Semestinya siapa identitas keklompokan kita sebagai keturunan Tionghoa-Indonesia?
Di Indonesia, kita Cina, dan Cino di Jawa. Meskipun Cina telah diterima dimana-mana disekitar kita seperti Malaysia, Filipina, India dan semua yang berbahasa Spanyol, tetapi kita masih minta dipanggil Tiongkok atau Tionghoa. karena Cina kedengarannya kurang enak kalau keluar dari mulut yang bukan Cina yang niru Cretin Jepang. Kecuali kalau dibilang Sines oleh orang Belanda, mantan cukong kita, OK sampai sekarang.
Dikalangan international, kita China, meski asal dari Cina, kita bisa menerimanya karena memang China telah dihormati sebagai bangsa yang kuat sekarang, dan kedengarannya lebih mantap, CHIN a, dari bibir bule. Dan Chin-a bukan asal dari Dinasti konyol yang pendek umur Qin, tetapi dari Sanskrita Cina-patta,yang artinya" pintalan sutra produk dari Cheng-du" sejak lebih dari 3 kilo tahun yang lalu. Hanya dari bule konyol yang memfomulirkan China asal Qin, dan diterima begitu saja sampai sekarang.
Ditanah leluhur kita, mereka bilang mereka adalah Hua-ren, orang Hua singkatan dari Tionghoa, tetapi kita bilang kita adalah Zhong-guo-ren, orang Tiongkok, namun mereka bilang "No", kamu adalah Hua-qiao yaitu Hoakiaw dalam mulut peranakan yang artinya "keturunan Hua dari perantauan seberang lautan", dan kelahiran Hoakiaw dibilang Qiao-sheng (jiao-seng).
Kita baru mengerti setelah di Inggriskan sebagai "Overseas Chinese". Sekali lagi kita tidak disebut orang Tiongkok maupun orang Tionghoa oleh orang Tiongkok, dan tetap sebagai orang Cina dimulut Barat. Chususnya orang Hokkian yang tidak perduli kita itu apa Hua-ren, Zhong-guo-ren, Tionghoa, Cina atau China, kita semua adalah TANG-Lang asal dari Tang-sua, keturunan Bangsa Tionghoa zaman Dinasti Tang yang jaya mulia dalam sejarah.
Orang Khanfu bilang kita Dong-yan, dan Hakka bilang kita adalah Thong-yin, dan peranakan sebut kita T'ng-lang secara persepakatan dari orang Tionghoa diperantauan diseluruh dunia. Sebelum bule bilang kampong kita adalah Chinatown, kita sudah bilang itu adalah lorong Tang-lang, yaitu Dong-yan-gai. Dan di Jawa adalah Pe-Cina-an.
Peranakan menyindir Tang-lang pendatang baru sebagai Totok, karena untuk kehidupan leluhur kita jualan makanan jalanan dengan men-tik-tok-kan potongan bambu untuk mencari perhatian pembeli, tetapi Totok menghormati peranakan sebagai Baba dari bahasa Urdu/Farsi yaitu Bapak, dari kebiasaan Tang-lang menyebut peranakan Semu (keturunan Arab-Persia) yang tarap kedudukan social mereka lebih tinggi di Hokkian. Tetapi dalam hati Totok, bukankah leluhurmu, suatu ketika juga Totok sebelum melahirkan kamu, Baba? What should we call who we are then? Sekarang cerita dilemma dalam hidup pribadi: Saya terlahir di Surabaya, Jawa, Indonesia dari keturunan pertama oleh kedua pendatang baru, ayah orang Quanzhou, Hokkian tulen, Tiongkok dan ibu keturunan marga Aisin Gioro, Tiongkok yang berkewarga-negaraan Inggris. Mereka merantau ke Surabaya karena menghindari perang disana, tetapi kebiadapan Jepang achirnya juga menjalar ke Nusantara. Saya terlahir dimasa itu di Jaman Pendudukan Jepang dan bersurat lahir dalam bahasa Jepang, tetapi sama sekali bukan dan refused dianggap orang Jepang. Maka semula berpendidikan Tionghoa sampai sekolahan ditutup sebagai warga tanpa kenegaraan (status stateless) dari orang tua. Untuk meneneruskan pendidikan dan menolak untuk "dipulangkan" ke Tiongkok, masuklah kewarga-negaraan Indonesia dalam katagori VI, tidak berbahasa Belanda tetapi berpendidikan lingua franca bahasa Inggris dan lulusan sekolah tinggi Indonesia, tetapi dimana-mana masih tidak bisa diterima dan mendapat perlakuan sebagai seorang warga Negara Indonesia dibayangan ideology Bhinneka Tunggal Ika yang selayaknya, dan masih di-Cina-kan.
