728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Zionisme, Imigrasi, dan Negara Yahudi

    Pertempuran antara Israel dan Kelompok Hamas, yang menguasai Gaza, sebenarnya adalah rangkaian dari sebuah konflik panjang yang berakar sejak lama. Bahkan jika dirunut lagi ke belakang, konflik dua bangsa ini sudah terjadi di zaman para nabi. Masih ingat kisah Daud melawan Goliat? Nah, Goliat itu adalah perwakilan bangsa Filistin yang kemungkinan besar adalah nama kuno bangsa Palestina. Jadi, bisa dibayangkan betapa kunonya konflik kedua bangsa ini.

    Namun, berbicara soal konflik modern Israel-Palestina mungkin bisa dirunut hingga akhir abad ke-19, sebelum pecahnya Perang Dunia I. Saat itu, Timur Tengah merupakan wilayah kekuasaan Kekaisaran Ottoman Turki selama lebih dari 400 tahun. Menjelang akhir abad ke-19, Palestina atau saat itu disebut Suriah Selatan dipecah menjadi Provinsi Suriah, Beirut, serta Jerusalem oleh penguasa Ottoman.

    Saat itu Palestina didominasi warga Arab Muslim dengan sedikit warga Kristen Arab, Druze, Sirkasian, dan Yahudi. Meski hidup di bawah penjajahan bangsa Turki, tetapi kehidupan di kawasan ini bisa dikatakan jauh dari konflik dan kekerasan.

    Sementara itu, nun di Benua Biru, warga Yahudi yang banyak tersebar di Eropa Tengah dan Eropa Timur sudah sejak lama memimpikan "kembali ke Zion" atau sederhananya adalah kembali ke tanah yang dijanjikan Tuhan. Namun, imigrasi ke Palestina atau yang mereka sebut sebagai Tanah Israel baru dilakukan secara sendiri-sendiri atau kelompok-kelompok kecil dan niat mendirikan sebuah negara Yahudi belum tebersit.

    Niat mendirikan negara Yahudi muncul sekitar 1859-1880 ketika gelombang anti-Semit mulai melanda Eropa dan Rusia. Inilah yang memicu terbentuknya Gerakan Zionisme pada 1897. Gerakan ini menginginkan pembentukan sebuah negara Yahudi sebagai suaka untuk semua bangsa Yahudi di berbagai pelosok dunia. Kelompok ini pernah mempertimbangkan beberapa lokasi di Afrika dan Amerika sebelum akhirnya memilih Palestina sebagai tujuan akhir.

    Seperti disinggung di atas, Palestina saat itu masih berupa kawasan yang menjadi kekuasaan Kekaisaran Ottoman Turki. Gerakan Zionisme yang didukung Dana Nasional Yahudi kemudian mendanai pembelian tanah di Palestina yang masih menjadi jajahan Ottoman Turki untuk pembangunan permukiman para imigran Yahudi. Gelombang imigrasi Yahudi, setelah terbentuknya Organisasi Zionis Dunia, kini menjadi lebih terorganisasi dengan tujuan yang jauh lebih jelas di masa mendatang.

    Pada awalnya, imigrasi warga Yahudi ke Palestina tidak menimbulkan masalah di Palestina. Namun, dengan semakin banyaknya imigran Yahudi yang datang, semakin banyak pula tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan permukiman. Konflik dan sengketa perebutan tanah tak jarang terjadi antara kedua bangsa ini.

    Semakin meningkatnya jumlah imigran Yahudi di Palestina ternyata juga membuat Kekaisaran Ottoman khawatir. Namun, kekhawatiran mereka lebih didasari fakta bahwa kebanyakan imigran Yahudi itu datang dari Rusia yang adalah musuh utama Ottoman dalam perebutan kekuasaan di kawasan Balkan.

    Ottoman khawatir para pendatang Yahudi dari Rusia ini akan menjadi perpanjangan tangan negeri asalnya untuk melemahkan kekuasaan Ottoman di Timur Tengah. Sehingga, kekerasan pertama yang menimpa para imigran Yahudi pada 1880-an di Palestina—khususnya yang dilakukan Turki Ottoman—adalah karena mereka dianggap sebagai bangsa Rusia atau Eropa, bukan karena mereka adalah Yahudi.

    Langkah menentang imigran Yahudi pun dilakukan para penduduk lokal, khususnya warga Arab. Mereka mulai memprotes akuisisi tanah oleh pendatang Yahudi. Atas aksi protes ini akhirnya Kekaisaran Turki Ottoman menghentikan penjualan tanah kepada para imigran dan orang asing. Meski demikian, pada 1914 jumlah warga Yahudi di Palestina sudah berjumlah 66.000 orang, separuhnya adalah para pendatang baru.

    Keruntuhan Ottoman dan Mandat Palestina

    Ketika Perang Dunia I pecah (1914-1918), Kekaisaran Ottoman Turki memilih menjadi sekutu Jerman. Itu berarti, Ottoman Turki berseberangan dengan Inggris dan Perancis yang juga menjadi musuh "alami" Jerman.

    Situasi ini diamati dengan baik oleh kelompok Zionis yang semakin kuat dan para pelopor pergerakan nasionalisme Arab. Kedua kelompok ini melihat peluang untuk mendepak Ottoman Turki dari kawasan Timur Tengah sehingga kedua kelompok ini pun memilih untuk memihak Inggris.

    Di sela-sela perang, berbagai upaya diplomatik dilakukan baik oleh kelompok Zionis maupun Arab demi kepentingan mereka masing-masing. Salah satunya adalah korespondensi Pemimpin Mekkah Hussein bin Ali dengan Komisioner Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.

