Beda Jauh Antara Ahok dan SBY
Antara Ahok (Basuki Tjahya Purnama) dan SBY (Soesilo Bambang Yoedhyono) ternyata beda banget lho. SBY adalah Presiden Negar Republik Indonesia sedangkan Ahok hanya Wakil Gubernur DKI Jakarta. Ah, ini sih bukan barang baru. Lagian siapa sih yang mengira bahwa jabatan Presiden dan Wakil Gubernur bisa dipadan-padankan. Gak perlu dibahas.
Nah, yang perlu dibahas adalah bagaimana kepemimpinan kedua manusia ini. Saya menemukan perbedaan antara kedua pemimpin ini dalam hal menghadapi premanisme. Ternyata perbedaannya sangat, sangat, sangatlah jauh. Berikut adalah perbedaan yang tampak dari terawangan saya beberapa hari belakangan ini:
Sikap Konstitusional dan Sikap Demokratis
Perbedaan itu keliatan, saat SBY sebagai Presiden Negara Republik Indonesia menyikapi bentrok antara massa FPI dengan warga Kendal di satu sisi, serta di sisi lain saat Ahok yang Wakil Gubernur menyikapi ulah premanisme yang ia duga berada di balik pembangkangan PKL Tanah Abang.
Pidato SBY yang meliuk-liuk dan mengurai persoalan dari sudut pandang agama, padahal ia sedang bertanggunjawab mengemban hukum negara, justru dijawab dengan kata-kata ‘pecundang’ oleh kubu FPI. Sedangkan Ahok yang dipaksa (melalui aksi demontrasi) oleh gabungan beberapa ormas yang membela PKL Tanah Abang dan oknum anggota DPRD DKI, ketika dipaksa minta maaf justru melawan dan berkata: “saya tidak salah.
Saya hanya tunduk pada konstitusi, bukan pada konstituen“.
Sikap Ahok itu bukan hanya menunjukkan keberanian menghadapi tantangan dan resiko (sebagaimana disuarakan para demonstran yang mengatasnamakan Rajjam Ahok). Melainkan juga ia mengerti di sisi mana ia berdiri serta apa yang menjadi pegangannya. Pegangan Ahok adalah konstitusi dan ia menyadari bahwa dalam konstitusi (negara) tersebutlah sesungguhnya intisari amanat rakyat yang mesti ditunaikannya.
Saat SBY justru berlagak mengambil alih peran imam (pemimpin agama) dan melupakan perannya sebagai Presiden (pemimpin negara) saat menyikapi gerakan FPI yang selalu berdalih agama, Ahok justru tanpa ragu menyatakan bahwa ia adalah penegak konstitusi. Sikap SBY yang mencoba bermain dalam pusaran ‘lawan’, justru menunjukkan kelemahan kepemimpinannya.
Sedangkan Ahok memperlihatkan ketegasan dan wewenangnya. Sungguh ini adalah perbedaan yang sangat mencolok, dan perlu diteladani oleh pemimpin di negeri ini di semua level.
Dalam sikap tegas Ahok ini kelihatan pula secara tersirat bahwa Ahok lebih meyakini demokrasi di banding SBY. Ahok, dengan ketegasannya dan pegangannya akan konstitusi, menunjukkan tak ada keraguan sedikit pun untuk bertindak karena ia telah diberi mandat untuk melakukan itu lewat prosedur demokrasi.
Sedangkan SBY yang pandai bicara dengan kalimat-kalimat panjang dan bernuansa intelektual, justru tak mengeluarkan perintah apapun kecuali mengupas nilai amar ma’ruf keislaman. SBY tak salah dengan cara itu, tetapi ia jauh dari konteks.
Sipil Juga Bisa Tegas, Militer Tak Selalu Tegas
Membanding SBY dan Ahok, ternyata pula bahwa pemimpin militer tidak identik dengan ketegasan. SBY yang militer justru tak tegas. Sedangkan Ahok yang sipil jauh lebih tegas. Baik sipil maupun militer adalah sama-sama warga negara, sebagai sesama warga negara kedudukan juga setara dan punya peluang sama untuk tampil sebagai pemimpin rakyat. Baik sipil maupun militer adalah sama-sama manusia, dan mutu seorang manusia ditentukan oleh pilihannya bukan asal-usul institusinya.
Jadi, kalau kita kembali ke soal demokrasi sebagai prosedur yang kita sepakati untuk memilih pemimpin dan arah masa depan berasama sebagai sebuah negara, maka tak perlu lagi melihat apakah ia sipil atau militer. Justru yang kita butuhkan adalah pemimpin dengan orientasi dan karakternya sebagai manusia.
