Wajah Eurasia di Xinjiang, Warisan Kuno di Rentang Peradaban
Xinjiang - Angka 13 sering diasosiasikan sebagai bilangan yang buruk. Namun tak demikian bila kita melancong ke ujung barat laut Tiongkok. Di sini, di 'Tanah Perbatasan Baru', adalah rumah bagi 13 etnis yang memancarkan pesona Eurasia.
'Perbatasan Baru (New Frontier)' adalah makna dari kata 'Xinjiang'. Detikcom bersama rombongan wartawan dari Indonesia dan Malaysia berkesempatan mengunjungi daerah itu dari 28 Juli hingga 6 Agustus 2015.
Hidung mancung ramping dan kulitterang berpadu dengan tulang pipi yang tinggi dan mata sipit.Perwajahan yang lekat dengan ciri orang-orang Eropa-Asia (Eurasia). Sosok-sosok seperti itu mudah dijumpai di Daerah OtonomiXinjiang Uyghur, Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
"Xinjiang adalah pusat dari daratan Asia dan Eropa, terlepas soal Rusia yang juga mengklaim hal yang sama," ujar Deputy Director General Foreign Affair Office of Xinjiang, Wu Guanrong di Kantor Hubungan Internasional Xinjiang, 226 Donghuan Road, Urumqi, Xinjiang.
Memang dari zaman dahulu kala, Xinjiang sudah menjadi tempat lewat dan medan pendudukan berbagai etnis. Apalagi wilayah ini juga bagian dari Jalur Sutera yang legendaris itu. Namun kini, ada 13 etnis yang dinyatakan sebagai penduduk asli Xinjiang.
Uyghur merupakan etnis terbesar dengan proporsi 46,4 persen. Disusul proporsi etnis Han, Kazakh, Hui, Khalkhas, Mongol, Tajik, Xibe, Manchu, Ozbek, Russian, Daur, dan Tatar.
Sekadar mengapresiasi keragaman manusia, sebagian dari 13 etnis itu memiliki ciri ras Kaukasoid. Sebagian lagi seperti Han, Hui, dan Mongol lebih lekat dengan ciri ras Mongoloid.
"Relasi antaretnis berjalan harmonis," ucap Wu Guanrong.
Memang harmonisasi itulah yang diperjuangkan semua orang, termasuk juga di Xinjiang. Tak bisa menutup telinga, publik internasional juga sudah kadung mendengar soal kerusuhan berbau etnis yang pernah pecah di Xinjiang.
Terlepas dari berita buruk, Xinjiang memiliki kondisi geografis yang unik. Setelah menikmati pegunungan sabana sejuk di daerah Altay di utara, kami juga sempat dibawa rombongan melaju sedikit lebih ke selatan dari Ibu Kota Xinjiang Urumqi. Bila semakin ke selatan, udara semakin panas. Bahkan di sini juga ada titik terendah di seluruh dunia. Orang yang terbiasa merasakan gerahnya Jakarta-pun bisa gelisah di tempat ini.
Namun bila melihat penduduk lokal, mereka nampak santai saja. Kulit mereka juga tak semuanya menghitam meski beraktivitas di bawah mentari, seperti berjualan atau bertani anggur. Mereka adalah etnis Uyghur, berciri Mongoloid dan Kaukasoid sekaligus. Orang Uyghur lebih mendominasi pandangan mata di Turpan Region yang kami kunjungi pada 4 Agustus 2015.
"Kalau mereka ke Indonesia, mereka bisa laku jadi artis sinetron," canda kawan dari Indonesia sambil mengamati wajah-wajah Uyghur.
Selain Turpan dan wilayah lain yang didominasi etnis Uyghur, ada pula Illi Kazakh sebagai wilayah etnis Kazakh, Changji sebagai tempat etnis Hui, atau juga Kizilu Kirghiz yang didominasi etnis Kyrgyz. Tentu perlu bertahun-tahun bila ingin mengapresiasi Xinjiang secara total, mengingat ada beragam etnis yang menghuninya.
Xinjiang tak bisa dilepaskan dari masa lalunya, mengingat kawasan ini adalah warisan peradaban milenium lampau. Mampir sejenak ke Shihezi University pada 5 Agustus, rombongan dibawa masuk ke museum. Ternyata di museum ini ada mumi warisan zaman dahulu kala.
