728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Keluarga Jawa di Suriname

    Potret Keluarga Jawa setelah 125 Tahun

    Arief Santosa , Suriname

    Masyarakat keturunan Jawa di Suriname kini bisa menikmati hidup dengan enak. Mereka memiliki segalanya. Wartawan Jawa Pos Arief Santosa yang kini berada di sana mencoba menyelami kehidupan keluarga Jawa di negeri itu.

    SIAPA yang tak kenal Salimin Ardjooetomo di Suriname? Seniman berkepala gundul itu dikenal luas tidak hanya di kalangan keturunan Jawa, tapi juga kalangan bangsa lain di Suriname, karena kiprahnya di bidang pelestarian budaya dan bahasa Jawa. Lewat program Culture en Kuns –yakni program acara kebudayaan Jawa– di TV Garuda, Salimin banyak dikenal. Mulai warga biasa hingga para pejabat tinggi.

    Selain itu, dia jadi masyhur berkat Kabaret Does yang dipimpinnya. Kabaret di Suriname bukan jenis tarian seksi seperti yang dipentaskan di Eropa atau Amerika Serikat, melainkan jenis kesenian menyerupai lawakan ala Srimulat di Indonesia. Saat ini hanya tinggal dua kelompok kabaret yang bertahan di Suriname. Selain Kabaret Does, ada Kabaret Taman Hiburan dari Desa Tamanrejo, Commonwijn.

    Dari kabaret itulah, Salimin kemudian mendapat gelar Captaint Does. Sebab, dialah pemimpin kelompok lawak asal Desa Purwodadi, Lelydorp, Distrik Wanica, itu.

    Tetapi, siapa sangka, di balik keterkenalan Salimin, kehidupan kesehariannya jauh dari kemewahan. Dia hidup cukup sederhana di rumahnya, Soekoredjoweg BR 27, Desa Purwodadi, bersama istri, dan empat anak yang seluruhnya sudah mentas.

    Menurut dia, hidup tidak perlu bermewah-mewah. Asal sandang, pangan, dan papan (rumah) tercukupi, sudah wajib disyukuri.

    ”Sing penting, sehat kwarasan lan gelem nyambut gawe. Ning kene, asal gelem tandang gawe, mesti uripe mulyo. (Yang penting, sehat walafiat dan mau bekerja. Di sini asal mau bekerja, pasti hidup berkecukupan),” ujar salah seseorang sesepuh Desa Purwodadi itu.

    Desa Purwodadi merupakan desa yang dihuni hampir 100 persen orang keturunan Jawa. Kini warganya berjumlah sekitar 3.000 jiwa, sudah lumayan banyak bila dibandingkan sembilan tahun silam. Otomatis rumah penduduk makin banyak dan bagus-bagus. Jalan desanya juga mulus-mulus. Setiap saat terlihat mobil berbagai merek melintas dengan kencang, keluar masuk desa.

    Bahkan, kini empat supermarket milik warga Tionghoa mewarnai desa dengan dua masjid menghadap ke barat dan dua masjid menghadap ke timur itu. (Di Suriname, masih ada paham di sebagian masyarakat Islam Jawa bahwa salat itu mesti menghadap barat seperti yang diajarkan nenek moyang mereka dari Indonesia. Padahal, letak geografis Suriname berada di sisi barat Kakbah sehingga semestinya kiblat salat menghadap timur. Karena itu, hingga kini masih banyak masjid di Suriname yang posisi kiblatnya barat dan timur).

    Tak jauh dari desa tersebut juga ada kasino yang memang dilegalkan di negara itu. Di tempat judi tersebut tak sedikit warga keturunan Jawa yang bertaruh memperebutkan ”endog blorok” alias jackpot.

    Sekalipun Purwodadi banyak berubah, kondisi rumah Salimin hampir tak mengalami perubahan yang berarti. Sebagian dindingnya masih tetap memakai papan kayu (seperti rumah-rumah transmigrasi di Indonesia dulu), sebagian lainnya bertembok batako. Begitu pula atapnya, tetap memakai seng.

    Yang berubah, kini rumah Salimin tampak sepi. Tak ada lagi anaknya yang tinggal serumah dengan dia. Rumah dengan ukuran sekitar 20 x 20 meter itu sekarang hanya ditinggali Salimin bersama istrinya, Roosmi Tambeng.

    ”Sakmeniko lare-lare sampun gadah griya piyambak-piyambak. Sampun urip dewe-dewe (Sekarang anak anak sudah punya rumah sendiri-sendiri. Sudah hidup sendiri-sendiri),” ujar presenter kondang itu.

