Piala Dunia Qatar
Bagian 1 - Menggunakan Spanyol demi Pencitraan dan Diplomasi Publik
Spanyol telah mengawali pelayarannya kembali belakangan ini. Bukan lagi dipimpin Colombus ataupun nahkoda-nahkoda yang namanya kita kenal di bangku sekolah, meski telah mulai asing untuk kita dengar.
Nahkoda kapal-kapal Spanyol tersebut kini mulai mudah kita ingat dan lafalkan. Nahkoda-nahkoda itu sekarang bernama Xavi Hernandez, yang telah memimpin La Furia Roja merajai Eropa dan dunia. Ada juga Andres Iniesta yang menahkodai Barcelona hingga begitu digdaya.
Pernah juga mendengar armada Real Madrid yang menghabiskan banyak uang dalam membangun armada perangnya? Tentu saja.
Tak hanya itu, Spanyol sekarang juga mempunyai pasukan berkuda yang sangat mumpuni. Sebut saja Dani Pedrosa, Jorge Lorenzo, dan jangan kita lupakan perwira baru mereka, Marc Marquez. Armada Spanyol juga kini semakin lengkap, dengan hadirnya pemukul bola handal macam Rafael Nadal.
Kegemilangan yang tentunya mengaburkan ingatan kita, bahwa Spanyol juga menjadi korban resesi ekonomi global 2008. Negara ini pernah mendapat bantuan Uni Eropa sebesar 125 juta dolar AS hanya untuk mengembalikan perekonomiannya setelah bencana kredit macet mendera mereka. Ya, Spanyol yang juga memiliki tingkat pengangguran 21,6%.
Namun bukankah Barca, Madrid, Lorenzo, Pedrosa, dan La Furia Roja telah sukses membiaskan semua itu? Spanyol seakan sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi, titi tentrem, kerta raharja.
Pada akhirnya publik memang sadar bahwa Spanyol telah mengambil langkah-langkah soft power, dengan aktor-aktor non negara --Barca, Madrid, Lorenzo, Pedrosa, dll-- yang mengambil peran-peran diplomasi.
Kesemuanya tentu untuk menjaga stabilitas iklim investasi Spanyol sendiri agar lekas keluar dari derita krisis ekonomi. Walhasil, kapal-kapal perang Spanyol tersebut telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Spanyol kembali (terlihat) berjaya.
Kerja Sama, Sama-Sama Kerja
Prospek industri olahraga yang ditawarkan Spanyol memang demikian seksi. Spanyol tak perlu menunggu lama agar gayung-gayung mereka disambut dunia luar. Perlahan, perekonomian Spanyol mulai membaik berkat adanya pengaruh dari sektor olahraga ini.
Dan kegemilangan diplomasi publik Spanyol tersebut mampu membuat Qatar jatuh hati. Apalagi semenjak akhir 2010, atau awal mula penunjukan Qatar jadi tuan rumah Piala Dunia, negeri tersebut terus menuai banyak kontroversi. Membangun citra yang baik bersama Spanyol, jadi hal penting yang mesti dilakukan.
Sejak awal dunia internasional, khususnya para penggila sepakbola, memang memandang skeptis keputusan FIFA yang menunjuk Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Ketersediaan SDM, kasus pelanggaran HAM, keamanan, dan animo penonton, menjadi sorotan utamanya.
Belum lagi, soal cuaca di Timur Tengah yang terkenal sangat panas. Tentu ini menjadi kendala para kontingen yang hendak berlaga. Demikian pula masalah kawasan Timur Tengah yang rawan konflik, juga jadi satu hambatan.
Qatar memang benar-benar sedang coba mengubah persepsi dunia tentang dirinya. Dan olahraga serta pariwisata telah dipilih Qatar sebagai tumpuan.
Anda tentu takjub dengan adanya race malam di sirkuit Losail, dan juga betapa indahnya kota Doha dengan pantai dan hotel-hotel yang sangat mewah, bukan? Ya, Qatar sedang melakukan diplomasi publik, selayaknya Spanyol.
Dalam hal ini Qatar pun tak tanggung-tanggung. Lihat saja kasus Losail. Karena kritik bahwa Losail mempunyai banyak permasalahan seperti cuaca dan juga angin gurun, akhirnya pengelola menyelenggarakan night race. Mereka juga mengubah Doha jadi lebih nyaman untuk didatangi para pelancong yang hendak menyaksikan MotoGP.
Bagi Qatar, tak jadi soal jika mereka tak punya rider dalam MotoGP. Mereka mempunyai Losail yang juga mampu mengibarkan panji-panji Qatar. Benar-benar diplomasi publik yang asyik. Diplomasi publik yang mampu menaikkan posisi tawar Qatar dalam pencalonan tuan rumah Piala Dunia.
Pun setelah Qatar ditetapkan menjadi host piala dunia 2022, kontroversi-kontroversi masih saja menaungi negara teluk ini. Yang paling mendapat sorotan dunia internasional tentu tentang eksploitasi pekerja dalam pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2022. Tercatat sebanyak 1,2 juta buruh migran asal Nepal, India, dan Bangladesh mengalami berbagai kasus eksploitasi pekerja, seperti gaji yang tidak dibayarkan, bekerja tidak sesuai kontrak, dan juga bekerja melebihi jam kerja.
Situasi ini dibaca tuntas oleh pemerintah Qatar. Qatar kembali melaksanakan kebijakan diplomasi publiknya. Eropa mejadi sasaran mereka untuk mendulang suara dan dukungan agar Piala Dunia tetap bisa dilaksanakan untuk kali pertamanya di kawasan Timur Tengah.
Spanyol jelas menjadi prioritas Qatar karena dianggap telah berhasil menaikkan citra lewat olahraga. Dan Qatar Foundation telah dipilih Emir Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani untuk membuka jalan di Negeri Matador.Tak sulit bagi negara kaya raya macam Qatar untuk mengetuk pintu investasi Spanyol yang jelas masih pesakitan dalam sektor ekonomi. Tak tanggung-tanggung, Qatar langsung mengucurkan dana 125 juta poundsterling untuk sekadar berpromosi di jersey Barcelona.