Mumi ini terbalut kain di sekujur tubuh yang sudah berwarna coklat. Wajahnya juga tertutup kain, hanya menyisakan kelopak matanya, masih terlihat bulu mata lentik yang terkatup.
Meski bukan dari masa prasejarah, namun mumi orang biasa ini dipastikan wanita pemandu museum berasal dari ras Kaukasia, ras kulit putih sebagaimana penduduk Eropa dan Mediterania.
Sebenarnya, berdasarkan berbagai literatur, Xinjiang menyimpan mumi yang usianya mencapai 3,8 milenium. Mumi itu dikenal sebagai Cherchen Man hingga Loulan Beauty yang ditemukan di gurun Taklamakan Tarim Basin. Ciri mumi itu berambut coklat kemerahan, hidung panjang, dan bertulang pipi tinggi.
Menurut sejumlah ahli, mumi itu masuk kategori Ras Kaukasoid. Terlebih lagi, busana yang dikenakan mumi itu seperti Suku Celt di Eropa. Ada pula ahli yang menyebut, mumi itu adalah Bangsa Tocharian, satu bangsa rumpun Indo-Eropa yang sudah tak ada lagi.
Menurut berbagai sumber, Bangsa Tocharian yang bermata biru atau hijau itu kian terdesak oleh pergerakan bangsa lainnya. Tahun berganti abad dan milenia, konon Bangsa Uyghur yang berbahasa serumpun Turkic ini datang belakangan dari wilayah Mongolia. Xinjiang memang menjadi 'melting-pot' bangsa-bangsa masa lalu beserta rentang peradaban masing-masing.
Mengutip tulisan berjudul 'A Meeting of civilisations: The mystery of China's celtic mummies' yang dimuat di independent.co.uk pada 28 Agustus 2006, ahli berkata bahwa Uyghur datang ke Xinjiang dari Mongolia sekitar 842 Masehi.
Tulisan berjudul 'The Dead Tell a Tale China Doesn't Care to Listen To' yang dimuat di nytimes.com (The New York Times) pada 18 November 2008 menyatakan, sejumlah ahli asing menyatakan wilayah ini memang memuat sejarah heterogenitas pendudukan manusia.
Xinjiang - Angka 13 sering diasosiasikan sebagai bilangan yang buruk. Namun tak demikian bila kita melancong ke ujung barat laut Tiongkok. Di sini, di 'Tanah Perbatasan Baru', adalah rumah bagi 13 etnis yang memancarkan pesona Eurasia.
'Perbatasan Baru (New Frontier)' adalah makna dari kata 'Xinjiang'. Detikcom bersama rombongan wartawan dari Indonesia dan Malaysia berkesempatan mengunjungi daerah itu dari 28 Juli hingga 6 Agustus 2015.
Hidung mancung ramping dan kulitterang berpadu dengan tulang pipi yang tinggi dan mata sipit.Perwajahan yang lekat dengan ciri orang-orang Eropa-Asia (Eurasia). Sosok-sosok seperti itu mudah dijumpai di Daerah OtonomiXinjiang Uyghur, Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
"Xinjiang adalah pusat dari daratan Asia dan Eropa, terlepas soal Rusia yang juga mengklaim hal yang sama," ujar Deputy Director General Foreign Affair Office of Xinjiang, Wu Guanrong di Kantor Hubungan Internasional Xinjiang, 226 Donghuan Road, Urumqi, Xinjiang.
Memang dari zaman dahulu kala, Xinjiang sudah menjadi tempat lewat dan medan pendudukan berbagai etnis. Apalagi wilayah ini juga bagian dari Jalur Sutera yang legendaris itu. Namun kini, ada 13 etnis yang dinyatakan sebagai penduduk asli Xinjiang.
Uyghur merupakan etnis terbesar dengan proporsi 46,4 persen. Disusul proporsi etnis Han, Kazakh, Hui, Khalkhas, Mongol, Tajik, Xibe, Manchu, Ozbek, Russian, Daur, dan Tatar.
Sekadar mengapresiasi keragaman manusia, sebagian dari 13 etnis itu memiliki ciri ras Kaukasoid. Sebagian lagi seperti Han, Hui, dan Mongol lebih lekat dengan ciri ras Mongoloid.
"Relasi antaretnis berjalan harmonis," ucap Wu Guanrong.