Mendapatkan kesempatan untuk merantau di Amerika, meski sudah WNA lagi tetapi masih merasa diri ini orang Tang-lang, hidup sehari-hari masih ke-Cina-an dan juga ke-Jawa-an, karena disinipun masih merasa menamu diantara Bule, sering pulang Tanah Air dan juga pergi Tiongkok, sehingga juga punya rumah kecil disana buat persiapan pensiun, suatu ketika pernah mengajukan diri sebagai warga Amerika untuk meminta permanent residensi di Guangzhou, kata immigrasi situ, "kamu bukan Hua-ren, kamu cuma Hua-yi D2-E1 kelahiran Yin-ni Hoa-qiao", saya dikembalikan "bukan orang Tionghoa" tetapi sebagai keturunan Indonesia lagi. Who am I really then? But I am sure I am not alone who confused about one own national identity that lost in this turmoil generation.Maka saya mengaku identitas diri sebagai: Diaspora Indonesia kelahiran Surabaya, keturuan Tanglang Hokkian. Tjio Hock Tong.( dituturkan dalam bahasa yang bisa dimengerti umum).
Di Indonesia, kita Cina, dan Cino di Jawa. Meskipun Cina telah diterima dimana-mana disekitar kita seperti Malaysia, Filipina, India dan semua yang berbahasa Spanyol, tetapi kita masih minta dipanggil Tiongkok atau Tionghoa. karena Cina kedengarannya kurang enak kalau keluar dari mulut yang bukan Cina yang niru Cretin Jepang. Kecuali kalau dibilang Sines oleh orang Belanda, mantan cukong kita, OK sampai sekarang.
Dikalangan international, kita China, meski asal dari Cina, kita bisa menerimanya karena memang China telah dihormati sebagai bangsa yang kuat sekarang, dan kedengarannya lebih mantap, CHIN a, dari bibir bule. Dan Chin-a bukan asal dari Dinasti konyol yang pendek umur Qin, tetapi dari Sanskrita Cina-patta,yang artinya" pintalan sutra produk dari Cheng-du" sejak lebih dari 3 kilo tahun yang lalu. Hanya dari bule konyol yang memfomulirkan China asal Qin, dan diterima begitu saja sampai sekarang.
Ditanah leluhur kita, mereka bilang mereka adalah Hua-ren, orang Hua singkatan dari Tionghoa, tetapi kita bilang kita adalah Zhong-guo-ren, orang Tiongkok, namun mereka bilang "No", kamu adalah Hua-qiao yaitu Hoakiaw dalam mulut peranakan yang artinya "keturunan Hua dari perantauan seberang lautan", dan kelahiran Hoakiaw dibilang Qiao-sheng (jiao-seng).
Kita baru mengerti setelah di Inggriskan sebagai "Overseas Chinese". Sekali lagi kita tidak disebut orang Tiongkok maupun orang Tionghoa oleh orang Tiongkok, dan tetap sebagai orang Cina dimulut Barat. Chususnya orang Hokkian yang tidak perduli kita itu apa Hua-ren, Zhong-guo-ren, Tionghoa, Cina atau China, kita semua adalah TANG-Lang asal dari Tang-sua, keturunan Bangsa Tionghoa zaman Dinasti Tang yang jaya mulia dalam sejarah.
