728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Rupiah Di Tangan Kanan, Ringgit di Tangan Kiri

    Tapal Batas
    Ringgit di Indonesia, Rupiah di Malaysia

    Pedagang di Pasar Entikong bertransaksi dengan Rupiah dan Ringgit - Rupiah di tangan kanan, Ringgit di tangan kiri.

    Entikong - Kawasan tapal batas Indonesia dan Malaysia menjalin interaksi ekonomi yang intens. Selain aliran barang dan manusia melintasi batas negara, mata uang kedua negara secara luwes digunakan di kawasan perbatasan.

    Sabtu, detikcom mengunjungi Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Di Pasar Entikong, penggunaan mata uang Ringgit Malaysia di teritorial Indonesia telah lazim digunakan.

    Kami menemui Ringgit pecahan 1,5,20, juga 50. Orang-orang Malaysia sering berbelanja ke sini, utamanya pada Sabtu dan Minggu. Ini dikatakan oleh Slamet Deni (48), pedagang sayur-mayur di sini.

    "Kita samakan kursnya," kata Deni yang mengaku tak memahalkan harga bila ada orang Malaysia membeli dagangannya.

    Istri Deni, yakni Daira (48) menunjukkan uang-uang Ringgit yang dia miliki. Konon orang-orang Malaysia suka belanja hasil bumi Indonesia karena masih relatif bebas dari pupuk kimia ketimbang hasil bumi dari negaranya.

    "Hasil di sini memang murni, nggak pakai pupuk kimia. Paling pupuk kandang," kata Deni yang mendatangkan barang dagangannya dari Balai Karangan Kecamatan Sekayam, sebagian bahkan dari kebunnya sendiri. Ada timun, kentang, bawang bombay, labu, jahe, jengkol, dan lain sebagainya.

    Para pedagang di sini juga menjual sebagian sayur-mayur yang didatangkan dari Malaysia, menurut pengakuan mereka, harganya lebih murah ketimbang sayur-mayur dari Indonesia. Misalnya wortel, kol, dan kentang. Namun kata mereka, orang Malaysia datang berbelanja ke sini karena harganya murah.

    "Tapi ada juga orang Malaysia yang beli banyak sayur-mayur dari petani di sini, minta turun harga. Mereka akan menjualnya lagi di Malaysia," kata seorang pedagang bernama Verawati (32).

    Ringgit juga lazim digunakan di Pasar Entikong.Ringgit juga lazim digunakan di Pasar Entikong. Foto: Rachman Haryanto

    Duit ringgit dia tunjukkan. Kebanyakan yang dipakai adalah 1 Ringgit, 10 Ringgit, dan 20 Ringgit. Duit ini bisa digunakan bila ada pembeli dari Malaysia yang butuh kembalian dalam bentuk mata uang ini.

    Kami melintasi batas negara menuju kawasan Tebedu, daerah Serian, Negara Bagian Sarawak Malaysia. Sekitar 10 menit dari perbatasan, terdapat kompleks pertokoan yang biasa digunakan orang Indonesia untuk membeli barang-barang atau sekadar mencari cinderamata.

    Kami berhenti di salah satu toko saat pukul empat sore. Sayang sekali, toko itu sudah tutup. Namun kompleks pertokoan selanjutnya masih buka. Tulisan di gedung terbaca 'Guan Tan Company'. Di salah satu toko di sini, banyak dijual produk-produk kemasan, seperti supermarket pada umumnya. Di antara produk-produk Malaysia dan negara lain, ada pula produk mi instan asal Indonesia, lebih dari satu merek.

    Makanan, minuman, cokelat, es krim, semua ada di sini. Ada es krim bermerek produk cokelat yang jarang ditemui di Indonesia, misalnya es krim Kit Kat atau Milo. Bila ingin cari suvenir, di sini dijual gantungan kunci atau kaus.

    Bagaimana membayarnya? Bagi pengunjung dari Indonesia, jangan ragu-ragu untuk menggunakan Rupiah. Teman saya membayar menggunakan Rupiah, namun dia mendapat uang kembalian berupa Ringgit.

    Di Pasar Entikong, Beras hingga Gas Malaysia Jadi Primadona

    Entikong - Entikong memang ikonik, terlebih usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu pada 2016 di kecamatan terdepan Indonesia yang berhadapan dengan Malaysia ini. Jalan paralel perbatasan dan jalan inspeksi perbatasan dibangun negara.

    Meski pembangunan infrastruktur sedang dilakukan untuk mempermudah mobilitas orang dan barang, namun nyatanya sejumlah barang kebutuhan pokok dari Indonesia masih mahal. Maka para pedagang lebih memilih memasok sebagian barangnya dari Malaysia, negara di seberang tapal batas sana.

