Pasukan Pembunuh dari Utara
Ko Yong-suk punya semua alasan untuk ketakutan dan enggan berbicara kepada wartawan. Yong-suk bersama suaminya, Ri Gang, lari dari tanah kelahirannya, Korea Utara. Sudah hampir 20 tahun mereka “bersembunyi” di Amerika Serikat, negara musuh bebuyutan negeri asalnya.
Yong-suk bukan sembarang warga di Pyongyang, jantung kekuasaan Korea Utara. Saudara kandung Yong-suk, Ko Yong-hui, merupakan ibu kandung pemimpin tertinggi Korea Utara saat ini, Kim Jong-un. Yong-hui dan Yong-suk berasal dari keluarga jelata. Tapi nasib mereka berubah sangat cepat setelah Yong-hui menarik perhatian Kim Jong-il, calon ahli waris kekuasaan di Pyongyang, pada awal 1970-an.
Tak hanya berstatus bibi, Yong-suk lumayan dekat dengan Jong-un. Saat Jong-un bersekolah di Swiss, Yong-suk-lah yang menemani dan mengasuhnya. Putra pertamanya juga seumuran dengan Jong-un. Dulu dua anak ini teman sepermainan. “Akulah yang mengganti popok kedua anak itu,” kata Yong-suk, kepada Washington Post pertengahan 2016, diiringi tawa berderai.
Setelah belasan tahun tinggal di Amerika, akhirnya Yong-suk mau bicara dengan wartawan Washington Post. Tapi dia pasang banyak syarat demi alasan keamanan. Dia tak mau difoto, tak bersedia mengungkapkan nama yang dia pakai di Amerika, juga meminta kota tempat dia tinggal tak ditulis.
Yong-suk terbang dari Pyongyang ke Kota Bern, Swiss, bersama Kim Jong-chul, kakak Jong-un, pada 1992. Empat tahun kemudian, Jong-un menyusul. Mereka berdua bersekolah di Schule Liebefeld Steinhoelzli. Sehari-hari, Yong-suk-lah yang mengurus semua keperluan dua bocah itu.
Yong-suk pulalah yang menemani anak-anak penguasa Korea Utara ini piknik ke pelbagai tempat di Eropa. “Dia bukan tukang berulah, tapi Jong-un memang bukan anak yang sabar. Dia juga sulit bertoleransi,” kata Yong-suk soal keponakannya, Kim Jong-un. Ketika semua orang di sekeliling selalu tunduk dan membungkuk, Yong-suk memaklumi, seorang bocah akan sulit tumbuh dengan normal.
Pada 1998, Yong-suk mendengar kabar bahwa saudaranya, Ko Yong-hui, terkena kanker stadium lanjut. Peluang Yong-hui untuk pulih sangat kecil. Tinggal di negara seperti Korea Utara dan sebagai saudara yang “pasang-surut” hidupnya banyak bergantung pada pengaruh Yong-hui, keluarga Yong-suk mulai cemas dengan nasib mereka jika sang kakak benar-benar meninggal.
Suatu siang, Yong-suk bersama suami dan dua anak mereka naik taksi menuju kantor Kedutaan Amerika di Swiss. Kepada petugas, mereka menyampaikan bahwa mereka keluarga diplomat Korea Utara dan berniat minta suaka. Setelah melewati proses lumayan panjang, keluarga Yong-suk mendarat di Amerika Serikat. Bagi Dinas Intelijen Amerika (CIA), keluarga Yong-suk merupakan aset sangat berharga. Sangat langka ada pembelot dari lingkaran kekuasaan paling dalam di Pyongyang.
Setelah sempat terseok-seok beradaptasi dengan kehidupan di Amerika yang sangat jauh beda dari negaranya, kini keluarga Yong-suk hidup lumayan makmur. Dua anak pasangan Yong-suk-Ri Gang sudah lulus kuliah dan punya pekerjaan mapan. “Aku pikir kami sudah mencapai ‘mimpi Amerika’,” Ri Gang terbahak.
Kendati sudah hidup enak di Amerika, mereka berdua masih sangat berhati-hati jika bicara soal Pyongyang, terutama mengenai “Marshal Kim Jong-un”, panggilan mereka untuk sang keponakan. Mereka sangat paham bagaimana nasib orang-orang yang bicara jelek soal Jong-un atau dilabeli musuh oleh penguasa Pyongyang.