Mayoritas dan Minoritas
Tak perlu ditutup-tutupi lagi dan tak perlu sungkan mengatakan bahwa Ahok adalah etnis China, salah satu etinis minoritas dari segi peran dan sudut pandang sosial selama ini (walau belum tentu minoritas dari segi jumlah).
Sedangkan SBY yang merupakan putra pribumi dengan latar belakang suku Jawa adalah etnis mayoritas di nusantara ini. Namun syndrom pribumi - non pribumi
itu telah dipatahkan oleh Ahok. Syndrom mayoritas - minoritas itu telah dipatahkan oleh Ahok tanpa banyak ceramah, pidato dan tanpa repot-repot melangkah jauh untuk menjemput piagam penghargaan ke Amerika Serikat.
Beban sebagai minoritas itu tak sedikitpun terlihat dipundak Ahok saat ia mengambil keputusan penting, walau beberapa gelintir orang mencoba mendiskreditkannya dengan dalih etnis. Hal ini penting untuk dicatat bahwa Ahok, berhasil membuang jauh-jauh rasa minder itu.
Ahok berhasil membuang jauh-jauh syndrom minoritas yang dibangun oleh sistem kolonial dan ditanamkan dalam benak warga negara Indonesia oleh Rezim Orde Baru. Sedangkan di sisi lain SBY hanya bisa ceramah tentang pluralisme kehidupan berbangsa dan bernegara serta tergesa-gesa pergi mengambil penghargaan saat diasongkan lembaga internasional atas klaim (lebih tepat dugaan) keberhasilannya memimpin masyarakat Indonesia yang majemuk.
Sudah saatnya sebutan China sebagai salah satu entitas etnis di Indonesia tak ditabukan lagi untuk disebut. Justru harus disebut sebagai pengakuan. Karena ternyata seorang China bisa paham konstitusi, dan lebih paham berbangsa dan bernegara dari pada warga negara yang mengaku sebagai pribumi. Ahok lebih membakar nasionalisme dari pada seorang SBY yang notabene militer dan anak pribumi.
Antara Patriot Nusantara dan Patriot Kerajaan Inggris
Singkat cerita tulisan ini ingin mencatat, bahwa Ahok adalah seorang pemimpin yang memiliki keyakinan (akan konstitusi), prinsip dan keberanian. Dan ditengah negara yang carut marut dan politik yang semakin jauh dari amanat, maka perpaduan keyakinan, prinsip dan keberanian itu Ahok suatu saat dapat dianggap sebagai patriot.
Seorang Ahok telah membebaskan warga ini dari belenggu pikiran dan nafsu-nafsu jahat tentang politik dan kekuasaan. Ia membebaskan warga bangsa ini dari belenggu pikiran dikotomi sipil-militer, ia telah membebaskan kita dari belenggu prasangka etnis dan belenggu dikotomi mayoritas-minoritas, ia telah membebaskan kita dari oligarki politik atas nama demokrasi, karena ia yakin akan kontitusi buah tangan para founding fathers kita.
Basuki: Sepanjang Tidak Fitnah, Saya Tidak Pernah Takut
JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam sepekan terakhir, karakter kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama yang tegas, ceplas-ceplos, dan tanpa rasa takut terlihat menonjol. Dengan cara seperti itulah Basuki menghadapi kritik hingga serangan bertubi-tubi dihadapinya.
Gaya seperti itu tidak sekali-dua kali ditunjukkan oleh Basuki. Gaya itu sudah menjadi karakternya. Ia akan tetap mempertahankannya meski gaya itu tak biasa dilakukan oleh pejabat pemerintah di Indonesia. Dalam wawancara eksklusif dengan kontributor Kompas.com, Ericssen, Rabu (31/7/2013), di ruang kerjanya, pria yang kerap disapa Ahok itu berbicara tentang filosofi kepemimpinan yang ia jalankan. Berikut petikan wawancara tersebut.
Tanya (T): Pak Wagub terkenal dengan pembawaan yang keras, apakah memang sudah menjadi karakternya? Atau apakah ini sebagai suatu metode khusus untuk memimpin DKI?
Basuki (B): Saya tidak punya metode khusus. Pada dasarnya, saya mulut dan hati sama, saya terbuka-buka saja. Ada persepsi publik bahwa pejabat di Indonesia ini harus pelan, beradab, dan santun.
