728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Hidup Damai Di Tanah Dayak

    Resep Hidup Damai dari Tanah Dayak: Tembawang


    Gawai Dayak Sintang - Liswari dan kawan-kawannya yang berjilbab di Gawai Dayak

    Sanggau - Siang hari di tengah keramaian pesta Dayak, empat perempuan berkerudung sedang jalan-jalan. Langkah mereka terhenti di salah satu sudut jalan.

    Liswarni (41) dan empat perempuan rekannya yang lebih muda sedang berada di Gawai Dayak Sintang, di kompleks Stadion Baning, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Di hari Jumat siang, cahaya matahari cukup membuat orang memicingkan mata.

    Mumpung sedang ada Gawai Dayak, apalagi sudah lima tahun tak digelar di Sintang, Liswarni menyempatkan diri mengunjungi gelaran ini. Dia berhenti di sebuah stan kerajinan khas Dayak. Sejumlah gelang manik-manik dan anyaman dia jajal, teman-temannya juga begitu. Sebagai orang Melayu Kalimantan Barat, Liswarni tak ragu-ragu mengunjungi Gawai Dayak, malah antusias.

    "Saya menganggap Dayak sebagai saudara," kata Liswarni.

    Rasa persaudaraan ini dipercayainya mampu menjaga keamanan di Sintang, Kabupaten yang punya wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia ini. Isu-isu bernuansa kebencian antarkelompok tak mempan untuk memengaruhi orang-orang.

    Malam harinya, ada penampilan musik dari Forum Masyarakat Batak Kabupaten Sintang di panggung Gawai Dayak. Semua kelompok masyarakat dipersilakan untuk menikmati suasana pesta syukuran ini, bahkan juga masyarakat Dayak dari negara tetangga, Malaysia. Nilai toleransi memang ditonjolkan di acara ini.

    "Gawai Dayak ini mengangkat tema toleransi dan keberagaman. Ini menunjukkan bahwa kita masyarakat Dayak ingin menyatakan toleransi kita kepada seluruh masyarakat yang beragam," kata Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Sintang, Jeffray Edward, kepada detikcom di lokasi acara.

    Jeffray mengajak seluruh masyarakat agar semua warga bisa menjaga keberagaman dan tak mudah terprovokasi upaya-upaya memperkeruh suasana. Sejauh ini, toleransi di sini dinyatakannya telah berjalan baik.

    Kabupaten tetangga Sintang, yakni Kabupaten Sanggau yang juga menjadi tapal batas Indonesia-Malaysia, juga punya masyarakat majemuk. Yang dominan memang masyarakat Dayak dan Melayu. Persaudaraan antardua suku besar ini tergambar lewat legenda Daranante, putri Melayu yang menikah dengan pria Dayak bernama Babai Cinga. Anak turun Daranante dan Babai Cinga menjadi penguasa Kerajaan Sanggau.

    "Sebenarnya kita satu asal. Dulu zaman kerajaan ada perkawinan campuran Etnis Dayak dan Etnis Melayu," kata Bupati Sanggau, Paolus Hadi, di Rumah Dinas, Kelurahan Ilir Kota, Kecamatan Kapuas, Sanggau.

    Selain itu, ada pula masyarakat Tionghoa dan Jawa. Agama penduduk Sanggau juga beragam, ada Katolik, Muslim, Protestan, Budha, hingga Konghucu. Namun ribut-ribut soal agama tak pernah terjadi di sini meski sempat terasa ada isu-isu provokatif.

    Beda Agama, Satu Tembawang

    Penggolongan suku dan agama juga tak selalu simetris. Tak semua orang Muslim adalah Melayu, karena banyak juga orang Dayak yang Muslim. Orang Dayak di Kalimantan Barat menyebut saudaranya yang menjadi Muslim dengan istilah 'senganan'.

    Meski berbeda keimanan, baik Dayak yang Nasrani maupun Dayak yang Muslim tetap mengakui satu asal-usul kekerabatan yang sama. Kekerabatan itu terwujud dalam konsep Tembawang. Tembawang ini adalah konsep wanatani (agroforestri) khas Dayak yang memuat kearifan tentang asal-usul kekerabatan.