    Inti dari surat-menyurat yang terjadi antara 1914-1915 itu adalah bangsa Arab berjanji akan bersekutu dengan Inggris dan sebagai imbalan di saat perang berakhir Inggris harus mengakui kemerdekaan negara-negara Arab.

    Namun, kemudian terungkap bahwa Inggris dan Perancis menandatangani perjanjian Sykes-Picot 1917 yang isinya adalah rencana kedua negara membagi wilayah-wilayah yang dulunya adalah milik Turki Ottoman.

    Gerilya diplomatik juga dilakukan kelompok Zionis. Pemimpin komunitas Yahudi di Inggris, Baron Rothschild, membangun hubungan dengan Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour.

    Kemudian Balfour membuat pernyataan pada 2 November 1917 yang dikenal dengan "Deklarasi Balfour" yang isinya adalah Inggris akan mengupayakan Palestina sebagai rumah bagi bangsa Yahudi, tetapi dengan jaminan tidak akan mengganggu hak keagamaan dan sipil warga non-Yahudi di Palestina.

    Dengan isi yang sedemikian mendukung pembentukan negara Yahudi yang dicita-citakan kelompok Zionis, maka tak heran jika Deklarasi Balfour dianggap sebagai batu penjuru terbentuknya negara Yahudi atau Israel saat ini.

    Mandat Palestina

    Deklarasi Balfour ini kemudian dimasukkan ke dalam Perjanjian Damai Sevres pada 10 Agustus 1920 antara Ottoman Turki dan sekutu di pengujung Perang Dunia I. Inti dari perjanjian ini adalah pembagian wilayah milik Kekaisaran Turki Ottoman. Perjanjian ini sekaligus menandai keruntuhan Kekaisaran Ottoman Turki.

    Pembagian ini meliputi wilayah Mandat Perancis seperti Suriah dan Lebanon. Sementara Irak dan Palestina berada di bawah Mandat Inggris. Inggris menempatkan Faisal—putra pemimpin Mekkah Hussein bin Ali—sebagai Raja Irak.

    Sedangkan Palestina dibagi dua. Sebelah timur menjadi Transjordania yang diberikan kepada Abdullah—putra lain Hussein bin Ali. Sedangkan bagian barat yang tetap dinamai Palestina berada langsung di bawah kendali Inggris.

    Selama masa Mandat Palestina ini, imigrasi Yahudi ke Palestina bertumbuh secara signifikan. Selain karena mendapat perlindungan Inggris, imigrasi Yahudi ini didorong maraknya gerakan anti-Semit di Eropa, misalnya di Ukraina yang mengakibatkan setidaknya 100.000 orang Yahudi tewas dibunuh pada 1905.

    Antara 1919-1926 sedikitnya 90.000 imigran Yahudi tiba di Palestina, mereka langsung menempati komunitas-komunitas Yahudi yang didirikan di atas tanah yang telah dibeli secara legal oleh agen-agen Zionis dari para tuan tanah Arab.

    Tak jarang pembelian tanah ini menggusur para petani penggarap Arab. Kondisi ini membuat warga Arab Palestina merasa disingkirkan. Situasi ini ditambah keinginan menentukan nasib sendiri, semakin menumbuhkan gerakan nasionalisme Palestina.

    Selain itu, warga Arab Palestina menentang gelombang imigrasi Yahudi ini karena mereka khawatir, semakin banyaknya warga Yahudi akan mengancam identitas nasional mereka.

    Akibatnya, sepanjang dekade 1920-an, hubungan antara kelompok Yahudi dan Arab di Palestina memanas dan bentrok kekerasan antara kedua kubu semakin sering terjadi.

    Konflik-konflik Awal di Mandat Palestina

    Seperti dibahas di tulisan sebelumnya, kekalahan Kekaisaran Ottoman Turki dalam Perang Dunia I (1914-1918) membuat wilayah kerajaan itu jatuh ke tangan Inggris dan Perancis. Salah satu wilayah yang menjadi "tanggung jawab" Inggris adalah Mandat Palestina. Di bawah Inggris—berdasarkan Deklarasi Balfour 1917—populasi imigran Yahudi di Palestina terus bertambah.

    Pada 1920, Ulama Utama Jerusalem Mohammad Amin al-Husayni (1897-1974) menjadi pemimpin gerakan Palestina Arab dan memainkan peranan penting dalam gerakan-gerakan awal menentang Deklarasi Balfour dan imigrasi masif Yahudi ke Palestina.

    Namun, kerusuhan besar pertama di wilayah Mandat Palestina terjadi pada 1-7 Mei 1921 yang dikenal dengan Kerusuhan Jaffa. Awalnya kerusuhan ini adalah antardua kelompok Yahudi yang kemudian melebar hingga melibatkan kelompok penduduk Arab.

    Kerusuhan ini berawal saat Partai Komunis Yahudi pada 1 Mei 1921 mengajak bangsa Arab dan Yahudi untuk menggulingkan kekuasaan Inggris di Palestina dan mendirikan sebuah negara Palestina yang berafiliasi dengan Uni Soviet.

    Partai menyampaikan niat ini dalam sebuah parade dari kota Jaffa ke Tel Aviv saat merayakan Hari Buruh Sedunia atau May Day. Parade ini melintasi sebuah perkampungan bernama Manshiyya yang berpenghuni campuran Arab dan Yahudi.

    Ternyata ada parade May Day lain yang dilakukan kelompok pesaing dari Tel Aviv, Ahdut HaAvoda. Kelompok ini melakukan parade tanpa memberitahu polisi. Saat kedua kelompok bertemu, bentrokan tak terelakkan.

