Ada Pisang di Balik Udang
Kue pisang udang
Namanya memang pisang udang. Tapi jangan sampai terkecoh mendengar nama kudapan pisang udang jika sedang berada di Kampung Tugu, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Sia-sia saja mencari sepotong pisang pada kue berbentuk segitiga ini.
"Mau cari pisangnya, lihat bungkusnya, itu dari daun pisang," ujar Eugeniana Quiko, seorang warga Kampung Tugu, kepada detikX di kediamannya pada Rabu, 8 Maret lalu. Pisang udang adalah salah satu kuliner khas Kampung Tugu yang masih bisa bertahan sampai saat ini.
Memang tak ada buah pisang di dalam pisang udang. Berbahan dasar tepung beras dicampur tepung sagu, sepintas kue ini mirip dengan nagasari. Hanya saja, pisang udang rasanya gurih. Rasa gurih ini didapatkan dari parutan pepaya muda dan cacahan udang yang menjadi isinya. "Kalau bisa pepaya mengkal agar tidak terlalu lama dikukus," kata Eugeniana.
Satu biji pepaya dengan ukuran sedang membutuhkan udang sekitar 10 ekor. Udang dikupas dan diulek bersama lada, kemudian ditumis. Pepaya yang telah diparut lalu dimasukkan belakangan bersama bawang goreng. "Bahan ini kemudian diisikan dalam adonan campuran tepung beras dan sagu," ujar ibu dari tiga anak ini.
Cara membungkusnya pun tak boleh sembarangan. Daun pisang yang dipilih, kata Eugeniana, harus berukuran lebar agar bungkusan model segitiga bisa rapi. “Agak rumit bungkusnya. Karena memotong daunnya tidak boleh kebalik," ujarnya. "Kalau salah, sudut-sudut segitiga itu bisa tidak sama. Tepungnya bisa keluar dari sudut-sudut itu karena nggak rapat. Dari cara membungkus pun bisa ketahuan siapa yang membuatnya."
"Merantau di negeri orang, lidah mereka tetap rindu pisang udang."
Eugeniana Quiko, warga Kampung Tugu
Setelah dibungkus rapi, sebelum siap dihidangkan, kue harus dikukus tak lebih dari 15 menit. Tak semua orang di Kampung Tugu bisa membuat kudapan istimewa ini. Tapi semua keturunan Kampung Tugu pasti menyenanginya. "Merantau di negeri orang, lidah mereka tetap rindu pisang udang," kata Eugeniana, yang kini berusia 50 tahun. Saat-saat tertentu, seperti hari Natal, ketika orang Tugu perantauan kembali untuk pulang kampung, Eugeniana pasti kebanjiran pesanan membuat pisang udang.
Eugeniana belajar memasak kudapan khas Kampung Tugu itu sejak berusia 10 tahun. Suasana Kampung Tugu, yang saat itu masih sepi dan dikelilingi kebun, membuat dirinya memilih membantu di dapur. Dia membantu neneknya, Paulina Quiko, yang memang dikenal jago memasak di Kampung Tugu. "Saya awalnya disuruh mengaduk adonan saja," ujarnya. Tak butuh waktu lama bagi Eugeniana menguasai resep warisan neneknya itu. Saat ini dia dikenal sebagai salah satu tukang masak terbaik kuliner khas Tugu.
Johan Sophaheluakan, juru bicara komunitas Tugu, mengatakan ada sekitar 300 keluarga yang tinggal di kampung mereka. Sejumlah bukti menunjukkan leluhur mereka sudah tinggal ratusan tahun di kampung itu. Padrao alias batu prasasti yang kini tersimpan di Museum Nasional Indonesia menjadi bukti kedatangan penjelajah Portugis di Batavia bertahun-tahun sebelum Belanda. Prasasti yang bertanggal 21 Agustus 1522 itu ditemukan di persimpangan Jalan Kali Besar Timur I dan Jalan Cengkeh, kawasan Kota Tua, Jakarta Barat.
Dalam prasasti itu termuat kesepakatan Portugis dengan Kerajaan Pasundan yang berkuasa di wilayah Jakarta dan Jawa Barat kala itu. Raja Pasundan Surawisesa Jayaperkasa memberikan keleluasaan kepada kapal-kapal Portugis untuk bersandar di pelabuhan di mulut Sungai Ciliwung. Menurut catatan Joao de Barros dalam bukunya, Da Asia, Kerajaan Sunda juga memberikan sepetak tanah kepada penguasa Portugis di Malaka untuk membangun benteng tak jauh dari pelabuhan tersebut.
Pengaruh Portugis di Kerajaan Pasundan dan Malaka tak bertahan lama. Perlahan, penguasa kolonial Belanda menggeser dominasi Portugis. Kekuasaan Portugis di Malaka tamat setelah ditaklukkan pasukan Belanda pada 1641. Belanda mengumpulkan budak-budak dan kuli Portugis di India, Sri Lanka, dan Semenanjung Malaya dan mengangkutnya ke Batavia. Kaum mardijker atau mardika, orang-orang yang dibebaskan, inilah leluhur orang-orang Tugu.
