Ini jelas-jelas tantangan terhadap NKRI: kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) berencana menggugat Pancasila sebagai Dasar Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka merasa telah ditipu oleh Pancasila. Selanjutnya, kelompok ini memperjuangkan Syariat Islam sebagai pengganti Pancasila.
Itu sih belum seberapa. Awal Juni lalu, bertepatan dengan momen bangsa Indonesia memperingati Hari Lahirnya Pancasila, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga melakukan show of force dengan menggelar Muktamar Khilafah di Stadion Gelora Bung Karno. Sebelumnya, HTI juga menggelar Muktamar Khilafah di puluhan kota di Indonesia.
Dua kejadian di atas hanya seuprit dari segudang usaha kelompok keagamaan tertentu di Indonesia untuk mengubah Negara Nasional menjadi Negara Agama. Memang, cara dan metode mereka sangat beraneka ragam. Saya sendiri mengidentifikasi ada dua metode besarnya. Pertama, melalui jalan damai, seperti propaganda, mobilisasi, memasuki kekuasaan, dan lain-lain. Kedua, melalui cara main kayu atau kekerasan, seperti razia, penyerangan terhadap minoritas, penutupan rumah ibadah agama lain, dan lain-lain.
Namun, mau lembut maupun keras, keduanya bertentangan dengan konsensus nasional kita: Negara Nasional, Ideologi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan Kemerdekaan Beragama (UUD 1945). Jika konsensus nasional ini diutak-atik, boleh jadi Indonesia sebagai sebuah bangsa akan pecah dan bubar.
Sebetulnya, perdebatan soal negara nasional atau negara agama ini sudah lama tutup buku. Ini seharusnya sudah selesai ketika Bangsa ini menerima Pancasila sebagai dasar negara. Di dalam pidato 1 Juni 1945, yang kemudian ditandai sebagai Hari Lahirnya Pancasila, Bung Karno sudah menjelaskan landasan teoritis dan objektif mengapa kita mengambil bentuk negara nasional.
Di wilayah yang disebut Indonesia, ada sekitar 300-an etnit atau suku bangsa. Bahkan, survei Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 lalu menemukan bahwa Indonesia ini memiliki 1.128 suku bangsa. Kemudian, berdasarkan penelitian Kemendikbud, jumlah bahasa dan sub bahasa di seluruh Indonesia mencapai 546 bahasa. Agama penduduknya juga beragam. Selain lima ajaran agama besar yang dianut bangsa Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha, terdapat juga ratusan aliran kepercayaan warisan leluhur Bangsa Indonesia. Belum lagi, secara teritorial Indonesia adalah negara kepulauan. Teritori yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini memiliki 17.504 pulau. Dan hanya sekitar 12,38 persen atau sekitar 2.342 pulau saja yang berpenghuni.
Bagaimana menjahit sebuah bangsa yang sangat beragam itu dan sangat besar itu? Jelas, dasar agama tidak bisa menjahit bangsa yang begitu majemuk itu. Yang bisa menjahitnya, kata Bung Karno, hanyalah dasar kebangsaaan. Bagi Bung Karno, sebuah bangsa tidak hanya berdiri di atas kesamaan bahasa, teritori, kehidupan ekonomi, dan kesepakatan psikologis. Namun, merujuk pada Ernest Renan, bangsa juga terbentuk karena adanya kehendak untuk hidup bersama (Le desir d’etre ensemble). Lalu, kata Otto Bauer, bangsa juga terbangun karena adanya persamaan watak atau karakater karena akumulasi persatuan pengalaman dan kesamaan nasib (een karakter-gemeenschap dat geboren is uit een gemenschap vanlotgevallen).
Karena itu, raison d’être-nya Negara Republik Indonesia ini adalah “semua buat semua”. Jadi, seperti ditegaskan Bung Karno, negara ini adalah wadah bagi seluruh rakyat Indonesia yang beraneka agama, beraneka adat-istiadat, dan beraneka suku. Lalu, di dalam wadah itu berlaku adat pergaulan yang disebut “Bhineka Tunggal Ika”.
Pertanyaannya: kalau kita menganut dasar negara nasional, apakah aspirasi atau perjuangan keagamaan masih diakui? Sangat diakui. Hanya saja, saluran memperjuangkan dan cara memperjuangkannya itu yang perlu diatur bersama. Hal itu mutlak diperlukan untuk mencegah aspirasi atau perjuangan keagamaan itu tidak meruntuhkan proyek kebangsaan.
Di dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno dengan sangat gamblang menjelaskan saluran dan cara untuk memperjuangkan aspirasi atau tuntutan keagamaan itu. Di situ Bung Karno mengatakan, “dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.”
