Adi Pratomo, Satu di Antara Sedikit Peneliti Rupiah
Dalam Katalog Uang Kertas Indonesia 1782-2005, ada ucapan selamat dari Adi Pratomo. Di bawah namanya tertulis Jurnal Rupiah lengkap dengan alamat rumah. Siapa Adi dan apa hubungannya dengan uang?
RUMAH di Jalan Raya Darmo Permai Selatan itu seperti tak berpenghuni. Cat pagarnya sudah melepuh, digantikan kerak hitam di sana-sini. Rumput-rumput liar meninggi hampir selutut. Sampah bekas peralatan rumah tangga berserak hampir memenuhi sepertiga halaman. Langit-langit di atap beranda juga banyak yang jebol dengan noda warna cokelat.
Tulisan Awas Ada Anjing Galak yang ditempel di kaca depan hampir tidak terbaca. Kertasnya yang cokelat seukuran buku tulis sudah sangat kusam. Tinta birunya pun sudah luntur.
Di ruang tamu, aroma lembap bekas hujan begitu terasa. Isi ruangan berukuran 5 x 5 itu didominasi puluhan buku pelajaran SMP dan SMA yang diletakkan begitu saja di sudut kiri, dalam rak terbuka berwarna putih kecokelatan. Tidak ada meja tamu. Hanya sebuah kursi yang bisa menampung tiga orang. Warnanya campuran biru, merah, dan kuning. ”Beginilah keadaan saya,” kata Adi Pratomo, pemilik rumah lantas tersenyum.
Sambil mengisap dalam-dalam sebatang rokok keretek, Adi melanjutkan, ”Anda sekarang berhadapan dengan pria yang ketika sekolah mendapatkan angka 10 untuk sejarah. Juga seorang setan matematika,” ujarnya, ekspresinya datar.
Dia kemudian bercerita tentang sejarah peradaban besar dunia.
Namun, pria 58 tahun itu memfokuskan analisisnya pada masalah ekonomi. ”Sejarah politik kekuasaan adalah sejarah kaum ningrat, sedangkan soal ekonomi lebih dekat pada pergulatan kerakyatan,” paparnya. ”Sejauh menyangkut nilai uang, satuan timbang dan perdagangan, kita bisa melacak sejarah dengan cara pandang yang kaya,” lanjutnya.
Bapak empat putri itu mencontohkan, seseorang bisa lebih dalam mengetahui asal-usul Indonesia dari kata satuan mata uang rupiah. ”Tidak banyak orang Indonesia yang tahu mengapa rupiah dipilih sebagai nama. Apakah ini nama lokal atau baru saja dicetuskan?” katanya seolah bertanya. Sambil menggelengkan kepala, Adi menjawab pertanyaannya sendiri. ”Kata rupiah hidup sejak abad kelima atau enam Masehi.”
Rupiah, lanjut dia, berasal dari bahasa Mongolia, rupia, yang berarti perak. Waktu itu, Mongolia di bawah Genghis Khan, dilanjutkan Timur Leng, dan Kubilai Khan melakukan serangkaian invasi sampai ke negara-negara selatan. Di antaranya, India, Afghanistan, dan Pakistan serta negara utara, Rusia dan beberapa negara Eropa Timur lainnya.
Nama rupiah kemudian menyebar. Sebab, negara-negara bekas jajahan Mongolia itu melakukan perdagangan ke berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara. ”Makanya, saudara rupiah itu sebetulnya adalah rubel, mata uang Rusia,” jelasnya.
Atas dasar itulah Adi menolak jika ada anggapan bahwa rupiah berasal dari satuan uang India, rupee. Kedua mata uang tersebut, kata dia, sejatinya sama. Hanya pelafalannya berbeda. Pada awal 1500-an, ketika kolonialisme Eropa mulai mekar di Asia dan Afrika, perbedaan itu muncul. Inggris lantas melafalkan rupia menjadi rupee, Prancis (rouple), Jerman (rupie), dan Portugis tetap melafalkan rupia.
Kata rupiah paling dekat dengan lafal Portugis. Alasannya, bahasa Indonesia mengambil bahasa Melayu pasar sebagai bahasa persatuan. Sedangkan bangsa Portugis bercokol amat lama, 130 tahun (1511-1641) di Malaka. ” Tinggal menambahi huruf H saja, jadi sudah. Kan sesuai dengan lidah Jawa,” terang Adi.
