kami menyusuri Nil hingga ke dermaganya,
airnya yang abadi tampak tersenyum,
tukang perahu berkulit gelap bernyanyi lirih,
perahu layar merentangkan sayapnya,
kami menangkap angin dan berlayar jauh,
Sepanjang hari hingga fajar hingga ke Timur,
di mana kehidupan pagi dan kebenaran lahir dengan suka-cita.
Along the Nile by: Henry Abbey (1842-1911)
Menyimak puisi karya penyair Amerika Henry Abbey di atas, serasa benar betapa damainya Mesir, dengan Sungai Nil yang mengalir tenang dan memberi penghidupan warganya. Dan tentu saja, merupakan pemandangan elok yang tak pernah habis dicecap oleh pelancong yang melewatinya, ya macam Tuan Henry Abbey itu.
Tapi hari ini, puisi Henry seperti tak berarti apa-apa. Sebab Mesir kini, seperti sedang mengulang kutukan yang pernah ditimpakan ke negeri itu pada zaman Musa, di mana air-air di Mesir berubah menjadi darah! Itulah yang terjadi pada Rabu, 14 Agustus 2013, hanya dalam waktu tujuh jam saja serdadu Jenderal Al Sisi berhasil membantai ratusan rakyat Mesir dan melukai ribuan lainnya di bunderan Rab’ah Adawiyah, Nahdah, dan tempat-tempat lainnya di seantaro Mesir.
Mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Sebagian jenazah yang telah dikafankan, dijajarkan di lantai Masjid Al-Iman, Makram Abid. Duka-cita sedalam-dalamnya bagi Mesir, bagi mereka yang telah berkorban untuk pilihan yang telah diyakini.
Maka warga dunia pun tersentak, termasuk mereka yang semula diam dan hanya bisa menyaksikan kesewenang-wenangan militer terhadap sipil di negeri Mesir. Ya, termasuk Amerika yang sebelumnya tampak adem ayem, sekarang mulai berteriak mengutuk tindakan militer yang dinilainya kelewat batas. Amerika Serikat sebelumnya mendukung pemerintah sementara Mesir. Kini, dengan tegas mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan terhadap pemrotes dan mendesak pihak militer untuk lebih menahan diri, kata juru bicara Gedung Putih Josh Earnest.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Inggris, Iran, Qatar dan Turki secara tegas juga mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan pemerintah guna membubarkan demonstran di dua kamp protes di Kairo, lapor AFP.
Menyaksikan Mesir hari ini, kita seperti diingatkan kembali...betapa bergelombangnya perjalanan bangsa itu. Inilah bangsa yang diberi karunia tak terhingga berupa sungai Nil yang subur dan memakmurkan, tapi di sebalik kesuburan Nil, ada juga terbentang mimpi buruk yang tiada habis-habisnya dialami bangsa Mesir.
Ya, ya... Mesir adalah sungai Nil. Lantaran sungai inilah Mesir ada. Lantaran Sungai Nil, menjadikan Mesir menjadi salah satu negara tersubur di Afrika dan juga di wilayah Mediterania. Konon, karena kesuburannya inilah Mesir menjadi tanah terawal yang dihuni oleh manusia pada 40 ribu tahun lalu. Peradaban bangsa Mesir sangat bergantung kepada kesuburan sungai Nil dengan limpahan air yang tak pernah kering meski musim kemarau tiba.
Awalnya, oleh padatnya penduduk di sepanjang aliran sungai Nil, berdirilah dua kerajaan yang disebut Mesir Hulu (di selatan) dan Mesir Hilir (di utara). Ini berlangsung sekira 3000 SM atau pada awal Zaman Perunggu. Di tengah perjalanan, raja Mesir Hulu menaklukan raja Mesir selatan dan membuat Mesir menjadi satu kerajaan, yang disebut Mesir. Pemimpin kerajaan ini kemudian disebut Firaun.
Sejak masa tersebut, sejarah Mesir kuno diwarnai dengan kemakmuran dan juga tragedi. Setidaknya ada 31 dinasti sebelum berakhir pada Dinasti Ptolemaik (323-30 sebelum Masehi). Tercatat, Mesir pernah terpecah menjadi banyak kerajaan kecil pada 2200 SM. Namun pada 2040 SM, para firaun berhasil menyatukan kembali Mesir untuk kemudian mendirikan Kerajaan Pertengahan (2040-1633 SM), namun para firaun Kerajaan Pertengahan tak sekuat para firaun Kerajaan Lama. Sekitar 1800 SM, para firaun Kerajaan Pertengahan kemballi kehilangan kekuasaan.
