Ajax, Pahlawan Pelopor Sepakbola
Jakarta - Siapa yang tidak kenal ketika kita melihat sosok "bapak-bapak brewok" di logo sebuah kesebelasan asal Belanda? Kesebelasan tersebut adalah Ajax Amsterdam. Sosok yang ada di logo Ajax tersebut tidak lain adalah Ajax sendiri.
Jika kita melihat nama-nama kesebelasan asal Belanda, kita bisa menemukan banyak terminologi yang diambil dari nama-nama tempat, pahlawan, atau tokoh mitologi seperti Sparta (Rotterdam), Heracles (Almelo), Excelsior, Fortuna (Sittard), Xerxes, dan masih ada beberapa lagi, salah satunya adalah Ajax.
Tanggal 18 Maret 1900 merupakan tanggal di mana Floris Stempel, Carel Reseer, Han Dade, dan Johan Dade akhirnya benar-benar mendirikan kesebelasan Ajax di kota Amsterdam setelah upaya tersebut sempat tertunda sejak tahun 1894.
Mengenai penamaan kesebelasan sendiri, keempat pria tadi terinspirasi dari seorang pahlawan mitologi Yunani yang bernama Ajax (biasa dikenal sebagai Aias dalam Bahasa Indonesia). Sosok Ajax digambarkan sebagai sosok yang gagah dan tinggi. Ia merupakan raja di Salamis, yang juga bersepupu dengan Achilles. Ajax terkenal dengan kekuatan dan keberaniannya, terutama dalam pertempuran melawan Hector dalam Perang Troya.
Meskipun demikian, pada awal-awal kesebelasan didirikan, sosok Ajax belum terpampang di dalam logo kesebelasan tersebut. Dari periode 1900-1911 dan 1911-1928, Ajax masih menggunakan logo standar dengan gambar orang yang sedang menendang bola.
Di logo awal, orang tersebut terlihat masih mengenakan seragam dengan warna merah serta celana hitam. Pada awal mulanya, Ajax memang memilih untuk menggunakan warna tersebut. Barulah pada tahun 1911 mereka menggantinya menjadi warna putih kombinasi balok merah yang bertahan hingga sekarang ini.
Hal itu tidak terlepas dari promosinya Ajax ke Divisi Utama Liga Belanda pada tahun tersebut. Sementara di saat yang bersamaan, seragam dengan warna tadi telah digunakan oleh tim kuat di Belanda ketika itu, yakni Sparta Rotterdam, yang merupakan kesebelasan tertua di Belanda.
Sedangkan pada tahun 1928, sosok Ajax yang gagah berani itu akhirnya direpresentasikan ke dalam logo kesebelasan. Pada tahun 1990, logo sempat diubah menjadi sedikit lebih abstrak dari sebelumnya. Logo dengan potret Ajax yang bertahan hingga saat ini tersebut ditarik dengan hanya 11 baris, yang juga melambangkan 11 pemain dari tim sepakbola itu sendiri.
Sampai sekarang, kesebelasan yang bernama resmi AFC Ajax (Amsterdamsche Football Club Ajax) ini bisa dibilang merupakan kesebelasan tersukses yang terdapat di negara yang acap kali disebut dengan nama Holland itu.
Jika ditotal, saat ini Ajax telah memenangkan 71 gelar yang di antaranya termasuk dari 33 gelar Liga Belanda, 18 Piala KNVB, dan empat gelar Liga Champions UEFA.
Darah Yahudi di Tubuh Ajax Amsterdam
Bukanlah pemandangan yang aneh jika pertandingan Ajax yang dilangsungkan di Amsterdam Arena selalu dihiasi oleh bendera Israel dan bendera bintang daud milik para suporter garis keras. Bukan tanpa sebab juga jika Ajax dituduh sebagai kesebelasan Yahudi Belanda dan mendapatkan julukan de Joden (the Jews).