Ada banyak contoh bagaimana nasib orang-orang yang membuat penguasa Pyongyang tidak senang. Bertahun-tahun lalu, Park Sang-hak merupakan bagian dari kelas elite di Korea Utara. Ayahnya seorang pejabat tinggi di Dinas Intelijen Korea Utara. Mereka tinggal di apartemen lumayan besar di Pyongyang.
Sehari-hari ayahnya mengendarai sedan Mercedes-Benz, sementara Sang-hak yang masih kuliah punya sepeda motor Honda. Keduanya barang langka di negeri komunis tersebut. Lulus kuliah, Sang-hak tak perlu susah-susah cari pekerjaan. Berkat pengaruh ayahnya, dia langsung mendapat jabatan di Departemen Propaganda. Tugasnya, menyebarkan puja-puji untuk Kim Il-sung dan keturunannya.
“Bagi warga Korea Utara, Kim Il-sung sudah seperti melampaui Tuhan,” kata Sang-hak, dikutip San Francisco Chronicle. Semua “kemewahan” itu kontan sirna saat suatu hari datang pesan dari ayahnya yang tengah bertugas di Hong Kong. Ayahnya berpesan supaya Sang-hak, ibunya, dan adik-adiknya segera berkemas dan lari dari Korea Utara. Rupanya beberapa teman ayahnya ditangkap dan disiksa. Setelah lewat perjalanan berliku, Sang-hak dan keluarganya berkumpul di Korea Selatan sebagai pelarian.
Sekarang Sang-hak jadi musuh bebuyutan rezim Korea Utara. Bersama sesama pelarian di Selatan, Sang-hak rutin menerbangkan balon yang mengangkut propaganda anti-Pyongyang ke Korea Utara. Berkali-kali Pyongyang melontarkan ancaman kepada Sang-hak dan teman-temannya. Dan ancaman itu bukan gertakan belaka.
Lima tahun lalu, seorang mantan prajurit komando Korea Utara berusaha membunuhnya dengan jarum beracun dan pistol yang bentuknya menyerupai senter. Tapi rencana pembunuhan itu keburu terendus Dinas Intelijen Korea Selatan. “Aku belum pernah melihat senjata seperti ini,” ujar seorang petugas yang menyelidiki kasus tersebut kepada CNN, menunjuk senjata senter itu. Ada tiga peluru yang siap ditembakkan dalam “senter” itu.
* * *
Ada darah yang sama mengalir dalam tubuh mereka. Sang kakek, Kim Il-sung; sang ayah, Kim Jong-il; dan sang cucu sekaligus penguasa Korea Utara hari ini, Kim Jong-un.
Pada Oktober 1983, Kim Il-sung, pemimpin revolusi dan pemimpin tertinggi Korea Utara, mengirim sekelompok prajuritnya ke Rangoon, Myanmar. Di antara serdadu ini adalah Kang Min-chul, prajurit dari kesatuan elite Kang Chang-su. Bersama dua temannya, Kim Jin-su dan Shin Ki-chul, Min-chul memasang bom di langit-langit Mausoleum Martir.
Jika semuanya sesuai dengan rencana, pada 9 Oktober, Presiden Korea Selatan Chun Doo-hwan bersama rombongan akan melawat ke Rangoon dan menaruh karangan bunga di Mausoleum Martir sebagai penghormatan kepada para pendiri Myanmar. Rencana tinggal rencana. Presiden Chun datang telat. Tapi Min-chul, yang mendengar bunyi tetabuhan dari kejauhan, menyangka Presiden Chun telah tiba di Mausoleum dan mengaktifkan detonator dari jauh.
Bummm…. Hari itu 21 orang tewas di Mausoleum Martir, termasuk empat Menteri Korea Selatan. Shin Ki-chul tewas ditembak polisi Myanmar dalam pelarian. Jin-su dan Min-chul tertangkap. Pengadilan Myanmar memerintahkan hukuman mati untuk Kim Jin-su.
Nyawa Min-chul terselamatkan, tapi sebagai gantinya, dia harus membeberkan semua detail operasi rencana pembunuhan Presiden Chun. Tapi Pyongyang menyanggah semua keterangan Min-chul. Hingga meninggal di Penjara Insein, Myanmar, pada Mei 2008, tak ada satu pun pejabat dari Korea Utara pernah datang mengunjungi Kang Min-chul.
