728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Keluarga Yahudi Terakhir di Suriah

    Kisah Pelarian Keluarga Yahudi Terakhir di Aleppo ke Israel

    Ketukan di pintu pada tengah malam dan perjalanan berbahaya melalui wilayah yang dikuasai militan Al Qaeda mengakhiri 3.000 tahun sejarah bangsa Yahudi di Suriah utara.

    Keluarga Yahudi terakhir di kota Aleppo dibawa melintasi perbatasan ke tempat aman di Turki bulan lalu dengan bantuan seorang pengusaha Amerika-Israel dan para pemberontak berhaluan moderat, Free Syrian Army (FSA).

    Mariam Halabi, 88 tahun, dan dua putrinya, yaitu Gilda dan Sarah, keduanya berusia 50-an tahun, bisa bertahan selama lebih dari empat tahun dalam perang saudara di Suriah. Mereka menjalani kehidupan rahasia, sementara kota mereka diperebutkan oleh rezim Bashar al-Assad dan pemberontak militan.

    Keluarga itu tinggal di rumah mereka meskipun air dan listrik menjadi barang langka. Mereka tetap mengikuti ajaran Yudaisme bahkan saat makanan halal (kosher) tidak tersedia.

    Namun, putra Mariam, yaitu Yoni, yang tinggal di New York, semakin khawatir dengan keselamatan keluarganya. Yoni akhirnya menghubungi seorang rabi di New York yang mungkin bisa membantu.

    Rabi tersebut pernah mendengar tentang kerja kemanusiaan yang sedang dilakukan Moti Kahana, seorang pengusaha Yahudi. Kahana mendukung para pemberontak Suriah. Setelah berbicara dengan para penghubungnya di Suriah, Kahana membahas rencana untuk mengeluarkan keluarga itu dari Suriah.

    Pada malam tanggal 13 Oktober, seorang warga Suriah dikirim Kahana untuk mengetuk pintu rumah keluarga Halabi. Orang itu mengatakan kepada mereka bahwa ia dikirim Yoni dan bahwa inilah "saatnya untuk pergi".

    Dengan memakai kerudung demi menyamarkan diri mereka sebagai Muslim, keluarga itu, termasuk suami Gilda yang seorang Suriah Muslim, yaitu Khalid, dan tiga anak remaja Khalid dari pernikahan sebelumnya, membawa apa yang bisa mereka bawa dan dimasukkan ke sebuah minibus menuju perbatasan Turki.

    Mereka menempuh perjalanan selama 12 jam. Dalam perjalanan, mereka melalui beberapa pos pemeriksaan pemberontak. Pada satu titik, Kahana mengatakan, keluarga itu harus melalui sebuah pos pemeriksaan yang dijaga kelompok afiliasi Al Qaeda, Jabhat al-Nusra.

    Setelah masuk Turki, keluarga itu berlindung di rumah Selma, seorang perempuan Suriah Palestina. Selma menawarkan mereka tempat aman untuk bermalam sebelum bisa melanjutkan perjalanan ke Istanbul.

    Selma, 43 tahun, juga seorang pengungsi akibat ulah rezim Assad. Ia juga takut akan pembalasan karena membantu keluarga itu.

    Ia mengatakan, mereka terguncang dan emosional ketika sudah tiba di Antakya di Turki selatan.

    "Mereka takut dan tertekan. Perempuan itu sangat tua dan sakit," kata Selma. "Namun, mereka sangat berterima kasih. Mereka senang bisa pergi, tetapi takut. Tidak masalah bagi saya bahwa mereka adalah orang Yahudi dan saya Palestina, saya akan membantu. Kita semua keluarga."

    Keluarga tersebut berharap untuk bertemu dengan Yoni di New York. Mereka sudah berhasil melarikan diri ke tempat aman. Namun, kisah mereka tidak sepenuhnya berakhir bahagia.

    Ketika mereka tiba di Istanbul, Kahana mengatakan kepada mereka bahwa visa ke Amerika akan sulit diperoleh dan akan lebih mudah untuk mengajukan permohonan visa right of return ke Israel, yang dikenal sebagai Aliyah.

    Kahana lalu menghubungi Jewish Agency, badan yang bertanggung jawab untuk merepatriasi orang Yahudi ke Israel. Jewish Agency kemudian mengirim seorang penghubung untuk mengatur perpindahan keluarga itu ke Israel.