Sebagai kesebelasan yang berbasis di Amsterdam Timur, memang banyak orang Yahudi yang kerap kali terlihat dalam pertandingan-pertandingan Ajax. Amsterdam Timur sendiri merupakan tempat di mana banyak orang Yahudi bermukim di kota tersebut.
Sementara mengenai cap Yahudi yang ditujukan kepada Ajax, hal tersebut diprakarsai oleh para hooligan di sekitar tahun 80'an. Ketika itu mereka kerap meneriakan yel-yel lantang seperti "Joden, Joden" (Yahudi, Yahudi) di setiap Ajax berlaga. Hal itu pun tetap berlangsung hingga saat ini.
Meski demikian, mantan pemilik Ajax, Uri Coronel pernah membantah jika Ajax merupakan kesebelasan milik Yahudi. Coronel, yang juga seorang Yahudi, pernah berujar bahwa sebetulnya hanya ada sedikit sekali pemain dan para suporter yang memeluk agama Yahudi di dalam kekeluargaan Ajax.
"Ajax adalah klub dengan sedikit sekali pemain dan suporter pemeluk agama Yahudi. Tidak banyak umat Yahudi dalam Ajax. Memang Ajax mempunyai image Yahudi dan banyak sekali fans yang meneriakkan 'Yahudi, Yahudi', tapi bisa saja mereka sama sekali bukan orang Yahudi," cetus Coronel seperti yang dikutip RNW.
Apa yang diucapkan oleh Coronel pun lantas dibenarkan oleh Simon Kuper. Setelah melakukan riset, melalui bukunya yang berjudul Ajax, the Dutch, the War, jurnalis kenamaan itu menyebutkan bahwa Ajax memang tidak pernah menjadi kesebelasan Yahudi. Menurutnya, tim asal Amsterdam ini merupakan kesebelasan milik kelas menengah pada awal mulanya.
"Sepanjang sejarah, Ajax tidak pernah menjadi klub Yahudi. Sebelum Perang Dunia II, kesebelasan asal Amsterdam ini merupakan milik kelas menengah, miliknya para administrator dan orang-orang yang memiliki perusahaan sendiri. Kebanyakan orang Yahudi terlalu miskin untuk menjadi anggota Ajax."
Rinus Michels, Gloria Ajax, dan Johan Cruyff
Pada tahun 1965, Ajax mengalami nasib terburuknya di sepanjang sejarah tim itu berdiri. Ketika itu, kesebelasan yang dilatih oleh Vic Buckingham tersebut nyaris saja terdegradasi dari Divisi Utama Liga Belanda. Manajemen pun kemudian menunjuk mantan penyerang Ajax, Rinus Michels, sebagai arsitek baru mereka.
Oleh Michels, Ajax disulap menjadi tim yang sangat menakutkan. Bukan hanya di Belanda, namun juga di Eropa. Ketika itu ia memperkenalkan skema yang dikenal dengan nama totaalvoetball atau total football kepada dunia. Gaya bermain tersebut bukan hanya digunakan oleh Ajax, akan tetapi ditularkan juga kepada tim nasional Belanda yang berlaga di ajang Piala Dunia 1974.
Prestasi paling fenomenal yang pernah dicetak oleh Ajax adalah ketika mereka menjuarai Piala Champions (kini bernama Liga Champions) sebanyak tiga kali berturut-turut. Era ini disebut oleh mantan pelatih Ajax, Tomislav Ivic, dengan sebutan "Gloria Ajax".
"Gloria Ajax" milik Rinus Michels pun memperkenalkan pula apa yang disebut dengan Twelve Apostels, atau dua belas murid. Di antara kedua belas pemain (11 pemain inti dan satu cadangan) tersebut terdapat pula sosok fenomenal bernama Johan Cruyff.