Kompas.com/ERICSSEN Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama menjawab pertanyaan wawancara di ruang kerjanya, pagi ini
Tentu, saya tidak mempermasalahkan itu. Namun, bagi saya, kesantunan itu dinilai dari apakah kita ada menilap uang rakyat atau tidak. Untuk apa kita santun tapi korupsi, itu sama saja membunuh rakyat pelan-pelan.
Jangan lupa, sistem pemilu kita saat ini adalah one man, one vote. Terkadang sistem ini membuat pejabat cenderung khawatir tidak populer, takut tidak terpilih. Akibatnya, mereka lebih mementingkan pencitraan. Mungkin mereka dongkol, tapi hanya menahannya di dalam hati, khawatir rakyat menilai mereka terlalu meledak-ledak.
Saya hanya mengatakan kenyataan atau realita yang di lapangan. Sepanjang saya tidak mengatakan fitnah, saya tidak pernah takut. Saya taat kepada sumpah jabatan yang saya ucapkan. Saya taat kepada konstitusi.
Mungkin ada yang berpikir, saya kan sudah menjadi Wagub, posisi enak, fasilitas nyaman, ngapain sibuk-sibuk menegakkan keadilan dan kebenaran, duduk tenang saja. Bagi saya, mental inilah yang harus dibuang.
Saya sudah diberi amanat oleh rakyat dan akan berusaha semampu saya untuk memenuhinya. Saya melayani rakyat, bukan berkonsentrasi untuk kembali terpilih atau tidak.
T: Orang-orang menyebut Bapak sebagai Firaun, sosok yang arogan, begini, begitu. Bukankah itu menimbulkan kesan sebagai seorang pemimpin yang otoriter?
B: Pertama, kita harus mendefinisikan pengertian otoriter itu apa. Otoriter adalah jika kita membuat peraturan dengan sewenang-wenang dan berusaha memaksakannya kepada rakyat.
Saya selaku Wagub tidak dapat membuat peraturan apa pun, semuanya dibuat oleh DPRD. Saya hanya menjalankan peraturan yang ada. Mau bagaimana menyebut saya otoriter? Ha-ha-ha...
T: Saya secara pribadi melihat Pak Ahok sebagai Lee Kuan Yew-nya Indonesia. Lee Kuan Yew (mantan Perdana Menteri Singapura) terkenal dengan gaya kepemimpinannya yang keras dan otoriter, bagaimana Bapak memandang pernyataan ini?
B: Tentu saja Lee Kuan Yew bisa dikatakan merupakan sosok yang sangat sukses membangun Singapura. Harus kita ingat, puluhan tahun lalu, Singapura juga penuh dengan banyak masalah dan rakyat yang sulit diatur. Namun, dengan law enforcement yang kuat, Singapura berhasil menjadi contoh sukses sekarang.
Penegakan hukum merupakan kunci utama dan semua memerlukan proses. Ambil contoh, ketika itu, ada kasus seorang dokter spesialis di Singapura yang mencuri tanaman antik. Singapura saat itu sedang sangat kekurangan dokter spesialis, Lee dihadapkan pada dilema, memenjarakannya atau memberi dispensasi. Akhirnya, dokter itu dipenjarakan walau mereka sangat memerlukannya.
Prinsipnya adalah, sekali kita melanggar, kita akan terus melanggarnya. Hukum, apa pun ceritanya, harus ditegakkan!
Namun, hal yang membedakan dengan Indonesia, Singapura merupakan partai tunggal dan hanya Lee-lah yang ketika itu punya otoritas membuat peraturan. Indonesia adalah demokrasi, kita tidak mungkin asal main tembak.
Hal yang perlu kita tiru adalah law enforcement mereka yang kuat, seperti penerapan denda. Saya bahkan menilai Lee tidak otoriter dalam konteks tertentu karena dia menerapkan peraturan itu untuk kemajuan negara.
T: Masalah hak asasi manusia (HAM) yang sering diperdebatkan itu, misalnya dalam kasus PKL, bagaimana, Pak?
B: Yang perlu ditekankan di sini adalah bedanya HAM dengan law enforcement. Kami di sini menegakkan hukum sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku. Tetapi, ya, kami pihak Pemprov pun tidak ingin menelantarkan mereka begitu saja. Bahkan, bisa dikatakan kami peduli dengan nasib mereka karena kami menyediakan lapak atau tempat berdagang baru bagi mereka.