    "Tembawang itu salah satu pemersatu," kata Paolus mengucapkan soal 'resep perdamaian' ini.

    Setiap kerabat mempunyai Tembawang yang dulu secara bersama-sama pernah ditanami berbagai macam buah-buahan, mulai dari durian, entawak, rambutan, tengkawang, karet, dan sebagainya. Tembawang itu tetap dikenang sebagai milik anak-cucu kerabat pemiliknya meski sudah ditinggal pergi berpencar. Suatu saat bila pepohonan di Tembawang berbuah, maka kerabat bisa mendapat bagian atau berkumpul kembali untuk mengambil hasil. "Bisa ratusan dan ribuan orang yang mempunyai satu Tembawang. Tembawang itu pengikat," kata Paolus.

    Tembawang menjadi simbol kerukunan. Kebersamaan warga Sanggau tak mudah terusik. "Mungkin karena sudah merasa enak hidup bersama tinggal di daerah ini. Kalau generasi-generasi sebelumnya, hidup dari kecil itu sudah bersama. Yang kita waspadai itu penyusup saja. Kalau orang sini asli, tidak akan memprovokasi. Dan ini sudah komitmen kita bersama," tuturnya.

    Kerusuhan antaretnis pernah terjadi pada paruh akhir '90-an dulu. Itu menjadi konflik terakhir yang terjadi di Kalimantan Barat. Kini Sanggau lebih sadar terhadap bahaya provokasi.

    Kabupaten Sanggau punya dua kecamatan yang berbatasan dengan Malaysia, yakni Entikong dan Sekayam. Masih ada kawasan-kawasan yang cukup sulit dijangkau di perbatasan itu. Meski terpencil, bukan berarti mereka tidak toleran terhadap perbedaan. Desa Suruh Tembawang misalnya.

    Kepala Desa Suruh Tembawang, Gak Mulyadi, menyatakan masyarakatnya adalah Suku Dayak Bidayuh. Meski satu suku yang dominan, namun mereka punya keragaman agama, ada Katolik, Protestan, dan minoritas Muslim sebesar 20 persen. Meski minoritas, namun masyarakat pada umumnya tak menganggap itu sebagai masalah.

    "Untuk Desa Suruh Tembawang, ada dua kepala dusun yang Muslim, di Dusun Senutul dan di Dusun Pool," kata Gak di rumahnya, di pinggir Sungai Sekayam desanya.

    Di seluruh Suruh Tembawang ada delapan dusun yang didominasi Umat Katolik dan dua dusun dihuni Umat Protestan. Umat Islam mengisi sekitar 10 persen dari keseluruhan penduduk Suruh Tembawang, dan di salah satu Dusun, yakni Kebak Raya, ada 23 Muslim.

    Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) Suruh Tembawang, Bripka Fransisco Redy, menjelaskan masyarakat sini tak terlalu terbawa arus kebencian bernuansa Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) yang bertebaran di media sosial.

    "Toleransi di sini termasuk aman dan toleransinya sangat tinggi. Mayoritas orang Dayak di sini tidak terpengaruh oleh isu-isu di luar. Karena sebagian juga ada orang Dayak di sini yang Muslim. Adik saya yang Muslim juga ada," kata Fransisco.

    Bergeser ke Sekayam, ada Masjid Attaqwa yang terletak di Balai Karangan, sekitar 30 menit dari Pos Lintas Batas Negara Entikong. Attaqwa merupakan Masjid yang terbesar di lingkungan ini. Masyarakat di sekitar Masjid umumnya Melayu, telah belajar bahwa persatuan antarelemen masyarakat sangat penting.

    Saat ada isu insiden Gawai Dayak Pontianak pada Mei lalu, pihak masjid termasuk para pemuka agama-agama di Sekayam bergerak cepat meredam situasi. Ini diceritakan oleh Ketua Masjid Besar Attaqwa, Mustaqim.

    "Kita sudah buat kesepakatan, bagaimanapun harus menjaga kondisi," kata Mustaqim.