    Sembilan tahun silam, ketika Jawa Pos melakukan liputan suasana Ramadan dan Lebaran di Suriname, rumah Salimin masih ”didomplengi” dua anak terakhirnya. Yakni, Argyll Legiran (lahir pada weton Legi) dan Sabrina Tracey Leginie (juga weton Legi). Kini keduanya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah sendiri bersama suami atau istri dan anak-anaknya.

    Argyll yang beristri Puji Lestari, perempuan asal Nglipar, Gunungkidul, Jogjakarta, menempati rumah di Jalan Poerworedjo (Poerworedjoweg), sekitar 200 meter dari rumah bapaknya. Pegawai rumah pemotongan hewan (RPH) itu kini sedang menunggu kelahiran anak keduanya. Lalu, Sabrina sedang membangun rumah di pojok perempatan Jalan Soekoredjo dan Jalan Poerwodadi, sekitar 100 meter dari rumah Salimin. Sabrina yang bersuami Paris Partorejo dikaruniai tiga anak yang masih kecil-kecil.

    ”Rumah Sabrina belum selesai. Padahal, sudah habis SRD 115 ribu (sekitar Rp 460 juta),” tutur Salimin yang pernah tampil bersama Kabaret Does di Festival Cak Durasim, Surabaya, pada 2007.

    Begitu pula dua anak Salimin yang lain. Si sulung Harvey Ponirin (lahir Pon) bersama istri Soraya Karyo Sentono dan dua gadis ABG-nya tinggal di sebelah rumah orang tuanya. Lalu, anak nomor dua Migalda Warinie (lahir Wage) bersama suami Frenky Rabidin dan dua anaknya yang menginjak dewasa tinggal di Dekraneweg, sekitar 1 kilometer dari rumah bapaknya.

    ”Ibarate, tugas kulo sakniki sampun rampung. Lare-lare sampun mentas sedaya, sampun gadah tanggung jawab nguripi rayate piyambak-piyambak (Ibaratnya, tugas saya sudah selesai. Anak-anak sudah berkeluarga semua, sudah punya tanggung jawab menghidupi keluarganya masing-masing),” jelas kakek delapan cucu yang fasih berbahasa Jawa kromo (halus) itu.

    Hampir seluruh anak dan menantu Salimin keluar rumah untuk bekerja. Mereka umumnya tipe pekerja keras. Baik menjadi pegawai negeri maupun pegawai swasta. Tak heran, hidup mereka kini berkecukupan.

    Meski tidak bisa dibilang mewah, fasilitas di rumah anak-anak Salimin cukup lengkap. Mau apa saja ada. Bahkan, setiap rumah itu memiliki minimal dua mobil. Biasanya, satu mobil untuk bekerja di kantor, satu mobil lainnya untuk keperluan keluarga.

    ”Nang kene nek pingin urip kepenak ya kudu gelem kerjo rekoso. Ora iso males-malesan (Di sini kalau mau hidup enak ya harus bekerja keras. Tidak bisa malas-malasan),” tutur Harvey Ponirin yang bekerja di perusahaan minyak SOL.

    Meski empat anaknya sudah mentas, Salimin tetap tak mau tinggal diam. Di usianya yang terbilang sudah sepuh, dia sampai sekarang masih tetap aktif bekerja sebagai penyiar TV Garuda milik pengusaha Jawa. Profesinya itu sekaligus dimaksudkan untuk ikut melestarikan budaya dan bahasa Jawa yang makin lama makin ditinggalkan warga keturunan Jawa.

    ”Budaya Jawa itu budaya kita sendiri. Jadi, kalau di antara kita tidak ada yang mau cawe-cawe nguri-uri (melestarikan), saya khawatir tak lama lagi warisan nenek moyang itu akan punah dari Suriname,” tandas pensiunan pegawai kantor kementerian kesosialan dan perumahan tersebut.

    Bukan hanya teori, Salimin mempraktikkannya di dalam kehidupan keseharian keluarga besarnya. Misalnya, dalam berkomunikasi dengan anak-anak dan istrinya. Dia tetap memakai bahasa Jawa yang kental, selain dengan bahasa nasional Belanda dan bahasa pergaulan Taki-Taki.

    ”Supoyo basa Jawa ora ilang. Nek basa Jawa ilang, berarti wong Jawa ugi ilang (Agar bahasa Jawa tidak hilang. Kalau bahasa Jawa hilang, maka orang Jawa juga hilang,” tegas dia.

