Palestina dan Israel, Berseteru dalam Politik Berkawan dalam Bisnis
Terminal Kerem Shalom di perbatasan Israel dan Gaza yang menjadi pintu keluar masuk berbagai produksi para pengusaha Jalur Gaza.
GAZA CITY - Meski beberapa kali perang melawan Israel pernah beberapa kali mengguncang Jalur Gaza, ternyata hal tersebut tak menghalangi hubungan bisnis kedua wilayah berseteru itu.
Siapa sangka, di kamp pengungsi Shati di Jalur Gaza berdiri pusat produksi kipah atau peci Yahudi milik Mohammed Abu Shanab.
Produksi pabrik milik Abu Shanab ini setiap hari melintasi perbatasan untuk dijual di wilayah Israel.
"Orang-orang Israel menyukai produk kami karena kualitas dan kedekatan kami dengan pasar mereka," kata Abu Shanab.
"Mereka bahkan khawatir pintu perbatasan ditutup sehingga mengakibatkan pengiriman barang terhambat," ujar dia.
Pemerintah Israel memang mengendalikan sepenuhnya pintu perbatasan untuk keluar dan masuk ke Jalur Gaza. Satu pintu perbatasan lainnya menuju ke Mesir.
Satu terminal di pintu perbatasan Kerem Shalom khusus ditujukan untuk lalu lintas barang dari dan ke Jalur Gaza.
Di tempat itulah, kipah produksi pabrik milik Abu Shanab "mampir" sebelum dikirim ke berbagai tempat di Israel.
Dengan sekitar 12 buah mesin jahit, pabrik kecil milik Abu Shanab yang terletak tak jauh dari kediaman Ismail Haniya, mantan pemimpin Hamas, memproduksi berbagai jenis tekstil.
Selain kipah alias peci Yahudi, pabrik ini juga memproduksi kaos dan celana panjang. Sayangnya level produksi pabrik itu tak sesuai dengan harapan Abu Shanab.
Pada 2006, saat Israel menerapkan blokade terhadap Jalur Gaza, Abu Shanab mengenang dia terpaksa menutup usaha tekstilnya itu.
Tiga perang hingga 2008 mengakibatkan 50 perusahaan di Jalur Gaza terpaksa tutup sebagian atau seluruh operasi produksi mereka.
"Pabrik saya baru kembali beroperasi tahun lalu," ujar Abu Shanab.
Saat ini sektor industri tekstil Jalur Gaza kembali menggeliat meski masih jauh lebih kecil jika dibanding pada awal 1990-an.
Saat itu, industri tekstil di Jalur Gaza didukung 900 buah perusahaan yang mempekerjakan 35.000 orang karyawan.
Sejak blokade diterapkan, jumlah warga Gaza yang bekerja di sektor industri tekstil anjlok hingga 4.000 orang di 150 perusahaan.
Abu Shanab, yang juga adalah anggota persatuan industri tekstil Palestina, mengatakan, di masa jaya itu sebanyak 4 juta produk tekstil dikirim ke Israel tiap bulan.
Sejak blokade diterapkan hanya 25 perusahaan yang mampu mengekspor produk mereka ke Israel dan Tepi Barat.
Ke-25 perusahaan itu hanya mengirimkan antara 30.000 hingga 40.000 buah kipah tiap bulan ke Israel.
Menurut Bank Dunia, blokade itu mengakibatkan jumlah ekspor Gaza menurun dan menghancurkan perekonomian kawasan berpenduduk dua juta jiwa itu.
Meski demikian, para pengusaha Gaza tetap berupaya bangkit, salah satunya adalah Hassan Shehadeh yang memiliki 50 orang karyawan. Dia mengatakan, sejak tahun lalu usahanya sudah tumbuh hingga 20 persen.
Pabriknya yang berada di kawasan Sheikh Ridwan, sebelah utara Gaza City, memproduksi celana jins meski minimnya listrik kerap mengganggu proses produksi.
Dalam kondisi serba terbatas itu, Shehadeh mengatakan, mampu mengekspor 5.000-10.000 potong celana jins ke Israel.
"Saya bisa saja memproduksi lebih banyak, tetapi masalah perbatasan membuat para pengusaha Israel khawatir dan itu menghambat pekerjaan kami," ujar Shehadeh.
Tujuan utama para pengusaha Gaza memang Israel, sebab untuk menjual produksi mereka di dalam negeri sangat sulit karena tingkat pengangguran yang mencapai 45 persen dari seluruh penduduk.
Selain itu, dua pertiga warga Gaza sangat menggantungkan hidup mereka kepada bantuan kemanusiaan internasional.
"Pasar lokal sangat lemah, sedangkan perdagangan dengan Israel sangat bagus. Kami memiliki kemampuan dan bisa mengekspor lebih banyak," tambah Shehadeh.
Sementara itu, Abdel Nasser Awad, seorang pejabat di kementerian ekonomi Gaza, menjual produk ke Israel tak terkait dengan masalah politik.
"Satu-satunya yang kami inginkan adalah meningkatkan perekonomian kami untuk memerangi pengangguran," ujar Awad.
Sedangkan Shehadeh menjelaskan masalah ini dengan lebih lugas.
"Politik dan bisnis bukan hal yang sama. Anda bisa bermusuhan dalam politik tetapi tidak dalam bisnis," dia menegaskan.