Dengan alasan Qatar Foundation adalah sebuah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, kemanusiaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan, akhirnya Barca menerima pinangan investor asal negeri minyak tersebut. Sensasional!
Tedeng alih-alih tersebut telah meruntuhkan benteng pertahanan jersey Barca tanpa sponsor yang telah berdiri kokoh kurang lebih 112 tahun. Toh dengan pembukaan pintu investasi di jersey Barca, pemerintah Spanyol juga berhasil menjalin kemitraan lebih intim dengan Qatar. Qatar yang butuh citra, dan Spanyol yang butuh suntikan dana, kini bergumul menjalin kerjasama untuk menyelamatkan misi masing-masing negara.
Lagi, lagi, dan lagi. Kebijakan ini dihujani kritikan. Tak hanya dari fans Barca yang merasa kesuciannya telah direnggut, namun juga dari dunia internasional. Seperti yang pernah dilansir salah satu media Spanyol El Mundo, pada 11 Desember 2010, bahwa Qatar Foundation mendanai Hamas, di samping bergerak pada bidang pendidikan, kesehatan, dan juga peneltian.
Menyoal tersebut, Israel bahkan sempat melakukan lobi-lobi agar Barca membatalkan kontraknya dengan Qatar Foundation. Tapi usaha Israel tak berhasil. Qatar langsung merespons dengan mengadakan kunjungan kenegaraan Emir Qatar Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani yang disambut langsung oleh Raja Juan Carlos di Madrid, 25 April 2011.
Walaupun banyak media menyebutkan bahwa kunjungan tersebut bertujuan untuk membahas kemitraan kedua negara, namun hal ini terbukti telah memuluskan jalan Qatar untuk terjun ke ranah persepakbolaan. Selain sukses membicarakan hubungan dagang, Qatar juga berhasil membiaskan isu soal keterlibatan Qatar Foundation dengan Hamas.
Hubungan saling menguntungkan tersebut terbukti telah mengokohkan perekonomian Spanyol, dan bahkan Uni Eropa. Bagaimana tidak, Qatar bahkan membuatkan Spanyol Business Council demi menjaga hubungan kemitraan strategis. Dan Qatar juga berhasil menaikkan citranya di mata dunia internasional. Bahwasanya Qatar memang benar-benar siap menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, dan mulai concern pada olahraga.
Tak sampai disitu, Qatar juga memanfaatkan media sebagai alat diplomasi publiknya. Al-Jazeera memainkan peran sebagai agen komunikasi politik dan politik pencitraan, yaitu Timur Tengah tak melulu mesti disangkut-pautkan dengan konflik.
Seperti yang kita tahu, Al-Jazeera adalah sebuah stasiun televisi Qatar yang berbasis di Doha. Kesehariannya stasiun televisi ini sangat akrab di telinga dengan berita-berita menyoal konflik di Timur Tengah. Namun, hari ini semua telah berubah. Al- Jazeera yang siarannya berbahasa Inggris tak lagi menjual konflik namun juga sepakbola. Al-Jazeera kini menjadi salah satu pemegang hak siar Liga Inggris, liga paling laris, dengan harga hak siar paling mahal di dunia.
Demi perbaikan citra pula, Al-jazeera yang awalnya hanya bisa dinikmati oleh dunia Arab, kini melebarkan sayapnya ke seluruh belahan dunia. Tak terkecuali ke Amerika Serikat, yang pada awal dekade 2000-an sangat anti dengan stasiun televisi ini.
Ya, Qatar benar-benar ingin jadi bintang baru di Timur Tengah. Bintang baru yang hendak menjadi lokomotif yang mampu menarik gerbong-gerbong berisi negara-negara Timur Tengah.
Qatar jelas ingin merubah citra Timur Tengah sebagai kawasan rawan konflik. Dan Qatar tentu sudah banyak mengeluarkan uang dan tenaga untuk memperbaiki citra di mata dunia. Timur Tengah yang kita kenal karena berita perang, yang dulu selalu muncul dalam program televisi pemerintah bertajuk Dunia Dalam Berita, kini ingin mengubah citra menjadi kawasan ramah olahraga.
Kita tunggu saja, seberapa berhasilkah mereka.
Bagian 2 - Politisasi Terbesar dalam Sejarah Sepakbola
Malam itu, 2 Desember 2010, di markas FIFA semua mata dan lensa kamera tertuju pada secarik kertas putih yang dibuka oleh Sepp Blatter. Secara mengejutkan, nama Qatar tertera di selembar kertas itu. Semua orang pun terkaget-kaget. Qatar terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.
Sejak saat itu juga nama "Qatar" kerap menjadi gunjingan publik. Padahal, tugasnya untuk menunaikan Piala Dunia masihlah amat lama. Masih 12 tahun lagi. Sejak saat itu pula Qatar seolah menjadi black hole. Jadi pusaran politik yang menyedot banyak kepentingan ke dalamnya.
Aroma politik memang terasa kental dalam pemilihan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Tak tanggung-tanggung, dua pejabat tinggi sepakbola, Presiden FIFA Sepp Blatter dan Presiden UEFA Michael Platini, secara terus terang mengakuinya.
Awal-Awal Polemik Pemilihan Qatar
Semua itu bermula di tahun 2011. Baru beberapa bulan Qatar berbahagia mendapatkan jatah sebagai tuan rumah, isu membeli suara riuh terdengar lewat bocornya email Sekjen FIFA, Jerome Valckle, pada Wakil Presiden FIFA, Jack Walner.
FIFA pun (terpaksa) turun tangan.
Investigasi dilakukan, tapi nihil hasil. Kekuatan finansial yang jadi daya tawar Qatar dinyatakan wajar dan legal, karena toh calon-calon lainnya pun akan menggelontorkan ratusan juta dolar untuk jadi tuan rumah.
Blatter, yang kala itu belum bermusuhan dengan Muhammad Bin Hammam –(eks) sekjen AFC berkewarganegaraan Qatar--, pun mendukung penuh kemenangan Qatar meski ia memilih Amerika Serikat dalam proses bidding.
Blatter berdalih. Ia berkata bahwa sejak awal abad 19, sepakbola memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional dan kehidupan sosial di Timur Tengah. Tapi, tak pernah sekalipun event kelas dunia sekelas olimpiade atau Piala Dunia hadir di sana. Lewat Qatar 2022, Blatter ingin mendobrak hal itu.
