Ada Cinta di Tapal Batas Timor Leste-Indonesia
Atambua - Primeiro Sargento Rui Caeiro (41) tiba-tiba saja keluar dari pos jaganya. Dia berjalan tegap ke arah saya dengan seragam loreng abu-putih dan baret biru yang ada di kepalanya. Meski perawakannya kurus dan pendek, namun kedua lengan tangan hitamnya masih terlihat berotot, kekar.
"Bon dia" sapanya dengan senyum kecil.
Entah senyumnya itu tanda keramahan atau akibat panasnya matahari di tapal batas Republik Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste, di Mataain, Atambua. Pagi itu saya menginjakan kaki di tapal batas itu sekitar pukul 09.00 WIT.
Meski terhitung pagi, cuaca mencapai 35 derajat celcius. Angin laut yang ada di sebelah perbatasan cukup meredam panas saat itu.
Sapaan yang dilafalkan Rui merupakan bahasa Tetun (bila diucap menjadi Tetum). Bahasa ini merupakan bahasa kedua mayoritas masyarakat Timor Leste setelah bahasa Porto (Portugal). Awalnya saya tidak mengerti apa yang diucapkan Rui.
"Artinya selamat pagi," kata Rui sembari menjulurkan tangan pertanda perkenalan.
Personel kepolisian dari Timor Leste ini menanyakan maksud saya berada di titik kedaulatan Timor Leste. Maklum saja, saya berada di sana tanpa dokumen keimigrasian. Rui akhirnya memberikan toleransi setelah saya menjelaskan maksud saya ada di zona yang menjadi tanggungjawab penjagaannya.
Dia mempersilakan saya berada di zona steril itu meski untuk sekedar mengabadikan pos-pos penjagaan perbatasan tanah Rai Timr Lorosa’e (sebutan lain Timor Leste). Pos tersebut merupakan satu dari beberapa pintu masuk menuju negara yang sudah terpisah 12 tahun dari Indonesia.
10 Tahun sudah pria asli Timor Leste ini menjadi petugas kepolisian. Sejak Timor Leste masih berada di kedaulatan Indonesia dia adalah seorang pegawai negeri di Departemen Transmigrasi.
Referendum dari buntuk konflik berkepanjangan, membuat dia harus memilih. Hidup menjadi Indonesia atau bergabung di negara baru di bawah kepemimpinan Xanana Gusmao, presiden pertama negara tersebut pasca merebut kemerdekaan negaranya.
"Sejak awal prinsip saya ingin menjadi polisi perbatasan di sini," ujar pria berpangkat setara Sersan Satu (Sertu) ini dengan bahasa Indonesia yang masih fasih.
Meski pernah berkonflik, tidak pernah ada konflik dengan petugas penjaga perbatasan di teritori Indonesia. Justru, kata dia, kebersamaan erat yang terjalin selama bertugas.
"Selama ini kerjasama berjalan baik, kalau ada permasalahan kita urus bersama," katanya.
Keakraban terjalin dalam kerjasama maupun koordinasi antar masing-masing petugas penjaga perbatasan Timor Leste-Indonesia. Itu dalam bentuk formal, hanya sekedar berbincang di zona steril pun kerap mereka lakukan sekadar untuk melalui rutinitas penjagaan yang dimulai sejak pukul 08.00 Wit hingga tutup gerbang pada pukul 16.00 WIT
"Adat istiadat yang tidak memisahkan kami, tidak bisa kita tolak itu," katanya.
Meski sudah tercatat sebagai warga negara Timor Leste, bukan berarti dia lupa dengan Indonesia. Bila ada kesempatan cuti kerja atau merayakan Natal, sesekali dia mengunjungi kakak kandungnya di Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Komandan Satuan Tugas Pengamanan Batas (Satgas Pamtas) RI-RDTL dari Batalyon 743 Kupang, Mayor (Inf) Budi Prasetyo mengatakan, memang ada kekhususan bagi warga Indonesia atau Timor Leste yang tidak memilki paspor dan visa untuk dapat melintas batas dua negara.
Kekhususan ini berlaku untuk mereka yang hendak menghadiri acara adat, seperti adanya kematian, pentasbihan, atau acara adat atau keagamaan.
"Syaratnya, radius mereka tidak lebih dari 10 kilometer dari batas negara dan hanya tiga hari saja, kita memberikan toleransi itu," kata Budi saat menyambut tim dari Kementerian Pertahanan.
Kelonggaran yang diberikan kepada warga ini cukup dilakukan dengan memberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) kepada otoritas setempat. Selanjutnya mereka tercatat sebagai pengunjung 'khusus' di wilayah yang dimasuki. Bila lebih dari waktu yang ditentukan, tentu ada sanksi peringatan yang akan diterapkan kepada mereka.