Terminal Kerem Shalom di perbatasan Israel dan Gaza yang menjadi pintu keluar masuk berbagai produksi para pengusaha Jalur Gaza.
GAZA CITY - Meski beberapa kali perang melawan Israel pernah beberapa kali mengguncang Jalur Gaza, ternyata hal tersebut tak menghalangi hubungan bisnis kedua wilayah berseteru itu.
Siapa sangka, di kamp pengungsi Shati di Jalur Gaza berdiri pusat produksi kipah atau peci Yahudi milik Mohammed Abu Shanab.
Produksi pabrik milik Abu Shanab ini setiap hari melintasi perbatasan untuk dijual di wilayah Israel.
"Orang-orang Israel menyukai produk kami karena kualitas dan kedekatan kami dengan pasar mereka," kata Abu Shanab.
"Mereka bahkan khawatir pintu perbatasan ditutup sehingga mengakibatkan pengiriman barang terhambat," ujar dia.
Pemerintah Israel memang mengendalikan sepenuhnya pintu perbatasan untuk keluar dan masuk ke Jalur Gaza. Satu pintu perbatasan lainnya menuju ke Mesir.
Satu terminal di pintu perbatasan Kerem Shalom khusus ditujukan untuk lalu lintas barang dari dan ke Jalur Gaza.
Di tempat itulah, kipah produksi pabrik milik Abu Shanab "mampir" sebelum dikirim ke berbagai tempat di Israel.
Dengan sekitar 12 buah mesin jahit, pabrik kecil milik Abu Shanab yang terletak tak jauh dari kediaman Ismail Haniya, mantan pemimpin Hamas, memproduksi berbagai jenis tekstil.
Selain kipah alias peci Yahudi, pabrik ini juga memproduksi kaos dan celana panjang. Sayangnya level produksi pabrik itu tak sesuai dengan harapan Abu Shanab.
Pada 2006, saat Israel menerapkan blokade terhadap Jalur Gaza, Abu Shanab mengenang dia terpaksa menutup usaha tekstilnya itu.
Tiga perang hingga 2008 mengakibatkan 50 perusahaan di Jalur Gaza terpaksa tutup sebagian atau seluruh operasi produksi mereka.
"Pabrik saya baru kembali beroperasi tahun lalu," ujar Abu Shanab.
Saat ini sektor industri tekstil Jalur Gaza kembali menggeliat meski masih jauh lebih kecil jika dibanding pada awal 1990-an.
Saat itu, industri tekstil di Jalur Gaza didukung 900 buah perusahaan yang mempekerjakan 35.000 orang karyawan.
Sejak blokade diterapkan, jumlah warga Gaza yang bekerja di sektor industri tekstil anjlok hingga 4.000 orang di 150 perusahaan.
Abu Shanab, yang juga adalah anggota persatuan industri tekstil Palestina, mengatakan, di masa jaya itu sebanyak 4 juta produk tekstil dikirim ke Israel tiap bulan.
Sejak blokade diterapkan hanya 25 perusahaan yang mampu mengekspor produk mereka ke Israel dan Tepi Barat.
Ke-25 perusahaan itu hanya mengirimkan antara 30.000 hingga 40.000 buah kipah tiap bulan ke Israel.
Menurut Bank Dunia, blokade itu mengakibatkan jumlah ekspor Gaza menurun dan menghancurkan perekonomian kawasan berpenduduk dua juta jiwa itu.
Meski demikian, para pengusaha Gaza tetap berupaya bangkit, salah satunya adalah Hassan Shehadeh yang memiliki 50 orang karyawan. Dia mengatakan, sejak tahun lalu usahanya sudah tumbuh hingga 20 persen.
Pabriknya yang berada di kawasan Sheikh Ridwan, sebelah utara Gaza City, memproduksi celana jins meski minimnya listrik kerap mengganggu proses produksi.
Dalam kondisi serba terbatas itu, Shehadeh mengatakan, mampu mengekspor 5.000-10.000 potong celana jins ke Israel.
"Saya bisa saja memproduksi lebih banyak, tetapi masalah perbatasan membuat para pengusaha Israel khawatir dan itu menghambat pekerjaan kami," ujar Shehadeh.
Tujuan utama para pengusaha Gaza memang Israel, sebab untuk menjual produksi mereka di dalam negeri sangat sulit karena tingkat pengangguran yang mencapai 45 persen dari seluruh penduduk.
Selain itu, dua pertiga warga Gaza sangat menggantungkan hidup mereka kepada bantuan kemanusiaan internasional.
"Pasar lokal sangat lemah, sedangkan perdagangan dengan Israel sangat bagus. Kami memiliki kemampuan dan bisa mengekspor lebih banyak," tambah Shehadeh.
Sementara itu, Abdel Nasser Awad, seorang pejabat di kementerian ekonomi Gaza, menjual produk ke Israel tak terkait dengan masalah politik.
"Satu-satunya yang kami inginkan adalah meningkatkan perekonomian kami untuk memerangi pengangguran," ujar Awad.
Sedangkan Shehadeh menjelaskan masalah ini dengan lebih lugas.
"Politik dan bisnis bukan hal yang sama. Anda bisa bermusuhan dalam politik tetapi tidak dalam bisnis," dia menegaskan.
0 komentar:
Post a Comment