Soal Qatar dan Sepak Bola yang Abai
Kita tidak akan berandai-andai lagi. Faktanya sudah ada di depan mata. Semuanya sudah tersebar luas dan pilihan ada pada kita. Kita bisa diam saja, pura-pura tidak tahu, atau menganggap itu semua cuma soal konsekuensi yang memang harus ada. Atau, kita bisa segera bereaksi dan bertindak sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita masing-masing. Sampai saat ini, kapasitas dan kemampuan saya hanya sebatas menulis dan meracau di ruang publik seperti ini, tetapi saya pikir, untuk sebuah tindakan yang (menurut saya) benar, apapun tindakannya, pasti akan berguna.
Tiga tahun lalu, FIFA, lewat proses pemilihan yang kontroversial sudah menetapkan dua tuan rumah untuk dua putaran final Piala Dunia tahun 2018 dan 2022. Rusia didaulat untuk menjadi tuan rumah pada tahun 2018, sementara, Qatar terpilih untuk menjadi tuan rumah di perhelatan berikutnya.
FIFA dan kontroversi memang berkawan baik. Organisasi yang didirikan oleh Jules Rimet ini memang telah beralih fungsi menjadi mesin penghasil uang, seiring dengan perubahan besar-besaran yang melanda dunia sepak bola. Sepak bola, olahraga yang (seharusnya?) identik dengan kelas pekerja ini telah beralih rupa menjadi sebuah olahraga yang glamor dan menjadi sebuah industri tersendiri.
Terpilihnya Rusia dan Qatar sulit untuk (di)lepas(kan) dari tudingan miring. Bahwa FIFA tak peduli soal isu-isu sensitif di luar sepak bola dan hanya mengejar keuntungan finansial mahabesar dari dua perhelatan ini memang sudah menjadi isu miring yang menggelayut di tubuh FIFA sejak palu keputusan diketuk. Namun, FIFA, layaknya organisasi-organisasi yang dihuni politisi ulung lainnya, senantiasa mengelak dari tudingan-tudingan miring tersebut.
Sialnya, tudingan-tudingan yang dialamatkan khususnya kepada sang presiden, Sepp Blatter, tersebut pelan-pelan mulai menampakkan bukti nyatanya.
Sebagai awalan saja, soal Rusia, sudah mulai ada wacana untuk memboikot Olimpiade Musim Dingin Sochi 2014 tahun depan. Isu yang diangkat adalah soal HAM dan homophobia. Selain itu, kasus korupsi besar-besaran yang terjadi di proyek kompleks olahraga Sochi juga menjadi salah satu faktor tersendiri untuk mengatakan ‘tidak’ untuk Rusia.
Piala Dunia, sudah barang tentu merupakan perhelatan yang lebih besar dibanding Olimpiade Musim Dingin, terutama jika ditilik dari sisi atensi yang diterima. Jika Olimpiade Musim Dingin saja sudah mengundang protes, bagaimana nanti Piala Dunia?
Berita baiknya adalah, secara infrastruktur, terutama soal stadion, Rusia sudah cukup siap. Mereka sudah memiliki cukup banyak stadion yang layak untuk menggelar laga Piala Dunia. Paling-paling, sedikit poles di sana sini, lalu masalah pun selesai. Kesiapan Rusia mungkin bisa sedikit menyelamatkan muka FIFA.
Lalu bagaimana dengan Qatar?
Qatar adalah anak bawang di skena sepak bola internasional. Kualitas timnas mereka pas-pasan, bahkan untuk kawasan Asia sekalipun. Liga sepak bola mereka pun, jika tak mampu menjanjikan uang dalam jumlah (sangat) besar, tidak akan mampu menarik nama-nama besar. Guardiola, Ailton, dan Raul Gonzalez tidak akan pergi ke sana jika bayarannya tidak benar-benar bagus. Toh, masih ada MLS (Major League Soccer), kalau hanya ingin sekadar menambah tabungan di penghujung karir.
Tetapi, belakangan ini, nama Qatar menjadi sering muncul dalam jagad persepakbolaan, meskipun bukan soal prestasi di lapangan. Qatar, dengan kemampuan finansial luar biasa berkat hasil gas alam nan melimpah, tiba-tiba menjadi aktor ‘penting’ di sepak bola. Mensponsori Barcelona, membeli PSG (dan Malaga) lewat Qatar Sports Investments, serta mencalonkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia adalah tiga contoh langkah besar Qatar untuk menjadi pemain kelas kakap di dunia sepak bola.