Pengetahuan semacam itu tidak datang tiba-tiba. Butuh kerja keras dan napas panjang untuk konsisten membaca, menganalisis, juga merenung. Lulusan teknik kimia Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut memang gandrung pada ilmu pengetahuan.
Tidak hanya membaca buku, dia juga menggali dari prangko. Karena itu, pria yang lulus dari UGM pada 1980 tersebut gemar mengoleksi prangko. ”Filateli itu mengajarkan pengetahuan yang lebih luas ketimbang buku-buku arus utama yang berkembang,” ujarnya. ”Ada pelukis yang katanya hebat di Indonesia, tahunya hanya seniman Amerika. Coba tanyakan siapa pelukis top dari Zimbabwe. Pasti dia tidak tahu karena bacaannya itu-itu saja. Kalau di prangko, itu ada,” sambungnya.
Tidak hanya mengoleksi, Adi juga memperjualbelikan prangko. Sayang, makin tahun harga prangko makin turun, bahkan hampir tidak berharga lagi.
Dia baru meneliti uang -terutama uang kertas- sejak 1993. ”Waktu itu, saya lihat iklan di Jawa Pos, ada pertemuan tentang uang kertas kuno, kalau tidak salah di Unair. Saya tertarik dan ikut,” ungkapnya.
Perhatiannya kemudian hanya tercurah pada uang kertas kuno. Terutama uang yang beredar di Nusantara yang dimulai pada 1782. Pilihan tersebut, karena selain cakupannya di negeri sendiri, juga karena peneliti uang asing sudah sangat banyak. ”Sedangkan peneliti uang Indonesia masih sangat sedikit. Hanya hitungan jari,” tegasnya.
Meski menggilai uang kuno, Adi bukan kolektor, hanya peneliti. Sekali-sekali saja dia berjual beli karena koleksinya sangat terbatas. Apalagi, penghasilannya sebagai analis kimia di perusahaan cat hanya cukup untuk hidup sehari-hari.
Untuk meneliti ratusan lembar uang itu, dia meminjam dari beberapa kolektor kenalannya. Dia ingin mengetahui cerita di balik produksi uang tersebut. ”Cerita sangat penting. Kalau jualan benda kuno, sebetulnya kan kita jual cerita,” katanya.
Pernah, penelitian tersebut membuahkan rasa geram pada Adi. Itu karena dia menilai harga uang yang diproduksi pemerintah Indonesia pada zaman revolusi (1946 sampai 1949) sangat murah. Padahal, uang yang dikenal dengan nama Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) tersebut sangat langka di pasaran. Nilai historisnya pun tinggi, meski kertasnya buruk, cetakannya jelek, dan gambarnya asal-asalan. Ada lima seri ORI yang sempat keluar. Cetakannya hampir seragam, belepotan.
Dia menunjuk sebuah pecahan Rp 250 warna cokelat kemerahan bergambar Soekarno dan petani. Secara artistik, uang itu kalah jauh dari uang bikinan Belanda, De Javasche Bank, yang beredar pada waktu sama. Gambarnya mulus, lukisannya pas, dan kertasnya nomor satu.
Di pasar uang kertas kuno, saat ini produksi De Javasche Bank itu termasuk salah satu yang paling mahal. ”Padahal, uang tersebut banyak di mana-mana. Saya heran, yang langka kok malah murah,” tuturnya.
Adi lantas melakukan penelitian mendalam pada ORI itu. Berbulan-bulan dia bergelut dengan ratusan lembaran uang yang dia pinjam dari sana-sini. Hingga pada suatu hari pada 1995, dia menemukan kode ORI.
Kode tersebut berupa pasangan huruf dan angka yang tersinkronisasi secara sistematis. Khususnya pada semua pecahan ORI cetakan pertama tanggal 17 Oktober 1945 dan 1 Januari 1947, kecuali pecahan 0,5 rupiah.
Kode itu misalnya, kalau abjad AB dan C, angka pertamanya pasti 5. DEF, angka pertamanya 1. GHI sama dengan 6 dan KLM adalah 2. Begitu seterusnya. Abjad yang tidak terpakai adalah J dan Q. Contohnya, huruf M akan selalu berpasangan dengan 2897 atau 2459 atau 2781. ”Selalu seperti itu. Ketika pertama kali menemukan, orang mengira saya sedang main sulap,” kenang Adi, lalu tertawa.