Cruyff adalah sosok penyempurna gaya bermain total football yang diusung oleh Michels. Ia pun disebut-sebut sebagai pemain terhebat yang pernah dimiliki oleh Belanda. Dengan badan kurusnya, ia sangat lihai menggocek bola. Visi bermainnya pun sangat luar biasa. Saking istimewanya, nomor punggung 14 yang dikenakannya ketika masih aktif bermain, saat ini dipensiunkan oleh pihak Ajax.
Sempat berpetualang ke Barcelona, Cruyff akhirnya kembali ke Ajax pada tahun 1985. Akan tetapi, kedatangannya ketika itu bukanlah sebagai pemain, melainkan sebagai pelatih. Meski di awal kepelatihannya itu ia gagal membawa Ajax menjadi juara, namun berkat filosofi menyerangnya, Cruyff berhasil membuat sosok Marco van Basten menjadi penyerang yang menakutkan. Di tahun itu Basten mampu mengakhiri musim dengan menjadi top skor berkat raihan 37 golnya di sepanjang kompetisi.
Sulit Berprestasi di Eropa Setelah Era Van Gaal
Tahun 1991 Louis van Gaal resmi diperkenalkan sebagai pelatih baru Ajax Amsterdam. Ia dipromosikan dari asisten pelatih menjadi pelatih utama setelah Leo Beenhakker hijrah menuju Real Madrid. Di musim perdananya, Van Gaal langsung unjuk gigi. Tangan dinginnya berhasil mempersembahkan trofi UEFA Cup (kini bernama Liga Europa) setelah mengalahkan Torino di babak final.
Setelah itu, Ajax dibawanya terus berprestasi. Total, ia mampu mempersembahkan delapan trofi, yang tiga di antaranya merupakan hat-trick juara Liga Belanda dari tahun 1993-1995.
Sementara masa keemasannya terjadi di musim 1994/95. Selain tak terkalahkan di Liga, dengan keberanian mengandalkan para pemain mudanya, ia berhasil membawa Ajax merengkuh trofi Liga Champions setelah mengalahkan AC Milan di partai pamungkas.
Ketika itu skuat Ajax diisi oleh nama-nama yang siap melejit seperti Edwin van der Sar, Frank de Boer, Ronald de Boer, Michael Reiziger, Edgar Davids, Marc Overmars, Clarence Seedorf, Jari Litmanen, Finidi George, Nwanko Kanu, dan Patrick Kluivert, yang dibantu oleh pemain senior macam Frank Rijkaard dan Danny Blind.
Setelah para pemain tersebut pergi meninggalkan Ajax, kondisi kesebelasan langsung cenderung menurun. Prestasi terbaik mereka setelah menjadi juara di tahun 1995 hanyalah menjadi runner-up di tahun 1996, dan semifinalis di tahun 1997. Sementara setelah itu, Ajax lebih banyak berkutat di babak grup saja hingga sejauh sekarang ini.
De Toekomst sebagai Akademi Terbaik di Dunia
Sudah bukan rahasia umum lagi jika Ajax merupakan produsen dari pemain-pemain kelas dunia. Melalui akademinya yang bernama De Toekomst, atau 'masa depan', Ajax berhasil memperkenalkan pemain-pemain seperti Marco van Basten, Dennis Bergkamp, Edgar Davids, Frank dan Ronald de Boer, Edwin van der Sar; hingga era Wesley Sneijder, Rafael van der Vaart, Marteen Stekelenburg, John Heitinga, Nigel de Jong, Christian Eriksen, Thomas Vermaelen, Jan Vertonghen, dan masih banyak lagi, kepada dunia.
Adalah Rinus Michels yang menggagas terbentuknya akademi tersebut. Saat ini, De Toekoemnst menggunakan sistem pemantau pergerakan pemain setiap menit dan detik. Untuk memantau perkembangan pemain pun fasilitas kamp dilengkapi kamera beresolusi tinggi dengan sensor gerak. Sehingga kekurangan dan kelebihan pemain bisa diawasi dari waktu ke waktu.