Namun, majunya Bin Hammam pada pemilihan presiden FIFA tahun 2022 membuat Blatter menjaga jarak dengan Qatar. Terlebih lagi setelah korupsi FIFA akhirnya terkuak. Bin Hammam dijatuhi hukuman karena melakukan suap dalam pemilihan Presiden FIFA. Komplit sudah kerenggangan antara Blatter dan Bin Hammam. Meski demikian, banyak yang menganggap sikap Blatter yang menjauh dari Qatar seolah dia ingin cuci tangan. Terlebih lagi banyak eks anggota Exco lainnya berguguran karena tertangkap menerima suap soal bidding Piala Dunia.
Isu transaksi pemilihan tuan rumah sendiri bukan hal baru di olahraga. Penyelenggaraan olimpiade (musim panas) pun pun sering dituding demikian.
Piala Dunia 2018 dan 2022 pun memiliki indikasi yang sama. Mantan ketua FA, Lord Triesman, bahkan pernah berujar tentang betapa banyaknya mafia yang bercokol dalam tubuh FIFA. Nyatanya, beberapa nama yang disebut oleh Lord Triesman kemudian mundur dengan sendirinya.
Blatter yang Mulai Menjauhi Qatar
Imbas kerenggangan antara Blatter dan Qatar terasa betul dalam penyataan implisitnya di awal September lalu. Secara terang-terangan ia mengakui bahwa pemilihan Qatar adalah sebuah kesalahan FIFA. Dan lebih gilanya, ia berujar bahwa anggota komite Exco FIFA yang mendukung Qatar mengalami tekanan Politik.
"Para pemimpin Eropa menganjurkan untuk (Exco) memilih Qatar karena kepentingan ekonomi, " ujar Blatter kepada media Jerman, Di Zeit.
Pernyataan Blatter itu menegaskan bau anyir politik tercium di Piala Dunia 2022. Sesuatu yang haram dalam sepakbola, menurut FIFA. Tetapi toh jadi rahasia umum bahwa Qatar memang memanfaatkan kekuatan finansialnya dalam lobi-lobi. Dan, FIFA menganggap itu wajar.
Padahal, betapa seringnya gimmick klasik "Kick Politic out of Football" terdengar dari FIFA. Tetapi justru mereka yang menghamba pada politik. Bagi FIFA, larangan berpolitik hanya berlaku pada negara-negara anggota, namun tak diterapkan bagi pengurusnya.
Terpilihnya Qatar jadi cukup bukti untuk hal ini.
Lobi-lobi Qatar dilakukan tingkat tinggi. Lobi kelas atas melalui jalur kepala negara lewat sang mantan emir, Hamad bin Khalifa Al Thani. Dengan kekuatan uang, mereka menguji nasionalisme para 22 anggota Exco. Iming-iming kekayaan melimpah lewat kedok "investasi" pun siap dikucurkan asalkan mendukung Qatar jadi tuan rumah.
Spanyol adalah jadi yang pertama didekati oleh Qatar. Pada mulanya mereka bersepakat melakukan tukar suara dalam proses bidding: Qatar mendukung Spanyol-Portugal di Piala Dunia 2018, begitu kebalikannya.
Mengucurkan Dana ke Seluruh Penjuru Dunia
Dalam proses bidding yang melibatkan 22 anggota Komite Exco FIFA, Qatar menang 14 suara dari Amerika yang hanya mendapat 8 suara. Tapi tahukah anda, Beberapa tahun sebelum dan sesudah proses itu, investor-investor asal Qatar menyerbu ke-14 negara tersebut. Diplomasi uang "kampanye terselebung" Qatar pun menyebar ke seluruh dunia.
Bahkan, kasus Paris Saint Germain, Barcelona dan Real Madrid, pun terlihat kecil jika dibandingkan dengan lobi yang dilakukan sang emir.
Di Brasil, bank terbesar di Amerika Selatan: Banco Santander diakuisisi oleh Qatar Investment Authority dengan nilai investasi 2,72 milliar dolar pada tahun 2011. Sementara di Argentina, sang Presiden Cristina Fernandez de Kirchner terbang ke Doha untuk menandatangani kontrak jangka panjang dengan Qatargas, demi pasokan 16% kebutuhan gas Negara. Paraguay pun sama. Mereka dapatkan suntikan dana besar untuk bekerja sama di sektor pertanian dan kontruksi.
Benua hitam Afrika pun menyicipi manisnya uang gas Qatar. Lihat saja Mesir yang mendapat suntikan dana 10 milliar dolar. Di Kamerun, taipan-taipan Qatar menanam investasi di bidang telekomunikasi. Di Pantai Gading, mereka kecipratan kerja sama LNG yang membuat dominasi mereka di bidang energi Afrika Barat semakin menjadi.
Asia pun tak luput. Di Thailand, Qatargas siap melakukan kongsi dagang terkait penjualan LNG. Thailand diplot sebagai pintu masuk Qatar untuk Negara-negara ASEAN lainnya.
Korea Selatan dan Jepang yang diakhir-akhir proses bidding memberikan dukungan pun mendapatkan keuntungan yang sama. Qatar mempersilakan kontraktor dari dua negara Asia timur itu menjadi aktor utama dalam membangun infrastruktur penunjang Piala Dunia di sana. Timbal baliknya, pasokan gas LNG akan terkirim dengan lancar.
Di Eropa, Siprus yang terkena resesi mendapat dana talangan 5 miliar dollar. Sang Emir pun membangun hotel senilai 150 juta dolar di ibukota Nikosia. Sementara itu, Turki diberi dana untuk membangun terminal distribusi LNG gas ke Eropa. Kontraktor mereka pun diajak dalam mengerjakan proyek-proyek Piala Dunia.
Menariknya, pada benua biru Eropa, negara-negara yang tahan banting saat krisis seperti Jerman, Swiss, Irlandia, Rusia dan Belgia enggan memberikan suaranya kepada Qatar. Dolar yang dimiliki Qatar memang lebih menarik bagi negara yang terkena resesi seperti Spanyol, Prancis, Turki dan Siprus. Karenanya, memilih Qatar menurut mereka, mungkin, jadi bagian dari nasionalisme.