Kudapan khas Kampung Tugu bukan hanya pisang udang. Eugeniana menuturkan ada kudapan lain yang paling sering dibuat. Hanya, kudapan ini, menurutnya, hampir mirip dengan kuliner Tionghoa dan Betawi seperti ketan unti. Terbuat dari beras ketan putih yang di atasnya ditaburi parutan kelapa yang sudah tercampur dengan gula merah. Ketika disantap, akan terasa manis berpadu dengan gurihnya santan pada ketan putih tersebut.
Uniknya, ketan unti tak sembarangan dibuat. Untuk menyantapnya, harus menunggu ada orang di Kampung Tugu yang meninggal terlebih dahulu. Hidangan ketan unti disuguhkan kepada pelayat yang menghadiri kebaktian penghiburan pada malam sebelum jenazah dikebumikan. "Biasanya dimakan bersama kopi pahit bagi para pelayat yang ikut begadang menunggu jenazah," kata Eugeniana. Tradisi ini, kata Eugeniana, sudah berlangsung turun-temurun.
Bukan hanya makanan ringan, komunitas Kampung Tugu juga memiliki masakan khas yang terbuat dari ikan bandeng, yang dinamakan pindang serani. Konon, nama itu diberikan karena dimasak oleh kaum Nasrani keturunan Portugis. Salah satu yang khas dari masakan itu adalah penggunaan bumbu yang beragam. Mulai serai, kunyit, asam jawa, jahe, lengkuas, bawang merah tanpa kupas, cabai rawit, dan cabai merah besar, semuanya dibakar, tidak ditumis.
Setelah dibakar, semua bumbu dimasukkan dalam air dan dimasak sampai mendidih. Baru setelah mendidih, ikan bandeng segar berukuran sedang yang telah dipotong-potong dimasukkan. "Setelah matang, tidak langsung disantap, tapi tunggu besok pagi agar bumbu meresap dalam ikan," ujar Eugeniana. Pindang serani dahulu hanya dimasak untuk perayaan tertentu saja. Namun sekarang masakan ini sudah jamak dimasak orang-orang Kampung Tugu.
Ahli bahasa dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Lilie Suratminto, mengatakan kemungkinan besar masakan pindang serani salah satu kuliner Tugu yang dipengaruhi Portugis. Dengan cara memasak yang kaya akan rempah-rempah. "Namun, untuk pisang udang, saya kurang jelas," ujar Lilie, yang pernah melakukan penelitian di Kampung Tugu sepanjang 2004.
Kue pisang udang
Namanya memang pisang udang. Tapi jangan sampai terkecoh mendengar nama kudapan pisang udang jika sedang berada di Kampung Tugu, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Sia-sia saja mencari sepotong pisang pada kue berbentuk segitiga ini.
"Mau cari pisangnya, lihat bungkusnya, itu dari daun pisang," ujar Eugeniana Quiko, seorang warga Kampung Tugu, kepada detikX di kediamannya pada Rabu, 8 Maret lalu. Pisang udang adalah salah satu kuliner khas Kampung Tugu yang masih bisa bertahan sampai saat ini.
Memang tak ada buah pisang di dalam pisang udang. Berbahan dasar tepung beras dicampur tepung sagu, sepintas kue ini mirip dengan nagasari. Hanya saja, pisang udang rasanya gurih. Rasa gurih ini didapatkan dari parutan pepaya muda dan cacahan udang yang menjadi isinya. "Kalau bisa pepaya mengkal agar tidak terlalu lama dikukus," kata Eugeniana.
Satu biji pepaya dengan ukuran sedang membutuhkan udang sekitar 10 ekor. Udang dikupas dan diulek bersama lada, kemudian ditumis. Pepaya yang telah diparut lalu dimasukkan belakangan bersama bawang goreng. "Bahan ini kemudian diisikan dalam adonan campuran tepung beras dan sagu," ujar ibu dari tiga anak ini.
Cara membungkusnya pun tak boleh sembarangan. Daun pisang yang dipilih, kata Eugeniana, harus berukuran lebar agar bungkusan model segitiga bisa rapi. “Agak rumit bungkusnya. Karena memotong daunnya tidak boleh kebalik," ujarnya. "Kalau salah, sudut-sudut segitiga itu bisa tidak sama. Tepungnya bisa keluar dari sudut-sudut itu karena nggak rapat. Dari cara membungkus pun bisa ketahuan siapa yang membuatnya."
"Merantau di negeri orang, lidah mereka tetap rindu pisang udang."
Eugeniana Quiko, warga Kampung Tugu
Setelah dibungkus rapi, sebelum siap dihidangkan, kue harus dikukus tak lebih dari 15 menit. Tak semua orang di Kampung Tugu bisa membuat kudapan istimewa ini. Tapi semua keturunan Kampung Tugu pasti menyenanginya. "Merantau di negeri orang, lidah mereka tetap rindu pisang udang," kata Eugeniana, yang kini berusia 50 tahun. Saat-saat tertentu, seperti hari Natal, ketika orang Tugu perantauan kembali untuk pulang kampung, Eugeniana pasti kebanjiran pesanan membuat pisang udang.