Tempat ini juga memiliki sebuah riset olahraga nomor satu di dunia. Pemain dari segala kelompok usia bisa dilihat melalui komputer, seperti halnya labotarium luar angkasa milik NASA.
Akademi ini pun menjadi acuan bagi akademi-akademi kesebelasan di dunia. Tidak terkecuali dengan La Masia yang menjadi milik Barcelona. Khusus bagi La Masia, akademi tersebut memang didirikan tanpa andil yang kecil dari seorang Johan Cruyff. Pada tahun 1979, Cruyff mengusulkan Barcelona untuk membangun akademi yang mengacu kepada De Toekomst.
Dengan menerapkan kurikulum dan fasilitas yang hampir sama, La Masia pun kemudian menjelma menjadi salah satu akademi terkemuka di dunia. Banyak pemain-pemain hebat bermunculan dari sana, seperti Pep Guardiola, Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Cesc Fabregas, Gerard Pique, juga Lionel Messi.
Selain itu, Ajax pun mengembangkan feeder club di beberapa negara dengan tujuan untuk menjaring pemain-pemain yang berbakat. Di Afrika Selatan, melalui Ajax Cape Town, kesebelasan yang juga memiliki julukan de Godenzoden ini pernah berhasil mendapatkan talenta berbakat seperti Steven Pienaar.
***
Melihat kesebelasan seperti Ajax saat ini, kita mungkin melihat mereka sebagai kesebelasan yang sarat dengan masa lalu. Memulai dari pemilihan sosok Ajax sebagai pahlawan pemberani, revolusi sepakbola melalui totaalvoetbal, sampai menginspirasi La Masia melalui akademi mereka, Ajax-lah sebenarnya yang menyebarkan benih-benih sepakbola yang kita kenal sekarang ini, mulai dari tiki-taka, gegenpressing, dan sebagainya.
Selamat ulang tahun yang ke-117, Ajax, "Pahlawan Pelopor Sepakbola".
Jakarta - Siapa yang tidak kenal ketika kita melihat sosok "bapak-bapak brewok" di logo sebuah kesebelasan asal Belanda? Kesebelasan tersebut adalah Ajax Amsterdam. Sosok yang ada di logo Ajax tersebut tidak lain adalah Ajax sendiri.
Jika kita melihat nama-nama kesebelasan asal Belanda, kita bisa menemukan banyak terminologi yang diambil dari nama-nama tempat, pahlawan, atau tokoh mitologi seperti Sparta (Rotterdam), Heracles (Almelo), Excelsior, Fortuna (Sittard), Xerxes, dan masih ada beberapa lagi, salah satunya adalah Ajax.
Tanggal 18 Maret 1900 merupakan tanggal di mana Floris Stempel, Carel Reseer, Han Dade, dan Johan Dade akhirnya benar-benar mendirikan kesebelasan Ajax di kota Amsterdam setelah upaya tersebut sempat tertunda sejak tahun 1894.
Mengenai penamaan kesebelasan sendiri, keempat pria tadi terinspirasi dari seorang pahlawan mitologi Yunani yang bernama Ajax (biasa dikenal sebagai Aias dalam Bahasa Indonesia). Sosok Ajax digambarkan sebagai sosok yang gagah dan tinggi. Ia merupakan raja di Salamis, yang juga bersepupu dengan Achilles. Ajax terkenal dengan kekuatan dan keberaniannya, terutama dalam pertempuran melawan Hector dalam Perang Troya.
Meskipun demikian, pada awal-awal kesebelasan didirikan, sosok Ajax belum terpampang di dalam logo kesebelasan tersebut. Dari periode 1900-1911 dan 1911-1928, Ajax masih menggunakan logo standar dengan gambar orang yang sedang menendang bola.