Cermatilah kata-kata Bung Karno itu. Pesannya sangat jelas: tuntutan berbau keagamaan harus diperjuangkan secara demokratis melalui Badan Perwakilan Rakyat. Kalau sekarang, ya, salurannya lewat perjuangan parlemen (DPR). Di situlah, kelompok agamawan seharusnya memperjuangkan nilai-nilai keagamannya, yakni melalui diskusi, debat, dan mufakat, untuk mempengaruhi kebijakan atau Undang-Undang agar selaras dengan nilai keagamaan.
Jadi, silahkan kelompok agamawan berjuang untuk menempatkan orangnya sebanyak mungkin di Badan Perwakilan (untuk sekarang: DPR). Silahkan mendirikan Partai Politik. Silahkan berkampanye tentang cita-cita keagaman kalian melalui pemilihan. Dan, di dalam Badan Parlemen nanti, silahkan berjuang sekeras-kerasnya untuk memenangkan gagasan-gagasan kalian untuk mempengaruhi isi kebijakan atau Undang-Undang.
Selain itu, di dalam pidato 1 Juni 1945 itu juga, Bung Karno menunjukkan prinsip atau tata-cara mempropagandakan tuntutan atau aspirasi keagamaan itu. Bung Karno menjelaskan sederhana: “Permufakatan, perwakilan, di situlah tempat kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara tidak onverdraagzaam (intoleran), yaitu dengan cara yang berkebudayaan!”
Saya kira, prinsip ini sudah jelas: silahkan memperjuangkan ide masing-masing, termasuk aspirasi keagamaan dan keyakinan, dengan cara yang beradab dan berkebudayaan. Di sini semua cara-cara intoleran dan tidak berkebudayaan dilarang: kekerasan, intimidasi, menghasut kebencian terhadap agama tertentu, fitnah, dan lain-lain. Tentu saja perilaku menyiramkan teh terhadap lawan diskusi juga bukan cara berkebudayaan.
Cara berpropaganda yang beradab dan berkebudayaan adalah: dakwah, mendirikan koran, mendirikan media, mendirikan sekolah-sekolah, diskusi-diskusi, famplet, tulisan, poster, dan lain-lain. Tetapi prinsipnya: isinya tidak boleh menghasut kebencian terhadap pemeluk agama dan keyakinan lain.
Itulah cara memperjuangkan aspirasi keagamaan menurut Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 (Pancasila). Dan, saya kira, itulah cara memperjuangkan aspirasi keagamaan di negara nasional seperti Republik Indonesia ini. Hanya dengan cara memperjuangkan aspirasi keagamaan seperti inilah NKRI tetap utuh dan kokoh.
Itu sih belum seberapa. Awal Juni lalu, bertepatan dengan momen bangsa Indonesia memperingati Hari Lahirnya Pancasila, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga melakukan show of force dengan menggelar Muktamar Khilafah di Stadion Gelora Bung Karno. Sebelumnya, HTI juga menggelar Muktamar Khilafah di puluhan kota di Indonesia.
Dua kejadian di atas hanya seuprit dari segudang usaha kelompok keagamaan tertentu di Indonesia untuk mengubah Negara Nasional menjadi Negara Agama. Memang, cara dan metode mereka sangat beraneka ragam. Saya sendiri mengidentifikasi ada dua metode besarnya. Pertama, melalui jalan damai, seperti propaganda, mobilisasi, memasuki kekuasaan, dan lain-lain. Kedua, melalui cara main kayu atau kekerasan, seperti razia, penyerangan terhadap minoritas, penutupan rumah ibadah agama lain, dan lain-lain.
Namun, mau lembut maupun keras, keduanya bertentangan dengan konsensus nasional kita: Negara Nasional, Ideologi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan Kemerdekaan Beragama (UUD 1945). Jika konsensus nasional ini diutak-atik, boleh jadi Indonesia sebagai sebuah bangsa akan pecah dan bubar.
Sebetulnya, perdebatan soal negara nasional atau negara agama ini sudah lama tutup buku. Ini seharusnya sudah selesai ketika Bangsa ini menerima Pancasila sebagai dasar negara. Di dalam pidato 1 Juni 1945, yang kemudian ditandai sebagai Hari Lahirnya Pancasila, Bung Karno sudah menjelaskan landasan teoritis dan objektif mengapa kita mengambil bentuk negara nasional.
Di wilayah yang disebut Indonesia, ada sekitar 300-an etnit atau suku bangsa. Bahkan, survei Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 lalu menemukan bahwa Indonesia ini memiliki 1.128 suku bangsa. Kemudian, berdasarkan penelitian Kemendikbud, jumlah bahasa dan sub bahasa di seluruh Indonesia mencapai 546 bahasa. Agama penduduknya juga beragam. Selain lima ajaran agama besar yang dianut bangsa Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha, terdapat juga ratusan aliran kepercayaan warisan leluhur Bangsa Indonesia. Belum lagi, secara teritorial Indonesia adalah negara kepulauan. Teritori yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini memiliki 17.504 pulau. Dan hanya sekitar 12,38 persen atau sekitar 2.342 pulau saja yang berpenghuni.