    Polisi berusaha memisahkan sekitar 50 orang pengunjuk rasa komunis. Sementara warga Arab Kristen dan Islam ikut campur untuk membantu polisi melawan orang Yahudi. Insiden ini dengan cepat menyebar ke bagian selatan kota.

    Warga Arab di Jaffa mengira terjadi pemukulan terhadap saudara-saudaranya sambil membawa berbagai senjata menyerang permukiman Yahudi. Selanjutnya kerusuhan berlanjut selama beberapa hari di beberapa kota, seperti Rehovot, Kfar Sava, Petah Tikva, dan Hadera.

    Kerusuhan itu berakhir pada 7 Mei 1921 dan mengakibatkan 47 orang Yahudi serta 48 orang Arab tewas. Selain itu, 146 orang Yahudi dan 73 Arab terluka. Ribuan warga Yahudi Jaffa akhirnya meninggalkan kota itu dan mencari perlindungan di Tel Aviv yang pada saat itu masih didominasi tenda dan rumah-rumah sementara di tepi pantai.

    Salah satu akibat dari kerusuhan Jaffa ini adalah pembentukan Haganah—pasukan para militer Yahudi. Haganah inilah yang menjadi cikal bakal angkatan bersenjata Israel kelak.

    Kerusuhan Palestina 1929

    Insiden ini terjadi pada akhir Agustus 1929, akibat dari perebutan Tembok Barat Jerusalem antara kelompok Arab dan Yahudi yang meningkat menjadi aksi kekerasan.

    Dalam kerusuhan yang terjadi pada 23-29 Agustus 1929 itu, sebanyak 133 warga Yahudi dan 110 warga Arab tewas serta lebih dari 600 orang dari kedua kubu terluka. Seusai kerusuhan, Pemerintah Mandat Palestina mengajukan para tersangka provokator ke meja hijau.

    Dari hasil sidang itu, 26 warga Arab dan dua warga Yahudi terbukti membunuh dan dijatuhi hukuman mati. Hukuman denda juga dijatuhkan secara kolektif kepada warga Arab di Hebron, Safed, dan sejumlah desa. Denda yang terkumpul kemudian diberikan kepada para korban kerusuhan.

    Kerusuhan ini kemudian diselidiki sebuah komisi investigasi yang dibentuk Pemerintah Inggris. Hasilnya, komisi investigasi menyarankan agar Pemerintah Inggris meninjau ulang kebijakan imigrasi dan penjualan tanah kepada bangsa Yahudi.

    Setelah kerusuhan 1929, situasi politik di Mandat Palestina, meski tidak mendingin, tetapi relatif terkendali. Hingga pecahlah Revolusi Arab (1936-1939) di Palestina yang bertujuan menentang kekuasaan Inggris dan mencegah imigrasi Yahudi yang kembali masif.

    Revolusi itu sendiri berakhir dengan kegagalan dan korban jiwa yang besar. Akibat revolusi tiga tahun itu, 300 orang Yahudi, 5.000 warga Arab, dan 262 polisi Inggris tewas. Selain itu, lebih dari 15.000 orang luka-luka. Meski gagal, revolusi ini memberi dampak signifikan bagi warga Yahudi, Arab, dan penguasa Inggris.

    Revolusi Arab dan Sejumlah Upaya Solusi

    Konflik terbesar dalam sejarah Mandat Palestina adalah apa yang disebut dengan Revolusi Arab (1936-1939). Revolusi ini dipimpin Imam Besar Jerusalem Mohammad Amin al-Husayni.

    Konflik ini diawali terbunuhnya seorang ulama asal Suriah, Izz al-Din al-Qassam, pada November 1935. Al-Qassam memang dikenal sebagai seorang ulama yang anti-Inggris dan anti-Zionisme. Dia merekrut para petani dan memberi mereka latihan militer.

    Pada November 1935, dua anak buah al-Qassam terlibat bentrok dengan polisi Inggris dan menewaskan seorang polisi. Akibatnya, polisi memburu dan menewaskan Al-Qassam di sebuah gua dekat Ya'bad, Tepi Barat. Kematian ini dengan cepat menyulut kemarahan warga Arab di Palestina.

    Faktor lain pemicu Revolusi Arab adalah penemuan kiriman senjata dalam jumlah besar di pelabuhan Jaffa yang ditujukan untuk Haganah, pasukan paramiliter Yahudi. Fakta ini memunculkan ketakutan bahwa Yahudi akan mengambil alih Palestina semakin meningkat.

    Pada 1935, angka imigrasi Yahudi ke Palestina juga meningkat, hanya beberapa bulan sebelum Revolusi Arab Pecah. Antara 1933-1936 lebih dari 164.000 imigran Yahudi tiba di Palestina. Pada 1936, populasi warga Yahudi mencapai 370.000 orang membuat hubungan antara warga Arab dan Yahudi semakin panas.

    Revolusi Arab benar-benar dimulai pada 15 April 1936, ketika konvoi truk dari Nablus menuju Tulkarm diserang dan menewaskan dua warga Yahudi. Sehari setelah serangan itu, kelompok bersenjata Yahudi balas menyerang dan membunuh dua pekerja Arab di dekat Petah Tikva. Aksi saling balas terus meluas dan sejumlah jenderal Arab menyatakan perang.

    Pemerintah Inggris akhirnya harus turun tangan untuk mengatasi keadaan. Pasukan Inggris di Palestina mendapat bantuan dari Haganah akhirnya bisa mengakhiri Revolusi Arab pada 1939. Akibat revolusi ini, 5.000 warga Arab, lebih dari 300 warga Yahudi, dan 262 tentara Inggris tewas. Selain itu, sedikitnya 15.000 warga Arab terluka.