Dengan bekal itu, dia tahu bahwa ada uang palsu dan uang jadi-jadian beredar di pasar. ”Uang palsu itu uang yang dipalsukan, sedangkan uang jadi-jadian, nggak ada tapi diada-adakan,” terang Adi. Di katalog terbitan Belanda pun, tercantum ORI palsu. ”Tapi, tidak ada yang tahu bahwa itu palsu. Itulah kebanggaan saya karena katalog saya lebih lengkap dan akurat,” ujarnya.
Meski begitu, tidak ada apresiasi khusus atas temuan Adi itu, selain penghargaan kecil di Katalog Uang Kertas Indonesia 1782-1996 dan 1782-2005 tersebut. Katalog itu memang terbit dua edisi, sesuai perkembangan uang di Indonesia. ”Memang tidak banyak yang mengenal saya (sebagai penemu kode ORI, Red),” ungkapnya.
Padahal, Adi pernah menerbitkan sebuah jurnal sepuluh halaman bernama Rupiah pada 1994 hingga 2003. Isinya tentang sejarah keuangan dan perdagangan. Bentuknya sederhana, hanya berupa fotokopi. Bahkan, edisi-edisi awal, Adi hanya menulis dengan tangan.
Namun, peredaran jurnal itu cukup luas. Sampai Belanda dan Australia. ”Museum Bank Indonesia juga punya edisi lengkapnya. Harganya hanya Rp 2.000, untuk beli rokok saja tidak bisa,” katanya, lalu tertawa lebar. ”Suatu saat saya akan membuat lagi,” tambahnya.
Untuk menghidupi keluarganya, Adi kini hanya memberikan les pada beberapa murid SMP dan SMA. Mata pelajarannya meliputi matematika, fisika, dan kimia. Sebab, saat krisis moneter pada 1998, dia kena PHK dari tempat kerjanya di pabrik cat. ”Yang pasti ngelesin lebih stabil dapat uang, ketimbang jualan uang,” kata suami Mimi itu dengan tetap senyum.
Senyum bisa jadi tanda bersyukur. Dan, Adi memang pantas bersyukur karena dua putrinya mendapat beasiswa S-1 di Nanyang University of Singapore (NUS). Dua-duanya mengikuti jejak ayahnya, mengambil jurusan kimia. Dua putrinya yang lain masih duduk di bangku SMA dan SMP. (
Dalam Katalog Uang Kertas Indonesia 1782-2005, ada ucapan selamat dari Adi Pratomo. Di bawah namanya tertulis Jurnal Rupiah lengkap dengan alamat rumah. Siapa Adi dan apa hubungannya dengan uang?
RUMAH di Jalan Raya Darmo Permai Selatan itu seperti tak berpenghuni. Cat pagarnya sudah melepuh, digantikan kerak hitam di sana-sini. Rumput-rumput liar meninggi hampir selutut. Sampah bekas peralatan rumah tangga berserak hampir memenuhi sepertiga halaman. Langit-langit di atap beranda juga banyak yang jebol dengan noda warna cokelat.
Tulisan Awas Ada Anjing Galak yang ditempel di kaca depan hampir tidak terbaca. Kertasnya yang cokelat seukuran buku tulis sudah sangat kusam. Tinta birunya pun sudah luntur.
Di ruang tamu, aroma lembap bekas hujan begitu terasa. Isi ruangan berukuran 5 x 5 itu didominasi puluhan buku pelajaran SMP dan SMA yang diletakkan begitu saja di sudut kiri, dalam rak terbuka berwarna putih kecokelatan. Tidak ada meja tamu. Hanya sebuah kursi yang bisa menampung tiga orang. Warnanya campuran biru, merah, dan kuning. ”Beginilah keadaan saya,” kata Adi Pratomo, pemilik rumah lantas tersenyum.
Sambil mengisap dalam-dalam sebatang rokok keretek, Adi melanjutkan, ”Anda sekarang berhadapan dengan pria yang ketika sekolah mendapatkan angka 10 untuk sejarah. Juga seorang setan matematika,” ujarnya, ekspresinya datar.
Dia kemudian bercerita tentang sejarah peradaban besar dunia.
Namun, pria 58 tahun itu memfokuskan analisisnya pada masalah ekonomi. ”Sejarah politik kekuasaan adalah sejarah kaum ningrat, sedangkan soal ekonomi lebih dekat pada pergulatan kerakyatan,” paparnya. ”Sejauh menyangkut nilai uang, satuan timbang dan perdagangan, kita bisa melacak sejarah dengan cara pandang yang kaya,” lanjutnya.