Bagaimana menjahit sebuah bangsa yang sangat beragam itu dan sangat besar itu? Jelas, dasar agama tidak bisa menjahit bangsa yang begitu majemuk itu. Yang bisa menjahitnya, kata Bung Karno, hanyalah dasar kebangsaaan. Bagi Bung Karno, sebuah bangsa tidak hanya berdiri di atas kesamaan bahasa, teritori, kehidupan ekonomi, dan kesepakatan psikologis. Namun, merujuk pada Ernest Renan, bangsa juga terbentuk karena adanya kehendak untuk hidup bersama (Le desir d’etre ensemble). Lalu, kata Otto Bauer, bangsa juga terbangun karena adanya persamaan watak atau karakater karena akumulasi persatuan pengalaman dan kesamaan nasib (een karakter-gemeenschap dat geboren is uit een gemenschap vanlotgevallen).
Karena itu, raison d’être-nya Negara Republik Indonesia ini adalah “semua buat semua”. Jadi, seperti ditegaskan Bung Karno, negara ini adalah wadah bagi seluruh rakyat Indonesia yang beraneka agama, beraneka adat-istiadat, dan beraneka suku. Lalu, di dalam wadah itu berlaku adat pergaulan yang disebut “Bhineka Tunggal Ika”.
Pertanyaannya: kalau kita menganut dasar negara nasional, apakah aspirasi atau perjuangan keagamaan masih diakui? Sangat diakui. Hanya saja, saluran memperjuangkan dan cara memperjuangkannya itu yang perlu diatur bersama. Hal itu mutlak diperlukan untuk mencegah aspirasi atau perjuangan keagamaan itu tidak meruntuhkan proyek kebangsaan.
Di dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno dengan sangat gamblang menjelaskan saluran dan cara untuk memperjuangkan aspirasi atau tuntutan keagamaan itu. Di situ Bung Karno mengatakan, “dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.”
Cermatilah kata-kata Bung Karno itu. Pesannya sangat jelas: tuntutan berbau keagamaan harus diperjuangkan secara demokratis melalui Badan Perwakilan Rakyat. Kalau sekarang, ya, salurannya lewat perjuangan parlemen (DPR). Di situlah, kelompok agamawan seharusnya memperjuangkan nilai-nilai keagamannya, yakni melalui diskusi, debat, dan mufakat, untuk mempengaruhi kebijakan atau Undang-Undang agar selaras dengan nilai keagamaan.
Jadi, silahkan kelompok agamawan berjuang untuk menempatkan orangnya sebanyak mungkin di Badan Perwakilan (untuk sekarang: DPR). Silahkan mendirikan Partai Politik. Silahkan berkampanye tentang cita-cita keagaman kalian melalui pemilihan. Dan, di dalam Badan Parlemen nanti, silahkan berjuang sekeras-kerasnya untuk memenangkan gagasan-gagasan kalian untuk mempengaruhi isi kebijakan atau Undang-Undang.
Selain itu, di dalam pidato 1 Juni 1945 itu juga, Bung Karno menunjukkan prinsip atau tata-cara mempropagandakan tuntutan atau aspirasi keagamaan itu. Bung Karno menjelaskan sederhana: “Permufakatan, perwakilan, di situlah tempat kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara tidak onverdraagzaam (intoleran), yaitu dengan cara yang berkebudayaan!”
Saya kira, prinsip ini sudah jelas: silahkan memperjuangkan ide masing-masing, termasuk aspirasi keagamaan dan keyakinan, dengan cara yang beradab dan berkebudayaan. Di sini semua cara-cara intoleran dan tidak berkebudayaan dilarang: kekerasan, intimidasi, menghasut kebencian terhadap agama tertentu, fitnah, dan lain-lain. Tentu saja perilaku menyiramkan teh terhadap lawan diskusi juga bukan cara berkebudayaan.
Cara berpropaganda yang beradab dan berkebudayaan adalah: dakwah, mendirikan koran, mendirikan media, mendirikan sekolah-sekolah, diskusi-diskusi, famplet, tulisan, poster, dan lain-lain. Tetapi prinsipnya: isinya tidak boleh menghasut kebencian terhadap pemeluk agama dan keyakinan lain.
Itulah cara memperjuangkan aspirasi keagamaan menurut Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 (Pancasila). Dan, saya kira, itulah cara memperjuangkan aspirasi keagamaan di negara nasional seperti Republik Indonesia ini. Hanya dengan cara memperjuangkan aspirasi keagamaan seperti inilah NKRI tetap utuh dan kokoh.
0 komentar:
Post a Comment