Seperti yang diungkapkan David Conn di The Guardian, sampai saat ini, belum jelas apa yang menjadi motif Qatar untuk terjun ke sepak bola. Ada yang mengatakan, mereka mencoba menggunakan sepak bola untuk kepentingan yang lebih besar, yakni, khususnya, untuk menjadi pemimpin di kawasan Timur Tengah, menggantikan Arab Saudi. Qatar ingin menunjukkan bahwa mereka adalah negara ‘beradab’, modern, dan mewah.
Namun, ada indikasi di sini bahwa Qatar ‘berusaha terlalu keras’ untuk meraih status sebagai pemain kakap tersebut. Qatar memang kaya raya. Pendapatan domestik bruto mereka pada tahun 2012 tercatat mencapai angka $18 miliar dengan pendapatan per kapita sebesar $103.900. Sumber daya sebanyak ini tidak diimbangi dengan jumlah sumber daya manusia yang memadai dan oleh karena itu, banyak sekali pekerja migran yang didatangkan pemerintah Qatar, khususnya untuk merombak habis-habisan negara mereka agar siap menjadi tuan rumah pada 2022.
Para pekerja tersebut kebanyakan berasal dari Asia Selatan, khususnya Nepal. Di Nepal, mereka sudah kehabisan lapangan pekerjaan dan mendengar ada peluang di Qatar untuk menjadi bagian dari megaproyek Piala Dunia 2022 tentunya terdengar sangat menarik bagi mereka.
Ironisnya, di Qatar pun nasib mereka tak juga membaik. Mereka diperlakukan buruk di sana. Laporan dari Amnesti Internasional menyebutkan bahwa mereka ‘diperlakukan bak hewan ternak’. Mereka dieksploitasi habis-habisan bagai sapi perah. Para pekerja tersebut bekerja 12 jam sehari, 7 hari seminggu. Mereka juga dipaksa untuk terus bekerja di siang hari pada musim panas ketika temperatur bisa mencapai 45° Celcius tanpa akses air minum. Padahal, di undang-undang ketenagakerjaan Qatar sudah tertulis bahwa para pekerja tersebut hanya boleh bekerja selama 10 jam sehari dan di musim panas, tidak ada yang boleh bekerja di rentang waktu antara pukul 11.30 s/d 15.00.
Jumlah korban meninggal di Qatar sudah mencapai puluhan orang (70 orang, menurut laporan The Guardian tanggal 1 Oktober 2013) dan tekanan dari dunia internasional semakin kencang mendera pemerintah Qatar. Pemerintah Qatar dianggap lalai dalam mengontrol perusahaan-perusahaan swasta yang terlibat dalam proyek Piala Dunia ini.
Proyek ini sendiri rencananya menghabiskan dana sampai $100 miliar. Uang sebanyak itu akan digunakan untuk membangun sembilan stadion, satu bandar udara, satu jalan raya yang terhubung ke Bahrain, satu jaringan rel kereta, satu jaringan kereta bawah tanah, dan 29 hotel baru. Proyek ini memang sangat ambisius dan semua itu harus selesai dalam kurun waktu kurang dari 12 tahun. Memang tidak mengherankan apabila Qatar menggenjot habis-habisan proses pembangunan, tetapi, jika itu harus memakan korban, masihkah apa yang dilakukan Qatar dapat dimaklumi?
Hal ini kemudian diperparah dengan keberadaan sistem Kafala, sebuah sistem yang membuat para pekerja migran tidak bisa menentukan nasib mereka sendiri di Qatar. Hukum ini tidak hanya terdapat di Qatar mengingat hukum ini adalah bagian dari hukum ekonomi syariah. Hukum Kafala ini mengharuskan para pekerja migran untuk menyerahkan semua identitas mereka kepada sponsor atau penjamin mereka. Biasanya, yang menjadi sponsor adalah pihak yang mempekerjakan mereka.
Sistem Kafala ini tentunya berniat baik, yakni untuk melindungi kedua belah pihak. Namun, sayangnya, sistem ini rawan penyelewengan. Salah satu contoh lain selain apa yang menimpa para pekerja proyek Piala Dunia adalah kasus yang menimpa Zahir Belounis, seorang pesepak bola pro berusia 33 tahun asal Prancis yang tidak bisa keluar dari Qatar karena tidak mendapat izin dari klub yang (pernah) mempekerjakannya.