Operasi rahasia di Rangoon bukanlah pertama kalinya Pyongyang mengirim prajuritnya untuk membunuh Presiden Korea Selatan. Di tengah dingin menggigit tulang menjelang tengah malam pada pertengahan Januari 1968, Letnan Kim Shin-jo bersama 30 prajurit komando dari kesatuan elite Unit 124, Korea Utara, menyusup perbatasan Korea Selatan dengan menempuh ladang ranjau darat.
Tugas dari pemimpin mereka, Kim Il-sung, hanya satu: bunuh Presiden Korea Selatan Park Chung-hee. “Perintah untukku sangat jelas: Gunakan senapanmu. Tembak dia,” kata Shin-jo kepada New York Times beberapa tahun lalu.
Operasi pembunuhan Presiden Park, menurut Letnan Shin-jo, sudah direncanakan sangat matang. Seluruh prajurit yang dikirim ke Selatan sudah berlatih selama berbulan-bulan. Mereka juga sudah menguasai “jalur-jalur tikus” di pegunungan menuju Ibu Kota Seoul dan punya gambar sangat detail Blue House atau Istana Biru, kediaman resmi Presiden Park.
Supaya rencana operasi tak bocor, mereka semua menyamar sebagai prajurit Divisi Infanteri Ke-26 Korea Selatan. Setiap orang yang ditemui di jalan dan bisa membocorkan rahasia, komandan mereka memberi titah, tembak saja tanpa ragu. Seandainya ada di antara mereka yang tertangkap, menurut Shin-jo, mereka juga telah dilatih cara untuk mengakhiri hidup sendiri.
Menjelang tengah malam pada 21 Januari 1968, pecah baku tembak di depan Rumah Biru. Dari 31 prajurit Unit 124, hanya dua orang yang selamat. Shin-jo menyerah setelah terkepung, satu temannya, Park Jae-kyung, berhasil lolos dan menyeberang kembali ke Utara.
“Aku masih muda, bujangan, dan ingin hidup lama,” Shin-jo menjelaskan alasannya mengapa pilih menyerah ketimbang bunuh diri. Setelah sempat beberapa tahun ditahan, pemerintah Korea Selatan mengampuni “dosa” Shin-jo.
Park Sang-hak, pembelot dari Korea Utara
Ko Yong-suk punya semua alasan untuk ketakutan dan enggan berbicara kepada wartawan. Yong-suk bersama suaminya, Ri Gang, lari dari tanah kelahirannya, Korea Utara. Sudah hampir 20 tahun mereka “bersembunyi” di Amerika Serikat, negara musuh bebuyutan negeri asalnya.
Yong-suk bukan sembarang warga di Pyongyang, jantung kekuasaan Korea Utara. Saudara kandung Yong-suk, Ko Yong-hui, merupakan ibu kandung pemimpin tertinggi Korea Utara saat ini, Kim Jong-un. Yong-hui dan Yong-suk berasal dari keluarga jelata. Tapi nasib mereka berubah sangat cepat setelah Yong-hui menarik perhatian Kim Jong-il, calon ahli waris kekuasaan di Pyongyang, pada awal 1970-an.
Tak hanya berstatus bibi, Yong-suk lumayan dekat dengan Jong-un. Saat Jong-un bersekolah di Swiss, Yong-suk-lah yang menemani dan mengasuhnya. Putra pertamanya juga seumuran dengan Jong-un. Dulu dua anak ini teman sepermainan. “Akulah yang mengganti popok kedua anak itu,” kata Yong-suk, kepada Washington Post pertengahan 2016, diiringi tawa berderai.
Setelah belasan tahun tinggal di Amerika, akhirnya Yong-suk mau bicara dengan wartawan Washington Post. Tapi dia pasang banyak syarat demi alasan keamanan. Dia tak mau difoto, tak bersedia mengungkapkan nama yang dia pakai di Amerika, juga meminta kota tempat dia tinggal tak ditulis.
Yong-suk terbang dari Pyongyang ke Kota Bern, Swiss, bersama Kim Jong-chul, kakak Jong-un, pada 1992. Empat tahun kemudian, Jong-un menyusul. Mereka berdua bersekolah di Schule Liebefeld Steinhoelzli. Sehari-hari, Yong-suk-lah yang mengurus semua keperluan dua bocah itu.