Maka tak heran jika Platini dengan mudah dan tanpa beban bisa mengakui tudingan Blatter soal intervensi politik itu.
"Dengan pengaruh luar biasa yang dimiliki Blatter," ujar Platini, "Apakah dia baru saja menyadari bahwa ada kepentingan ekonomi dan politik dibalik penentuan tuan rumah Olimpiade dan turnamen lainnya? Yah, memang lebih baik terlambat, daripada tidak (sadar) sama sekali," ucapnya kepada Guardian seraya menyindir Blatter yang seolah-olah amnesia akan politisasi yang lazim di dalam tubuh FIFA.
Qatar yang Kini Jadi Lebih Liberal
Melihat proyeksi jumlah yang akan dikeluarkan Qatar sebagai tuan rumah, angka 10 juta dan 46 juta dolar yang diajukan Australia dan Amerika Serikat pada proses pencalonan tentu terlihat sebagai receh. Toh jika seluruh dana penyelenggaraan Piala Dunia dari tahun 1930 hingga 2010 digabungkan, jumlah itu masih kalah banyak dengan dana tak terlihat yang Qatar gelontorkan.
Lantas untuk apa semua itu dilakukan?
Qatar adalah sebuah negara kaya kecil yang berusaha menjadi pesaing utama raksasa timur tengah, Arab Saudi. Kendati sama-sama menganut paham Wahabisme (sebuah ajaran Islam Muhammad Al Wahab yang berkembang dan menjadi cikal bakal terbentuknya kerajaan Arab Saudi), Qatar memposisikan diri mereka bertentangan dengan Saudi.
"Saya menganggap diriku wahabi yang baik, dan masih bisa menjadi modern. Mau membuka pemahaman Islam secara terbuka karena kami memperhitungkan perubahan dunia, dan tidak memiliki mentalitas pemikiran tertutup sebagaimana yang dilakukan di Arab Saudi sana," sindir Abdelhameed Al Ansari, dekan Qatar University of Syariah kepada The Wall Street Journal di tahun 2002.
Dogma konsevatif Wahabi ala Arab Saudi memang sudah habis terkikis di Qatar. Dibandingkan dengan negara-negara lainnya di semenanjung Arab, Qatar memang dikenal lebih liberal dan sekuler.
Bayangan cermin negara-negara wahabi dengan ulama yang konservatif, pembatasan ruang gerak perempuan, segregasi gender yang mutlak (melarang gay dan lesbi), pelarangan terhadap alkohol dan rumah ibadah bagi para penganut agama lain tak terjadi di Qatar. Mereka membuka selebar-lebarnya keran pada barat dan dunia.
Di sisi lain, Qatar pun menjalin hubungan mesra dengan kelompok-kelompok Islam yang dibenci barat: Ikhwanul Muslimin, Hamas, Al Qaida dan kelompok perlawanan Suriah.
Ketakutan yang Jadi Cikal Bakal Piala Dunia 2022
Salah seorang pengamat sepakbola Timur Tengah, James M. Dorsey, memaparkan konklusi menarik tentang motif lain Qatar, yaitu untuk keamanan-pertahanan dalam negeri mereka. Ini terutama karena letak geografi Qatar sendiri berada di antara Arab Saudi dan Iran, dua raksasa timur tengah mewakili sunni dan Syiah, yang tak menutup kemungkinan akan saling menabuh genderang perang.
Meski memiliki militer yang super canggih, Qatar merasa tak akan pernah mampu untuk mempertahankan diri saat perang terjadi. Invasi Irak ke Kuwait pada 1990 pun memberikan dua pelajaran pada Qatar: Arab Saudi sebagai polisi saudara tua bukanlah penjamin yang bisa diandalkan dan keyakinan untuk menggantungkan diri pada Amerika Serikat pun dipertanyakan.
Dalam Perang Teluk jilid satu itu, bukan Amerika yang membantu Kuwait, namun koalisi internasional. Tanpa memiliki soft power di dunia internasional itu, Kuwait mungkin hari ini sudah binasa. Kini, soft power ini yang coba direbut Qatar lewat dunia olahraga dan sepakbola.
Setidaknya, sebelum Piala Dunia 2022 digelar Qatar akan merasa aman. Dukungan internasional akan datang bergelombang saat mereka terjebak dalam peperangan. Dunia tak akan tinggal diam, melihat Qatar sang tuan rumah Piala Dunia 2022 itu terkoyak-koyak. Serempak, dunia akan berkata: jangan coba-coba ganggu (proyek kami di) Piala Dunia!
Ya, Qatar telah sukses mempolitisir kecintaan publik sepakbola untuk menghilangkan ketakutan dalam diri mereka! Tak ayal, bagi saya, pemilihan Piala Dunia 2022 adalah politisasi sepakbola terbesar sepanjang sejarah.
Bagian 3 - Membidik Kemustahilan Lewat Uang dan Piala Dunia
Apa artinya menjadi tuan rumah Piala Dunia? Bagi Brasil, mungkin maknanya adalah menunjukkan kebangkitan mereka sebagai kekuatan ekonomi dunia. Bagi Afrika Selatan, bisa jadi sebagai alat untuk menunjukkan kesetaraan antara kulit hitam dan kulit putih di mata dunia.
Lalu apa arti dari Piala Dunia Qatar? Apa maknanya menyelenggarakan turnamen akbar di negara dengan pendapatan kapita terbesar di dunia ini?
Secara sederhana, menyelenggarakan Piala Dunia di negeri semenanjung ini, dari sudut pandang penulis, berarti mengajak dunia untuk melewati batas-batas nalar dan perhitungan matematis lewat sepakbola. Bahkan cuaca ekstrim, meroketnya biaya penyelenggaraan, dan minimnya keuntungan ekonomi tak sanggup untuk menghalangi Qatar untuk menjamu dunia.
63 Kali dari Afrika Selatan 2010
Menilik rencana mega proyek Piala Dunia 2022, tak heran mata dunia terbelalak. Menurut seorang analis hukum dan keuangan Jerman, Dr. Nicola Ritter, Qatar bahkan diestimasikan akan menghabiskan uang hingga 220 miliar dolar!
