Suatu siang di Bandara Changi, Singapore. Kami berempat berada di terminal 1, menunggu keberangkatan pesawat ke Jakarta. Waktu boarding tinggal 35 menit lagi. Tiba-tiba teringat titipan sepatu seorang teman, yang belum terbeli. Diduga harganya lebih murah dibanding Jakarta. Tolah-toleh, kesana-kemari, ternyata counter merek itu tidak ada di sana. Saya cek ke bangku informasi, mendapat keterangan, ia berlokasi di terminal 2. Apakah sempat menuju terminal 2, bolak-balik, dalam sisa waktu sesingkat itu?
Tak banyak buang waktu, saya langsung lari ke pemberhentian kereta-bandara. Dalam tempo pas 4 menit, kereta tiba. Tak lebih 4 menit kemudian, kereta mencapai terminal 2. Tulisan merek yang dicari terpampang di sana. Langsung saya menuju ke toko itu.
Transaksi selesai tak lebih dari 10 menit. Harganya 30% lebih murah dibanding Jakarta. Amanah teman terpenuhi, dalam waktu yang sangat singkat. Hitung-hitung, saya memerlukan waktu hanya 25 menit untuk menyelesaikan seluruh proses pembelian barang titipan. Prasarana dan infrastruktur Singapore mempercepat itu semua. Kelengkapan informasi, kereta bandara, ketepatan waktu, disediakan dengan saksama, membuat orang menjadi mudah. Murah didapat kemudian.
Tanpa terasa, kami berempat sudah berada di perut pesawat “LA”, mengangkasa menuju bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Dua teman akan menggunakan penerbangan lanjutan menuju Semarang. Mereka harus transit, sekitar 3 jam.
Tetapi, cerita sesungguhnya baru mulai di sini. Lokasinya di terminal 2, bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.
Acara pertama adalah berdebat dengan petugas ground handling “LA”, tentang bagaimana bagasi harus dikeluarkan. Kami ngotot, bagasi akan diterima langsung di Semarang, sesuai keterangan petugas “LA” di Singapore. Slip bagasi ditandai tulisan besar dan tebal, “SRG”. Itu pasti singkatan “Semarang”. Tetapi petugas “LA” tak kalah ngotot. Kami sendiri yang harus membawanya ke terminal 1, untuk check in, di counter penerbangan “LA” domestik. Akhirnya pelanggan mengalah. Kami nyangking 2 koper dari terminal 2, ke terminal 1. Sudah terbayang, itu bukan suatu pekerjaan yang mudah dan ringan.
Acara kedua adalah menunggu bagasi keluar. Tak kurang dari 45 menit harus berdiri di pinggir ban berjalan. Rasa sabar harus ditumbuhkan. Apalagi kalau mengingat waktu boarding penerbangan lanjutan ke Semarang semakin dekat. Singkat cerita, akhirnya bagasi di tangan. Kami menyeretnya ke lobi terminal. Saya ulangi, itu membutuhkan waktu 45 menit. Bukan sebentar untuk menenggang perasaan was-was ditinggal pesawat selanjutnya.
Acara ketiga adalah mencari transportasi umum yang bisa membawa ke terminal 1. Bis shuttle tak kunjung tiba. Taxi meter tak sudi membawa ke sana, karena jaraknya terlalu dekat. Yang ada hanya mobil omprengan. Ongkosnya dipatok 150 ribu rupiah. Itu pun ditandai dengan bisik-bisik, ketika menyebutkan harga. Moda transportasi yang tidak mahal dan tidak menyenangkan.
Setelah didesak waktu, karena sudah terbuang 30 menit, mobil omprengan dipilih. Rasa deg-degan masih menggumpal di dalam sana. Apakah ini suatu pilihan yang aman? Wallahualam bisawab!. Moga-moga doa bisa menuntun selamat sampai terminal 1.
Untung, sampai tujuan dengan aman. Diselingi tersendat di perjalanan, karena macet. Tetapi, jadilah. Akhirnya 2 teman tadi tiba di depan counter “LA”, terminal 1. Itu saja sudah menelan waktu terbuang lebih dari 2 jam. Plus ongkos transport, antar terminal. Ditambah rasa kemrungsung yang mendera karena takut ketinggalan pesawat. Akhirnya take off juga, menuju Semarang. Pesawat ”cuman” terlambat 25 menit, dari jadwal semula.