Pantauan di tapal batas ini, kesibukan di pagi hari mulai tampak. Beberapa kendaraan umum hilir-mudik mengangkut penumpang baik dari atau ke Timor Leste.
Adalah Rosalinda Hoarklau (34) salah satu warga Dili yang tengah 'mudik' ke Atambua. Hari itu tiga anaknya yang masih di sekolah dasar, Zoni (13), Denilson dan Danilson (9) tengah libur tiga bulan.
"Satu tahun sekali kami rutin ke Atambua. Orang tua kandung saya ada di sana," kata Rosa saat menunggu administrasi keimigrasian Timor Leste. Liburan kali ini adalah untuk persiapan Natal yang akan jatuh sebulan lagi.
Abere (35), sopir travel Timor Tour and Travel mengatakan, memang lonjakan penumpang kerap terjadi menjelang hari-hari besar keagamaan. "Bukan hanya Natal, lebaran juga banyak penumpang yang mudik dari Timor Leste ke NTT," katanya saat kendaraan yang ditumpanginya baru tiba di batas negara.
Pihaknya memberikan harga bervariasi untuk mereka yang menggunakan jasa angkutan travel. Tergantung jauh dekatnya tujuan. Misalnya saja jarak dari Dili ke Atambua dia mematok US$ 13, Dili ke Kefa US$ 16, Dili ke Soe US$ 18, Dili ke Kupang US$ 21.
"Saya hanya mengantar sampai di sini (perbatasan). Nanti dioper ke travel kerjasama untuk tujuan yang di NTT," ujarnya.
Jelang pukul 16.00 Wit, panas di perbatasan tidak berubah. Namun, aktivitas kesibukan mulai lengang. Satu persatu perkantoran; Bea Cukai, Imigrasi, bank, mulai berbenah. Dan saya pun kembali memasuki wilayah Indonesia untuk melanjutkan perjalanan menuju Atambua.
"Abrigado," ucap saya kepada Riu sebagai tanda perpisahan. Kalimat tersebut berarti terima kasih. Saya mendapatkan bahasa tersebut dari seorang teman.
"Botarde," jawabnya, yang berarti selamat sore.
Atambua - Primeiro Sargento Rui Caeiro (41) tiba-tiba saja keluar dari pos jaganya. Dia berjalan tegap ke arah saya dengan seragam loreng abu-putih dan baret biru yang ada di kepalanya. Meski perawakannya kurus dan pendek, namun kedua lengan tangan hitamnya masih terlihat berotot, kekar.
"Bon dia" sapanya dengan senyum kecil.
Entah senyumnya itu tanda keramahan atau akibat panasnya matahari di tapal batas Republik Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste, di Mataain, Atambua. Pagi itu saya menginjakan kaki di tapal batas itu sekitar pukul 09.00 WIT.
Meski terhitung pagi, cuaca mencapai 35 derajat celcius. Angin laut yang ada di sebelah perbatasan cukup meredam panas saat itu.
Sapaan yang dilafalkan Rui merupakan bahasa Tetun (bila diucap menjadi Tetum). Bahasa ini merupakan bahasa kedua mayoritas masyarakat Timor Leste setelah bahasa Porto (Portugal). Awalnya saya tidak mengerti apa yang diucapkan Rui.
"Artinya selamat pagi," kata Rui sembari menjulurkan tangan pertanda perkenalan.
Personel kepolisian dari Timor Leste ini menanyakan maksud saya berada di titik kedaulatan Timor Leste. Maklum saja, saya berada di sana tanpa dokumen keimigrasian. Rui akhirnya memberikan toleransi setelah saya menjelaskan maksud saya ada di zona yang menjadi tanggungjawab penjagaannya.
Dia mempersilakan saya berada di zona steril itu meski untuk sekedar mengabadikan pos-pos penjagaan perbatasan tanah Rai Timr Lorosa’e (sebutan lain Timor Leste). Pos tersebut merupakan satu dari beberapa pintu masuk menuju negara yang sudah terpisah 12 tahun dari Indonesia.
10 Tahun sudah pria asli Timor Leste ini menjadi petugas kepolisian. Sejak Timor Leste masih berada di kedaulatan Indonesia dia adalah seorang pegawai negeri di Departemen Transmigrasi.
Referendum dari buntuk konflik berkepanjangan, membuat dia harus memilih. Hidup menjadi Indonesia atau bergabung di negara baru di bawah kepemimpinan Xanana Gusmao, presiden pertama negara tersebut pasca merebut kemerdekaan negaranya.