Belounis terlibat konflik dengan Al-Jaish, klub divisi utama Qatar yang menurutnya belum membayar gajinya sejak 2010. Ia kemudian memutuskan untuk menuntut klubnya secara hukum pada Juni 2012. Belounis kalah di pengadilan dan sebagai imbasnya, ia tidak diberikan izin oleh klubnya untuk pulang ke Prancis. Praktis, selama kurang lebih tiga tahun, ia nyaris tidak memiliki penghasilan, padahal ia memiliki keluarga yang harus dihidupi.
Belounis yang frustrasi kemudian mengirimkan surat terbuka kepada Zinedine Zidane dan Josep Guardiola untuk meminta bantuan mereka menyelesaikan masalah ini. Ia tentunya tidak sembarangan mengalamatkan surat. Zidane dikabarkan menerima uang sebesar 2 juta euro untuk menjadi duta promosi Piala Dunia 2022, sementara itu Guardiola, disebut-sebut sebagai aktor utama yang menjembatani antara Qatar dan Barcelona (dan dunia sepak bola). Sampai saat ini, kabar kelanjutan dari kasus Belounis masih simpang siur, meskipun pemerintah Prancis sudah menyatakan akan membantunya.
Kritik yang diterima FIFA perkara terpilihnya Qatar pada awalnya sama sekali belum menyentuh soal buruknya perlakuan para pekerja migran. Awalnya, kritikan hanya berkisar pada waktu penyelenggaraan Piala Dunia. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, suhu musim panas di Qatar bisa mencapai 45° celcius dan mustahil untuk menggelar pertandingan sepak bola dengan temperatur seperti itu. Ide untuk memindah laga Piala Dunia ke musim dingin pun langsung dimentahkan karena akan mengganggu perjalanan kompetisi di sebagian besar negara peserta.
Tetapi, sekarang, satu borok yang lebih besar sudah terkuak dari Qatar. Sepak bola memang kadangkala abai. Banyak aktor yang terlibat di sepak bola seringkali menihilkan hal yang lebih penting demi terpuaskannya dahaga sepak bola mereka. Bukan salah sepak bola tentunya, toh ia hanya permainan. Sepak bola tidak lebih penting dari nyawa manusia dan semoga, kasus di Qatar ini akan mampu membuka mata kita yang merasa mencintai sepak bola.
Sepak bola memang mahal, tetapi tidak semahal nyawa manusia,
Kita tidak akan berandai-andai lagi. Faktanya sudah ada di depan mata. Semuanya sudah tersebar luas dan pilihan ada pada kita. Kita bisa diam saja, pura-pura tidak tahu, atau menganggap itu semua cuma soal konsekuensi yang memang harus ada. Atau, kita bisa segera bereaksi dan bertindak sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita masing-masing. Sampai saat ini, kapasitas dan kemampuan saya hanya sebatas menulis dan meracau di ruang publik seperti ini, tetapi saya pikir, untuk sebuah tindakan yang (menurut saya) benar, apapun tindakannya, pasti akan berguna.
Tiga tahun lalu, FIFA, lewat proses pemilihan yang kontroversial sudah menetapkan dua tuan rumah untuk dua putaran final Piala Dunia tahun 2018 dan 2022. Rusia didaulat untuk menjadi tuan rumah pada tahun 2018, sementara, Qatar terpilih untuk menjadi tuan rumah di perhelatan berikutnya.
FIFA dan kontroversi memang berkawan baik. Organisasi yang didirikan oleh Jules Rimet ini memang telah beralih fungsi menjadi mesin penghasil uang, seiring dengan perubahan besar-besaran yang melanda dunia sepak bola. Sepak bola, olahraga yang (seharusnya?) identik dengan kelas pekerja ini telah beralih rupa menjadi sebuah olahraga yang glamor dan menjadi sebuah industri tersendiri.
Terpilihnya Rusia dan Qatar sulit untuk (di)lepas(kan) dari tudingan miring. Bahwa FIFA tak peduli soal isu-isu sensitif di luar sepak bola dan hanya mengejar keuntungan finansial mahabesar dari dua perhelatan ini memang sudah menjadi isu miring yang menggelayut di tubuh FIFA sejak palu keputusan diketuk. Namun, FIFA, layaknya organisasi-organisasi yang dihuni politisi ulung lainnya, senantiasa mengelak dari tudingan-tudingan miring tersebut.
Sialnya, tudingan-tudingan yang dialamatkan khususnya kepada sang presiden, Sepp Blatter, tersebut pelan-pelan mulai menampakkan bukti nyatanya.