Selama Periode Pertengahan Kedua, bangsa Hyksis dari utara menginvasi Mesir dan menguasai Mesir Hilir untuk sementara waktu. Sekitar 1500 SM, para firaun Mesir dari Mesir Hulu berhasil mengusir bangsa Hyksos dan menyatukan kembali Mesir dalam satu negara yang disebut Kerajaan Baru (1558-1085 SM). Masa ini disebutkan dalam Injil dan Al Qur'an, yaitu tentang penindasa Bani Israel (bangsa Yahudi) oleh bangsa Mesir. Pada akhir Zaman Perunggu, terjadi krisis umum di seluruh Mediterania Timur dan Asia Barat. Bersama dengan hancurnya peradaban Mykenai dan Het, pemerintahan Mesir juga runtuh, berujung pada Periode Pertengahan Ketiga (1085-525 SM). Selama periode ini, para raja Afrika timur dari sebelah selatan Mesir, tepatnya dari Nubia, menguasai sebagian besar wilayah Mesir.
Setelah itu pada 525 SM, Kambyses, raja Persia, memimpin pasukan menuju Mesir dan menaklukannya. Ia menjadikan Mesir bagian dari Kekaisaran Persia. Bangsa Mesir tidak suka diperintah oleh Persia, namun mereka tak cukup kuat untuk melawan. Ketika Aleksander Agung menaklukan Kekaisaran Persia pada 32 SM, ia juga merebut Mesir pada tahun yang sama, dan para penerus Aleksander yang beretnis Yunani berkuasa di Mesir setelah kematiannya pada 332 SM. Masa ini disebut pula periode Hellenistik. Pada masa ini, ratu Kelopatra, yang merupakan perempuan Yunani dan Firaun Mesir, berkuasa. Setelah Kelopatra meninggal, Romawi menaklukan Mesir dan menjadikannya bagian dari Kekaisaran Romawi selama ratusan tahun (30 SM-700 M). Dan setelahnya, pasukan Umayyah yang menyerbu Mesir berhasil menaklukan wilayah ini dan menjadikan Mesir bagian dari Kekhalifahan Islam, menggantikan kekuasaan Romawi di Mesir.
Demikianlah, riwayat Mesir kuno nampaknya terus berulang saat Mesir telah berubah menjadi pemerintahan republik. Di era pemerintahan modern pun, Mesir masih diwarnai dengan kudeta dan kekerasan. Revolusi dan militer, adalah dua kata yang sangat akrab bagi riwayat perjalanan Mesir. Sejarah mencatat, pada musim semi 1919, seorang nasionalis Mesir yang dikucilkan Inggris di Malta bernama Saad Zaghlul berhasil mengusir Inggris dan sekaligus menjadikan Mesir beroleh kemerdekaan pada 22 Januari 1922 dan menunjuk Raja Farouk sebagai pemegang kendali pemerintahan.
Raja Farouk yang dinilai tak memikirkan rakyatnya dan hidup berfoya-foya, akhirnya dilengserkan melalui revolusi. Rakyat turun ke jalan menuntut Raja Farouk turun pada Sabtu kelabu. Maka peristiwa itu pun dikenal dengan sebutan Black Saturday yang ditengarai dengan penggulingan sang raja melalui kudeta militer pada 23 Juli 1952 pimpinan Letkol Gamal Abdul Nasser dan kelak mengantarkannya sebagai presiden Mesir.
Nasser meninggal akibat penyakit jantung pada 28 September 1970. Salah satu tokoh militer bernama Anwar Sadat menggantikannya sebagai presiden. Pada masa pemerintahan Anwar Sadat, pernah juga terjadi gejolak, yakni saat sang presiden menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1979 di Camp David. Presiden ke-3 Mesir itu pun tewas terbunuh dalam sebuah parade militer oleh kelompok radikal pada 6 Oktober 1981.
Sadat mangkat, Hosni Mubarak terpilih sebagai presiden. Hosni dinilai korup, dan terjadilah demo untuk menurunkannya. Puncaknya pada 25 Januari 2011, Mubarak kehilangan kekuasaannya.