    Imam Besar Amin al-Husayni yang menjadi pemimpin revolusi berhasil mendapatkan suaka di Lebanon, Irak, Italia, dan akhirnya Nazi Jerman.

    Dampak Revolusi Arab

    Apa dampak Revolusi Arab yang gagal ini dalam perkembangan Palestina?

    Selama upaya dan seusai memadamkan Revolusi Arab, Inggris menggelar sejumlah investigasi soal penyebab pertumpahan darah selama tiga tahun itu.

    Salah satu hasil penyelidikan yang cukup signifikan adalah Komisi Peel (1936-1937). Komisi ini adalah yang pertama kali mengajukan solusi dua negara. Komisi ini mengusulkan agar Palestina dibagi dua, satu bagian untuk bangsa Yahudi dan satu bagian lainnya diberikan bagi bangsa Arab.

    Negara Yahudi, sesuai rekomendasi komisi, meliputi kawasan pantai, Lembah Jezreel, Beit She'an, dan Galilea. Sementara Negara Arab akan meliputi Transjordania, Yudea, Samaria, Lembah Jordania, dan Negev.

    Para pemimpin Yahudi di Palestina terbelah pendapatnya menanggapi rekomendasi ini. Sementara para pemimpin Arab dengan tegas menolak usulan solusi dua negara ini.

    Pada Mei 1939—beberapa bulan sebelum Perang Dunia II pecah—Inggris kembali mencoba memberikan solusi di tanah Palestina.

    Kali ini adalah solusi satu negara Palestina. Di mana dalam jangka pendek Pemerintah Inggris akan menentukan kuota jumlah imigran Yahudi yang bisa memasuki Palestina. Di masa depan, jumlah kuota ini akan ditentukan pemimpin Arab.

    Selain kuota, Inggris juga melarang imigran Yahudi membeli tanah dari warga Arab demi mencegah gesekan sosial antara kedua kubu. Aturan-aturan ini berlaku hingga masa mandat Inggris di Palestina berakhir yang hampir bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia II.

    Perang Dunia II yang diikuti holocaust alias pemusnahan massal bangsa Yahudi di Eropa membuat semakin banyak bangsa Yahudi yang mencoba meninggalkan Eropa. Akibatnya, para pemimpin Yahudi di Palestina merancang imigrasi ilegal ke Palestina yang menciptakan ketegangan lebih besar di kawasan tersebut.

    Holocaust dan Imigrasi Ilegal Bangsa Yahudi

    Perang Dunia II pecah, ditandai blitzkrieg atau serbuan kilat pasukan Nazi Jerman ke Polandia, 1 September 1939. Sebelum Polandia, Jerman terlebih dulu menduduki Austria dan Cekoslovakia.

    Salah satu babak paling kelam dalam Perang Dunia II adalah praktik Holocaust atau pemusnahan massal bangsa Yahudi di Eropa oleh Nazi Jerman. Sejarah mencatat, 6 juta orang Yahudi tewas dibantai di seluruh penjuru Eropa.

    Kekejaman Nazi Jerman pimpinan Hitler ini membuat semakin banyak warga Yahudi ingin meninggalkan Eropa menuju ke Palestina. Namun, niatan itu terhalang karena kebijakan Inggris yang beberapa bulan sebelum perang pecah menerbitkan apa yang disebut dengan White Paper 1939.

    Buku putih ini adalah solusi lain dari hasil rekomendasi solusi dua negara Palestina—seperti tercantum dalam rekomendasi Komisi Peel 1937—yang ditolak kedua pihak. Dokumen ini pada intinya adalah Inggris mempersiapkan sebuah negara Palestina yang akan dikelola warga Arab di kemudian hari.

    Selain itu, dokumen White Paper ini juga membatasi jumlah dan imigrasi warga Yahudi ke Palestina. Sesuai dokumen ini, jumlah imigran Yahudi ke Palestina akan dibatasi hanya 75.000 orang hingga 1944. Rinciannya adalah kuota 10.000 imigran per tahun dan bisa menjadi 25.000 orang jika dalam kondisi darurat pengungsi.

    Dalam bagian lain dokumen itu juga dijelaskan bahwa di masa depan, imigrasi bangsa Yahudi harus mendapatkan izin penduduk mayoritas Arab dan melarang imigran Yahudi membeli tanah dari bangsa Arab.

    Imigrasi ilegal

    Pemusnahan massal dan sistematis bangsa Yahudi di Eropa membuat sejumlah organisasi Yahudi mencoba melakukan imigrasi ilegal. Setidaknya 100.000 orang Yahudi menggunakan 120 kapal dalam 142 pelayaran mencoba menyelundup ke Palestina.

    Namun, Inggris yang menempatkan delapan kapal perangnya untuk memblokade perairan di sekitar Palestina berhasil menggagalkan sebagian besar upaya imigrasi ilegal itu.

    Para imigran yang gagal masuk Palestina itu kemudian dibawa dan ditahan di kamp pengungsi di Siprus. Beberapa ribu lainnya ditahan di Palestina dan Mauritius.

    Sebanyak 50.000 imigran ditahan Inggris dan sekitar 1.600 imigran tewas tenggelam, serta hanya beberapa ribu orang yang berhasil lolos ke Palestina di masa-masa itu.

    Salah satu insiden terkenal di masa-masa imigrasi ilegal ini adalah insiden kapal Patria. Pada akhir 1940-an, kebijakan Nazi atas bangsa Yahudi adalah mendeportasi mereka dari Eropa ke tempat lain, belum sampai pada taraf memusnahkan.