Nilai tersebut hampir mencapai 63 kali lipat besaran biaya yang dikeluarkan oleh Afrika Selatan dalam Piala Dunia 2010. Kala itu Afsel hanya menghabiskan biaya sebesar 3,5 miliar dolar.
Tak heran Qatar merebut hak sebagai tuan rumah dari tangan Australia, Korea Selatan, Jepang dan Amerika Serikat. Qatar memang tidak main-main dalam mempersiapkan dirinya.
Nilai yang tampak tidak rasional ini seolah hal kecil bagi Qatar. Bisa dibayangkan, dengan 220 miliar dollar, angka tersebut setidaknya mampu menyamai besaran rekor defisit anggaran terbesar yang dialami oleh Amerika Serikat pada Februari 2011.
Angka itu juga setara dengan 25 kali penyelenggaraan Olimpiade 2012 di London, yang sudah dikatakan banyak orang sebagai olimpiade yang paling mahal. Atau, mereka bisa membangun lebih dari 500 stadion setara Allianz Arena di Munich.
Bisa ditengok. Semua hal-hal besar diatas setara dengan biaya yang dianggarkan Qatar dalam membangun stadion dengan fasilitas air contioner, kota yang dibangun dari awal, dan sarana pendukung lainnya. Semuanya hanya untuk menggelar Piala Dunia.
Memang benar, terdapat kontroversi mengenai besaran nilai yang akan dikeluarkan. Deloitte melaporkan akan ada uang yang mengalir lebih dari 200 milliar dollar selama masa persiapan. Sementara itu, International Bank of Qatar menyebutkan Qatar akan menghabiskan biaya 100 miliar dolar, dan Qatar First Invesment Bank mengklaim hanya 60 miliar dollar yang akan dihabiskan.
Namun, negara mana yang ingin memamerkan hartanya di tengah sulitnya kondisi perekonomian saat ini? International Bank of Qatar dan Qatar Investment Bank selaku pihak dari internal Qatar tentu akan berusaha untuk menutupi total perencanaan biaya.
Maka tak salah biaya yang dipublikasikan pun cenderung lebih kecil dan jauh berbeda dengan yang dihitung oleh Deloitte maupun Dr. Nicole Ritter. Angka 220 ataupun 200 milar dolar sebenarnya jadi lebih masuk akal, karena nilai keluar dari penilaian pihak independen.
Rencana Strategis Qatar
Merenovasi tiga stadion, mendirikan sembilan stadion baru dan membangun sebuah kota adalah beberapa penggal rencana Qatar guna mendukung gelaran Piala Dunia. Akibatnya, pembangunan infrastruktur mengambil porsi presentase terbesar dari anggaran yang muncul.
Ini berbeda sekali dengan Afrika Selatan dan Brasil (2014). Di dua negara ini biaya infrastruktur tidak lebih dari 15% total biaya penyelenggaraan.
Fokus pembangunan sendiri ditekankan pada pos-pos seperti perumahan, perhotelan, stadion, bandara, jalan, sistem metropolitan dan perkeretaapian, mall serta perkembangan aset lainnya. Semua dilakukan guna mengakomodasi kebutuhan 400 ribu fans yang ditargetkan akan hadir pada ajang Piala Dunia.
Tapi, sebagaimana tuan rumah lainnya, motif pembangunan infrastruktur ini sebenarnya tidak hanya didasari oleh hal yang mendukung aktivitas Piala Dunia saja.
Salah satu fokus dari visi Qatar adalah dengan menarik turis dan pendatang sebanyak-banyaknya. Strategi pemerintah dalam beberapa tahun terakhir mendukung rencana tersebut. Qatar banyak mempromosikan pariwisata berkelanjutan, seperti Museum Seni Islam dan Desa Budaya.
Seorang Emir Qatar, Shaikh Hamad Bin Khalifa Al Thani pun sempat mengunjungi Austria dalam membangun kerjasamanya. Ia bertemu dengan Presiden Heinz Fischer guna merundingkan perjanjian mengenai pajak ganda dan transportasi udara.
Perjanjian transportasi udara ini merupakan salah satu bentuk persiapan Qatar dalam mempermudah akses para wisatawan dari Eropa untuk berkunjung ke Qatar.
Investasi Sebagai Sektor yang Dieksplor
Sebagai tuan rumah, meski memiliki berbagai kepentingan politik, bukan berarti Qatar tidak mendapatkan manfaat ekonomi secara langsung. Multiplier effect yang timbul dari terpilihnya Qatar sebagai penyelenggara Piala Dunia pun berimbas pada nilai investasi di negara tersebut.
Bahkan, perubahan langsung terjadi pada hari ketika Qatar menerima putusan dari FIFA untuk menjadi tuan rumah. Pada hari itu, perubahan pasar di lantai bursa langsung bereaksi positif. Pasar ekuitas Doha naik sebesar 7,5 %.
Harga saham dari beberapa perusahaan pun langsung bergerak naik terutama yang bergerak dalam bidang konstruksi. Semua didorong harapan yang tinggi akan bonus miliaran dolar uang yang dikeluarkan oleh pemerintah Qatar.
Menariknya, pembangunan infrastruktur yang ada di Qatar sendiri banyak melibatkan pihak asing. Banyak investor yang menangkap peluang untuk cari pundi-pundi uang dari agresivitas pemerintah Qatar sebagai tuan rumah tersebut.
Deutsche Bahn AG, perusahaan kereta api nasional Jerman telah dianugerahi kontrak guna membangun sistem metro sepanjang 320 kilometer. Perusahaan Jerman lainnya pun tampak akan menyusul dalam membangun sistem air conditioner di dalam stadion.
Perusahaan Jerman lainnya, Hochtief, menjual 10% sahamnya kepada pihak Sovereign Wealth Fund Qatar. Organisasi ini sendiri merupakan kendaraan finansial milik Qatar yang memiliki, atau mengatur, dana publik dan menginvestasikannya ke asset-aset yang luas dan beragam. Selain itu, Hochtief akan membangun sebagian besar stadion Piala Dunia serta jembatan antara Qatar dan Bahrain.
Kerja sama yang melibatkan pemerintah Qatar dan Austria mengenai pajak ganda pun turut menjembatani pihak investor asing untuk turut menjadi bagian dalam membangun Qatar.