"Sejak awal prinsip saya ingin menjadi polisi perbatasan di sini," ujar pria berpangkat setara Sersan Satu (Sertu) ini dengan bahasa Indonesia yang masih fasih.
Meski pernah berkonflik, tidak pernah ada konflik dengan petugas penjaga perbatasan di teritori Indonesia. Justru, kata dia, kebersamaan erat yang terjalin selama bertugas.
"Selama ini kerjasama berjalan baik, kalau ada permasalahan kita urus bersama," katanya.
Keakraban terjalin dalam kerjasama maupun koordinasi antar masing-masing petugas penjaga perbatasan Timor Leste-Indonesia. Itu dalam bentuk formal, hanya sekedar berbincang di zona steril pun kerap mereka lakukan sekadar untuk melalui rutinitas penjagaan yang dimulai sejak pukul 08.00 Wit hingga tutup gerbang pada pukul 16.00 WIT
"Adat istiadat yang tidak memisahkan kami, tidak bisa kita tolak itu," katanya.
Meski sudah tercatat sebagai warga negara Timor Leste, bukan berarti dia lupa dengan Indonesia. Bila ada kesempatan cuti kerja atau merayakan Natal, sesekali dia mengunjungi kakak kandungnya di Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Komandan Satuan Tugas Pengamanan Batas (Satgas Pamtas) RI-RDTL dari Batalyon 743 Kupang, Mayor (Inf) Budi Prasetyo mengatakan, memang ada kekhususan bagi warga Indonesia atau Timor Leste yang tidak memilki paspor dan visa untuk dapat melintas batas dua negara.
Kekhususan ini berlaku untuk mereka yang hendak menghadiri acara adat, seperti adanya kematian, pentasbihan, atau acara adat atau keagamaan.
"Syaratnya, radius mereka tidak lebih dari 10 kilometer dari batas negara dan hanya tiga hari saja, kita memberikan toleransi itu," kata Budi saat menyambut tim dari Kementerian Pertahanan.
Kelonggaran yang diberikan kepada warga ini cukup dilakukan dengan memberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) kepada otoritas setempat. Selanjutnya mereka tercatat sebagai pengunjung 'khusus' di wilayah yang dimasuki. Bila lebih dari waktu yang ditentukan, tentu ada sanksi peringatan yang akan diterapkan kepada mereka.
Pantauan di tapal batas ini, kesibukan di pagi hari mulai tampak. Beberapa kendaraan umum hilir-mudik mengangkut penumpang baik dari atau ke Timor Leste.
Adalah Rosalinda Hoarklau (34) salah satu warga Dili yang tengah 'mudik' ke Atambua. Hari itu tiga anaknya yang masih di sekolah dasar, Zoni (13), Denilson dan Danilson (9) tengah libur tiga bulan.
"Satu tahun sekali kami rutin ke Atambua. Orang tua kandung saya ada di sana," kata Rosa saat menunggu administrasi keimigrasian Timor Leste. Liburan kali ini adalah untuk persiapan Natal yang akan jatuh sebulan lagi.
Abere (35), sopir travel Timor Tour and Travel mengatakan, memang lonjakan penumpang kerap terjadi menjelang hari-hari besar keagamaan. "Bukan hanya Natal, lebaran juga banyak penumpang yang mudik dari Timor Leste ke NTT," katanya saat kendaraan yang ditumpanginya baru tiba di batas negara.
Pihaknya memberikan harga bervariasi untuk mereka yang menggunakan jasa angkutan travel. Tergantung jauh dekatnya tujuan. Misalnya saja jarak dari Dili ke Atambua dia mematok US$ 13, Dili ke Kefa US$ 16, Dili ke Soe US$ 18, Dili ke Kupang US$ 21.
"Saya hanya mengantar sampai di sini (perbatasan). Nanti dioper ke travel kerjasama untuk tujuan yang di NTT," ujarnya.
Jelang pukul 16.00 Wit, panas di perbatasan tidak berubah. Namun, aktivitas kesibukan mulai lengang. Satu persatu perkantoran; Bea Cukai, Imigrasi, bank, mulai berbenah. Dan saya pun kembali memasuki wilayah Indonesia untuk melanjutkan perjalanan menuju Atambua.
"Abrigado," ucap saya kepada Riu sebagai tanda perpisahan. Kalimat tersebut berarti terima kasih. Saya mendapatkan bahasa tersebut dari seorang teman.
"Botarde," jawabnya, yang berarti selamat sore.
0 komentar:
Post a Comment