    Saat detikcom mengunjungi Pasar Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat, Sabtu, terpantau tak hanya penggunaan mata uang Ringgit saja yang ada di sini, namun berbagai jenis komoditas Malaysia juga ikut menjadi primadona.

    Pasar Entikong terletak di pinggir jalan, jaraknya kurang lebih 1 km sebelah selatan PLBN Entikong. Pedagang-pedagang nyaris membludak ke aspal jalan. Ada Deni (48) dan istrinya, Daira (48), berjualan persis di tepi jalan. Mereka menjual sayur-mayur, pembeli dari Malaysia terkadang datang ke lapaknya.

    "Orang Malaysia Sabtu atau Minggu biasanya turun sampai sini," kata Deni di pagi hari sehabis hujan deras ini.

    Macam-macam yang dia jual, ada bawang, timun, kentang, jahe, labu, bengkuang, dan jengkol. Dia memperlihatkan duit Ringgit untuk melayani mereka-mereka yang memang tak punya Rupiah untuk menebus sayur-mayur ini.

    "Nanti kita samakan kursnya," kata Deni.

    Dia mengaku tak bakal memahalkan barang dagangannya secara keterlaluan hanya karena pembeli berasal dari Malaysia. Misalnya, saat ini 1 Ringgit sama dengan Rp 3.126,00. Jengkol yang tua dia jual Rp 25 ribu sekilogram, bila pembelinya dari Malaysia maka dia jual 8 Ringgit. Jengkol setengah tua Rp 15 ribu sekilogram, sama dengan 8 Ringit. Labu air dijual Rp 12 ribu sama dengan 4 Ringgit. Perenggi alias labu kuning Rp 15 ribu atau 5 Ringgit. Timun dijualnya Rp 12 ribu atau 4 Ringgit. Kentang Rp 17 ribu atau 6 Ringgit. Ada pula bawang bombay Rp 20 ribu per kilogram, kalau dijual ke pembeli dari Malaysia harganya 7 Ringgit.

    Dia mengaku telah memasok bahan makanan ke rumah makan di Tebedu Malaysia, yakni berupa jahe, timun, dan pakis. Yang dijual Deni dan istrinya adalah hasil bumi perbatasan asal Indonesia, sebagian lagi adalah hasil dari ladangnya di Balai Karangan, Kecamatan Sekayam. Namun ada pula pedagang yang menjual barang dari Malaysia.

    Verawati (32) punya lapak di bagian dalam pasar. Dia menjual wortel, kentang, dan kol (kubis) dari Malaysia. "Kol ini Rp 125 ribu per karung dari Malaysia, wortel beli Rp 130 ribu 10 kilogram dari Malaysia," kata Verawati.

    Jika dihitung-hitung, kol ini harganya Rp 15 ribu sekilogram. Bila beli di Indonesia, kol seperti ini harganya Rp 20 ribu sekilogram. Adapun kentang dari Malaysia dia beli Rp 15 ribu per kilogram. "Kalau dari Pontianak Rp 25 ribu," ucapnya. Pontianak adalah ibu kota provinsi yang jaraknya sekitar enam jam dari lokasi ini, jalannya sudah cukup mulus saat ini.

    Sesekali dia sibuk melayani pembeli, pasar memang semakin ramai seiring hujan yang mereda. Anak bayi bernama Risman, usia 10 bulan, tertidur di ayunan kain sebelah kanan. Sepupu bernama Ita (26) merokok di sebelah kiri Verawati. Di depan mereka, barang dagangan yang beraneka ragam. Tak sebagian asli Indonesia, sebagian dibeli dari Malaysia.

    Di pojok dalam pasar, ada kios-kios. Saya masuk ke toko kecil Pak Suparman (40). Pria asli Dayak ini memajang beraneka ragam sembilan bahan pokok. Banyak barang asli Indonesia seperti beras Pandan Wangi Cianjur, mi instan, dan sabun cuci. Banyak pula barang kulakan dari Malaysia yang dia jual di sini, seperti susu kalengan, susu cokelat bubuk, ikan kalengan, gula, hingga sampo.

    Barang Malaysia memenuhi rak-rak di toko ini. Sebenarnya tak semua produk-produk ini asli buatan Malaysia, karena ada pula barang yang diproduksi dari luar Malaysia. Namun barang-barang ini dibeli pedagang dari Malaysia.

    Suparman biasa kulakan lewat pemanfaatan kuota 600 Ringgit per bulan dari Kartu Identitas Lintas Batas (KILB) warga perbatasan. Dia merasa pembatasan 600 Ringgit ini membatasinya untuk kulakan barang-barang Malaysia.

    "Kita memang mengikuti aturan, tapi kan perlu dilihat juga kebutuhan masyarakat di sini. Perlu dipertimbangkan supaya bisa lebih mudah (kulakan barang dari Malaysia)," kata Suparman yang asli warga kecamatan ini.

