728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Merajut Budaya Tionghoa dan Jawa

    Merajut Budaya Tionghoa dan Jawa

    Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) X bertema "Merajut Budaya, Merenda Kebersamaan" diadakan guna memperingati Imlek 2566.

    Dalam kurun waktu lima hari (1-5 Maret), suasana di Kampung Ketandan, Yogyakarta, yang biasanya sepi terlihat marak. Setiap malam tak kurang dari 1.000 orang mengunjungi Kampung Ketandan yang dikenal sebagai permukiman etnis Tionghoa. Mereka selain menikmati hidangan masakan Tiongkok, membeli pernak-pernik berciri khas kebudayaan Tiongkok, juga menikmati hiburan barongsai, wayang po tay hee dan wayang China-Jawa (wacinwa) yang merupakan proses akulturasi dua budaya.

    Pusat keramaian itu terjelma melalui Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) X bertema “Merajut Budaya, Merenda Kebersamaan” dalam rangka memperingati Imlek 2566. Acara ini diselenggarakan masyarakat Tionghoa Yogyakarta yang tergabung dalam Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC). "Saya berharap warga Tionghoa di Yogyakarta menciptakan karya akulturasi yang akan semakin memperkaya khazanah budaya di Yogyakarta," kata Sri Sultan Hamengkubuwono X saat membuka PBTY X, Minggu (1/3) malam.

    Ada yang menarik pada event tersebut, yakni penampilan naga barongsai sepanjang 150 meter yang dimainkan 200 personel TNI AU Lanud Adisutjipto dari Skuadron Teknik  dan Skuadron Pendidikan. Naga barongsai yang berbalut kain batik dan dibuat Daldiyono tersebut juga memecahkan rekor Muri yang sebelumnya pada 2010 hanya sepanjang 130,6 meter. “Ini memang sebuah obsesi untuk membuat kembali naga raksasa. Kali ini terwujud dengan naga motif batik raksasa. Ini sebuah keinginan untuk membanggakan Yogyakarta. Masyarakat juga bangga, seperti halnya sang naga, kuat tetapi ramah,” ujar pemprakarsa naga motif batik raksasa, Sukeno.

    Menurut Daldiyono, sosok naga mempunyai filosofi baik, meski wajahnya terlihat menakutkan. Naga adalah perlambang keperkasaan dan kewibawaan. “Bahkan ada makna tersendiri dalam setiap bagian tubuhnya. Kumala diartikan sebagai visi, kepala sebagai pemimpin, badan sebagai eksekutif, sedangkan ekor merupakan rakyatnya,” ujar Daldiyono saat ditemui di rumahnya.

    Dalam permainan tak boleh meninggalkan bola api atau yang disebut cu, yang merupakan lambang spirit. “Tanpa cu naga bukanlah naga,” tuturnya.

    Penampilan naga barongsai sangat menarik perhatian warga Yogyakarta. Di Minggu malam itu, ribuan warga rela berdesak-desakan hanya ingin melihat aksi naga barongsai. “Sebagai ikon, tentu saja dengan adanya naga motif batik raksasa ini bisa merealisasikan pariwisata, menjadi magnet keramaian tersendiri pada PBTY tahun ini,” kata Ketua JCACC, Tendean Hari Setya.

    Selain naga raksasa, PBTY X juga mempertunjukkan wayang kulit tradisional yang sangat langka yakni wacinwa yang dipentaskan pada malam penutupan. Namun, pada pementasan kali ini yang mengambil cerita “Sie Jin Kwie Wiratamtama”, dilakukan penggabungan antara ketoprak dan wayang kulit. Dalangnya Aneng Kriswantoro dan sutradara Bondan Nusantara.

    Selain dipentaskan, wacinwa yang menjadi koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta itu juga dipamerkan di Rumah Budaya Tionghoa yang terletak di Kampung Ketandan. “Pertunjukan wacinwa menjadi pertunjukan perdana kesenian yang sudah jarang dimainkan di arena PBTY.
    Pertunjukan wacinwa ini mengadopsi cerita tiga negeri," ucap Anggi Minarni, Seksi Acara Panitia PBTY X.