Sebagai negara kaya yang siap menghamburkan uang untuk menyelenggarakan Piala Dunia, maka tak jadi aneh jika Qatar dikerubungi oleh para pencari keuntungan.
Manfaat Ekonomi yang Tak Benar-Benar Manfaat
Banyak yang menganggap bahwa jadi tuan rumah Piala Dunia akan memunculkan lebih banyak manfaat ketimbang beban finansial. Namun, skeptimisme terhadap pandangan ini tetap muncul. Ini karena pada kasus kebanyakan dana penyelenggaraan tak sebesar imbalannya.
Bahkan Farouk Soussa, kepala ekonom Citibank di Timur Tengah, pun menjelaskan bahwa, "Sejumlah hasil penelitian pada dampak ekonomi suatu negara, atau kota, dalam menggelar acara internasional, umumnya tidak memberikan gambaran yang menggembirakan bagi Qatar."
Dalam kasus Qatar, investasi yang mencapai 220 miliar diestimasi hanya akan meningkatkan nilai investasi sebesar 4%. Tentu ini bukan hal yang dapat dibanggakan.
Apalagi Qatar sendiri memiliki kebijakan akan "mendonasikan" stadion setelah Piala Dunia usai. Ini berarti stadion yang dibangun akan diambil terpisah pasca turnamen lalu dihibahkan kepada negara-negera berkembang. Artinya sebagian dari uang yang dikeluarkan, memang dianggap akan menghilang.
Rencananya, sebanyak 170 ribu kursi akan disumbangkan kepada negara-negara yang membutuhkan infrastuktur stadion, dengan negara di Afrika jadi tujuan utama. Sebagaimana diungkapkan oleh Nasser Al-Khater, direktur komunikasi Qatar 2022, "kami ingin menginggalkan warisan olahraga ramah lingkungan. Stadion modular kami akan menjadi cara yang tepat untuk menerapkan ini."
Memecah kursi stadion sebenarnya masuk akal bagi Qatar. Pada Piala Asia 2011 saja hanya setengah dari kapasitas stadion yang terisi penonton. Bayangkan jika Piala Dunia 2022 usai digelar. Berapa banyak bangku kosong yang mungkin hanya berfungsi sebagai aksesoris pelengkap stadion?
Selain kursi stadion, ranjang hotel pun jadi surplus signifikan ranjang hotel yang tidak akan terpakai setelah Piala Dunia.
Dari data yang dikeluarkan oleh Qatar Tourism Authority, dari 8.500 kamar hotel yang tersedia di Qatar, rata-rata hunian hanya mencapai 50%. Dengan asumsi bahwa Qatar akan menarik 310 ribu pengunjung, seperti halnya yang dilakukan oleh Afrika Selatan, dengan rata-rata tinggal selama 18 malam dengan dua orang untuk sebuah ruangan, setidaknya Qatar membutuhkan 90 ribu kamar hotel.
Dengan melakukan perbandingan antara data dan asumsi itu, hasilnya adalah pada pasca Piala Dunia setidaknya Qatar harus mampu menaikkan tingkat hunian hotel hingga 15 kali lipat. Itu pun hanya untuk mencapai tingkat huninan rata-rata 70%. Lalu, apakah mungkin hotel juga didonasikan seperti halnya kursi stadion?
Implikasi dari jumlah penduduk "asli" hanya sebesar 300 ribu jiwa juga terjadi di sektor konstruksi. Banyaknya peluang lapangan pekerjaan serta kontrak pengadaan bahan bangunan akan jatuh ke pihak asing. Artinya, multiplier effect dari pembangunan besar-besaran memang sulit digapai.
Belum lagi Qatar memiliki kebijakan sebagai negara tax haven. Keuntungan dari peningkatan kegiatan ekonomi juga mungkin tidak akan dipetik.
Segala kebombastisan penyelenggaraan, biaya pembangunan yang meroket, namun dengan minimnya manfaat ekonomi ini menunjukkan bahwa Piala Dunia Qatar memang di luar nalar. Satu-satunya pembenaran untuk menggelontorkan biaya sebanyak ini adalah karena Qatar memang sanggup untuk menggelontorkan uang secara jor-joran.
Lalu bagaimana dengan FIFA? Bagaimana dengan dunia? Alasan apa yang bisa dikeluarkan untuk membenarkan semua harga ekonomi dan harga sosial dari Piala Dunia 2022 di Qatar?
Bagian 4 - Bagaimana Bermain Sepakbola di Cuaca Seperti 'Neraka'
Sepakbola katanya adalah permainan universal yang bisa menyatukan dunia. Tentu ini berarti sepakbola memang telah dimainkan di seluruh penjuru dunia. Dan sebagai kompetisi terakbar, bukankah sewajarnya Piala Dunia juga diselenggarakan di berbagai tempat dengan berbagai cuaca? Yang Eropa merasakan panasnya Amerika Selatan, dan yang Amerika Selatan mencicipi angin Afrika.
Lalu bagaimana dengan Qatar? Dengan suhu berkisar 50 derajat celcius, masih cocok kah Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia? Adakah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengakalinya?
Piala Dunia 2022 di dataran Arab itu memang masih satu dekade lagi. Tapi masalah cuaca telah menjadi topik panas di kalangan para penggemar sepakbola dan FIFA.
Bertemu Iklim Gurun
Di musim panas, iklim di Qatar dapat digambarkan sebagai subtropis kering, atau iklim gurun yang panas. Iklim ini menyebabkan adanya perbedaan besar antara suhu maksimal dan minimal, terutama di daerah daratan tak berpantai. Perbedaan besar ini juga berlaku untuk kelembaban udara yang bisa sangat bervariasi, bergantung pada suhu.
Satu perdebatan yang terus berlangsung hingga saat ini adalah tentang waktu penyelenggaraannya di bulan Juni. Memang pada musim panas (Juni sampai September), Qatar akan sangat panas dengan curah hujan rendah. Suhu maksimal harian dapat mencapai 50° C, yang artinya: very very hot!
Penyelenggaraan Piala Dunia di Qatar dinilai "berisiko tinggi" karena faktor iklim dan cuaca tersebut. Bahkan sempat ada wacana untuk memindahkan Piala Dunia 2022 ke musim dingin.