    Namun, walau Mariam dan Sarah diberikan visa Aliyah, Gilda ditolak karena ia sudah masuk Islam sebelum menikahi suaminya yang Muslim.

    "Mereka ingin pergi ke New York, tetapi saya pikir lebih mudah bagi mereka untuk pergi ke Israel terlebih dahulu," kata Kahana.

    "Kemudian, kontak saya mengatakan kepada saya bahwa orang Israel membawa sang ibu dan satu orang anak, tetapi menolak putrinya yang menikah. Saya begitu frustrasi. Ia tidak bisa membuktikan bahwa dirinya Yahudi sehingga mereka tidak bisa membantunya. Seorang Yahudi selalu menjadi Yahudi jika ibunya seorang Yahudi. Saya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi tidak ada peluang bagi mereka untuk ke Israel."

    Karena frustrasi dan tanpa uang, Gilda dan suaminya kemudian mengambil keputusan berisiko untuk kembali lagi ke Suriah. Sementara itu, ibunya yang renta dan adiknya Sarah kini menetap di Ashkelon di Israel.

    Ketiga perempuan itu menolak berbicara dengan wartawan.

    Kahana tahu bahwa mereka trauma dengan pemisahan yang terjadi.

    "Keluarga itu tidak senang dipisahkan. Gilda dalam bahaya besar. Orang Israel mengklaim dia seorang Muslim dan saya yakin bahwa jika Nusra atau ISIS mengetahui keberadaannya, mereka akan mengklaim dia sebagai orang Yahudi," kata Kahana. "Assad tidak akan senang membiarkan mereka melakukan perjalanan lagi... Mereka akan mengawasinya."

    Jewish Agency mengklaim pihaknya melakukan apa yang bisa dilakukan untuk membantu keluarga itu. Namun, berdasarkan aturan migrasi Aliyah, orang yang sudah jadi mualaf tidak memenuhi syarat untuk mendapat visa Aliyah.

    Yigal Palmor, direktur urusan publik dan komunikasi di lembaga tersebut, mengatakan, Gilda dan keluarganya disarankan untuk meminta visa turis ke Israel sebelum mengajukan permohonan izin tinggal. Namun, keluarga tersebut menolak gagasan itu.

    Palmor menyalahkan Kahana karena memikat keluarga itu keluar dari Suriah dengan janji bahwa ia bisa membawa mereka ke Amerika.

    "Berdasarkan undang-undang, ia memenuhi syarat untuk jenis visa yang lain. Dia disarankan untuk mengajukan permohonan visa itu, tetapi dia menolak. Saya hanya bisa menebak bahwa dia ingin pergi ke Amerika Serikat," kata Palmor.

    "Jika dia masuk kembali ke Yudaisme, dia akan memenuhi syarat untuk Aliyah, tetapi perpindahan agama di Turki merupakan hal yang ilegal. Kami tidak terlibat dalam proses itu, yang dilakukan dengan cara yang bisa saya sebut tawaran yang tidak jujur."

    Orang-orang Yahudi sudah tinggal di Suriah selama lebih dari 3.000 tahun sampai terjadi eksodus besar-besaran menyusul terbentuknya negara Israel tahun 1948. Eksodus besar lainnya terjadi tahun 1960-an.

    Saat ini, diyakini hanya ada 18 orang Yahudi yang tersisa di Suriah. Semua tinggal di Damaskus.

    Keluarga Halabi merupakan keluarga Yahudi terakhir di Aleppo.

    Kahana, yang dibesarkan di Israel, mengatakan, ia termotivasi untuk mendukung warga sipil Suriah karena merasa berkewajiban untuk menolong orang-orang yang teraniaya, tak peduli dari latar belakang apa pun, termasuk agama.

    "Kami orang-orang Yahudi selalu mengatakan, 'jangan pernah lagi'," katanya merujuk pada peristiwa Holocaust. "Yah, itu terjadi lagi dan itu terjadi pada tetangga kita. Yang membantu keluarga itu adalah orang-orang Muslim, orang Suriah. Mereka merupakan pahlawan. Saya tetap berada di New York. Saya tidak mempertaruhkan nyawa saya."
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Keluarga Yahudi Terakhir di Suriah Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top