Penggunaan Satpol PP tetap merupakan bagian dari upaya kami untuk melakukan penertiban. Namun, pertanyaan yang muncul, seberapa banyakkah Satpol PP yang ingin diturunkan? Tujuh ribu? Tujuh ratus ribu? Bahkan 7 juta pun enggak cukup. Enggak mungkin kan warga DKI ingin Pemprov menggaji hingga 7 juta Satpol PP.
Itu sebabnya, kuncinya sederhana saja. Sekali lagi, law enforcement atau penegakan hukum itu harus benar-benar ditegakkan.
Gila Benar, Ahok Berani Menantang ‘Penguasa’ Tanah Abang
Ternyata pancingan Wakil Gubernur Jakarta, Basuk Tjahaja Purnama alias Ahok soal ada preman dan anggota DPRD yang bermain di belakang kisruhnya penertiban PKL di Pasar Tanah Abang berhasil.
Merasa gerah, akhirnya Lulung Abraham Lunggana yang selama ini dikenal sebagai ‘penguasa’ Tanah Abang menampakkan batang hidungnya dan balik menyerang Ahok dengan menyebutnya sakit jiwa. Lulung juga meminta Jokowi untuk menegur wakilnya itu yang dianggap selengean.
Siapa yang tidak kenal Haji Lulung? Sebelum jadi anggota DPRD dan menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD, Lulung adalah tokoh Pasar Tanah Abang yang disegani. Boleh jadi aparat pun segan mengusik kiprahnya di Tanah Abang selama ini.
Tapi Ahok, demi menegakkan aturan tidak pandang buluh. Jurus mabuknya akan menghajar siapa saja yang dianggap tidak patuh.
Gilanya, Ahok tidak gentar sedikit pun menyerang Haji Lulung yang dianggapnya tidak tahu Perda tentang Ketertiban Umum yang justru dibuatnya sendiri.
Ahok juga mengatakan, bahwa Lulung itu tidak layak jadi anggota DPRD, karena seharusnya menegakkan peraturan malah mengajak para PKL melanggar aturan dengan tetap berjualan di pinggir jalan.
Untuk itulah Ahok berani mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk memecat Lulung sebagai anggota DPRD.
Sebenarnya melihat sikap Ahok ini jadi sedap-sedap ngeri juga berani berhadapan dan menantang Lulung sebagai ‘penguasa’ Tanah Abang dan Wakil Ketua DPRD. Ini risikonya berat sekali.
Ditambah lagi Lulung memiliki ormas-ormas yang tentu memiliki banyak anak buah yang siap dikerahkan untuk menyerang atau minimal menakuti Ahok.
Sedap-sedap karena baru sekarang ada pejabat yang berani benar-benar bertindak untuk menegakkan aturan. Khususnya di Pasar Tanah Abang yang selama ini seakan tak tersentuh. walaupun keadaannya sudah amburadul dan premanisme merajalela.
Tapi Ahok dengan gaya koboi dan jurus mabuknya pantang mundur demi menegakkan aturan yang selama ini dipermainkan. Apapun yang terjadi Tanah Abang harus tertib. PKL harus mau direlokasi. Tidak boleh berjualan di badan jalan karena melanggar aturan.
Harus jujur diakui ketidak-disiplinan dan banyaknya ketidak-beresan di negeri kita ini karena sangat jarang pejabat yang mau dan berani menegakkan aturan setegak-tegaknya.
Tak heran di negeri ini kalau ada istilah aturan itu dibuat untuk dilanggar. Berapa pun aturan yang dibuat tidak mampu mengubah keadaan lebih baik dan tertib.Tapi berbeda dengan Ahok yang tidak ingin bermain-main dengan aturan. Aturan harus ditegakkan. Walau dibilang kejam dan mirip Firaun. Pantang mundur. Semua dilabas.
Sekali lagi, bila negeri ini mau maju dan terbang tinggi harus dimulai dengan pemimpinnya yang sadar dan berani untuk menegakkan aturan yang ada.
Jangan seperti saat ini. Dimana yang seharusnya menegakkan aturan justru yang membuat aturannya menjadi bengkok. Aturan jadi tidak jelas. Akhirnya jadi omong kosong aturan yang dibuat sebaik apapun.