Jika melihat kembali ke Piala Asia 2011 di Qatar, turnamen tersebut dijalankan di bulan Januari (musim dingin) ketika suhu lebih bersahabat, yaitu sekitar 27° C. Sementara itu, 50° C memang dinilai terlampau panas. Bahkan untuk negara-negara Teluk sekalipun.
Hindari Dehidrasi!
Hal utama yang mesti diingat ketika berolahraga di tempat panas adalah bisa menyebabkan kondisi lembab. Apalagi bagi yang tidak terbiasa. Tubuh akan senantiasa berada di bawah tekanan yang besar. Selain terus-menerus mengeluarkan keringat, sirkulasi otot yang bekerja juga menghasilkan panas, disusul oleh kebutuhan aliran darah ke permukaan kulit untuk mengangkut panas dari tubuh ke luar. Akibatnya, suhu tubuh naik drastis.
Dalam keadaan latihan dan pertandingan, panas yang dihasilkan bahkan bisa mencapai 20 kali lipat dari panas yang dihasilkan pada saat beristirahat. Karena itu, pesepakbola harus mampu menjaga regulasi panas tersebut, sehingga bisa mempertahankan performa mereka. Hal ini berkaitan erat dengan dehidrasi yang bisa meningkatkan risiko penyakit pada cuaca panas, seperti kram panas, kelelahan, dan serangan panas.
Aktivitas pada suhu 320-40° C saja sudah beriesiko untuk membuat tubuh mengalami kram panas. Apalagi aktivitas pada 50° C, tubuh akan sulit untuk menyesuaikan diri hingga dapat menyebabkan kehilangan kesadaran seseorang.
Beberapa faktor lain, selain temperatur dan kelembaban, yang mempengaruhi panas tubuh antara lain adalah pakaian dan kondisi pesepakbola. Salah satu indikator pesepakbola yang mengalami dehidrasi adalah penurunan produksi keringat, serta urin yang pekat. Pesepakbola disarankan untuk selalu menjaga intake cairan tubuh dengan cara minum air sebelum mereka merasa kehausan.
Selama penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar nanti, pesepakbola akan mengalami hal-hal yang disebutkan di atas. Sangat berat, tentunya.
Bagaimana Menghadapi Panas
Pesepakbola yang akan berlaga di Qatar 2022 nanti harus melakukan penyesuaian iklim dengan cara aklimatisasi panas. Persiapan ini jadi strategi yang sangat penting dan harus dilakukan secara matang. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah frekuensi latihan, durasi latihan, intensitas latihan, dan kondisi lingkungan itu sendiri.
Pelatih harus mempertimbangkan aklimatisasi selama sebulan lebih di Qatar agar tubuh pesepakbola bisa menyesuaikan dengan lingkungannya. Durasi latihan disarankan selama 60-90 menit, dengan latihan di pagi dan sore hari. Intensitas latihan juga perlu diperhatikan agar pesepakbola tidak melakukan latihan berat.
Musuh utama cuaca panas adalah dehidrasi. Aklimatisasi tentu akan meningkatkan performa dalam cuaca panas, tetapi juga meningkatkan kebutuhan cairan karena peningkatan produksi keringat. Akibatnya, dehidrasi dan aklimatisasi akan saling berbentrokan.
Terdapat beberapa cara untuk menghindari dehidrasi tubuh. Minuman dengan tingkat karbohidrat tidak lebih 8% masih dapat ditoleransi, sebagai pertimbangan energi yang dibutuhkan oleh tubuh dari karbohidrat. Namun, Konsumsi karbohidrat berlebih juga sangat tidak disarankan.
Minuman berelektrolit juga cukup dianjurkan. Ini karena keringat yang keluar dari tubuh juga akan membawa elektrolit-elektroit dari dalam tubuh.
Kesalahan yang sering terjadi adalah minum dalam jumlah yang banyak saat dehidrasi. Konsumsi minum berlebih justru akan membuat cairan yang masuk tertahan di lambung. Padahal, air seharusnya segera disebar ke seluruh tubuh. Konsumsi air yang baik adalah dengan meminum sedikit demi sedikit namun berkelanjutan.
Dalam keadaan ini, memantau kondisi cairan pada tubuh atlet menjadi sangat penting. Tidak perlu menunggu sampai merasa haus untuk memasukan cairan ke dalam tubuh. Pantau cairan yang keluar melalui urin dan keringat. Ketika jumlah urin dan keringat mulai menurun, hal ini berarti alarm tanda peringatan sudah berbunyi.
Mengakali Panas di Gurun
Jika tetap menyelenggarakan Piala Dunia selama musim panas, cuaca di Qatar memang menjadi perhatian utama. Namun, panitia penyelenggara menilai panas tidak akan menjadi masalah.
Mereka meng-klaim bahwa masing-masing stadion akan memanfaatkan energi dari sinar matahari untuk menghasilkan listrik. Energi listrik ini kemudian akan digunakan untuk mendinginkan stadion, baik untuk pesepakbola maupun penonton. Ketika sedang tidak ada pertandingan, instalasi panel surya di stadion akan mengekspor energi ke jaringan listrik di sekitar kawasan.
Metode ini secara teoritis mampu mengurangi suhu dari 50° C menjadi 27° C. Panitia penyelenggara juga mengusulkan untuk menggunakan teknologi pendinginan pada tribun penonton, lapangan pertandingan, lapangan latihan, serta jalur-jalur yang menghubungkan stadion dengan fasilitas umum, seperti transportasi.
Patut diingat, bahwa mendinginkan stadion saja tidak cukup. Pemain harus tetap berada di "cuaca normal" baik saat latihan, istirahat, atau saat dalam moda transportasi.
Bagaimana dengan Memindahkan Piala Dunia ke Musim Dingin?
Salah satu anggota komite eksekutif FIFA, Franz Beckenbauer, mengatakan bahwa Qatar mungkin diizinkan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 di musim dingin. Ia juga berpendapat bahwa jika dilaksanakan di musim dingin, Qatar akan lebih menghemat pengeluaran yang mereka habiskan untuk pendinginan stadion.