Kita bisa membandingkan 2 kisah di atas. Berselang dalam waktu hanya 3 jam, cerita mirip tapi bertolak belakang. Yang pertama terjadi di bandara Changi, Singapore. Yang kedua di Soekarno-Hatta, Jakarta. Yang pertama cerita mengenai kelengkapan prasarana dan kehebatan infrastruktur yang memudahkan pengguna. Cerita kedua tentang amburadulnya pelayanan sebuah maskapai penerbangan terkenal di Indonesia dan miskinnya prasarana umum di bandara international, ibukota negara tercinta, Jakarta.
Kisah pertama tentang bagaimana publik diberi kemudahan maksimal. Kedua tentang suatu slogan yang berbunyi : “Kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah?”.
Kisah pertama tentang suatu kondisi yang mengedepankan “business like” dan profesionalisme. Sementara kisah kedua tentang sesuatu yang sembarangan dan amburadul.
Kisah pertama mengenai ongkos yang lebih murah. Kisah kedua mengenai high cost economy. Kisah pertama mengajari kita bahwa mudah itu cepat. Mudah itu murah. Mudah itu menyenangkan. Kisah kedua tentang pelajaran bahwa susah itu lama. Susah itu menyedihkan. Susah itu mahal.
Kontradiksi yang terjadi dari 2 kisah tadi, masih bisa diteruskan dan diperpanjang sampai puluhan atau ratusan halaman. Intinya sama, bahwa manusia semakin lama semakin menginginkan kemudahan, kecepatan, dan nilai tambah. Manusia lebih memilih untuk “membeli” kemudahan dibanding kesulitan. Manusia zaman sekarang senang akan hal yang praktis, bukan yang berbelit-belit dan melelahkan. Mengapa hal sesederhana ini tidak juga ditangkap penyedia dan penjual jasa di tanah air? Entahlah, saya tidak tahu apa jawabnya.
Yang harus dilakukan adalah, seluruh fungsi, lini dan lapisan masyarakat harus menyadari tentang “mudah itu murah” dan “cepat itu menyenangkan”. Fasilitas, prasarana, infrastruktur, praktek yang memudahkan harus dibuat sebanyak-banyaknya. Untuk hal apa saja. Oleh siapa saja. Membuat mudah orang lain akan memudahkan diri kita sendiri. Memudahkan kita semua. Menyenangkan orang lain akan menyenangkan kita.
Sebetulnya, untuk memudahkan sesama, caranya sangat gampang. Ikuti saja apa yang dikatakan “golden rule”, atau “kaidah emas”. Pesannya sederhana, meski tak gampang diikuti. “Lakukan kepada orang lain, apa yang anda inginkan orang lain lakukan kepada anda”.
Tak banyak buang waktu, saya langsung lari ke pemberhentian kereta-bandara. Dalam tempo pas 4 menit, kereta tiba. Tak lebih 4 menit kemudian, kereta mencapai terminal 2. Tulisan merek yang dicari terpampang di sana. Langsung saya menuju ke toko itu.
Transaksi selesai tak lebih dari 10 menit. Harganya 30% lebih murah dibanding Jakarta. Amanah teman terpenuhi, dalam waktu yang sangat singkat. Hitung-hitung, saya memerlukan waktu hanya 25 menit untuk menyelesaikan seluruh proses pembelian barang titipan. Prasarana dan infrastruktur Singapore mempercepat itu semua. Kelengkapan informasi, kereta bandara, ketepatan waktu, disediakan dengan saksama, membuat orang menjadi mudah. Murah didapat kemudian.
Tanpa terasa, kami berempat sudah berada di perut pesawat “LA”, mengangkasa menuju bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Dua teman akan menggunakan penerbangan lanjutan menuju Semarang. Mereka harus transit, sekitar 3 jam.
Tetapi, cerita sesungguhnya baru mulai di sini. Lokasinya di terminal 2, bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.
Acara pertama adalah berdebat dengan petugas ground handling “LA”, tentang bagaimana bagasi harus dikeluarkan. Kami ngotot, bagasi akan diterima langsung di Semarang, sesuai keterangan petugas “LA” di Singapore. Slip bagasi ditandai tulisan besar dan tebal, “SRG”. Itu pasti singkatan “Semarang”. Tetapi petugas “LA” tak kalah ngotot. Kami sendiri yang harus membawanya ke terminal 1, untuk check in, di counter penerbangan “LA” domestik. Akhirnya pelanggan mengalah. Kami nyangking 2 koper dari terminal 2, ke terminal 1. Sudah terbayang, itu bukan suatu pekerjaan yang mudah dan ringan.