Bapak empat putri itu mencontohkan, seseorang bisa lebih dalam mengetahui asal-usul Indonesia dari kata satuan mata uang rupiah. ”Tidak banyak orang Indonesia yang tahu mengapa rupiah dipilih sebagai nama. Apakah ini nama lokal atau baru saja dicetuskan?” katanya seolah bertanya. Sambil menggelengkan kepala, Adi menjawab pertanyaannya sendiri. ”Kata rupiah hidup sejak abad kelima atau enam Masehi.”
Rupiah, lanjut dia, berasal dari bahasa Mongolia, rupia, yang berarti perak. Waktu itu, Mongolia di bawah Genghis Khan, dilanjutkan Timur Leng, dan Kubilai Khan melakukan serangkaian invasi sampai ke negara-negara selatan. Di antaranya, India, Afghanistan, dan Pakistan serta negara utara, Rusia dan beberapa negara Eropa Timur lainnya.
Nama rupiah kemudian menyebar. Sebab, negara-negara bekas jajahan Mongolia itu melakukan perdagangan ke berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara. ”Makanya, saudara rupiah itu sebetulnya adalah rubel, mata uang Rusia,” jelasnya.
Atas dasar itulah Adi menolak jika ada anggapan bahwa rupiah berasal dari satuan uang India, rupee. Kedua mata uang tersebut, kata dia, sejatinya sama. Hanya pelafalannya berbeda. Pada awal 1500-an, ketika kolonialisme Eropa mulai mekar di Asia dan Afrika, perbedaan itu muncul. Inggris lantas melafalkan rupia menjadi rupee, Prancis (rouple), Jerman (rupie), dan Portugis tetap melafalkan rupia.
Kata rupiah paling dekat dengan lafal Portugis. Alasannya, bahasa Indonesia mengambil bahasa Melayu pasar sebagai bahasa persatuan. Sedangkan bangsa Portugis bercokol amat lama, 130 tahun (1511-1641) di Malaka. ” Tinggal menambahi huruf H saja, jadi sudah. Kan sesuai dengan lidah Jawa,” terang Adi.
Pengetahuan semacam itu tidak datang tiba-tiba. Butuh kerja keras dan napas panjang untuk konsisten membaca, menganalisis, juga merenung. Lulusan teknik kimia Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut memang gandrung pada ilmu pengetahuan.
Tidak hanya membaca buku, dia juga menggali dari prangko. Karena itu, pria yang lulus dari UGM pada 1980 tersebut gemar mengoleksi prangko. ”Filateli itu mengajarkan pengetahuan yang lebih luas ketimbang buku-buku arus utama yang berkembang,” ujarnya. ”Ada pelukis yang katanya hebat di Indonesia, tahunya hanya seniman Amerika. Coba tanyakan siapa pelukis top dari Zimbabwe. Pasti dia tidak tahu karena bacaannya itu-itu saja. Kalau di prangko, itu ada,” sambungnya.
Tidak hanya mengoleksi, Adi juga memperjualbelikan prangko. Sayang, makin tahun harga prangko makin turun, bahkan hampir tidak berharga lagi.
Dia baru meneliti uang -terutama uang kertas- sejak 1993. ”Waktu itu, saya lihat iklan di Jawa Pos, ada pertemuan tentang uang kertas kuno, kalau tidak salah di Unair. Saya tertarik dan ikut,” ungkapnya.
Perhatiannya kemudian hanya tercurah pada uang kertas kuno. Terutama uang yang beredar di Nusantara yang dimulai pada 1782. Pilihan tersebut, karena selain cakupannya di negeri sendiri, juga karena peneliti uang asing sudah sangat banyak. ”Sedangkan peneliti uang Indonesia masih sangat sedikit. Hanya hitungan jari,” tegasnya.
Meski menggilai uang kuno, Adi bukan kolektor, hanya peneliti. Sekali-sekali saja dia berjual beli karena koleksinya sangat terbatas. Apalagi, penghasilannya sebagai analis kimia di perusahaan cat hanya cukup untuk hidup sehari-hari.
Untuk meneliti ratusan lembar uang itu, dia meminjam dari beberapa kolektor kenalannya. Dia ingin mengetahui cerita di balik produksi uang tersebut. ”Cerita sangat penting. Kalau jualan benda kuno, sebetulnya kan kita jual cerita,” katanya.