Di logo awal, orang tersebut terlihat masih mengenakan seragam dengan warna merah serta celana hitam. Pada awal mulanya, Ajax memang memilih untuk menggunakan warna tersebut. Barulah pada tahun 1911 mereka menggantinya menjadi warna putih kombinasi balok merah yang bertahan hingga sekarang ini.
Hal itu tidak terlepas dari promosinya Ajax ke Divisi Utama Liga Belanda pada tahun tersebut. Sementara di saat yang bersamaan, seragam dengan warna tadi telah digunakan oleh tim kuat di Belanda ketika itu, yakni Sparta Rotterdam, yang merupakan kesebelasan tertua di Belanda.
Sedangkan pada tahun 1928, sosok Ajax yang gagah berani itu akhirnya direpresentasikan ke dalam logo kesebelasan. Pada tahun 1990, logo sempat diubah menjadi sedikit lebih abstrak dari sebelumnya. Logo dengan potret Ajax yang bertahan hingga saat ini tersebut ditarik dengan hanya 11 baris, yang juga melambangkan 11 pemain dari tim sepakbola itu sendiri.
Sampai sekarang, kesebelasan yang bernama resmi AFC Ajax (Amsterdamsche Football Club Ajax) ini bisa dibilang merupakan kesebelasan tersukses yang terdapat di negara yang acap kali disebut dengan nama Holland itu.
Jika ditotal, saat ini Ajax telah memenangkan 71 gelar yang di antaranya termasuk dari 33 gelar Liga Belanda, 18 Piala KNVB, dan empat gelar Liga Champions UEFA.
Darah Yahudi di Tubuh Ajax Amsterdam
Bukanlah pemandangan yang aneh jika pertandingan Ajax yang dilangsungkan di Amsterdam Arena selalu dihiasi oleh bendera Israel dan bendera bintang daud milik para suporter garis keras. Bukan tanpa sebab juga jika Ajax dituduh sebagai kesebelasan Yahudi Belanda dan mendapatkan julukan de Joden (the Jews).
Sebagai kesebelasan yang berbasis di Amsterdam Timur, memang banyak orang Yahudi yang kerap kali terlihat dalam pertandingan-pertandingan Ajax. Amsterdam Timur sendiri merupakan tempat di mana banyak orang Yahudi bermukim di kota tersebut.
Sementara mengenai cap Yahudi yang ditujukan kepada Ajax, hal tersebut diprakarsai oleh para hooligan di sekitar tahun 80'an. Ketika itu mereka kerap meneriakan yel-yel lantang seperti "Joden, Joden" (Yahudi, Yahudi) di setiap Ajax berlaga. Hal itu pun tetap berlangsung hingga saat ini.
Meski demikian, mantan pemilik Ajax, Uri Coronel pernah membantah jika Ajax merupakan kesebelasan milik Yahudi. Coronel, yang juga seorang Yahudi, pernah berujar bahwa sebetulnya hanya ada sedikit sekali pemain dan para suporter yang memeluk agama Yahudi di dalam kekeluargaan Ajax.
"Ajax adalah klub dengan sedikit sekali pemain dan suporter pemeluk agama Yahudi. Tidak banyak umat Yahudi dalam Ajax. Memang Ajax mempunyai image Yahudi dan banyak sekali fans yang meneriakkan 'Yahudi, Yahudi', tapi bisa saja mereka sama sekali bukan orang Yahudi," cetus Coronel seperti yang dikutip RNW.
Apa yang diucapkan oleh Coronel pun lantas dibenarkan oleh Simon Kuper. Setelah melakukan riset, melalui bukunya yang berjudul Ajax, the Dutch, the War, jurnalis kenamaan itu menyebutkan bahwa Ajax memang tidak pernah menjadi kesebelasan Yahudi. Menurutnya, tim asal Amsterdam ini merupakan kesebelasan milik kelas menengah pada awal mulanya.