    Dirut PT Sido Muncul, Irwan Hidayat, juga mengaku terkejut adanya pameran dan pertunjukan wacinwa tersebut. “Ini termasuk jejak bersejarah akulturasi kebudayaan Jawa-Tionghoa,” ujarnya. Irwan yang malam itu sekalian bernostalgia karena di kampung itulah usaha jamu Sido Muncul dimulai, juga menyempatkan diri melihat pameran wacinwa di Rumah Budaya Tionghoa.

    Irwan begitu paham terhadap para tokoh wacinwa karena membaca lewat komik. Ia mengagumi tokoh Hwan Le Hwa yang merupakan istri tokoh utama wacinwa, Sie Jin Kwie. “Dia perempuan perkasa. Kalau Sie Jin Kwie kalah maka dia yang maju. Di kalangan Tionghoa, kalau punya istri, ya baiknya seperti Hwan Le Hwa,” ucap Irwan Hidayat.

    Dua Set di Dunia
    Menurut Anggi Minarni, di dunia ini hanya ada dua set wacinwa. Satu set disimpan di Uberlingen (Bodensee, Jerman), milik Dr Walter Angst. Satu set lagi disimpan di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Awalnya, kedua set itu milik Chineesch Institute Yogyakarta. Adalah almarhum Gan Thwan Sing, warga kampung Beskalan, Yogyakarta, yang menciptakan wacinwa pada 1925. Hal ini diketahui dari tulisan yang terdapat pada wayang gunungan yang tersimpan di Uberlingen.

    Dari penelitian Dwi Woro Retno Mastuti, pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI), sejak muda Gan Thwan Sing terus memegang teguh tradisi Tionghoa. Kakeknya mahir bahasa dan aksara Mandarin serta berbagai legenda klasik Tiongkok. Kala muda, Gan Thwan Sing gemar menonton pergelaran wayang kulit semalam suntuk.

    Di Yogyakarta, Gan Thwan Sing belajar seni pedalangan dan pertunjukan. Berkat kecintaannya terhadap dunia seni pewayangan, ia lantas menciptakan wacinwa. “Wayang ini dibuat dengan memadukan budaya Tiongkok dan Jawa,” tutur Hanggar Budi Prasetya, pengajar jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

    Ons Untoro, pengamat seni di Yogyakarta, menjelaskan wacinwa merupakan upaya menghidupkan dua tradisi dalam ruang yang sama, dalam hal ini ruang Jawa. Hal ini  terlihat dari bentuk ornamennya. “Pernak-pernik pada wayang kulit Jawa melekat pada wayang kulit Tiongkok, tapi ‘wajah Tiongkok’ tetap dipertahankan,” tutur Ons.

    Menurut Hanggar, silang budaya Tiongkok-Jawa dalam wacinwa bisa dilihat dari beberapa aspek. Boneka wacinwa yang terbuat dari kulit kerbau merupakan pengaruh kebudayaan Jawa. Bentuk wayang dengan kepala yang dapat diganti-ganti merupakan pengaruh wayang potehi. Demikian pula bila dilihat dari ikonografi wacinwa di Museum Sonobudoyo, juga ada unsur Jawanya, misalnya kepala Liong dibentuk menyerupai Kala. Cerita yang ditampilkan di wacinwa diadaptasi dari cerita Tiongkok. Namun, cara pembawaannya menggunakan cara Jawa, yakni gamelan dan kelir. Ada suluk, kandha, dan sebagainya seperti pada pergelaran wayang kulit umumnya.

    Kisah cerita yang ditampilkan wacinwa, menurut Ons, mengambil legenda Tiongkok. Namun, tata cara pertunjukan menggunakan pakem Jawa. Gan Thwan Sing, kelahiran Jatinom, Klaten, pada 1895 ini menuliskan sendiri lakon dan kisahnya menggunakan bahasa dan aksara Jawa, misalnya dalam lakon “Rabinipun Raja Thig Jing” (“Pernikahan Raja Thig Jing”). “Namun, bahasa Jawa yang digunakan bukan bahasa Jawa halus, melainkan bahasa Jawa yang khas digunakan masyarakat Tionghoa peranakan atau dikenal sebagai bahasa Jawa lumrah,” tuturnya.

