728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Wisata Ke Jantung Baduy

    Bertamu ke Jantung Baduy

    Jalanan terjal dan berlumpur terhampar hingga Baduy Dalam. Bentang perbukitan melindungi mereka dari modernisasi.

    Menjejak pertama kali di Kampung Ciboleger, Desa Bojongmanik, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, hamparan perbukitan Baduy terlihat di sepanjang mata memandang. Kami membayangkan rute perjalanan 4 jam menembus barisan bukit yang menjadi gerbang Baduy itu. Empat jam berjalan kaki naik-turun bukit tentu sangat melelahkan.

    “Sekitar empat jam perjalanan normal. Siap tidak?” tanya Asep Kurnia, Kepala SMP Negeri 1 Leuwidamar, yang rela menjadi pemandu kami ke Baduy Dalam.

    Asep sudah puluhan tahun hidup berdampingan dengan warga Baduy. Ia mengenal dengan baik seluk-beluk mereka. Bahkan ia sudah menerbitkan buku soal Baduy.

    Tim Ekspedisi Banten Selatan berencana menembus perbukitan di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, yang dihuni oleh warga Baduy. Karena itulah warga Baduy sering disebut Urang Kanekes. Bentang alam seluas 5.136 hektare ini dikelola secara adat. Mereka membatasi diri dari perkembangan zaman.

    Baduy memilih mempertahankan gaya hidup tradisional mereka sebagai masyarakat agraris. Teknologi modern dibatasi dan aktivitas bertani dilakukan secara tradisional. Mereka hanya memakai segelintir alat pertanian, seperti bedog (golok), arit, kored (cangkul kecil), etem (sejenis ani-ani), dan pisau.

    Itu sebabnya, keasrian perbukitan Baduy terjaga. Tak ada jalan beraspal, tidak ada tiang listrik tempat kabel bergantung, tak ada juga kebun besar milik perorangan.

    Desa Kanekes terbagi menjadi dua, Kampung Baduy Dalam (Tangtu) dan Luar (Panamping). Baduy Dalam hanya terdiri atas tiga kampung, yakni Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Mereka masih memegang teguh adat. “Tiga kampung ini sampai kapan pun tetap Baduy Dalam,” terang Asep.

    Sedangkan Baduy Luar kini sudah berkembang menjadi 65 kampung. Mereka menerima sebagian teknologi dan mengelola lahan-lahan di luar Desa Kanekes maupun Kecamatan Leuwidamar. Warga kampung ini merupakan suku Baduy yang dikeluarkan karena melanggar adat atau memilih keluar.

    Ciboleger merupakan batas desa di luar Baduy. Kampung itu menjadi gerbang Baduy. Terminal Ciboleger merupakan pemberhentian terakhir berbagai angkutan pedesaan dari Kota Rangkasbitung, yang berjarak sekitar 40 kilometer.

    Kami berpapasan dengan warga Baduy Dalam. Mereka memanggul pisang hasil panen untuk dibawa ke Pasar Ciboleger. Beberapa orang Baduy lainnya tengah antre di toko kelontong dengan keresek berisi ikan asin.

    Jalan kampung berundak dihaluskan dengan semen mengantar menuju Pos 1 pintu masuk Baduy. Di sisi kiri dan kanannya berjajar warung dan toko kelontong. Setelah gerbang itu, kampung Baduy Luar menyambut dengan bangunan kayu dan jalan berbatu. Hanya sebentar perjalanan terasa ramah karena jalan berbatu itu terus menanjak menapaki perbukitan Baduy, hijau dan seperti tak berakhir.

    Ujung wilayah ini berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Mereka mengelola sebagian hutan taman nasional itu menjadi hutan larangan seluas 3.000 hektare.

    Lamunan beratnya perjalanan seketika lenyap saat mendengar adanya rute baru yang resmi dibuka dua bulan belakangan. Pos 2, demikian mereka menyebutnya. Letaknya di Kampung Cijahe, Desa Kebon Cau, Kecamatan Bojongmanik, Lebak, Banten. Rute ini sudah lama ada, namun baru resmi dibuka dua bulan belakangan.

    Cijahe bisa ditempuh dengan perjalanan mobil sekitar satu jam dari Ciboleger dengan jalur naik-turun bukit dan kondisi jalan yang boleh dibilang buruk. Beberapa warga Baduy Dalam juga bersedia menjadi portir barang kami. Kami pun memilih jalur itu untuk menjelajahi Baduy. “Mereka nanti akan menunggu di Cijahe,” ucap Asep.

    Sebenarnya jalur Cijahe lebih dekat dengan Kampung Cikeusik. Namun jarak Cikeusik dengan dua kampung Baduy Dalam lainnya terlampau jauh. Kami khawatir malah tidak sempat bertandang ke Cikertawana dan Cibeo jika ke sana.