Yong-suk pulalah yang menemani anak-anak penguasa Korea Utara ini piknik ke pelbagai tempat di Eropa. “Dia bukan tukang berulah, tapi Jong-un memang bukan anak yang sabar. Dia juga sulit bertoleransi,” kata Yong-suk soal keponakannya, Kim Jong-un. Ketika semua orang di sekeliling selalu tunduk dan membungkuk, Yong-suk memaklumi, seorang bocah akan sulit tumbuh dengan normal.
Pada 1998, Yong-suk mendengar kabar bahwa saudaranya, Ko Yong-hui, terkena kanker stadium lanjut. Peluang Yong-hui untuk pulih sangat kecil. Tinggal di negara seperti Korea Utara dan sebagai saudara yang “pasang-surut” hidupnya banyak bergantung pada pengaruh Yong-hui, keluarga Yong-suk mulai cemas dengan nasib mereka jika sang kakak benar-benar meninggal.
Suatu siang, Yong-suk bersama suami dan dua anak mereka naik taksi menuju kantor Kedutaan Amerika di Swiss. Kepada petugas, mereka menyampaikan bahwa mereka keluarga diplomat Korea Utara dan berniat minta suaka. Setelah melewati proses lumayan panjang, keluarga Yong-suk mendarat di Amerika Serikat. Bagi Dinas Intelijen Amerika (CIA), keluarga Yong-suk merupakan aset sangat berharga. Sangat langka ada pembelot dari lingkaran kekuasaan paling dalam di Pyongyang.
Setelah sempat terseok-seok beradaptasi dengan kehidupan di Amerika yang sangat jauh beda dari negaranya, kini keluarga Yong-suk hidup lumayan makmur. Dua anak pasangan Yong-suk-Ri Gang sudah lulus kuliah dan punya pekerjaan mapan. “Aku pikir kami sudah mencapai ‘mimpi Amerika’,” Ri Gang terbahak.
Kendati sudah hidup enak di Amerika, mereka berdua masih sangat berhati-hati jika bicara soal Pyongyang, terutama mengenai “Marshal Kim Jong-un”, panggilan mereka untuk sang keponakan. Mereka sangat paham bagaimana nasib orang-orang yang bicara jelek soal Jong-un atau dilabeli musuh oleh penguasa Pyongyang.
Ada banyak contoh bagaimana nasib orang-orang yang membuat penguasa Pyongyang tidak senang. Bertahun-tahun lalu, Park Sang-hak merupakan bagian dari kelas elite di Korea Utara. Ayahnya seorang pejabat tinggi di Dinas Intelijen Korea Utara. Mereka tinggal di apartemen lumayan besar di Pyongyang.
Sehari-hari ayahnya mengendarai sedan Mercedes-Benz, sementara Sang-hak yang masih kuliah punya sepeda motor Honda. Keduanya barang langka di negeri komunis tersebut. Lulus kuliah, Sang-hak tak perlu susah-susah cari pekerjaan. Berkat pengaruh ayahnya, dia langsung mendapat jabatan di Departemen Propaganda. Tugasnya, menyebarkan puja-puji untuk Kim Il-sung dan keturunannya.
“Bagi warga Korea Utara, Kim Il-sung sudah seperti melampaui Tuhan,” kata Sang-hak, dikutip San Francisco Chronicle. Semua “kemewahan” itu kontan sirna saat suatu hari datang pesan dari ayahnya yang tengah bertugas di Hong Kong. Ayahnya berpesan supaya Sang-hak, ibunya, dan adik-adiknya segera berkemas dan lari dari Korea Utara. Rupanya beberapa teman ayahnya ditangkap dan disiksa. Setelah lewat perjalanan berliku, Sang-hak dan keluarganya berkumpul di Korea Selatan sebagai pelarian.
Sekarang Sang-hak jadi musuh bebuyutan rezim Korea Utara. Bersama sesama pelarian di Selatan, Sang-hak rutin menerbangkan balon yang mengangkut propaganda anti-Pyongyang ke Korea Utara. Berkali-kali Pyongyang melontarkan ancaman kepada Sang-hak dan teman-temannya. Dan ancaman itu bukan gertakan belaka.
Lima tahun lalu, seorang mantan prajurit komando Korea Utara berusaha membunuhnya dengan jarum beracun dan pistol yang bentuknya menyerupai senter. Tapi rencana pembunuhan itu keburu terendus Dinas Intelijen Korea Selatan. “Aku belum pernah melihat senjata seperti ini,” ujar seorang petugas yang menyelidiki kasus tersebut kepada CNN, menunjuk senjata senter itu. Ada tiga peluru yang siap ditembakkan dalam “senter” itu.