    Kegiatan bersama yang melibatkan partisipasi antarumat beragama sudah sering digelar. Misalnya bila ada Pawai Takbir, pihak pastor dari gereja mengutus muda-mudi Katolik untuk mengamankan jalannya kegiatan. Saat Hari Raya Natal, Umat Muslim ikut mengamankan situasi jalannya perayaan.

    Berdasarkan data Kantor Urusan Agama (KUA) Sekayam tahun 2016, jumlah umat beragama di Sekayam adalah 34.915 orang, terdiri dari Islam 13.531 orang, Protestan 3.353 orang, Katolik 17.983 orang, Hindu 24 orang, dan Budha 27 orang. Mustaqim menyatakan hubungan antarumat beragama terjalin dengan baik di sini, dengan masyarakat Islam yang mayoritas Melayu meski ada pula yang dari Dayak.

    Kembali ke konsep Tembawang sebagaimana dimiliki masyarakat Dayak, dalam buku 'Sejarah Kesultanan Masyarakat Sanggau' karya Abang Ishar dijelaskan bahwa Dayak yang masuk Islam terkadang memang dianggap sebagai 'masuk Melayu'. Namun bukan berarti akar Budaya Dayak sudah dilupakan sama sekali oleh anggota yang masuk Islam.

    Warga Dayak yang masuk Islam tetap punya keterikatan dengan Tembawang warisan pemuka Dayak masa lalu bernama Lahan. Letak Tembawang yang dimaksud ini berada di Kembayan, Kabupaten Sanggau. Di antara mereka tidak boleh berkelahi apalagi berbunuh, serta harus saling tolong-menolong meski mereka telah berbeda keimanan dan cara hidup.

    Ade Abdullah, Ketua Panitia Hari Besar Islam Kecamatan Sekayam, menjelaskan kerukunan antara Melayu dan Dayak memang sudah ditanamkan sejak zaman 'orang tua dulu'. Maka hingga sekarang, masing-masing bisa saling membantu saat perayaan hari besar agama, dan bisa menerima bila azan berkumandang menggunakan pengeras suara.

    "Di wilayah perbatasan ini, kami jaga benar-benar masalah kerukunan antarumat beragama dan antarsuku," kata Ade Abdullah.

    Bila ada perselisihan antara keduanya, maka akan dibicarakan baik-baik. Hidup berdampingan perlu dipertahankan, cara kekerasan harus dihindari. Bila perlu, kedua belah pihak menahan diri dari kepentingan golongan dan sama-sama sengsara daripada harus menggunakan cara kekerasan.

    "Istilah kami di sini kalau sudah membahas (kedekatan) Melayu-Dayak itu, 'Buang dulu periuknya, biar sama-sama nggak makan, biar sama-sama mati'. Jangan pakai kekerasan," tandas Ade.

    Tembawang Terancam Perkebunan dan Tambang


    Tembawang menjadi simbol hidup rukun di Kalimantan Barat, khususnya Sanggau. Namun ternyata kelestarian Tembawang sudah kian tergerus oleh laju modernisasi, pembangunan, dan industri.

    Sebagai kebun yang menempel di hutan (wanatani), tembawang sekaligus juga wujud keadaban pro-ekologi masyarakat Dayak. Sejak dulu masyarakat Dayak dikenal lekat dengan alam.

    Namun roda modernitas datang membawa perubahan, termasuk perubahan terhadap tembawang itu, kebun buah kolektif yang mengikat kekerabatan Dayak itu.

    Putra Sanggau yang menjadi pemerhati kebudayaan Dayak, Fransiskus Iwan Dj atau akrab disebut Iwan Djola, menyatakan perubahan sosio-ekologis sudah terjadi sejak tahun 1960-an dan 1970-an. Era Orde Baru menandai dimulainya ekspansi perluasan lahan perkebunan. Kondisi ini terus berlangsung sampai era lebih kekinian, hingga tembawang menjadi tergerus.

    "Sebenarnya hampir tidak ada lagi tembawang yang benar-benar terjaga dengan baik. Ini karena penghancuran sistem masyarakat adat sejak dulu," kata Iwan.