"Sepanjang sejarah, Ajax tidak pernah menjadi klub Yahudi. Sebelum Perang Dunia II, kesebelasan asal Amsterdam ini merupakan milik kelas menengah, miliknya para administrator dan orang-orang yang memiliki perusahaan sendiri. Kebanyakan orang Yahudi terlalu miskin untuk menjadi anggota Ajax."
Rinus Michels, Gloria Ajax, dan Johan Cruyff
Pada tahun 1965, Ajax mengalami nasib terburuknya di sepanjang sejarah tim itu berdiri. Ketika itu, kesebelasan yang dilatih oleh Vic Buckingham tersebut nyaris saja terdegradasi dari Divisi Utama Liga Belanda. Manajemen pun kemudian menunjuk mantan penyerang Ajax, Rinus Michels, sebagai arsitek baru mereka.
Oleh Michels, Ajax disulap menjadi tim yang sangat menakutkan. Bukan hanya di Belanda, namun juga di Eropa. Ketika itu ia memperkenalkan skema yang dikenal dengan nama totaalvoetball atau total football kepada dunia. Gaya bermain tersebut bukan hanya digunakan oleh Ajax, akan tetapi ditularkan juga kepada tim nasional Belanda yang berlaga di ajang Piala Dunia 1974.
Prestasi paling fenomenal yang pernah dicetak oleh Ajax adalah ketika mereka menjuarai Piala Champions (kini bernama Liga Champions) sebanyak tiga kali berturut-turut. Era ini disebut oleh mantan pelatih Ajax, Tomislav Ivic, dengan sebutan "Gloria Ajax".
"Gloria Ajax" milik Rinus Michels pun memperkenalkan pula apa yang disebut dengan Twelve Apostels, atau dua belas murid. Di antara kedua belas pemain (11 pemain inti dan satu cadangan) tersebut terdapat pula sosok fenomenal bernama Johan Cruyff.
Cruyff adalah sosok penyempurna gaya bermain total football yang diusung oleh Michels. Ia pun disebut-sebut sebagai pemain terhebat yang pernah dimiliki oleh Belanda. Dengan badan kurusnya, ia sangat lihai menggocek bola. Visi bermainnya pun sangat luar biasa. Saking istimewanya, nomor punggung 14 yang dikenakannya ketika masih aktif bermain, saat ini dipensiunkan oleh pihak Ajax.
Sempat berpetualang ke Barcelona, Cruyff akhirnya kembali ke Ajax pada tahun 1985. Akan tetapi, kedatangannya ketika itu bukanlah sebagai pemain, melainkan sebagai pelatih. Meski di awal kepelatihannya itu ia gagal membawa Ajax menjadi juara, namun berkat filosofi menyerangnya, Cruyff berhasil membuat sosok Marco van Basten menjadi penyerang yang menakutkan. Di tahun itu Basten mampu mengakhiri musim dengan menjadi top skor berkat raihan 37 golnya di sepanjang kompetisi.
Sulit Berprestasi di Eropa Setelah Era Van Gaal
Tahun 1991 Louis van Gaal resmi diperkenalkan sebagai pelatih baru Ajax Amsterdam. Ia dipromosikan dari asisten pelatih menjadi pelatih utama setelah Leo Beenhakker hijrah menuju Real Madrid. Di musim perdananya, Van Gaal langsung unjuk gigi. Tangan dinginnya berhasil mempersembahkan trofi UEFA Cup (kini bernama Liga Europa) setelah mengalahkan Torino di babak final.
Setelah itu, Ajax dibawanya terus berprestasi. Total, ia mampu mempersembahkan delapan trofi, yang tiga di antaranya merupakan hat-trick juara Liga Belanda dari tahun 1993-1995.
Sementara masa keemasannya terjadi di musim 1994/95. Selain tak terkalahkan di Liga, dengan keberanian mengandalkan para pemain mudanya, ia berhasil membawa Ajax merengkuh trofi Liga Champions setelah mengalahkan AC Milan di partai pamungkas.