* * *
Ada darah yang sama mengalir dalam tubuh mereka. Sang kakek, Kim Il-sung; sang ayah, Kim Jong-il; dan sang cucu sekaligus penguasa Korea Utara hari ini, Kim Jong-un.
Pada Oktober 1983, Kim Il-sung, pemimpin revolusi dan pemimpin tertinggi Korea Utara, mengirim sekelompok prajuritnya ke Rangoon, Myanmar. Di antara serdadu ini adalah Kang Min-chul, prajurit dari kesatuan elite Kang Chang-su. Bersama dua temannya, Kim Jin-su dan Shin Ki-chul, Min-chul memasang bom di langit-langit Mausoleum Martir.
Jika semuanya sesuai dengan rencana, pada 9 Oktober, Presiden Korea Selatan Chun Doo-hwan bersama rombongan akan melawat ke Rangoon dan menaruh karangan bunga di Mausoleum Martir sebagai penghormatan kepada para pendiri Myanmar. Rencana tinggal rencana. Presiden Chun datang telat. Tapi Min-chul, yang mendengar bunyi tetabuhan dari kejauhan, menyangka Presiden Chun telah tiba di Mausoleum dan mengaktifkan detonator dari jauh.
Bummm…. Hari itu 21 orang tewas di Mausoleum Martir, termasuk empat Menteri Korea Selatan. Shin Ki-chul tewas ditembak polisi Myanmar dalam pelarian. Jin-su dan Min-chul tertangkap. Pengadilan Myanmar memerintahkan hukuman mati untuk Kim Jin-su.
Nyawa Min-chul terselamatkan, tapi sebagai gantinya, dia harus membeberkan semua detail operasi rencana pembunuhan Presiden Chun. Tapi Pyongyang menyanggah semua keterangan Min-chul. Hingga meninggal di Penjara Insein, Myanmar, pada Mei 2008, tak ada satu pun pejabat dari Korea Utara pernah datang mengunjungi Kang Min-chul.
Operasi rahasia di Rangoon bukanlah pertama kalinya Pyongyang mengirim prajuritnya untuk membunuh Presiden Korea Selatan. Di tengah dingin menggigit tulang menjelang tengah malam pada pertengahan Januari 1968, Letnan Kim Shin-jo bersama 30 prajurit komando dari kesatuan elite Unit 124, Korea Utara, menyusup perbatasan Korea Selatan dengan menempuh ladang ranjau darat.
Tugas dari pemimpin mereka, Kim Il-sung, hanya satu: bunuh Presiden Korea Selatan Park Chung-hee. “Perintah untukku sangat jelas: Gunakan senapanmu. Tembak dia,” kata Shin-jo kepada New York Times beberapa tahun lalu.
Operasi pembunuhan Presiden Park, menurut Letnan Shin-jo, sudah direncanakan sangat matang. Seluruh prajurit yang dikirim ke Selatan sudah berlatih selama berbulan-bulan. Mereka juga sudah menguasai “jalur-jalur tikus” di pegunungan menuju Ibu Kota Seoul dan punya gambar sangat detail Blue House atau Istana Biru, kediaman resmi Presiden Park.
Supaya rencana operasi tak bocor, mereka semua menyamar sebagai prajurit Divisi Infanteri Ke-26 Korea Selatan. Setiap orang yang ditemui di jalan dan bisa membocorkan rahasia, komandan mereka memberi titah, tembak saja tanpa ragu. Seandainya ada di antara mereka yang tertangkap, menurut Shin-jo, mereka juga telah dilatih cara untuk mengakhiri hidup sendiri.
Menjelang tengah malam pada 21 Januari 1968, pecah baku tembak di depan Rumah Biru. Dari 31 prajurit Unit 124, hanya dua orang yang selamat. Shin-jo menyerah setelah terkepung, satu temannya, Park Jae-kyung, berhasil lolos dan menyeberang kembali ke Utara.
“Aku masih muda, bujangan, dan ingin hidup lama,” Shin-jo menjelaskan alasannya mengapa pilih menyerah ketimbang bunuh diri. Setelah sempat beberapa tahun ditahan, pemerintah Korea Selatan mengampuni “dosa” Shin-jo.
0 komentar:
Post a Comment