    Susu krimer manis dari Malaysia merek Dairy Champ dibelinya 5 Ringgit 20 Sen dari Malaysia, atau sekitar Rp 20 ribu per kemasan beratnya 1 kg. Dia jual kembali di Entikong ini, bisa untung Rp 4 ribu per kemasan. Susu yang diproduksi di Indonesia juga dia jual, merek Frisian Flag dia beli Rp 10 ribu dan dijual Rp 13 ribu per kemasan 370 gram.

    Saya berjalan ke seberang jalan usai tanjakan. Di sana ada toko yang ukurannya sama. 'Toko Herik' dijaga oleh juragannya, Dauglas (40). Sama saja di sini, sejumlah barang dari Malaysia juga dijual. Ada gula kemasan 1 kilogram merek CSR buatan Selangor Malaysia dibeli Dauglas Rp 10 ribu satu kemasan, dia jual lagi Rp 12 ribu.

    "(Gula) Dari Indonesia lebih mahal barangkali. Rp 11.500 per kilogram kalau kita beli. Itupun kalau ada pasokannya. Tapi kami di sini nggak jual," ucap Dauglas.

    Yang aneh lagi, ada beras yang dia jual. Beras asal Kabupaten Kapuas Hulu, sama-sama Kalimantan Barat, harganya bisa lebih mahal daripada beras asal Malaysia. Beras dari Kapuas Hulu dibeli Dauglas Rp 11 ribu per kilogram dan dijual lagi Rp 12 ribu per kilogram.

    "Ini beras merek Tulip dari Malaysia, harganya Rp 8.500 per kilogram. Saya heran bagaimana bisa beras dari Kapuas Hulu malah lebih mahal," kata Dauglas.

    Gas LPG merek Petronas ukuran 14 kilogram dijualnya Rp 180 ribu, harganya menjadi Rp 450 ribu bila dijual bersama tabungnya. Tabung gas warna merah-hijau ini ditaruhnya di pelataran toko. Ada pula makanan ringan dalam kemasan yang bermacam-macam. Minuman soda rasa buah-buahan dari Malaysia juga dijualnya.

    "Ini parang, cangkul, dan topi untuk ke ladangpun juga dari Malaysia. Topi anyaman untuk ke ladang ini harganya Rp 15 ribu," kata Dauglas.

    Dauglas mengeluh barang-barang Indonesia berharga mahal. Dia mengaku dalam hatinya ingin agar barang Indonesia bisa bersaing dengan Malaysia, namun kadang kualitas juga tak sebanding dengan harga. Maka Dauglas dan kebanyakan pedagang di sini memilih menjual barang dari Malaysia karena hitung-hitungan ekonomis.

    Cara yang paling konvensional adalah memanfaatkan jatah 600 Ringgit per bulan dari KILB. Ini menurutnya sungguh membatasi jumlah kulakan, dan perlu dibebaskan batasnya. Jatah belanja KILB memang bebas pajak sebagai upaya pemerintah mengakomodasi kebutuhan warga perbatasan Entikong dan Sekayam. Dauglas tak keberatan bila harus belanja barang Malaysia dan dikenai pajak oleh Bea dan Cukai Entikong.

    "Sudah sejak Indonesia merdeka lah dipersulit seperti ini. Kalau pemerintah mau ambil cukai pajak dari kami yang beli barang dari Malaysia, ya nggak masalah lah. Kalau nggak merugikan negara, silakan ambil pajaknya," protes Dauglas.

    Aktivitas ekonomi masyarakat perbatasan di sini memang masih erat kaitannya dengan Malaysia. Pada pengujung 2016 lampau, detikcom juga pernah berjalan-jalan di kawasan perbatasan Kabupaten Sanggau ini. Saat itu juga terdapat barang-barang Malaysia di toko sekitar sini. Sekarang pembangunan infrastruktur jalan sedang digencarkan supaya lalu-lintas komoditas bisa lebih mudah terhubung antara satu daerah ke daerah perbatasan di sini.

    Berdasarkan catatan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong, memang nilai impor dari Malaysia yang masuk ke Indonesia masih lebih besar ketimbang nilai ekspor dari Indonesia ke Malaysia. Dari Juni 2016 sampai Juli 2017, nilai ekspor tertinggi dari Indonesia ke Malaysia tercatat di November 2016 sekitar Rp 17,5 miliar. Impor tertinggi dari Malaysia ke Indonesia terjadi pada Agusus 2016 senilai Rp 30 miliar. Selama setahun itu, ekspor tak pernah mengungguli impor. Pada Juni 2017, nilai ekspor di angka Rp 6 miliar, nilai impor sekitar Rp 17 miliar.

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Rupiah Di Tangan Kanan, Ringgit di Tangan Kiri Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top