Eugeniana belajar memasak kudapan khas Kampung Tugu itu sejak berusia 10 tahun. Suasana Kampung Tugu, yang saat itu masih sepi dan dikelilingi kebun, membuat dirinya memilih membantu di dapur. Dia membantu neneknya, Paulina Quiko, yang memang dikenal jago memasak di Kampung Tugu. "Saya awalnya disuruh mengaduk adonan saja," ujarnya. Tak butuh waktu lama bagi Eugeniana menguasai resep warisan neneknya itu. Saat ini dia dikenal sebagai salah satu tukang masak terbaik kuliner khas Tugu.
Johan Sophaheluakan, juru bicara komunitas Tugu, mengatakan ada sekitar 300 keluarga yang tinggal di kampung mereka. Sejumlah bukti menunjukkan leluhur mereka sudah tinggal ratusan tahun di kampung itu. Padrao alias batu prasasti yang kini tersimpan di Museum Nasional Indonesia menjadi bukti kedatangan penjelajah Portugis di Batavia bertahun-tahun sebelum Belanda. Prasasti yang bertanggal 21 Agustus 1522 itu ditemukan di persimpangan Jalan Kali Besar Timur I dan Jalan Cengkeh, kawasan Kota Tua, Jakarta Barat.
Dalam prasasti itu termuat kesepakatan Portugis dengan Kerajaan Pasundan yang berkuasa di wilayah Jakarta dan Jawa Barat kala itu. Raja Pasundan Surawisesa Jayaperkasa memberikan keleluasaan kepada kapal-kapal Portugis untuk bersandar di pelabuhan di mulut Sungai Ciliwung. Menurut catatan Joao de Barros dalam bukunya, Da Asia, Kerajaan Sunda juga memberikan sepetak tanah kepada penguasa Portugis di Malaka untuk membangun benteng tak jauh dari pelabuhan tersebut.
Pengaruh Portugis di Kerajaan Pasundan dan Malaka tak bertahan lama. Perlahan, penguasa kolonial Belanda menggeser dominasi Portugis. Kekuasaan Portugis di Malaka tamat setelah ditaklukkan pasukan Belanda pada 1641. Belanda mengumpulkan budak-budak dan kuli Portugis di India, Sri Lanka, dan Semenanjung Malaya dan mengangkutnya ke Batavia. Kaum mardijker atau mardika, orang-orang yang dibebaskan, inilah leluhur orang-orang Tugu.
Kudapan khas Kampung Tugu bukan hanya pisang udang. Eugeniana menuturkan ada kudapan lain yang paling sering dibuat. Hanya, kudapan ini, menurutnya, hampir mirip dengan kuliner Tionghoa dan Betawi seperti ketan unti. Terbuat dari beras ketan putih yang di atasnya ditaburi parutan kelapa yang sudah tercampur dengan gula merah. Ketika disantap, akan terasa manis berpadu dengan gurihnya santan pada ketan putih tersebut.
Uniknya, ketan unti tak sembarangan dibuat. Untuk menyantapnya, harus menunggu ada orang di Kampung Tugu yang meninggal terlebih dahulu. Hidangan ketan unti disuguhkan kepada pelayat yang menghadiri kebaktian penghiburan pada malam sebelum jenazah dikebumikan. "Biasanya dimakan bersama kopi pahit bagi para pelayat yang ikut begadang menunggu jenazah," kata Eugeniana. Tradisi ini, kata Eugeniana, sudah berlangsung turun-temurun.
Bukan hanya makanan ringan, komunitas Kampung Tugu juga memiliki masakan khas yang terbuat dari ikan bandeng, yang dinamakan pindang serani. Konon, nama itu diberikan karena dimasak oleh kaum Nasrani keturunan Portugis. Salah satu yang khas dari masakan itu adalah penggunaan bumbu yang beragam. Mulai serai, kunyit, asam jawa, jahe, lengkuas, bawang merah tanpa kupas, cabai rawit, dan cabai merah besar, semuanya dibakar, tidak ditumis.
Setelah dibakar, semua bumbu dimasukkan dalam air dan dimasak sampai mendidih. Baru setelah mendidih, ikan bandeng segar berukuran sedang yang telah dipotong-potong dimasukkan. "Setelah matang, tidak langsung disantap, tapi tunggu besok pagi agar bumbu meresap dalam ikan," ujar Eugeniana. Pindang serani dahulu hanya dimasak untuk perayaan tertentu saja. Namun sekarang masakan ini sudah jamak dimasak orang-orang Kampung Tugu.
Ahli bahasa dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Lilie Suratminto, mengatakan kemungkinan besar masakan pindang serani salah satu kuliner Tugu yang dipengaruhi Portugis. Dengan cara memasak yang kaya akan rempah-rempah. "Namun, untuk pisang udang, saya kurang jelas," ujar Lilie, yang pernah melakukan penelitian di Kampung Tugu sepanjang 2004.
0 komentar:
Post a Comment