    Bagaimana bisa kekuatan adat Dayak diterjang pembangunan sirkuit kapital? Pembina Sekretariat Bersama (Sekber) JC Oevaang Oeray, asrama mahasiswa Dayak di Yogyakarta ini menjelaskan bahwa dulu, kekuatan politik, kekuatan bersenjata, dan kekuatan modal bersatu mengeksekusi lahan-lahan di Sanggau. Pemerintah, militer, dan korporasi berjalin kelindan 'menggarap' Sanggau. Jadilah hutan sekalian tembawangnya menjelma perkebunan sawit dan pertambangan.

    "Dulu, pemuka masyarakat direkrut perusahaan. Dalam kondisi itu, masyarakat biasa menjadi serba sulit mempertahankan tembawang. Sanggau dan Ngabang (Kabupaten Landak) termasuk yang paling awal dalam perluasan perkebunan," kata Iwan.

    Tak banyak lagi Rumah Panjang yang otentik sebagai wahana pewarisan nilai-nilai adat. Masyarakat Dayak perlahan hidup di rumah-rumah biasa. "Padahal segala kearifan diwariskan lewat pola interaksi di Rumah Panjang," kata Iwan yang berprofesi sebagai pengajar perguruan tinggi di Bandung ini.

    Dahulu, tembawang bisa seluas 1 hektare lebih yang dimiliki satu kerabat. Bila musim buah, para kerabat berkumpul di tembawang, ini seperti perayaan hari besar lintas agama, Gawai Dayak. Kini memang masih ada tembawang, namun eksistensinya kian terancam.

    Tembawang adalah praktik budaya yang mendukung kelestarian hutan. Sebutannya bervariasi seturut dialek masing-masing sub-suku Dayak. Ada yang menyebut 'timawakang', 'tomawang', dan sebagainya. Selain sebagai pusat memori kekerabatan, kebun buah kolektif ini juga berfungsi sebagai penanda batas wilayah. Pohon durian adalah pohon istimewa di tembawang.

    Durian, atau 'diatn' dalam bahasa setempat, jenis Poriji ditanam di titik yang dulu pernah menjadi parit pertahanan suku. Durian Tajau ditanam di tempat yang dulu pernah menjadi lokasi pembuatan tempayan alias 'tajau' dalam bahasa setempat. Tajau adalah benda yang digunakan dalam gawai (pesta panen). Durian Bakol ditanam di pondokan tempat membuat anyaman bakul. Durian Balai ditanam di tempat yang dulu pernah menjadi lokasi pembuatan senjata dan alat pertanian.

    Direktur Pembinaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kemasyarakatan (PPSDAK) Pancur Kasih, Matheus Pilin, menjelaskan bahwa tembawang adalah bagian dari wilayah tanah adat. Selain tembawang, ada pula bawas (area yang diladangi sebelumnya), kampokng (kampung), tanah mali (tanah larangan), dan lainnya. Memang tembawang masih ada di Sanggau, namun perlu perhatian yang lebih untuk menjaganya.

    "Kondisinya sekarang sangat terancam akibat masifnya kegiatan perkebunan sawit dan pertambangan," kata Matheus.

    Masyarakat Dayak dulu memang tak mengenal sertifikat tanah untuk menjaga tembawangnya. Wanatani komunal ini belum juga terdata dengan baik di era milenium, di era pemerintahan modern ini.

    "Seharusnya Pemda, Kabupaten, hingga Desa memprogramkan pemetaan wilayah adat. Dulu kami ada kerjasama dengan Pemda untuk pemetaan desa pada 2013, namun belum masif," kata Matheus.

    Pemetaan yang sudah ada dirasanya belum optimal. PPSDAK Pancur Kasih sebagai organisasi non pemerintahan mencoba bergerak memetakan Bumi Daranante ini, namun hasilnya belum rampung. Pemetaan ini penting demi mempertahankan ekosistem, budaya, mempertahankan resep hidup damai masyarakat Dayak.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Hidup Damai Di Tanah Dayak Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top