    Untuk mengeluarkan bangsa Yahudi dari Eropa, Nazi Jerman menyewa tiga kapal di Romania, yaitu Atlantic, Pacific, dan Milos, yang secara total mengangkut 3.600 orang Yahudi.

    Kapal-kapal ini meninggalkan Pelabuhan Tulcia, Romania, menuju Palestina. Seperti telah diduga, ketiga kapal ini dicegat kapal-kapal perang Inggris dan penumpangnya dipindahkan ke kapal Patria dan akan dibawa ke Mauritius.

    Nah, rencana memindahkan warga Yahudi ke Mauritius ini diketahui Haganah—pasukan paramiliter Yahudi di Palestina. Untuk mencegah pemindahan itu, aktivis Haganah memasang sebuah bom kecil di kapal Patria dan berharap bisa merusak mesin kapal itu sehingga kapal itu akan tertahan di Pelabuhan Haifa.

    Celakanya, pada saat 130 penumpang terakhir masuk ke Patria, bom meledak dan menimbulkan lubang besar di lambung kapal. Akibatnya, kapal itu tenggelam dengan cepat dan menewaskan 267 penumpangnya.

    Meski di masa Perang Dunia II ini imigrasi Yahudi ke Palestina tidak terlalu mudah, tetapi beberapa ribu orang Yahudi masih bisa masuk ke Palestina dan selamat dari pembantaian yang dilakukan Hitler.

    Saat Inggris Menjadi Musuh Zionisme

    Pembatasan imigrasi Yahudi ke Palestina yang dituangkan dalam White Paper 1939, ternyata membuat Organisasi Zionis berang. Akibatnya, para pemimpin Zionis berkumpul di New York pada 1942 tepatnya di Hotel Biltmore. Saat itulah secara resmi para pemimpin Zionis menetapkan Palestina sebagai wilayah Persemakmuran Yahudi. Selain itu para pemimpin Yahudi kini menganggap Inggris sebagai musuh yang harus diperangi.


    Status Inggris yang pernah menjadi 'harapan' bangsa Yahudi saat menerbitkan Deklarasi Balfour 1917 seketika berubah. Berbagai kelompok bersenjata Yahudi seperti Haganah, Irgun dan Lehi yang awalnya bersaing kini bersatu dengan tujuan sama yaitu mendongkel kekuasaan Inggris di Mandat Palestina.

    Kelompok-kelompok bersenjata ini tak jarang melakukan aksi terorisme seperti pembunuhan dan penculikan para petinggi Inggris hingga meledakkan kereta api milik Inggris. Salah satu insiden yang patut dicatat adalah pembunuhan Menteri Negara Urusan Timur Tengah, Lord Moyne pada 6 November 1944 di Kairo, Mesir, oleh dua anggota gerakan bawah tanah Yahudi, Eliyahu Bet-Zuri dan Eliyahu Hakim.

    Lord Moyne dikenal sebagai salah seorang pejabat Inggris yang sangat anti-Zionis dan sangat memegang teguh aturan pembatasan imigrasi Yahudi ke Palestina seperti diatur dalam dokumen White Paper 1939.

    Namun, pembunuhan Lord Moyne itu tidak mengubah kebijakan Inggris di Palestina. Justru, aksi itu malah berdampak buruk bagi gerakan Zionisme. Sebab, Lord Moyne adalah sahabat dekat Perdana Menteri Inggris saat itu Winston Churchill. Akibatnya, Churchill mempertimbangkan kembali dukungan Inggris terhadap Zionisme. Sementara itu, Inggris berhasil menangkap kedua pembunuh Lord Moyne dan keduanya dihukum gantung pada 1945.

    Mandat Inggris Berakhir

    Sementara itu, di Eropa, Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jerman. Salah satu dampaknya adalah masih terdapat 250.000 orang Yahudi tersebar di berbagai kamp konsentrasi milik Jerman. Dan, para pemimpin Zionis ingin membawa rekan-rekan sebangsanya itu ke Palestina. Masalahnya, Inggris masih membatasi imigrasi Yahudi ke Palestina sesuai mandat White Paper 1939.

    Situasi ini membuat perlawanan kelompok-kelompok bersenjata Yahudi di Palestina semakin keras dan semakin menebar teror. Mereka mengebom kereta api, stasiun kereta api bahkan markas militer Inggris di Hotel King David di Jerusalem pada 22 Juli 1946. Aksi teror yang dilakukan kelompok sayap kanan Zionis, Irgun ini menewaskan 91 orang dan 46 orang lainnya terluka.

    Kondisi yang semakin buruk di Mandat Palestina ini menjadi berita utama berbagai koran di Inggris. Akibatnya, para politisi mendesak pemerintah Inggris untuk segera mengatasi konflik di Palestina untuk menyelamatkan nyawa warga dan pasukan Inggris di Palestina.

    Desakan terhadap Inggris juga datang dari Amerika Serikat dan sejumlah negara yang meminta Inggris segera membuka keran imigrasi Yahudi yang selama ini ditutup. Berbagai investigasi pun digelar untuk memastikan kondisi sebenarnya di Palestina. Akhirnya sebuah Komite Gabungan Inggris-AS bentukan PBB pada 20 April 1946 merekomendasikan imigrasi 100.000 orang Yahudi bisa dilakukan sesegera mungkin ke Palestina.

    Rekomendasi ini ditolak para pemimpin Arab dan Inggris segera menyadari mereka tak mampu lagi mengatasi keadaan di Palestina. Akhirnya Inggris mengembalikan mandat mengelola Palestina yang mereka pegang sejak 1920 kepada PBB terhitung 14 Mei 1948. Inilah yang kemudian berujung pada berdirinya Negara Israel.