Apa yang dilakukan Ahok sejatinya didukung publik yang rindu akan perubahan untuk Jakarta yang lebih baik. Karena apa yang dilakukan Ahok adalah murni menegakkan aturan. Walau untuk itu ia harus mendapat caci dan dibenci yang kepentingannya tergganggu
Antara Ahok (Basuki Tjahya Purnama) dan SBY (Soesilo Bambang Yoedhyono) ternyata beda banget lho. SBY adalah Presiden Negar Republik Indonesia sedangkan Ahok hanya Wakil Gubernur DKI Jakarta. Ah, ini sih bukan barang baru. Lagian siapa sih yang mengira bahwa jabatan Presiden dan Wakil Gubernur bisa dipadan-padankan. Gak perlu dibahas.
Nah, yang perlu dibahas adalah bagaimana kepemimpinan kedua manusia ini. Saya menemukan perbedaan antara kedua pemimpin ini dalam hal menghadapi premanisme. Ternyata perbedaannya sangat, sangat, sangatlah jauh. Berikut adalah perbedaan yang tampak dari terawangan saya beberapa hari belakangan ini:
Sikap Konstitusional dan Sikap Demokratis
Perbedaan itu keliatan, saat SBY sebagai Presiden Negara Republik Indonesia menyikapi bentrok antara massa FPI dengan warga Kendal di satu sisi, serta di sisi lain saat Ahok yang Wakil Gubernur menyikapi ulah premanisme yang ia duga berada di balik pembangkangan PKL Tanah Abang.
Pidato SBY yang meliuk-liuk dan mengurai persoalan dari sudut pandang agama, padahal ia sedang bertanggunjawab mengemban hukum negara, justru dijawab dengan kata-kata ‘pecundang’ oleh kubu FPI. Sedangkan Ahok yang dipaksa (melalui aksi demontrasi) oleh gabungan beberapa ormas yang membela PKL Tanah Abang dan oknum anggota DPRD DKI, ketika dipaksa minta maaf justru melawan dan berkata: “saya tidak salah.
Saya hanya tunduk pada konstitusi, bukan pada konstituen“.
Sikap Ahok itu bukan hanya menunjukkan keberanian menghadapi tantangan dan resiko (sebagaimana disuarakan para demonstran yang mengatasnamakan Rajjam Ahok). Melainkan juga ia mengerti di sisi mana ia berdiri serta apa yang menjadi pegangannya. Pegangan Ahok adalah konstitusi dan ia menyadari bahwa dalam konstitusi (negara) tersebutlah sesungguhnya intisari amanat rakyat yang mesti ditunaikannya.
Saat SBY justru berlagak mengambil alih peran imam (pemimpin agama) dan melupakan perannya sebagai Presiden (pemimpin negara) saat menyikapi gerakan FPI yang selalu berdalih agama, Ahok justru tanpa ragu menyatakan bahwa ia adalah penegak konstitusi. Sikap SBY yang mencoba bermain dalam pusaran ‘lawan’, justru menunjukkan kelemahan kepemimpinannya.
Sedangkan Ahok memperlihatkan ketegasan dan wewenangnya. Sungguh ini adalah perbedaan yang sangat mencolok, dan perlu diteladani oleh pemimpin di negeri ini di semua level.
Dalam sikap tegas Ahok ini kelihatan pula secara tersirat bahwa Ahok lebih meyakini demokrasi di banding SBY. Ahok, dengan ketegasannya dan pegangannya akan konstitusi, menunjukkan tak ada keraguan sedikit pun untuk bertindak karena ia telah diberi mandat untuk melakukan itu lewat prosedur demokrasi.
Sedangkan SBY yang pandai bicara dengan kalimat-kalimat panjang dan bernuansa intelektual, justru tak mengeluarkan perintah apapun kecuali mengupas nilai amar ma’ruf keislaman. SBY tak salah dengan cara itu, tetapi ia jauh dari konteks.
Sipil Juga Bisa Tegas, Militer Tak Selalu Tegas
Membanding SBY dan Ahok, ternyata pula bahwa pemimpin militer tidak identik dengan ketegasan. SBY yang militer justru tak tegas. Sedangkan Ahok yang sipil jauh lebih tegas. Baik sipil maupun militer adalah sama-sama warga negara, sebagai sesama warga negara kedudukan juga setara dan punya peluang sama untuk tampil sebagai pemimpin rakyat. Baik sipil maupun militer adalah sama-sama manusia, dan mutu seorang manusia ditentukan oleh pilihannya bukan asal-usul institusinya.
Jadi, kalau kita kembali ke soal demokrasi sebagai prosedur yang kita sepakati untuk memilih pemimpin dan arah masa depan berasama sebagai sebuah negara, maka tak perlu lagi melihat apakah ia sipil atau militer. Justru yang kita butuhkan adalah pemimpin dengan orientasi dan karakternya sebagai manusia.