Sebagai awalan saja, soal Rusia, sudah mulai ada wacana untuk memboikot Olimpiade Musim Dingin Sochi 2014 tahun depan. Isu yang diangkat adalah soal HAM dan homophobia. Selain itu, kasus korupsi besar-besaran yang terjadi di proyek kompleks olahraga Sochi juga menjadi salah satu faktor tersendiri untuk mengatakan ‘tidak’ untuk Rusia.
Piala Dunia, sudah barang tentu merupakan perhelatan yang lebih besar dibanding Olimpiade Musim Dingin, terutama jika ditilik dari sisi atensi yang diterima. Jika Olimpiade Musim Dingin saja sudah mengundang protes, bagaimana nanti Piala Dunia?
Berita baiknya adalah, secara infrastruktur, terutama soal stadion, Rusia sudah cukup siap. Mereka sudah memiliki cukup banyak stadion yang layak untuk menggelar laga Piala Dunia. Paling-paling, sedikit poles di sana sini, lalu masalah pun selesai. Kesiapan Rusia mungkin bisa sedikit menyelamatkan muka FIFA.
Lalu bagaimana dengan Qatar?
Qatar adalah anak bawang di skena sepak bola internasional. Kualitas timnas mereka pas-pasan, bahkan untuk kawasan Asia sekalipun. Liga sepak bola mereka pun, jika tak mampu menjanjikan uang dalam jumlah (sangat) besar, tidak akan mampu menarik nama-nama besar. Guardiola, Ailton, dan Raul Gonzalez tidak akan pergi ke sana jika bayarannya tidak benar-benar bagus. Toh, masih ada MLS (Major League Soccer), kalau hanya ingin sekadar menambah tabungan di penghujung karir.
Tetapi, belakangan ini, nama Qatar menjadi sering muncul dalam jagad persepakbolaan, meskipun bukan soal prestasi di lapangan. Qatar, dengan kemampuan finansial luar biasa berkat hasil gas alam nan melimpah, tiba-tiba menjadi aktor ‘penting’ di sepak bola. Mensponsori Barcelona, membeli PSG (dan Malaga) lewat Qatar Sports Investments, serta mencalonkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia adalah tiga contoh langkah besar Qatar untuk menjadi pemain kelas kakap di dunia sepak bola.
Seperti yang diungkapkan David Conn di The Guardian, sampai saat ini, belum jelas apa yang menjadi motif Qatar untuk terjun ke sepak bola. Ada yang mengatakan, mereka mencoba menggunakan sepak bola untuk kepentingan yang lebih besar, yakni, khususnya, untuk menjadi pemimpin di kawasan Timur Tengah, menggantikan Arab Saudi. Qatar ingin menunjukkan bahwa mereka adalah negara ‘beradab’, modern, dan mewah.
Namun, ada indikasi di sini bahwa Qatar ‘berusaha terlalu keras’ untuk meraih status sebagai pemain kakap tersebut. Qatar memang kaya raya. Pendapatan domestik bruto mereka pada tahun 2012 tercatat mencapai angka $18 miliar dengan pendapatan per kapita sebesar $103.900. Sumber daya sebanyak ini tidak diimbangi dengan jumlah sumber daya manusia yang memadai dan oleh karena itu, banyak sekali pekerja migran yang didatangkan pemerintah Qatar, khususnya untuk merombak habis-habisan negara mereka agar siap menjadi tuan rumah pada 2022.
Para pekerja tersebut kebanyakan berasal dari Asia Selatan, khususnya Nepal. Di Nepal, mereka sudah kehabisan lapangan pekerjaan dan mendengar ada peluang di Qatar untuk menjadi bagian dari megaproyek Piala Dunia 2022 tentunya terdengar sangat menarik bagi mereka.
Ironisnya, di Qatar pun nasib mereka tak juga membaik. Mereka diperlakukan buruk di sana. Laporan dari Amnesti Internasional menyebutkan bahwa mereka ‘diperlakukan bak hewan ternak’. Mereka dieksploitasi habis-habisan bagai sapi perah. Para pekerja tersebut bekerja 12 jam sehari, 7 hari seminggu. Mereka juga dipaksa untuk terus bekerja di siang hari pada musim panas ketika temperatur bisa mencapai 45° Celcius tanpa akses air minum. Padahal, di undang-undang ketenagakerjaan Qatar sudah tertulis bahwa para pekerja tersebut hanya boleh bekerja selama 10 jam sehari dan di musim panas, tidak ada yang boleh bekerja di rentang waktu antara pukul 11.30 s/d 15.00.