    Akhir Mandat Palestina dan Berdirinya Israel

    Aksi kekerasan yang terus terjadi di Palestina berujung pembentukan Komite Investigasi Anglo-Amerika pada 1946. Pembentukan komite ini diharapkan bisa menyelesaikan berbagai masalah, khususnya terkait imigrasi Yahudi ke Palestina.

    Komite ini kemudian menyetujui rekomendasi AS terkait pemindahan segera 100.000 pengungsi Yahudi di Eropa ke Palestina. Komisi ini juga merekomendasikan tak ada negara Arab atau Yahudi di Palestina.

    Namun, implementasi rekomendasi ini ternyata tak semudah yang dibayangkan. Bahkan, Presiden AS Harry S Truman membuat Partai Buruh Inggris berang karena dukungannya terhadap imigrasi 100.000 pengungsi Yahudi, tetapi menolak temuan komite lainnya. Kondisi inilah yang membuat Inggris mengumumkan niatnya menyerahkan Mandat Palestina ke tangan PBB.

    Akibat niat Inggris ini, PBB membentuk Komite Khusus untuk Palestina (UNSCOP) pada 15 Mei 1947. UNSCOP yang terdiri dari 11 negara ini melakukan sidang dan kunjungan ke Palestina untuk melakukan investigasi. Pada 31 Agustus 1947, UNSCOP memaparkan laporannya.

    Dalam salah satu bagian laporannya, UNSCOP merekomendasikan kepada Sidang Umum PBB sebuah skema pembagian wilayah Palestina dalam masa transisi selama dua tahun yang dimulai pada 1 September 1947.

    Pembagian itu terdiri atas negara Arab merdeka (11.000 km persegi), negara Yahudi (15.000 km persegi). Sementara kota Jerusalem dan Betlehem akan berada di bawah kendali PBB.

    Usulan ini tidak memuaskan kelompok Yahudi maupun Arab. Bangsa Yahudi kecewa karena kehilangan Jerusalem. Namun, kelompok Yahudi moderat menerima tawaran ini dan hanya kelompok-kelompok Yahudi radikal yang menolak. Sementara itu, kelompok Arab khawatir pembagian ini akan mengganggu hak-hak warga mayoritas Arab di Palestina.

    Dalam pertemuan di Kairo, Mesir, pada November dan Desember 1947, Liga Arab mengeluarkan resolusi yang menyetujui solusi militer untuk mengakhiri masalah ini. Dalam kenyataannya, sejumlah negara Arab memiliki agenda tersendiri. Jordania ingin menguasai Tepi Barat, sementara Suriah menginginkan bagian utara Palestina, termasuk wilayah yang diperuntukkan bagi Yahudi dan Arab.

    Berdirinya Israel

    Lalu bagaimana dengan Inggris? Meski menerima usulan pembagian ini, Inggris enggan menerapkannya di lapangan karena jelas-jelas tidak diterima kedua pihak. Inggris juga enggan memerintah Palestina bersama PBB di masa transisi. Pada September 1947, Inggris mengumumkan kekuasaan mereka di Mandat Palestina akan berakhir pada 14 Mei 1948 tengah malam.

    Sebagai respons pernyataan Inggris ini, Presiden AS Harry Truman mengajukan proposal baru yang membatalkan rencana pembagian Palestina. Dalam proposal itu, AS mengusulkan PBB langsung memerintah Palestina. Kekacauan tak terelakkan yang mengakibatkan korban jiwa berjatuhan di mana-mana. Hingga akhir Maret 1948, setidaknya 2.000 orang meninggal dunia dan 4.000 orang terluka.

    Pada 14 Mei 1948, atau sehari sebelum Mandat Inggris di Palestina berakhir, Ketua Yishuv (Komunitas Yahudi di Palestina), David Ben Gurion, di hadapan 250 orang undangan di Museum Tel Aviv, mendeklarasikan berdirinya negara Israel.

    Dalam deklarasi itu, Ben Gurion sama sekali tidak menyebutkan batas-batas negara Israel. Sejumlah catatan menyebut, para pendiri Israel sepakat tidak menyebutkan batas negara itu karena negara-negara Arab di sekitar Israel pasti tidak akan menyetujuinya.

    Beberapa hari setelah deklarasi berdirinya negara Israel, sebanyak 700 orang Lebanon, 1.876 orang Suriah, 4.000 orang Irak, dan 2.800 orang Mesir menyerbu Palestina.

    Sementara itu, sekitar 4.500 pasukan Transjordania  dipimpin 38 perwira Inggris yang mengundurkan diri dari kesatuannya menyerbu Jerusalem. Perang Arab-Israel pertama.

    Palestina Usai Perang Arab-Israel 1948

    Hanya berselang sehari setelah David Ben Gurion dkk mendeklarasikan berdirinya negara Israel, deklarasi perang datang dari Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, Jordania dan Arab Saudi. Deklarasi perang ini diikuti invasi pasukan Arab ke wilayah Yahudi. Pada 15 Mei 1948 pecahlah perang Arab-Israel pertama.

    Pada awalnya pasukan Arab dengan jumlah pasukan lebih banyak dan persenjataan yang lebih baik dengan mudah menguasai wilayah-wilayah yang ditempati bangsa Yahudi.

    Pasukan Suriah, Lebanon, Jordania dan Irak menyerang Galilea dan Haifa. Sementara di selatan pasukan Mesir maju hingga mencapai Tel Aviv. Namun, kordinasi antar pasukan Arab ternyata tidak terlalu baik dan di saat-saat akhir, Lebanon menarik mundur pasukannya.