    Ibarat sawah, Redi Katiman Jedul telah memanen hasilnya. Tujuh anaknya jadi orang semua.

    HUJAN tiba-tiba turun deras begitu Jawa Pos sampai di rumah Redi Katiman Jedul di Jalan Sidadadi No 42, Desa Sidadadi, Distrik Wanica, Rabu siang (5/8). ”Kadingaren udan deres (Tumben hujan deras). Apa jalaran ono tamu agung seko Surabaya, yo (Apa karena ada tamu agung dari Surabaya, ya)?” guyon Katiman sesaat setelah mempersilakan saya duduk di teras belakang rumahnya.

    Sebelum menemui tamu, Katiman bersama istri, Wakiyem Pariman, tampaknya menyiapkan segala sesuatunya. Misalnya, untuk menunjukkan ”masih” Jawa, mereka berdandan ala orang Jawa zaman dulu. Katiman mengenakan belangkon Solo, sementara istrinya memakai kebaya merah, lengkap dengan perhiasan emasnya.

    ”Dua hari ini badan saya agak enak. Biasanya, untuk bernapas saja ngos-ngosan,” ujar pria 75 tahun itu sambil membetulkan letak duduknya di sofa.

    Rumahnya yang cukup besar, berukuran sekitar 20 meter x 30 meter, terlihat bersih dan rapi. Rumah bercat putih itu berada satu kompleks dengan rumah enam anaknya yang didirikan di atas lahan seluas 1,75 hektare. Di belakang rumah Katiman, ditanam pohon buah-buahan seperti rambutan, mangga, jeruk, dan kelapa.

    ”Dulu, waktu masih kuat, saya urus sendiri kebun itu. Tapi, sekarang saya sudah tidak kuat lagi,” tuturnya.

    Di belakang rumah itu, juga terdapat garasi mobil. Dua mobil diparkir di tempatnya. Yang satu berjenis jip (Suzuki Katana), satunya lagi berjenis mobil keluarga (Toyota Passo).

    ”Yang jip itu biasa saya pakai untuk mancing. Yang satunya untuk pergi ke stad (kota, Red),” terang Katiman.

    ”Anak-anakku lan bojo-bojone wis duwe mobil dewe-dewe. Soale, loro-lorone nyambut gawe. Dadi, kudu duwe mobil dewe-dewe (Anak-anak saya dan suami/istrinya punya mobil sendiri-sendiri. Sebab, keduanya bekerja. Jadi, harus punya mobil sendiri-sendiri),” beber generasi ketiga dari nenek moyang yang berasal dari Solo (kakek) dan Purbalingga (nenek) itu.

    Sejatinya Katiman tidak hanya memiliki enam anak dari Wakiyem. Dari istri pertama, Ponijah Ardjooetomo, dia dikaruniai seorang anak, Woniyem Katiman. Woniyem (lahir pada weton Kliwon) kini tinggal Jalan Dekrane, tak jauh dari rumah ayahnya.

    Di kalangan masyarakat Jawa Suriname, seorang pria memiliki istri lebih dari satu atau menikah beberapa kali sudah bukan rahasia umum. Yang kondisi ekonominya mencukupi ”bisa” mencari pendamping hidup yang lain.

    Bahkan, bukan hanya pria, para perempuan yang sudah menjanda pun biasa menikah lagi meski secara umur sudah terbilang tua (di atas 50 tahun). Mereka tidak ingin hidup sendirian di hari tua. Bahkan, ada yang tidak berkeberatan meski menjadi istri simpanan.

    ”Dadi, sing ora nang kene, anakku karo mbok tuwo (Jadi, yang tidak di sini, anak saya dengan istri pertama),” ujar pensiunan pegawai Kementerian Kesosialan dan Perumahan tersebut.

    Sedangkan enam anak Katiman dari Wakiyem adalah Wonisah Leginem (lahir pas weton Legi), Worini Ponikem (lahir Pon), Woninten Katiman (lahir Kliwon), Waldi Ratin (lahir Pon), Anita Leginie (lahir Legi), dan Adeline Waginie (lahir Wage). Mereka sudah mentas dan hidup layak dengan keluarga masing-masing.

    ”Sebelumnya, kami sempat gemas. Soalnya, Waldi tak mau kawin-kawin. Tapi, sekarang sudah lega. Dia sudah dapat jodohnya. Bahkan, langsung punya anak satu,” timpal Wakiyem.