Mubarak lengser, Muhammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin--faksi Islam terbesar di Mesir--terpilih sebagai presiden. Tapi pada masa pemerintahan Mursi, gejolak demonstrasi tak kunjung padam walaupun Mursi memenangi 51, 7% suara yang menjadikan Mursi sebagai Presiden sipil Mesir yang pertama lewat sistem pemilihan yang demokratis. Pihak oposisi menganggap Mursi terlalu mengistimewakan Ikhwanul Muslimin yang menguasai seluruh kursi legislatif hingga menimbulkan ketidakpuasan di pihak oposisi.
Kepemimpinan Mursi makin panas saat ia mengeluarkan dekrit yang memberikan kekuasaan terpusat pada dirinya sendiri pada 22 November 2012 sehingga menimbulkan anggapan Mursi berniat menjadi diktator baru. Akibatnya demonstrasi besar kembali terjadi. Mursi akhirnya mencabut dekrit itu pada 8 Desember 2012, tapi rupanya bara yang sudah telanjur sulit untuk dipadamkan. Puncaknya, 3 Juli 2013, kekuasaan Mursi pun tumbang oleh oposisi yang didukung militer.
Cerita rupanya tak berhenti sampai di situ. Sebab setelah Mursi mundur, para pendukung Mursi tak tinggal diam. Unjukrasa seperti tak habis-habisnya mewarnai hari-hari bangsa Mesir. Pendukung Mursi tak gentar oleh ancaman moncong senjata militer, meski korban jiwa telah berjatuhan. Dan puncaknya adalah pada Rabu, 14 Agustus 2013, bunderan Rab’ah Adawiyah, Nahdah dan tempat-tempat lainnya di seantaro Mesir akhirnya dibersihkan dari para demonstran dengan menggunakan senjata oleh milter. Hanya dalam durasi waktu tujuh jam saja serdadu Jenderal Al Sisi berhasil membantai ratusan rakyat Mesir.
***
Musim panas akan berakhir di Mesir. Daun-daun berguguran sebelum musim dingin menjelang. Begitulah... bersama daun-daun yang berpusingan ke tanah, tubuh-tubuh para demonstran itu pun luruh ke bumi. Sebentar lagi, mereka yang gugur, akan menyatu dengan bumi, melewati musim dingin di akhir tahun ini bersama kehampaan akan pertanyaan kepada para pemimpin mereka yang sedang berebut kekuasaan, "ke mana kah gerangan Mesir akan kalian bawa menuju?
Jiwa-jiwa mereka barangkali kini bisa tersenyum, sebab sebelum kejadian di mana nyawa-nyawa mereka pegat dari tubuh, banyak bangsa, --termasuk mereka yang suka berteriak-teriak tentang demokrasi dan HAM diam seribu basa menyaksikan kekejaman militer terhadap sipil di Mesir--kali nini mereka serentak mengutuk dan menuding militer Mesir telah melakukan tindak kebiadaban.
Betapa tak bisa terbayangkan, jika nyawa ratusan yang telah melayang itu tak mampu membangunkan kesadaran ras manusia yang diberi akal dan hati untuk berempati atas apa yang terjadi di Mesir. Ya, inilah sikap mengerikan dari manusia-manusia yang selama ini kita anggap baik. Sebuah kekhawatiran yang pernah dilontarkan Martin Luther King, Jr. "History will have to record that the greatest tragedy of this period of social transition was not the strident clamor of the bad people, but the appalling silence of the good people." (Sejarah akan mencatat bahwa tragedi terbesar masa transisi sosial bukanlah keributan yang melengking dari orang-orang jahat, tapi keheningan mengerikan dari orang-orang baik.)
Ah, duka-cita macam apa lagi yang harus dirasai oleh bangsa Mesir kini. Tidakkah mereka tahu, betapa eloknya negeri mereka, negeri yang dihuni bangsa yang besar dengan peninggalan sejarah yang luar biasa dan sungai Nil yang tak pernah habis air serta ceritanya. Seperti diceritakan oleh penyair Henry Abbey melalui sepenggal puisinya d bawah ini:
We journey up the storied Nile;
The timeless water seems to smile;
The slow and swarthy boatman sings;
The dahabëah spreads her wings;
We catch the breeze and sail away,
Along the dawning of the day,
Along the East,
wherein the morn Of life and truth was gladly born
airnya yang abadi tampak tersenyum,
tukang perahu berkulit gelap bernyanyi lirih,
perahu layar merentangkan sayapnya,
kami menangkap angin dan berlayar jauh,
Sepanjang hari hingga fajar hingga ke Timur,
di mana kehidupan pagi dan kebenaran lahir dengan suka-cita.