    Untuk menghadapi serbuan pasukan koalisi Arab ini, Israel pada 26 Mei 1948 membentuk Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang anggotanya adalah leburan dari berbagai milisi seperti Haganah, Palmach, Irgun dan Lehi.

    Dalam perkembangannya, IDF justru berhasil mengerahkan lebih banyak pasukan ketimbang pasukan koalisi Arab. Pada awal 1949, Israel memiliki 115.000 tentara sedangkan koalisi Arab hanya sekitar 55.000 personel saja.

    Setelah bertempur selama sembilan bulan, akhirnya pada 1949, tercapai gencatan senjata antara Israel dengan Mesir, Lebanon, Jordania dan Suriah. Hasil dari perang ini, Israel berhasil menguasai 78 persen wilayah Mandat Palestina. Sementara Mesir menguasai Jalur Gaza dan Jordania mendapatkan Tepi Barat. Jordania juga menguasai Jerusalem Timur sementara Israel memerintah Jerusalem Barat. Pada 1950, Tepi Barat resmi menjadi wilayah Jordania.

    Pengungsi Palestina

    Dampak lain perang ini adalah para pengungsi Palestina yang tersebar di berbagai lokasi. Setidaknya 750.000 warga Palestina yang mengungsi keluar dari wilayah yang menjadi bagian Israel tak diizinkan kembali ke wilayah Israel dan ke wilayah negara-negara Arab lainnya. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai pengungsi Palestina.

    Setelah perang 1948, para pengungsi Palestina yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat (Jordania), Jalur Gaza (Mesir) dan Suriah berusaha kembali masuk ke wilayah Israel. Mereka ini jika tertangkap akan dideportasi ke tempat asal mereka.

    Dalam suratnya ke PBB pada 2 Agustus 1949, PM Israel David Ben-Gurion menolak kembalinya para pengungsi Palestina ke wilayah Israel.  Pemerintah Israel mengatakan solusi untuk pengungsi Palestina adalah penempatan kembali di negara lain dan bukan mengembalikan mereka ke Israel.

    Penolakan ini membuat perlawanan bangsa Palestina terhadap Israel meningkat. Mesir yang pada awalnya tidak ikut campur, akhirnya aktif melatih dan mempersenjatai para sukarelawan Palestina dari Jalur Gaza yang disebut Fedayeen. Kelompok ini yang kemudian aktif melakukan berbagai serangan di wilayah Israel.

    Pada 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berdiri. Tujuan PLO adalah memerdekakan Palestina dengan perjuangan bersenjata. Cita-cita PLO adalah mendirikan negara Palestina sesuai dengan tapal batas Mandat Palestina sebelum perang 1948. Selain itu, PLO juga bertujuan melenyapkan Zionisme dari Palestina dan ingin menentukan sendiri nasib Palestina.

    Di saat yang sama, Mesir terus mendanai dan melatih para sukarelawan Palestina. Selain itu, Mesir juga secara reguler menambah jumlah pasukannya di Gurun Sinai di dekat perbatasan dengan Israel.

    Tak hanya Mesir, sejumlah negara Arab seperti Jordania dan Suriah, juga menunjukkan gelagat mengancam. Akibatnya, Israel memutuskan untuk terlebih dulu menyerang Mesir pada 5 Juni 1967. Pecahlah perang enam hari yang juga akan mengubah wajah Palestina.

    Perang Enam Hari dan Pendudukan Palestina

    Pada 5 Juni 1967, Israel menyerbu posisi pasukan Mesir di Gurun Sinai. Pecahlah perang enam hari yang terkenal itu. Israel mengawali perang dengan dua gelombang serangan udara yang menghancurkan 286 pesawat tempur Mesir. Anehnya, respons militer Mesir sangat minim dan menjelang tengah hari, AU Israel berani memastikan bahwa AU Mesir sudah lumpuh.

    Sementara itu, pasukan darat Israel juga mulai menusuk di Gurun Sinai dan hanya dalam tiga hari pasukan Israel berhasil menguasai Sinai. Pada 8 Juni 1967 malam, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser menyepakati gencatan senjata.

    Pada hari pertama perang, militer Jordania juga menembaki Jerusalem meski Israel meminta Jordania untuk tidak ikut campur. Artileri Jordania juga menembaki Tel Aviv serta AU Jordania menyerang sejumlah kota Israel. Setelah upaya gencatan senjata ditolak Jordania, Israel menyerang negeri itu. Pada 8 Juni 1967, Israel akhirnya bisa menguasai Tepi Barat dan Jerusalem.

    Pada saat bersamaan dengan serangan awal Jordania, Suriah juga ikut terjun ke dalam peperangan ini. Artileri Suriah di Dataran Tinggi Golan menghujani wilayah Israel dengan tembakan. Setelah mampu mengatasi Mesir, militer Israel akhirnya dikerahkan untuk menanggapi serangan Suriah. Pada 10 Juni 1967, Israel sepakat melakukan gencatan senjata dengan Suriah setelah berhasil menguasai dataran tinggi Golan.

    Perang enam hari usai dengan kemenangan mutlak di tangan Israel. Hasil dari perang ini, Israel merebut Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir. Dari Jordania, Israel merebut Tepi Barat dan menguasai dataran tinggi Golan.

    Dampak perang


    Dampak pasti perang enam hari ini adalah pendudukan Israel atas Jalur Gaza dan Tepi Barat yang banyak dihuni pengungsi Palestina hasil perang Arab-Israel 1948. Setidaknya, satu juta warga Palestina kini berada di bawah kekuasaan Israel pada 1967.