Jumlah korban meninggal di Qatar sudah mencapai puluhan orang (70 orang, menurut laporan The Guardian tanggal 1 Oktober 2013) dan tekanan dari dunia internasional semakin kencang mendera pemerintah Qatar. Pemerintah Qatar dianggap lalai dalam mengontrol perusahaan-perusahaan swasta yang terlibat dalam proyek Piala Dunia ini.
Proyek ini sendiri rencananya menghabiskan dana sampai $100 miliar. Uang sebanyak itu akan digunakan untuk membangun sembilan stadion, satu bandar udara, satu jalan raya yang terhubung ke Bahrain, satu jaringan rel kereta, satu jaringan kereta bawah tanah, dan 29 hotel baru. Proyek ini memang sangat ambisius dan semua itu harus selesai dalam kurun waktu kurang dari 12 tahun. Memang tidak mengherankan apabila Qatar menggenjot habis-habisan proses pembangunan, tetapi, jika itu harus memakan korban, masihkah apa yang dilakukan Qatar dapat dimaklumi?
Hal ini kemudian diperparah dengan keberadaan sistem Kafala, sebuah sistem yang membuat para pekerja migran tidak bisa menentukan nasib mereka sendiri di Qatar. Hukum ini tidak hanya terdapat di Qatar mengingat hukum ini adalah bagian dari hukum ekonomi syariah. Hukum Kafala ini mengharuskan para pekerja migran untuk menyerahkan semua identitas mereka kepada sponsor atau penjamin mereka. Biasanya, yang menjadi sponsor adalah pihak yang mempekerjakan mereka.
Sistem Kafala ini tentunya berniat baik, yakni untuk melindungi kedua belah pihak. Namun, sayangnya, sistem ini rawan penyelewengan. Salah satu contoh lain selain apa yang menimpa para pekerja proyek Piala Dunia adalah kasus yang menimpa Zahir Belounis, seorang pesepak bola pro berusia 33 tahun asal Prancis yang tidak bisa keluar dari Qatar karena tidak mendapat izin dari klub yang (pernah) mempekerjakannya.
Belounis terlibat konflik dengan Al-Jaish, klub divisi utama Qatar yang menurutnya belum membayar gajinya sejak 2010. Ia kemudian memutuskan untuk menuntut klubnya secara hukum pada Juni 2012. Belounis kalah di pengadilan dan sebagai imbasnya, ia tidak diberikan izin oleh klubnya untuk pulang ke Prancis. Praktis, selama kurang lebih tiga tahun, ia nyaris tidak memiliki penghasilan, padahal ia memiliki keluarga yang harus dihidupi.
Belounis yang frustrasi kemudian mengirimkan surat terbuka kepada Zinedine Zidane dan Josep Guardiola untuk meminta bantuan mereka menyelesaikan masalah ini. Ia tentunya tidak sembarangan mengalamatkan surat. Zidane dikabarkan menerima uang sebesar 2 juta euro untuk menjadi duta promosi Piala Dunia 2022, sementara itu Guardiola, disebut-sebut sebagai aktor utama yang menjembatani antara Qatar dan Barcelona (dan dunia sepak bola). Sampai saat ini, kabar kelanjutan dari kasus Belounis masih simpang siur, meskipun pemerintah Prancis sudah menyatakan akan membantunya.
Kritik yang diterima FIFA perkara terpilihnya Qatar pada awalnya sama sekali belum menyentuh soal buruknya perlakuan para pekerja migran. Awalnya, kritikan hanya berkisar pada waktu penyelenggaraan Piala Dunia. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, suhu musim panas di Qatar bisa mencapai 45° celcius dan mustahil untuk menggelar pertandingan sepak bola dengan temperatur seperti itu. Ide untuk memindah laga Piala Dunia ke musim dingin pun langsung dimentahkan karena akan mengganggu perjalanan kompetisi di sebagian besar negara peserta.
Tetapi, sekarang, satu borok yang lebih besar sudah terkuak dari Qatar. Sepak bola memang kadangkala abai. Banyak aktor yang terlibat di sepak bola seringkali menihilkan hal yang lebih penting demi terpuaskannya dahaga sepak bola mereka. Bukan salah sepak bola tentunya, toh ia hanya permainan. Sepak bola tidak lebih penting dari nyawa manusia dan semoga, kasus di Qatar ini akan mampu membuka mata kita yang merasa mencintai sepak bola.
Sepak bola memang mahal, tetapi tidak semahal nyawa manusia,
0 komentar:
Post a Comment