Along the Nile by: Henry Abbey (1842-1911)
Menyimak puisi karya penyair Amerika Henry Abbey di atas, serasa benar betapa damainya Mesir, dengan Sungai Nil yang mengalir tenang dan memberi penghidupan warganya. Dan tentu saja, merupakan pemandangan elok yang tak pernah habis dicecap oleh pelancong yang melewatinya, ya macam Tuan Henry Abbey itu.
Tapi hari ini, puisi Henry seperti tak berarti apa-apa. Sebab Mesir kini, seperti sedang mengulang kutukan yang pernah ditimpakan ke negeri itu pada zaman Musa, di mana air-air di Mesir berubah menjadi darah! Itulah yang terjadi pada Rabu, 14 Agustus 2013, hanya dalam waktu tujuh jam saja serdadu Jenderal Al Sisi berhasil membantai ratusan rakyat Mesir dan melukai ribuan lainnya di bunderan Rab’ah Adawiyah, Nahdah, dan tempat-tempat lainnya di seantaro Mesir.
Mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Sebagian jenazah yang telah dikafankan, dijajarkan di lantai Masjid Al-Iman, Makram Abid. Duka-cita sedalam-dalamnya bagi Mesir, bagi mereka yang telah berkorban untuk pilihan yang telah diyakini.
Maka warga dunia pun tersentak, termasuk mereka yang semula diam dan hanya bisa menyaksikan kesewenang-wenangan militer terhadap sipil di negeri Mesir. Ya, termasuk Amerika yang sebelumnya tampak adem ayem, sekarang mulai berteriak mengutuk tindakan militer yang dinilainya kelewat batas. Amerika Serikat sebelumnya mendukung pemerintah sementara Mesir. Kini, dengan tegas mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan terhadap pemrotes dan mendesak pihak militer untuk lebih menahan diri, kata juru bicara Gedung Putih Josh Earnest.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Inggris, Iran, Qatar dan Turki secara tegas juga mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan pemerintah guna membubarkan demonstran di dua kamp protes di Kairo, lapor AFP.
Menyaksikan Mesir hari ini, kita seperti diingatkan kembali...betapa bergelombangnya perjalanan bangsa itu. Inilah bangsa yang diberi karunia tak terhingga berupa sungai Nil yang subur dan memakmurkan, tapi di sebalik kesuburan Nil, ada juga terbentang mimpi buruk yang tiada habis-habisnya dialami bangsa Mesir.
Ya, ya... Mesir adalah sungai Nil. Lantaran sungai inilah Mesir ada. Lantaran Sungai Nil, menjadikan Mesir menjadi salah satu negara tersubur di Afrika dan juga di wilayah Mediterania. Konon, karena kesuburannya inilah Mesir menjadi tanah terawal yang dihuni oleh manusia pada 40 ribu tahun lalu. Peradaban bangsa Mesir sangat bergantung kepada kesuburan sungai Nil dengan limpahan air yang tak pernah kering meski musim kemarau tiba.
Awalnya, oleh padatnya penduduk di sepanjang aliran sungai Nil, berdirilah dua kerajaan yang disebut Mesir Hulu (di selatan) dan Mesir Hilir (di utara). Ini berlangsung sekira 3000 SM atau pada awal Zaman Perunggu. Di tengah perjalanan, raja Mesir Hulu menaklukan raja Mesir selatan dan membuat Mesir menjadi satu kerajaan, yang disebut Mesir. Pemimpin kerajaan ini kemudian disebut Firaun.
Sejak masa tersebut, sejarah Mesir kuno diwarnai dengan kemakmuran dan juga tragedi. Setidaknya ada 31 dinasti sebelum berakhir pada Dinasti Ptolemaik (323-30 sebelum Masehi). Tercatat, Mesir pernah terpecah menjadi banyak kerajaan kecil pada 2200 SM. Namun pada 2040 SM, para firaun berhasil menyatukan kembali Mesir untuk kemudian mendirikan Kerajaan Pertengahan (2040-1633 SM), namun para firaun Kerajaan Pertengahan tak sekuat para firaun Kerajaan Lama. Sekitar 1800 SM, para firaun Kerajaan Pertengahan kemballi kehilangan kekuasaan.