    Pascaperang enam hari, fokus kelompok-kelompok perlawanan Palestina sedikit berubah, yaitu membebaskan Jalur Gaza dan Tepi Barat dari pendudukan Israel sebagai langkah awal kemerdekaan seluruh Palestina.

    Salah satu masalah besar dalam konflik Israel-Palestina adalah status Jerusalem. Pada 1980, Israel menyatukan Jerusalem Barat dan Timur sekaligus mengklaim kota itu sebagai ibu kota negara Yahudi tersebut. Namun, Palestina juga mengklaim Jerusalem sebagai ibu kota mereka. Saling klaim Jerusalem ini menjadi salah satu ganjalan dalam proses perdamaian di Timur Tengah hingga kini.

    Ganjalan lain yang menghambat proses perdamaian antara Israel dan Palestina adalah kebijakan Israel membangun permukiman Yahudi di wilayah pendudukannya. Kebijakan ini dilakukan sejak Partai Likud berkuasa di Israel pada 1977. Hingga 2003, terdapat sekitar 220.000 warga Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Selain itu, masih ditambah sekitar 200.000 warga Yahudi di Jerusalem dan wilayah yang diduduki sejak 1967.

    Dari Camp David hingga Perjanjian Oslo

    Banyak yang terjadi seusai Perang Enam Hari yang mengubah nasib bangsa Palestina. Berbagai konflik bersenjata terus mewarnai "hubungan" Palestina dan Israel. Namun, perlu juga dicatat bahwa berbagai upaya untuk mendamaikan kedua bangsa ini juga terus diupayakan meski kerap berakhir dengan kegagalan.

    Salah satu proses perdamaian yang cukup signifikan adalah perjanjian Camp David pada 17 September 1978. Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin menandatangani perjanjian damai yang digelar di rumah peristirahatan Presiden AS, Camp David.

    Berdasarkan perjanjian Camp David inilah akhirnya pada Maret 1979, Mesir dan Israel menandatangani pakta perdamaian. Berdasarkan perjanjian damai ini, Israel mengembalikan Semenanjung Sinai yang direbut dalam Perang Enam Hari 1967 kepada Mesir.

    Selain itu, perjanjian damai ini juga membahas pembentukan pemerintahan otonomi di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Namun, upaya pembicaraan masa depan Palestina ini gagal. Sebab, Palestina tidak menerima proposal otonomi terbatas untuk Tepi Barat dan Jalur Gaza seperti diajukan Israel.

    Sementara itu, Israel juga menolak melakukan negosiasi dengan PLO, meski PLO sudah diakui PBB sebagai entitas perwakilan bangsa Palestina. Kebuntuan ini berujung dengan berbagai kekerasan, misalnya Perang Lebanon 1982 dan pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatila pada 16-18 September 1982.

    Pada 1987, pecahlah apa yang disebut dengan Intifada Pertama. Intifada ini adalah perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur. Intifada ini berlangsung hingga 1993, saat perjanjian Oslo ditandatangani.

    Perjanjian Oslo

    Pada awal 1990-an, PLO mengubah taktik perjuangannya. PLO mulai meninggalkan cara-cara keras menggunakan senjata dan mulai mencoba cara-cara diplomasi. Pada awal 1993, para perunding Israel dan PLO melakukan serangkaian pembicaraan rahasia di Oslo, Norwegia.

    Pada 9 September 1993, Pemimpin PLO Yasser Arafat mengirim surat kepada PM Israel Yitzhak Rabin. Isi surat itu adalah PLO mengakui hak hidup Israel dan secara resmi meninggalkan cara-cara perjuangan bersenjata.

    Pada 13 September 1993, Arafat dan Rabin menandatangani perjanjian di Washington DC yang kemudian menjadi dasar negosiasi yang berlangsung di Oslo, Norwegia. Setelah melalui jalan panjang, proses perdamaian Oslo dimulai.

    Selama proses perdamaian Oslo, kedua pihak diwajibkan merundingkan solusi dua negara. Namun, pembicaraan menuju solusi dua negara gagal dan PLO-Israel mencoba mencari kesepakatan yang saling menguntungkan. Proses pembicaraan ini akhirnya selesai pada 20 Agustus 1993.

    Meskipun namanya adalah perjanjian Oslo, tetapi kesepakatan antara PLO dan Israel ini ditandatangani Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin di Washington DC dengan disaksikan Presiden AS Bill Clinton. Saat itulah terjadi jabat tangan bersejarah Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin.

    Salah satu bagian penting Perjanjian Oslo ini adalah terbentuknya pemerintahan Otorita Palestina yang membawahi Jalur Gaza dan Tepi Barat. Di bawah perjanjian ini Palestina mulai mendapat wewenang memerintah di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Palestina bahkan sudah bisa membentuk perangkat pemerintahan, kepolisian, parlemen, dan institusi pemerintahan lain. Balasannya, Otorita Palestina harus mempromosikan toleransi terhadap Israel dan mengakui hak Israel untuk tetap eksis.

    Pada 28 September 1995, Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat menandatangani Kesepakatan Interim Israel-Palestina. Di bawah kesepakatan ini, para pemimpin PLO bisa kembali ke daerah pendudukan dan memberikan otonomi kepada bangsa Palestina. Imbalannya tetap sama, yaitu mengakui keberadaan Israel dan meninggalkan cara-cara kekerasan dalam perjuangan.

    Namun, kesepakatan ini ditentang Hamas dan sejumlah faksi radikal Palestina yang siap melakukan perjuangan bersenjata, termasuk aksi bom bunuh diri di Israel demi membebaskan Palestina.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Zionisme, Imigrasi, dan Negara Yahudi Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top