Orang Khanfu bilang kita Dong-yan, dan Hakka bilang kita adalah Thong-yin, dan peranakan sebut kita T'ng-lang secara persepakatan dari orang Tionghoa diperantauan diseluruh dunia. Sebelum bule bilang kampong kita adalah Chinatown, kita sudah bilang itu adalah lorong Tang-lang, yaitu Dong-yan-gai. Dan di Jawa adalah Pe-Cina-an.
Peranakan menyindir Tang-lang pendatang baru sebagai Totok, karena untuk kehidupan leluhur kita jualan makanan jalanan dengan men-tik-tok-kan potongan bambu untuk mencari perhatian pembeli, tetapi Totok menghormati peranakan sebagai Baba dari bahasa Urdu/Farsi yaitu Bapak, dari kebiasaan Tang-lang menyebut peranakan Semu (keturunan Arab-Persia) yang tarap kedudukan social mereka lebih tinggi di Hokkian. Tetapi dalam hati Totok, bukankah leluhurmu, suatu ketika juga Totok sebelum melahirkan kamu, Baba? What should we call who we are then? Sekarang cerita dilemma dalam hidup pribadi: Saya terlahir di Surabaya, Jawa, Indonesia dari keturunan pertama oleh kedua pendatang baru, ayah orang Quanzhou, Hokkian tulen, Tiongkok dan ibu keturunan marga Aisin Gioro, Tiongkok yang berkewarga-negaraan Inggris. Mereka merantau ke Surabaya karena menghindari perang disana, tetapi kebiadapan Jepang achirnya juga menjalar ke Nusantara. Saya terlahir dimasa itu di Jaman Pendudukan Jepang dan bersurat lahir dalam bahasa Jepang, tetapi sama sekali bukan dan refused dianggap orang Jepang. Maka semula berpendidikan Tionghoa sampai sekolahan ditutup sebagai warga tanpa kenegaraan (status stateless) dari orang tua. Untuk meneneruskan pendidikan dan menolak untuk "dipulangkan" ke Tiongkok, masuklah kewarga-negaraan Indonesia dalam katagori VI, tidak berbahasa Belanda tetapi berpendidikan lingua franca bahasa Inggris dan lulusan sekolah tinggi Indonesia, tetapi dimana-mana masih tidak bisa diterima dan mendapat perlakuan sebagai seorang warga Negara Indonesia dibayangan ideology Bhinneka Tunggal Ika yang selayaknya, dan masih di-Cina-kan.
Mendapatkan kesempatan untuk merantau di Amerika, meski sudah WNA lagi tetapi masih merasa diri ini orang Tang-lang, hidup sehari-hari masih ke-Cina-an dan juga ke-Jawa-an, karena disinipun masih merasa menamu diantara Bule, sering pulang Tanah Air dan juga pergi Tiongkok, sehingga juga punya rumah kecil disana buat persiapan pensiun, suatu ketika pernah mengajukan diri sebagai warga Amerika untuk meminta permanent residensi di Guangzhou, kata immigrasi situ, "kamu bukan Hua-ren, kamu cuma Hua-yi D2-E1 kelahiran Yin-ni Hoa-qiao", saya dikembalikan "bukan orang Tionghoa" tetapi sebagai keturunan Indonesia lagi. Who am I really then? But I am sure I am not alone who confused about one own national identity that lost in this turmoil generation.Maka saya mengaku identitas diri sebagai: Diaspora Indonesia kelahiran Surabaya, keturuan Tanglang Hokkian. Tjio Hock Tong.( dituturkan dalam bahasa yang bisa dimengerti umum).
0 komentar:
Post a Comment