Mayoritas dan Minoritas
Tak perlu ditutup-tutupi lagi dan tak perlu sungkan mengatakan bahwa Ahok adalah etnis China, salah satu etinis minoritas dari segi peran dan sudut pandang sosial selama ini (walau belum tentu minoritas dari segi jumlah).
Sedangkan SBY yang merupakan putra pribumi dengan latar belakang suku Jawa adalah etnis mayoritas di nusantara ini. Namun syndrom pribumi - non pribumi
itu telah dipatahkan oleh Ahok. Syndrom mayoritas - minoritas itu telah dipatahkan oleh Ahok tanpa banyak ceramah, pidato dan tanpa repot-repot melangkah jauh untuk menjemput piagam penghargaan ke Amerika Serikat.
Beban sebagai minoritas itu tak sedikitpun terlihat dipundak Ahok saat ia mengambil keputusan penting, walau beberapa gelintir orang mencoba mendiskreditkannya dengan dalih etnis. Hal ini penting untuk dicatat bahwa Ahok, berhasil membuang jauh-jauh rasa minder itu.
Ahok berhasil membuang jauh-jauh syndrom minoritas yang dibangun oleh sistem kolonial dan ditanamkan dalam benak warga negara Indonesia oleh Rezim Orde Baru. Sedangkan di sisi lain SBY hanya bisa ceramah tentang pluralisme kehidupan berbangsa dan bernegara serta tergesa-gesa pergi mengambil penghargaan saat diasongkan lembaga internasional atas klaim (lebih tepat dugaan) keberhasilannya memimpin masyarakat Indonesia yang majemuk.
Sudah saatnya sebutan China sebagai salah satu entitas etnis di Indonesia tak ditabukan lagi untuk disebut. Justru harus disebut sebagai pengakuan. Karena ternyata seorang China bisa paham konstitusi, dan lebih paham berbangsa dan bernegara dari pada warga negara yang mengaku sebagai pribumi. Ahok lebih membakar nasionalisme dari pada seorang SBY yang notabene militer dan anak pribumi.
Antara Patriot Nusantara dan Patriot Kerajaan Inggris
Singkat cerita tulisan ini ingin mencatat, bahwa Ahok adalah seorang pemimpin yang memiliki keyakinan (akan konstitusi), prinsip dan keberanian. Dan ditengah negara yang carut marut dan politik yang semakin jauh dari amanat, maka perpaduan keyakinan, prinsip dan keberanian itu Ahok suatu saat dapat dianggap sebagai patriot.
Seorang Ahok telah membebaskan warga ini dari belenggu pikiran dan nafsu-nafsu jahat tentang politik dan kekuasaan. Ia membebaskan warga bangsa ini dari belenggu pikiran dikotomi sipil-militer, ia telah membebaskan kita dari belenggu prasangka etnis dan belenggu dikotomi mayoritas-minoritas, ia telah membebaskan kita dari oligarki politik atas nama demokrasi, karena ia yakin akan kontitusi buah tangan para founding fathers kita.
Basuki: Sepanjang Tidak Fitnah, Saya Tidak Pernah Takut
JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam sepekan terakhir, karakter kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama yang tegas, ceplas-ceplos, dan tanpa rasa takut terlihat menonjol. Dengan cara seperti itulah Basuki menghadapi kritik hingga serangan bertubi-tubi dihadapinya.
Gaya seperti itu tidak sekali-dua kali ditunjukkan oleh Basuki. Gaya itu sudah menjadi karakternya. Ia akan tetap mempertahankannya meski gaya itu tak biasa dilakukan oleh pejabat pemerintah di Indonesia. Dalam wawancara eksklusif dengan kontributor Kompas.com, Ericssen, Rabu (31/7/2013), di ruang kerjanya, pria yang kerap disapa Ahok itu berbicara tentang filosofi kepemimpinan yang ia jalankan. Berikut petikan wawancara tersebut.
Tanya (T): Pak Wagub terkenal dengan pembawaan yang keras, apakah memang sudah menjadi karakternya? Atau apakah ini sebagai suatu metode khusus untuk memimpin DKI?
Basuki (B): Saya tidak punya metode khusus. Pada dasarnya, saya mulut dan hati sama, saya terbuka-buka saja. Ada persepsi publik bahwa pejabat di Indonesia ini harus pelan, beradab, dan santun.