    Mirip Punakawan
    Dalam pertunjukan wacinwa tidak ada adegan banyolan sebagaimana pada pentas wayang kulit Jawa karena tak mengenal tradisi Punakawan. Namun pada perkembangannya, Gan Thwan Sing menciptakan tokoh-tokoh yang menyerupai Punakawan. Apa yang dituturkan Ons ini mengacu pada penelitian Woro, yang menyatakan Gan Thwan Sing menciptakan tokoh-tokoh mirip Punakawan yang diberi busana dan tata rambut bercorak Tionghoa klasik, kecuali Semar. “Tokoh Semar sengaja tak diciptakan karena Gan Thwan Sing memahami makna tokoh Semar bagi orang Jawa. Tokoh Semar adalah lambang kemuliaan bagi orang Jawa,” tulis Woro.

    Meski merupakan perpaduan antara Jawa dan Tiongkok, cerita wacinwa di Museum Sonobudoyo berbeda dengan cerita wacinwa di Uberlingen. Di Sonobudoyo merupakan cerita kepahlawanan Sie Jin Kwie Tang pada masa pemerintahan Dinasti Tang (618-907 Masehi). Di Uberlingen mengisahkan Sie Jin Kwie See. Kisah-kisah yang ditampilkan pada pementasan wacinwa ini akan membuat ada ketersambungan lagi etnis Tionghoa yang merantau dengan identitas budaya tanah leluhur mereka masih dapat mereka tampilkan. “Melalui wacinwa ini ada satu nilai penting dari rasa identitas yang tersambung,” ucap Hanggar.

    Menikmati pementasan wacinwa pada PBTY X kali ini tentu akan membuka kenangan lama. Itu karena sejak Gan Thwan Sing meninggal dunia (1967), tak ada yang memainkannya lagi. Para murid Gan Thwan Sing yang diharapkan bisa meneruskan, seperti Kho Thian Sing, RM Pardon, Megarsewu, dan Pawiro Buang, justru meninggal dunia terlebih dulu. Kini, muncul dalang baru yakni Aneng Kriswantoro. “Penampilan wacinwa ini akan membuat generasi muda mencintai kembali budaya mereka. Ini kekayaan budaya di Yogyakarta," kata Anggi.

    Menurut Hanggar, meski Gan Thwan Sing telah meninggal dunia, toh roh wayang ini tetap hidup dan dibangunkan dalam wahana lain, yakni ketoprak dan komik. Ketoprak Saptamandala, misalnya, pada 1970 mementaskan lakon Sie Jin Kwie yang telah digubah. Nama-nama tokohnya pun diganti. Tokoh Sie Jin Kwie diganti dengan nama Sudiro, Sie Teng San menjadi Sutrisno, dan lain sebagainya.

    Dalam komik dihidupkan kembali oleh Siauw Tik Kwie atau Oto Suastika pada 1983. Ada dua seri yang dibuat, yakni “Sie Jin Kwie Menyerbu ke Timur”, dan “Sie Jin Kwie Menyerbu ke Barat”.

    Dalam perkembangannya lagi, sutradara kenamaan Nano Riantiarno juga mengalihwahanakan dalam naskah teater yang dimainkan Teater Koma. Ada tiga lakon (trilogi) yang dipentaskan, yakni “Sie Jin Kwie” (2010), “Sie Jin Kwie Kena Fitnah” (2011), dan “Sie Jin Kwie di Negeri Sihir” (2012).

    Gan Thwan Sing memang telah tiada. Namun, karyanya, wacinwa menunjukkan kepada kita bahwa etnis Tiongkok dan Jawa hidup berdampingan serta melahirkan sebuah karya seni yang saling melengkapi, bukan meniadakan.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Merajut Budaya Tionghoa dan Jawa Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top