Selama Periode Pertengahan Kedua, bangsa Hyksis dari utara menginvasi Mesir dan menguasai Mesir Hilir untuk sementara waktu. Sekitar 1500 SM, para firaun Mesir dari Mesir Hulu berhasil mengusir bangsa Hyksos dan menyatukan kembali Mesir dalam satu negara yang disebut Kerajaan Baru (1558-1085 SM). Masa ini disebutkan dalam Injil dan Al Qur'an, yaitu tentang penindasa Bani Israel (bangsa Yahudi) oleh bangsa Mesir. Pada akhir Zaman Perunggu, terjadi krisis umum di seluruh Mediterania Timur dan Asia Barat. Bersama dengan hancurnya peradaban Mykenai dan Het, pemerintahan Mesir juga runtuh, berujung pada Periode Pertengahan Ketiga (1085-525 SM). Selama periode ini, para raja Afrika timur dari sebelah selatan Mesir, tepatnya dari Nubia, menguasai sebagian besar wilayah Mesir.
Setelah itu pada 525 SM, Kambyses, raja Persia, memimpin pasukan menuju Mesir dan menaklukannya. Ia menjadikan Mesir bagian dari Kekaisaran Persia. Bangsa Mesir tidak suka diperintah oleh Persia, namun mereka tak cukup kuat untuk melawan. Ketika Aleksander Agung menaklukan Kekaisaran Persia pada 32 SM, ia juga merebut Mesir pada tahun yang sama, dan para penerus Aleksander yang beretnis Yunani berkuasa di Mesir setelah kematiannya pada 332 SM. Masa ini disebut pula periode Hellenistik. Pada masa ini, ratu Kelopatra, yang merupakan perempuan Yunani dan Firaun Mesir, berkuasa. Setelah Kelopatra meninggal, Romawi menaklukan Mesir dan menjadikannya bagian dari Kekaisaran Romawi selama ratusan tahun (30 SM-700 M). Dan setelahnya, pasukan Umayyah yang menyerbu Mesir berhasil menaklukan wilayah ini dan menjadikan Mesir bagian dari Kekhalifahan Islam, menggantikan kekuasaan Romawi di Mesir.
Demikianlah, riwayat Mesir kuno nampaknya terus berulang saat Mesir telah berubah menjadi pemerintahan republik. Di era pemerintahan modern pun, Mesir masih diwarnai dengan kudeta dan kekerasan. Revolusi dan militer, adalah dua kata yang sangat akrab bagi riwayat perjalanan Mesir. Sejarah mencatat, pada musim semi 1919, seorang nasionalis Mesir yang dikucilkan Inggris di Malta bernama Saad Zaghlul berhasil mengusir Inggris dan sekaligus menjadikan Mesir beroleh kemerdekaan pada 22 Januari 1922 dan menunjuk Raja Farouk sebagai pemegang kendali pemerintahan.
Raja Farouk yang dinilai tak memikirkan rakyatnya dan hidup berfoya-foya, akhirnya dilengserkan melalui revolusi. Rakyat turun ke jalan menuntut Raja Farouk turun pada Sabtu kelabu. Maka peristiwa itu pun dikenal dengan sebutan Black Saturday yang ditengarai dengan penggulingan sang raja melalui kudeta militer pada 23 Juli 1952 pimpinan Letkol Gamal Abdul Nasser dan kelak mengantarkannya sebagai presiden Mesir.
Nasser meninggal akibat penyakit jantung pada 28 September 1970. Salah satu tokoh militer bernama Anwar Sadat menggantikannya sebagai presiden. Pada masa pemerintahan Anwar Sadat, pernah juga terjadi gejolak, yakni saat sang presiden menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1979 di Camp David. Presiden ke-3 Mesir itu pun tewas terbunuh dalam sebuah parade militer oleh kelompok radikal pada 6 Oktober 1981.
Sadat mangkat, Hosni Mubarak terpilih sebagai presiden. Hosni dinilai korup, dan terjadilah demo untuk menurunkannya. Puncaknya pada 25 Januari 2011, Mubarak kehilangan kekuasaannya.