Pernah, penelitian tersebut membuahkan rasa geram pada Adi. Itu karena dia menilai harga uang yang diproduksi pemerintah Indonesia pada zaman revolusi (1946 sampai 1949) sangat murah. Padahal, uang yang dikenal dengan nama Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) tersebut sangat langka di pasaran. Nilai historisnya pun tinggi, meski kertasnya buruk, cetakannya jelek, dan gambarnya asal-asalan. Ada lima seri ORI yang sempat keluar. Cetakannya hampir seragam, belepotan.
Dia menunjuk sebuah pecahan Rp 250 warna cokelat kemerahan bergambar Soekarno dan petani. Secara artistik, uang itu kalah jauh dari uang bikinan Belanda, De Javasche Bank, yang beredar pada waktu sama. Gambarnya mulus, lukisannya pas, dan kertasnya nomor satu.
Di pasar uang kertas kuno, saat ini produksi De Javasche Bank itu termasuk salah satu yang paling mahal. ”Padahal, uang tersebut banyak di mana-mana. Saya heran, yang langka kok malah murah,” tuturnya.
Adi lantas melakukan penelitian mendalam pada ORI itu. Berbulan-bulan dia bergelut dengan ratusan lembaran uang yang dia pinjam dari sana-sini. Hingga pada suatu hari pada 1995, dia menemukan kode ORI.
Kode tersebut berupa pasangan huruf dan angka yang tersinkronisasi secara sistematis. Khususnya pada semua pecahan ORI cetakan pertama tanggal 17 Oktober 1945 dan 1 Januari 1947, kecuali pecahan 0,5 rupiah.
Kode itu misalnya, kalau abjad AB dan C, angka pertamanya pasti 5. DEF, angka pertamanya 1. GHI sama dengan 6 dan KLM adalah 2. Begitu seterusnya. Abjad yang tidak terpakai adalah J dan Q. Contohnya, huruf M akan selalu berpasangan dengan 2897 atau 2459 atau 2781. ”Selalu seperti itu. Ketika pertama kali menemukan, orang mengira saya sedang main sulap,” kenang Adi, lalu tertawa.
Dengan bekal itu, dia tahu bahwa ada uang palsu dan uang jadi-jadian beredar di pasar. ”Uang palsu itu uang yang dipalsukan, sedangkan uang jadi-jadian, nggak ada tapi diada-adakan,” terang Adi. Di katalog terbitan Belanda pun, tercantum ORI palsu. ”Tapi, tidak ada yang tahu bahwa itu palsu. Itulah kebanggaan saya karena katalog saya lebih lengkap dan akurat,” ujarnya.
Meski begitu, tidak ada apresiasi khusus atas temuan Adi itu, selain penghargaan kecil di Katalog Uang Kertas Indonesia 1782-1996 dan 1782-2005 tersebut. Katalog itu memang terbit dua edisi, sesuai perkembangan uang di Indonesia. ”Memang tidak banyak yang mengenal saya (sebagai penemu kode ORI, Red),” ungkapnya.
Padahal, Adi pernah menerbitkan sebuah jurnal sepuluh halaman bernama Rupiah pada 1994 hingga 2003. Isinya tentang sejarah keuangan dan perdagangan. Bentuknya sederhana, hanya berupa fotokopi. Bahkan, edisi-edisi awal, Adi hanya menulis dengan tangan.
Namun, peredaran jurnal itu cukup luas. Sampai Belanda dan Australia. ”Museum Bank Indonesia juga punya edisi lengkapnya. Harganya hanya Rp 2.000, untuk beli rokok saja tidak bisa,” katanya, lalu tertawa lebar. ”Suatu saat saya akan membuat lagi,” tambahnya.
Untuk menghidupi keluarganya, Adi kini hanya memberikan les pada beberapa murid SMP dan SMA. Mata pelajarannya meliputi matematika, fisika, dan kimia. Sebab, saat krisis moneter pada 1998, dia kena PHK dari tempat kerjanya di pabrik cat. ”Yang pasti ngelesin lebih stabil dapat uang, ketimbang jualan uang,” kata suami Mimi itu dengan tetap senyum.
Senyum bisa jadi tanda bersyukur. Dan, Adi memang pantas bersyukur karena dua putrinya mendapat beasiswa S-1 di Nanyang University of Singapore (NUS). Dua-duanya mengikuti jejak ayahnya, mengambil jurusan kimia. Dua putrinya yang lain masih duduk di bangku SMA dan SMP. (
0 komentar:
Post a Comment