Memang harmonisasi itulah yang diperjuangkan semua orang, termasuk juga di Xinjiang. Tak bisa menutup telinga, publik internasional juga sudah kadung mendengar soal kerusuhan berbau etnis yang pernah pecah di Xinjiang.
Terlepas dari berita buruk, Xinjiang memiliki kondisi geografis yang unik. Setelah menikmati pegunungan sabana sejuk di daerah Altay di utara, kami juga sempat dibawa rombongan melaju sedikit lebih ke selatan dari Ibu Kota Xinjiang Urumqi. Bila semakin ke selatan, udara semakin panas. Bahkan di sini juga ada titik terendah di seluruh dunia. Orang yang terbiasa merasakan gerahnya Jakarta-pun bisa gelisah di tempat ini.
Namun bila melihat penduduk lokal, mereka nampak santai saja. Kulit mereka juga tak semuanya menghitam meski beraktivitas di bawah mentari, seperti berjualan atau bertani anggur. Mereka adalah etnis Uyghur, berciri Mongoloid dan Kaukasoid sekaligus. Orang Uyghur lebih mendominasi pandangan mata di Turpan Region yang kami kunjungi pada 4 Agustus 2015.
"Kalau mereka ke Indonesia, mereka bisa laku jadi artis sinetron," canda kawan dari Indonesia sambil mengamati wajah-wajah Uyghur.
Selain Turpan dan wilayah lain yang didominasi etnis Uyghur, ada pula Illi Kazakh sebagai wilayah etnis Kazakh, Changji sebagai tempat etnis Hui, atau juga Kizilu Kirghiz yang didominasi etnis Kyrgyz. Tentu perlu bertahun-tahun bila ingin mengapresiasi Xinjiang secara total, mengingat ada beragam etnis yang menghuninya.
Xinjiang tak bisa dilepaskan dari masa lalunya, mengingat kawasan ini adalah warisan peradaban milenium lampau. Mampir sejenak ke Shihezi University pada 5 Agustus, rombongan dibawa masuk ke museum. Ternyata di museum ini ada mumi warisan zaman dahulu kala.
Mumi ini terbalut kain di sekujur tubuh yang sudah berwarna coklat. Wajahnya juga tertutup kain, hanya menyisakan kelopak matanya, masih terlihat bulu mata lentik yang terkatup.
Meski bukan dari masa prasejarah, namun mumi orang biasa ini dipastikan wanita pemandu museum berasal dari ras Kaukasia, ras kulit putih sebagaimana penduduk Eropa dan Mediterania.
Sebenarnya, berdasarkan berbagai literatur, Xinjiang menyimpan mumi yang usianya mencapai 3,8 milenium. Mumi itu dikenal sebagai Cherchen Man hingga Loulan Beauty yang ditemukan di gurun Taklamakan Tarim Basin. Ciri mumi itu berambut coklat kemerahan, hidung panjang, dan bertulang pipi tinggi.
Menurut sejumlah ahli, mumi itu masuk kategori Ras Kaukasoid. Terlebih lagi, busana yang dikenakan mumi itu seperti Suku Celt di Eropa. Ada pula ahli yang menyebut, mumi itu adalah Bangsa Tocharian, satu bangsa rumpun Indo-Eropa yang sudah tak ada lagi.
Menurut berbagai sumber, Bangsa Tocharian yang bermata biru atau hijau itu kian terdesak oleh pergerakan bangsa lainnya. Tahun berganti abad dan milenia, konon Bangsa Uyghur yang berbahasa serumpun Turkic ini datang belakangan dari wilayah Mongolia. Xinjiang memang menjadi 'melting-pot' bangsa-bangsa masa lalu beserta rentang peradaban masing-masing.
Mengutip tulisan berjudul 'A Meeting of civilisations: The mystery of China's celtic mummies' yang dimuat di independent.co.uk pada 28 Agustus 2006, ahli berkata bahwa Uyghur datang ke Xinjiang dari Mongolia sekitar 842 Masehi.
Tulisan berjudul 'The Dead Tell a Tale China Doesn't Care to Listen To' yang dimuat di nytimes.com (The New York Times) pada 18 November 2008 menyatakan, sejumlah ahli asing menyatakan wilayah ini memang memuat sejarah heterogenitas pendudukan manusia.
0 komentar:
Post a Comment