menghindar dan hanya menghadiri debat resmi. Ia hanya fokus melakukan pendekatan terhadap para socios karena ia sadar hanya dari socis ia mendapatkan suara dalam pemilihan umum.
Fokus kampanye yang dijalani Bartomeu dalam meraih simpati para anggota socios yang sudah uzur dan para socis perempuan membuat ia unggul suara atas tiga pesaingnya. Sekali lagi, inilah demokrasi, semua socis berhak memilih, semuanya juga mesti lapang dada menerima hasilnya.
Kesimpulan
Selalu menarik jika mengikuti dinamika pemilihan presiden di suatu kesebelasan terutama di Liga Spanyol yang merupakan salah satu liga terbaik di dunia. Perjalanan panjang kandidat presiden dalam mengumbar janji-janji mereka menjadi keunikan tersindiri dibandingkan kesebelasan yang diakuisisi oleh para konglomerat.
Sudah barang tentu semua sistem kepemilikan ada sisi baik dan buruknya, termasuk model kepemilikan ala socios. Bahwa kini hanya tinggal empat kesebelasan yang masih mempertahankan sistem tersebut memperlihatkan bahwa socios juga punya kelemahan.
Tapi di tengah konglomerasi kepemilikan kesebelasan-kesebelasan Eropa, yang seringkali tidak memedulikan para suporter lokal, model kepemilikan ala socios ini bisa menjadi alternatif yang menarik untuk dipelajari. Agar ada warna yang berbeda, juga sebagai wacana tandingan terhadap libido para konglomerat dunia yang ingin menancapkan kukunya dalam industri sepakbola.
0 komentar:
Post a Comment