Mubarak lengser, Muhammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin--faksi Islam terbesar di Mesir--terpilih sebagai presiden. Tapi pada masa pemerintahan Mursi, gejolak demonstrasi tak kunjung padam walaupun Mursi memenangi 51, 7% suara yang menjadikan Mursi sebagai Presiden sipil Mesir yang pertama lewat sistem pemilihan yang demokratis. Pihak oposisi menganggap Mursi terlalu mengistimewakan Ikhwanul Muslimin yang menguasai seluruh kursi legislatif hingga menimbulkan ketidakpuasan di pihak oposisi.
Kepemimpinan Mursi makin panas saat ia mengeluarkan dekrit yang memberikan kekuasaan terpusat pada dirinya sendiri pada 22 November 2012 sehingga menimbulkan anggapan Mursi berniat menjadi diktator baru. Akibatnya demonstrasi besar kembali terjadi. Mursi akhirnya mencabut dekrit itu pada 8 Desember 2012, tapi rupanya bara yang sudah telanjur sulit untuk dipadamkan. Puncaknya, 3 Juli 2013, kekuasaan Mursi pun tumbang oleh oposisi yang didukung militer.
Cerita rupanya tak berhenti sampai di situ. Sebab setelah Mursi mundur, para pendukung Mursi tak tinggal diam. Unjukrasa seperti tak habis-habisnya mewarnai hari-hari bangsa Mesir. Pendukung Mursi tak gentar oleh ancaman moncong senjata militer, meski korban jiwa telah berjatuhan. Dan puncaknya adalah pada Rabu, 14 Agustus 2013, bunderan Rab’ah Adawiyah, Nahdah dan tempat-tempat lainnya di seantaro Mesir akhirnya dibersihkan dari para demonstran dengan menggunakan senjata oleh milter. Hanya dalam durasi waktu tujuh jam saja serdadu Jenderal Al Sisi berhasil membantai ratusan rakyat Mesir.
***
Musim panas akan berakhir di Mesir. Daun-daun berguguran sebelum musim dingin menjelang. Begitulah... bersama daun-daun yang berpusingan ke tanah, tubuh-tubuh para demonstran itu pun luruh ke bumi. Sebentar lagi, mereka yang gugur, akan menyatu dengan bumi, melewati musim dingin di akhir tahun ini bersama kehampaan akan pertanyaan kepada para pemimpin mereka yang sedang berebut kekuasaan, "ke mana kah gerangan Mesir akan kalian bawa menuju?
Jiwa-jiwa mereka barangkali kini bisa tersenyum, sebab sebelum kejadian di mana nyawa-nyawa mereka pegat dari tubuh, banyak bangsa, --termasuk mereka yang suka berteriak-teriak tentang demokrasi dan HAM diam seribu basa menyaksikan kekejaman militer terhadap sipil di Mesir--kali nini mereka serentak mengutuk dan menuding militer Mesir telah melakukan tindak kebiadaban.
Betapa tak bisa terbayangkan, jika nyawa ratusan yang telah melayang itu tak mampu membangunkan kesadaran ras manusia yang diberi akal dan hati untuk berempati atas apa yang terjadi di Mesir. Ya, inilah sikap mengerikan dari manusia-manusia yang selama ini kita anggap baik. Sebuah kekhawatiran yang pernah dilontarkan Martin Luther King, Jr. "History will have to record that the greatest tragedy of this period of social transition was not the strident clamor of the bad people, but the appalling silence of the good people." (Sejarah akan mencatat bahwa tragedi terbesar masa transisi sosial bukanlah keributan yang melengking dari orang-orang jahat, tapi keheningan mengerikan dari orang-orang baik.)
Ah, duka-cita macam apa lagi yang harus dirasai oleh bangsa Mesir kini. Tidakkah mereka tahu, betapa eloknya negeri mereka, negeri yang dihuni bangsa yang besar dengan peninggalan sejarah yang luar biasa dan sungai Nil yang tak pernah habis air serta ceritanya. Seperti diceritakan oleh penyair Henry Abbey melalui sepenggal puisinya d bawah ini:
We journey up the storied Nile;
The timeless water seems to smile;
The slow and swarthy boatman sings;
The dahabëah spreads her wings;
We catch the breeze and sail away,
Along the dawning of the day,
Along the East,
wherein the morn Of life and truth was gladly born
0 komentar:
Post a Comment