Kompas.com/ERICSSEN Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama menjawab pertanyaan wawancara di ruang kerjanya, pagi ini
Tentu, saya tidak mempermasalahkan itu. Namun, bagi saya, kesantunan itu dinilai dari apakah kita ada menilap uang rakyat atau tidak. Untuk apa kita santun tapi korupsi, itu sama saja membunuh rakyat pelan-pelan.
Jangan lupa, sistem pemilu kita saat ini adalah one man, one vote. Terkadang sistem ini membuat pejabat cenderung khawatir tidak populer, takut tidak terpilih. Akibatnya, mereka lebih mementingkan pencitraan. Mungkin mereka dongkol, tapi hanya menahannya di dalam hati, khawatir rakyat menilai mereka terlalu meledak-ledak.
Saya hanya mengatakan kenyataan atau realita yang di lapangan. Sepanjang saya tidak mengatakan fitnah, saya tidak pernah takut. Saya taat kepada sumpah jabatan yang saya ucapkan. Saya taat kepada konstitusi.
Mungkin ada yang berpikir, saya kan sudah menjadi Wagub, posisi enak, fasilitas nyaman, ngapain sibuk-sibuk menegakkan keadilan dan kebenaran, duduk tenang saja. Bagi saya, mental inilah yang harus dibuang.
Saya sudah diberi amanat oleh rakyat dan akan berusaha semampu saya untuk memenuhinya. Saya melayani rakyat, bukan berkonsentrasi untuk kembali terpilih atau tidak.
T: Orang-orang menyebut Bapak sebagai Firaun, sosok yang arogan, begini, begitu. Bukankah itu menimbulkan kesan sebagai seorang pemimpin yang otoriter?
B: Pertama, kita harus mendefinisikan pengertian otoriter itu apa. Otoriter adalah jika kita membuat peraturan dengan sewenang-wenang dan berusaha memaksakannya kepada rakyat.
Saya selaku Wagub tidak dapat membuat peraturan apa pun, semuanya dibuat oleh DPRD. Saya hanya menjalankan peraturan yang ada. Mau bagaimana menyebut saya otoriter? Ha-ha-ha...
T: Saya secara pribadi melihat Pak Ahok sebagai Lee Kuan Yew-nya Indonesia. Lee Kuan Yew (mantan Perdana Menteri Singapura) terkenal dengan gaya kepemimpinannya yang keras dan otoriter, bagaimana Bapak memandang pernyataan ini?
B: Tentu saja Lee Kuan Yew bisa dikatakan merupakan sosok yang sangat sukses membangun Singapura. Harus kita ingat, puluhan tahun lalu, Singapura juga penuh dengan banyak masalah dan rakyat yang sulit diatur. Namun, dengan law enforcement yang kuat, Singapura berhasil menjadi contoh sukses sekarang.
Penegakan hukum merupakan kunci utama dan semua memerlukan proses. Ambil contoh, ketika itu, ada kasus seorang dokter spesialis di Singapura yang mencuri tanaman antik. Singapura saat itu sedang sangat kekurangan dokter spesialis, Lee dihadapkan pada dilema, memenjarakannya atau memberi dispensasi. Akhirnya, dokter itu dipenjarakan walau mereka sangat memerlukannya.
Prinsipnya adalah, sekali kita melanggar, kita akan terus melanggarnya. Hukum, apa pun ceritanya, harus ditegakkan!
Namun, hal yang membedakan dengan Indonesia, Singapura merupakan partai tunggal dan hanya Lee-lah yang ketika itu punya otoritas membuat peraturan. Indonesia adalah demokrasi, kita tidak mungkin asal main tembak.
Hal yang perlu kita tiru adalah law enforcement mereka yang kuat, seperti penerapan denda. Saya bahkan menilai Lee tidak otoriter dalam konteks tertentu karena dia menerapkan peraturan itu untuk kemajuan negara.
T: Masalah hak asasi manusia (HAM) yang sering diperdebatkan itu, misalnya dalam kasus PKL, bagaimana, Pak?
B: Yang perlu ditekankan di sini adalah bedanya HAM dengan law enforcement. Kami di sini menegakkan hukum sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku. Tetapi, ya, kami pihak Pemprov pun tidak ingin menelantarkan mereka begitu saja. Bahkan, bisa dikatakan kami peduli dengan nasib mereka karena kami menyediakan lapak atau tempat berdagang baru bagi mereka.