Acara kedua adalah menunggu bagasi keluar. Tak kurang dari 45 menit harus berdiri di pinggir ban berjalan. Rasa sabar harus ditumbuhkan. Apalagi kalau mengingat waktu boarding penerbangan lanjutan ke Semarang semakin dekat. Singkat cerita, akhirnya bagasi di tangan. Kami menyeretnya ke lobi terminal. Saya ulangi, itu membutuhkan waktu 45 menit. Bukan sebentar untuk menenggang perasaan was-was ditinggal pesawat selanjutnya.
Acara ketiga adalah mencari transportasi umum yang bisa membawa ke terminal 1. Bis shuttle tak kunjung tiba. Taxi meter tak sudi membawa ke sana, karena jaraknya terlalu dekat. Yang ada hanya mobil omprengan. Ongkosnya dipatok 150 ribu rupiah. Itu pun ditandai dengan bisik-bisik, ketika menyebutkan harga. Moda transportasi yang tidak mahal dan tidak menyenangkan.
Setelah didesak waktu, karena sudah terbuang 30 menit, mobil omprengan dipilih. Rasa deg-degan masih menggumpal di dalam sana. Apakah ini suatu pilihan yang aman? Wallahualam bisawab!. Moga-moga doa bisa menuntun selamat sampai terminal 1.
Untung, sampai tujuan dengan aman. Diselingi tersendat di perjalanan, karena macet. Tetapi, jadilah. Akhirnya 2 teman tadi tiba di depan counter “LA”, terminal 1. Itu saja sudah menelan waktu terbuang lebih dari 2 jam. Plus ongkos transport, antar terminal. Ditambah rasa kemrungsung yang mendera karena takut ketinggalan pesawat. Akhirnya take off juga, menuju Semarang. Pesawat ”cuman” terlambat 25 menit, dari jadwal semula.
Kita bisa membandingkan 2 kisah di atas. Berselang dalam waktu hanya 3 jam, cerita mirip tapi bertolak belakang. Yang pertama terjadi di bandara Changi, Singapore. Yang kedua di Soekarno-Hatta, Jakarta. Yang pertama cerita mengenai kelengkapan prasarana dan kehebatan infrastruktur yang memudahkan pengguna. Cerita kedua tentang amburadulnya pelayanan sebuah maskapai penerbangan terkenal di Indonesia dan miskinnya prasarana umum di bandara international, ibukota negara tercinta, Jakarta.
Kisah pertama tentang bagaimana publik diberi kemudahan maksimal. Kedua tentang suatu slogan yang berbunyi : “Kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah?”.
Kisah pertama tentang suatu kondisi yang mengedepankan “business like” dan profesionalisme. Sementara kisah kedua tentang sesuatu yang sembarangan dan amburadul.
Kisah pertama mengenai ongkos yang lebih murah. Kisah kedua mengenai high cost economy. Kisah pertama mengajari kita bahwa mudah itu cepat. Mudah itu murah. Mudah itu menyenangkan. Kisah kedua tentang pelajaran bahwa susah itu lama. Susah itu menyedihkan. Susah itu mahal.
Kontradiksi yang terjadi dari 2 kisah tadi, masih bisa diteruskan dan diperpanjang sampai puluhan atau ratusan halaman. Intinya sama, bahwa manusia semakin lama semakin menginginkan kemudahan, kecepatan, dan nilai tambah. Manusia lebih memilih untuk “membeli” kemudahan dibanding kesulitan. Manusia zaman sekarang senang akan hal yang praktis, bukan yang berbelit-belit dan melelahkan. Mengapa hal sesederhana ini tidak juga ditangkap penyedia dan penjual jasa di tanah air? Entahlah, saya tidak tahu apa jawabnya.
Yang harus dilakukan adalah, seluruh fungsi, lini dan lapisan masyarakat harus menyadari tentang “mudah itu murah” dan “cepat itu menyenangkan”. Fasilitas, prasarana, infrastruktur, praktek yang memudahkan harus dibuat sebanyak-banyaknya. Untuk hal apa saja. Oleh siapa saja. Membuat mudah orang lain akan memudahkan diri kita sendiri. Memudahkan kita semua. Menyenangkan orang lain akan menyenangkan kita.
Sebetulnya, untuk memudahkan sesama, caranya sangat gampang. Ikuti saja apa yang dikatakan “golden rule”, atau “kaidah emas”. Pesannya sederhana, meski tak gampang diikuti. “Lakukan kepada orang lain, apa yang anda inginkan orang lain lakukan kepada anda”.
0 komentar:
Post a Comment