    Rabu, 10 Mei 2017, gerimis membasahi Cijahe. Lima warga Baduy Dalam menunggu kami di sebuah warung di Cijahe sambil berteduh di deretan warung. Semua berikat kepala putih, sebagian berbaju hitam, sebagian lagi mengenakan baju putih, pakaian khas Baduy Dalam.

    Erwinatu dalam bukunya, Saba Baduy: Sebuah Perjalanan Wisata Inspiratif, menyebutkan ciri khas Baduy Dalam, mereka mengenakan baju pangsi putih atau hitam, sarung aros hitam, dan ikat kepala putih. Mereka pantang menaiki kendaraan apa pun dan selalu bertelanjang kaki saat berjalan.

    Salah satu dari mereka adalah Ayah Mursyid, warga Kampung Cibeo, yang rumahnya bakal kami inapi. Ia biasa menjadi juru bicara bagi warga Baduy Dalam. Bahasa Indonesianya lancar.

    Saat itu kami datang pada saat yang tepat, tak ada aktivitas bertani bagi warga Baduy Dalam. Mereka tengah menunggu acara nyacar/ ngaseuk serang (membersihkan huma/ ladang dari ranting dan rerumputan), yang jatuh pada Sabtu, 13 Mei 2017. Selama menunggu agenda penanaman adat ini, tak ada kesibukan yang dilakukan warga Baduy.

    Penanaman padi pribadi tak boleh mendahului penanggalan adat ini. Mereka bahkan bersedia menemani kami menuju Cibeo. “Padi untuk adat harus didahulukan. Makanya acara nyacar serang akan diikuti semua warga Baduy, Luar dan Dalam,” ujar Ayah Mursyid.

    Kami memulai perjalanan dengan melintasi jembatan yang membelah Kali Cisadane. Menapaki perbukitan Baduy dari sini tak segarang bila dibanding dari Ciboleger. Kami disambut jalanan datar menuju perbukitan.

    Hanya, kondisi jalan setapak tak serapi di rute Ciboleger. Tanah dan lumpur terhampar di sepanjang jalan. Kami harus mengatur langkah supaya tak terpeleset.

    Pemberhentian pertama jalan ini adalah Kampung Cisadane. Kampung Baduy Luar pertama ini dapat ditempuh dalam lima belas menit perjalanan. Menjejak di jalanan kampung Baduy mana pun cukup menyenangkan karena kerapian kampung, bangunan, dan jalan benar-benar diperhatikan.

    Kampung Baduy Luar dan Dalam hampir sama. Rumah penduduk berbentuk panggung berbahan kayu. Namun Baduy Lama tidak memperbolehkan penggunaan paku. Mereka masih memakai pasak kayu.

    Setelah melewati kampung ini, tanjakan dan turunan mulai terasa lebih beringas. Di beberapa bagian jalan, lumpur tak dapat dihindari. Ayah Mursyid dan rekannya dari Baduy Dalam melangkah lincah meski kaki mereka terbenam lumpur. Sedangkan kami pilih-pilih saat menjejak tanah. Beberapa kali kaki kami memang harus berendam lumpur.

    Simpangan jalan setapak kerap ditemui di sepanjang jalur. Memang benar, harus membawa pemandu untuk menjelajahi Baduy. Kami termasuk beruntung, pemandu kami berasal dari Baduy Dalam. Mereka sudah hafal seluk-beluk belukar dan lumpur di sini.

    Perjalanan kami sampai di Sungai Ciujung, yang menjadi batas Baduy Luar dan dalam. Mulai tempat sini, kami tak boleh merekam gambar. Jembatan bambu melintang menjadi penghubung.

    Jembatan itu dibangun secara swadaya. Pembuatan jembatan memakan biaya sekitar Rp 10 juta, termasuk biaya upacara adatnya. Saat ini terdapat sembilan jembatan yang dibangun di batas Baduy Dalam dengan Luar.

    Tak terasa, lebih dari dua jam kami menyusuri jalan. Satu jam daya tempuh Baduy berarti dua jam bagi kami. Beberapa leuit (lumbung padi) mulai terlihat sebelum kami menemui Sungai Ciparahiang, yang mengalir di sisi kampung. Leuit itu milik warga Kampung Cikertawana, yang bertetangga dengan Kampung Cibeo.

    Sesampai di sungai, kami sengaja melintas di bawah jembatan. Dingin air sungai itu menyegarkan sekaligus membersihkan lumpur yang menempel di kaki.

    Di depan mata kami barisan rumah panggung tertata rapi. Hari sudah senja, beberapa warga Baduy berjalan pulang dari huma lengkap dengan keluarganya. Mereka selesai menggarap tanaman selain padi. Kami pun menjejak di Kampung Cibeo.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Wisata Ke Jantung Baduy Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top