Penggunaan Satpol PP tetap merupakan bagian dari upaya kami untuk melakukan penertiban. Namun, pertanyaan yang muncul, seberapa banyakkah Satpol PP yang ingin diturunkan? Tujuh ribu? Tujuh ratus ribu? Bahkan 7 juta pun enggak cukup. Enggak mungkin kan warga DKI ingin Pemprov menggaji hingga 7 juta Satpol PP.
Itu sebabnya, kuncinya sederhana saja. Sekali lagi, law enforcement atau penegakan hukum itu harus benar-benar ditegakkan.
Gila Benar, Ahok Berani Menantang ‘Penguasa’ Tanah Abang
Ternyata pancingan Wakil Gubernur Jakarta, Basuk Tjahaja Purnama alias Ahok soal ada preman dan anggota DPRD yang bermain di belakang kisruhnya penertiban PKL di Pasar Tanah Abang berhasil.
Merasa gerah, akhirnya Lulung Abraham Lunggana yang selama ini dikenal sebagai ‘penguasa’ Tanah Abang menampakkan batang hidungnya dan balik menyerang Ahok dengan menyebutnya sakit jiwa. Lulung juga meminta Jokowi untuk menegur wakilnya itu yang dianggap selengean.
Siapa yang tidak kenal Haji Lulung? Sebelum jadi anggota DPRD dan menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD, Lulung adalah tokoh Pasar Tanah Abang yang disegani. Boleh jadi aparat pun segan mengusik kiprahnya di Tanah Abang selama ini.
Tapi Ahok, demi menegakkan aturan tidak pandang buluh. Jurus mabuknya akan menghajar siapa saja yang dianggap tidak patuh.
Gilanya, Ahok tidak gentar sedikit pun menyerang Haji Lulung yang dianggapnya tidak tahu Perda tentang Ketertiban Umum yang justru dibuatnya sendiri.
Ahok juga mengatakan, bahwa Lulung itu tidak layak jadi anggota DPRD, karena seharusnya menegakkan peraturan malah mengajak para PKL melanggar aturan dengan tetap berjualan di pinggir jalan.
Untuk itulah Ahok berani mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk memecat Lulung sebagai anggota DPRD.
Sebenarnya melihat sikap Ahok ini jadi sedap-sedap ngeri juga berani berhadapan dan menantang Lulung sebagai ‘penguasa’ Tanah Abang dan Wakil Ketua DPRD. Ini risikonya berat sekali.
Ditambah lagi Lulung memiliki ormas-ormas yang tentu memiliki banyak anak buah yang siap dikerahkan untuk menyerang atau minimal menakuti Ahok.
Sedap-sedap karena baru sekarang ada pejabat yang berani benar-benar bertindak untuk menegakkan aturan. Khususnya di Pasar Tanah Abang yang selama ini seakan tak tersentuh. walaupun keadaannya sudah amburadul dan premanisme merajalela.
Tapi Ahok dengan gaya koboi dan jurus mabuknya pantang mundur demi menegakkan aturan yang selama ini dipermainkan. Apapun yang terjadi Tanah Abang harus tertib. PKL harus mau direlokasi. Tidak boleh berjualan di badan jalan karena melanggar aturan.
Harus jujur diakui ketidak-disiplinan dan banyaknya ketidak-beresan di negeri kita ini karena sangat jarang pejabat yang mau dan berani menegakkan aturan setegak-tegaknya.
Tak heran di negeri ini kalau ada istilah aturan itu dibuat untuk dilanggar. Berapa pun aturan yang dibuat tidak mampu mengubah keadaan lebih baik dan tertib.Tapi berbeda dengan Ahok yang tidak ingin bermain-main dengan aturan. Aturan harus ditegakkan. Walau dibilang kejam dan mirip Firaun. Pantang mundur. Semua dilabas.
Sekali lagi, bila negeri ini mau maju dan terbang tinggi harus dimulai dengan pemimpinnya yang sadar dan berani untuk menegakkan aturan yang ada.
Jangan seperti saat ini. Dimana yang seharusnya menegakkan aturan justru yang membuat aturannya menjadi bengkok. Aturan jadi tidak jelas. Akhirnya jadi omong kosong aturan yang dibuat sebaik apapun.
Apa yang dilakukan Ahok sejatinya didukung publik yang rindu akan perubahan untuk Jakarta yang lebih baik. Karena apa yang dilakukan Ahok adalah murni menegakkan aturan. Walau untuk itu ia harus mendapat caci dan dibenci yang kepentingannya tergganggu
0 komentar:
Post a Comment