Ketika itu skuat Ajax diisi oleh nama-nama yang siap melejit seperti Edwin van der Sar, Frank de Boer, Ronald de Boer, Michael Reiziger, Edgar Davids, Marc Overmars, Clarence Seedorf, Jari Litmanen, Finidi George, Nwanko Kanu, dan Patrick Kluivert, yang dibantu oleh pemain senior macam Frank Rijkaard dan Danny Blind.
Setelah para pemain tersebut pergi meninggalkan Ajax, kondisi kesebelasan langsung cenderung menurun. Prestasi terbaik mereka setelah menjadi juara di tahun 1995 hanyalah menjadi runner-up di tahun 1996, dan semifinalis di tahun 1997. Sementara setelah itu, Ajax lebih banyak berkutat di babak grup saja hingga sejauh sekarang ini.
De Toekomst sebagai Akademi Terbaik di Dunia
Sudah bukan rahasia umum lagi jika Ajax merupakan produsen dari pemain-pemain kelas dunia. Melalui akademinya yang bernama De Toekomst, atau 'masa depan', Ajax berhasil memperkenalkan pemain-pemain seperti Marco van Basten, Dennis Bergkamp, Edgar Davids, Frank dan Ronald de Boer, Edwin van der Sar; hingga era Wesley Sneijder, Rafael van der Vaart, Marteen Stekelenburg, John Heitinga, Nigel de Jong, Christian Eriksen, Thomas Vermaelen, Jan Vertonghen, dan masih banyak lagi, kepada dunia.
Adalah Rinus Michels yang menggagas terbentuknya akademi tersebut. Saat ini, De Toekoemnst menggunakan sistem pemantau pergerakan pemain setiap menit dan detik. Untuk memantau perkembangan pemain pun fasilitas kamp dilengkapi kamera beresolusi tinggi dengan sensor gerak. Sehingga kekurangan dan kelebihan pemain bisa diawasi dari waktu ke waktu.
Tempat ini juga memiliki sebuah riset olahraga nomor satu di dunia. Pemain dari segala kelompok usia bisa dilihat melalui komputer, seperti halnya labotarium luar angkasa milik NASA.
Akademi ini pun menjadi acuan bagi akademi-akademi kesebelasan di dunia. Tidak terkecuali dengan La Masia yang menjadi milik Barcelona. Khusus bagi La Masia, akademi tersebut memang didirikan tanpa andil yang kecil dari seorang Johan Cruyff. Pada tahun 1979, Cruyff mengusulkan Barcelona untuk membangun akademi yang mengacu kepada De Toekomst.
Dengan menerapkan kurikulum dan fasilitas yang hampir sama, La Masia pun kemudian menjelma menjadi salah satu akademi terkemuka di dunia. Banyak pemain-pemain hebat bermunculan dari sana, seperti Pep Guardiola, Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Cesc Fabregas, Gerard Pique, juga Lionel Messi.
Selain itu, Ajax pun mengembangkan feeder club di beberapa negara dengan tujuan untuk menjaring pemain-pemain yang berbakat. Di Afrika Selatan, melalui Ajax Cape Town, kesebelasan yang juga memiliki julukan de Godenzoden ini pernah berhasil mendapatkan talenta berbakat seperti Steven Pienaar.
***
Melihat kesebelasan seperti Ajax saat ini, kita mungkin melihat mereka sebagai kesebelasan yang sarat dengan masa lalu. Memulai dari pemilihan sosok Ajax sebagai pahlawan pemberani, revolusi sepakbola melalui totaalvoetbal, sampai menginspirasi La Masia melalui akademi mereka, Ajax-lah sebenarnya yang menyebarkan benih-benih sepakbola yang kita kenal sekarang ini, mulai dari tiki-taka, gegenpressing, dan sebagainya.
Selamat ulang tahun yang ke-117, Ajax, "Pahlawan Pelopor Sepakbola".
0 komentar:
Post a Comment