    Waldi adalah satu-satunya anak laki-laki di keluarga itu. Dia baru saja beristri seorang janda beranak satu. Anak bawaan istrinya tersebut masih balita (di bawah lima tahun). Kini anak itu dititipkan kepada kakek-nenek barunya tersebut.

    ”Awak dewe melu seneng dikei momongan. Iso dinggo konco (Kami ikut senang diberi momongan. Bisa dijadikan teman),” tutur Wakiyem.

    Hanya, meski sudah berkeluarga, Waldi dan istrinya jarang bertemu. Keduanya bekerja dengan jam masuk yang berlainan. Sang istri kerja kantoran, mulai pagi sampai sore. Sedangkan Waldi berangkat kerja tengah hari dan baru pulang tengah malam.

    Katiman mengakui bahwa seluruh anaknya sepertinya mengikuti jejaknya saat masih bekerja. Mereka bekerja keras siang malam sampai tidak sempat mengurus rumah.

    ”Saya dulu berangkat kerja jam lima pagi dan baru pulang jam dua belas malam. Jarang bisa ketemu anak. Jadi, yang ngurus anak-anak semua ibunya,” kata dia.

    Pukul 07.00–14.00, Katiman bekerja di kantor. Setelah itu, dia sambung menjadi sopir taksi hingga tengah malam. Itu berlangsung bertahun-tahun.

    Sebelum menjadi pegawai negeri, Katiman pernah bekerja di Suriname Aluminium Company (Suralco) selama 13 tahun. Dia lalu memutuskan untuk keluar dari Suralco pada 1977 dan masuk menjadi pegawai pemerintah hingga pensiun di usia 60 tahun. Kini dia bisa menikmati dua gaji pensiun: dari Suralco dan pemerintah. Pensiun itu belum ditambah dengan dana orang tua (AOV) yang diberikan kepada setiap orang Suriname yang berusia di atas 60 tahun. Besarnya SRD 525 per bulan (sekitar Rp 1,5 juta). Karena itu, secara ekonomi, Katiman tidak kekurangan. Apalagi, anak-anaknya kaya.

    ”Saiki aku wis merdiko. Wis iso ngendang dengkul. Le nandur wis iso dipaneni (Sekarang saya sudah merdeka. Sudah bisa duduk manis menekuk dengkul. Tanamannya sudah bisa dipanen),” tambah dia.

    Woninten, putri keempat Katiman, misalnya, kini menjadi bos di sebuah perusahaan teknologi informasi (TI) di Belanda. Dia bersuami seorang arsitek. Woninten juga satu-satunya anak Katiman yang berhasil menjadi sarjana dari Universitas Anton de Kom (Universitas Suriname).

    Berkat Woninten, pada 2010 Katiman dan istri bisa keliling Indonesia selama sebulan. Mereka mengunjungi Jakarta, Purwokerto, Jogja, Solo, Madiun, Surabaya, Malang, dan Bali. Juga Malaysia dan Singapura. Mereka disenang-senangkan.

    ”Tapi, saiki anakku kabeh wis disekolahke karo kantore dewe-dewe. Aku biyen ora duwe duit kanggo nyekolahke (Tapi, sekarang anak-anak saya sudah disekolahkan kantor masing-masing. Saya dulu tidak punya uang untuk menyekolahkan mereka),” papar dia.

    Katiman mencontohkan Wonisah yang bekerja di perusahaan peternakan ayam. Dia dulu sempat berkuliah di Universitas Anton de Kom, tapi sudah keluar sebelum lulus. Dia kini bersuami Sukarlin Sono Sumito, pejabat di Volks Crediet Bank (VCB). Sukarlin juga dikenal sebagai penyanyi top di Suriname.

    Begitu pula si ragil Adeline yang sudah menyelesaikan kuliah di Universitas Anton de Kom dan kini bekerja sebagai guru. Kemudian, Waldi dua kali disekolahkan ke Prancis oleh kantornya, perusahaan minyak milik pemerintah, Staatsolie.

    ”Aku mung iso ngaturke matur kesuwun banget marang Gusti. Ing atase ambeganku wis koyo ngene, aku isih diparingi urip lan iso menangi anak-anakku wis dadi kabeh (Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada Tuhan. Dalam kondisi napas yang sudah seperti ini, saya masih bisa menyaksikan anak-anak saya menjadi orang semua),” kata kakek enam cucu itu.


    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Keluarga Jawa di Suriname Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top