Pada Bulan Januari dan Februari Qatar memang dapat memiliki suhu harian sekitar 27° C. Kemudian Presiden FIFA Sepp Blatter juga setuju bahwa saran ini adalah saran yang masuk akal. Selain itu Michel Platini sebagai presiden UEFA juga menunjukkan sikap bahwa ia siap untuk mengatur ulang jadwal kompetisi-kompetisi klub Eropa, jika nantinya Piala Dunia akan digelar pada musim dingin.
Tapi ini tentu jadi tugas yang sangat berat, karena menyangkut kepentingan, klub, penonton, dan pemengang hak siar televisi. Memajukan jadwal kompetisi, tentu berarti akan melalui proses negosiasi yang panjang.
Namun, jika tetap akan dilaksanakan di musim panas, iklim Qatar akan sangat mempengaruhi performa pesepakbola di atas lapangan. Waktu pemulihan (recovery) akan lebih panjang, sementara di atas lapangan akan terjadi lebih banyak kesalahan yang terjadi akibat dari penurunan performa tersebut. Selain itu, melakukan aklimatisasi secara total dengan iklim di Qatar adalah hampir mustahil.
Jikapun bisa, mesti dilakukan dalam waktu yang lama, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Namun, aklimatisasi satu bulan secara teknis belum tentu bisa dilakukan, karena berbenturan dengan jadwal berakhirnya kompetisi. Ini berarti mengulangi masalah yang sama dengan memindahkan kompetisi ke musim dingin.
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, saya pikir tim-tim Eropa, di atas kertas, hampir pasti akan mengalami kesulitan. Besar kemungkinan bahw Piala Dunia 2022 di Qatar adalah saat bagi tim-tim Amerika Latin, Asia dan Afrika untuk berjaya. Setidaknya, sebelum mereka menaklukkan lawan-lawan mereka, mereka punya keuntungan dalam memenangkan pertarungan melawan cuaca panas.
Bagian 5 - Membalikkan Piramida 'Sepakbola Kelas Pekerja' di Negeri Petro Dolar
Mengatakan bahwa Piala Dunia Qatar tidak akan memakan korban adalah satu kesalahan. Pada periode Juli hingga Agustus 2013 saja sudah ada 40 buruh yang tewas di beberapa konstruksi terkait Piala Dunia itu.
Ada yang mati karena terjatuh dari ketinggian, saat bekerja di tempat yang bahkan tidak menyediakan helm. Ada yang mati kelelahan karena jantungnya tidak berfungsi lagi dipaksa bekerja terus menerus, dua belas jam sehari, tujuh hari seminggu.
Mereka-mereka yang datang ke Qatar dalam keadaan sehat, kemudian pulang ke negaranya dalam bentuk jenazah. Dan banyak di antaranya yang sudah merenggang nyawa di usia kurang dari 40 tahun.
Ya. Piala Dunia Qatar memang sudah memakan korban. Di balik hingar-bingar perseteruan antara petinggi FIFA, penyelenggara liga, dan pemilik hak siar televisi tentang dipindahkannya event akbar ini ke musim dingin, perlahan nyawa pun terus berjatuhan.
Terjebak Kafala
Meski bukan jadi buruh bangunan yang bekerja di terik matahari, Zahir Belounis, seorang pesepakbola asal Prancis berdarah Aljazair, juga merasakan bagaimana kerasnya mencari nafkah di Qatar. Dalam dua setengah tahun terakhir ia tidak mendapatkan gaji, tidak memiliki klub, atau memiliki kesempatan untuk pulang ke Prancis.
Dalam periode itu Zahir telah menjual harta benda miliknya untuk sekadar menyambung hidup istri dan kedua anaknya. Ia juga memiliki utang lebih dari 70 ribu euro untuk sewa rumah yang ia tinggali saat ini. Datang ke Qatar demi mencicipi uang, kini Zahir harus terkatung-katung tanpa kejelasan.
Awal mula keterpurukan ini dimulai saat Zahir bermigrasi ke Qatar pada 2007, ketika ia bergabung dengan klub Millitary Sport Association. Setelah menyelesaikan kontraknya selama 3 tahun, Zahir sebenarnya sempat kembali ke Prancis. Namun, saat Military Sport Association mendapatkan promosi, Zahir kembali memperkuat klub itu dengan kontrak selama 5 tahun.
Masalah muncul ketika Military Sport Association berubah menjadi Al-Jaish, dan Zahir tidak menandatangi perbaharuan kontrak yang menyatakan bahwa ia bekerja untuk Al-Jaish. Tiba-tiba saja Zahir tidak memiliki proteksi dan kejelasan status secara hukum. Di saat yang bersamaan, Al-Jaish juga seakan tidak lagi membutuhkan tenaga Zahir. Ia dianggap pemain surplus yang mesti dibuang. Zahir juga sempat dipinjamkan ke klub lain.
"Setelah satu tahun (berubah jadi Al-Jaish), mereka tiba-tiba menghentikan bayaranku," keluh Zahir, "dan setelah berbulan-bulan, mereka tetap mengatakan hal yang sama."
Zahir pun tak bisa kembali ke Prancis, karena ia tak memiliki exit visa dan paspornya ditahan. Di bawah sistem kafala, seseorang memang hanya bisa keluar Qatar jika memiliki exit visa dan jika sponsor yang membawanya ke Qatar memberikan izin.
Dua Juta Euro Untuk Zidane
Nasib serupa sebenarnya pernah menimpa Abdeslam Ouaddou, seorang pesepakbola asal Maroko yang bermain di klub Lekhwiya. Selama lima bulan ia tak dibayar, tak bisa pindah ke klub lain, dan juga tak bisa keluar dari Qatar. Ouaddou bahkan sempat melaporkan kasusnya ke FIFA.
Saat meminta exit visa pada klubnya, Ouaddou malah diberitahu bahwa ia tak akan bisa keluar dari Qatar jika tidak mencabut aduannya. Setelah mengancam akan mengadukan kasusnya ke grup pembela hak asasi manusia, barulah Ouaddou diberi kebebasan untuk pulang ke negaranya.
Tapi itu pun dengan catatan. "Kami membiarkanmu pergi. Namun, akan butuh waktu lima sampai enam tahun sampai kasusmu di FIFA beres dan kamu mendapatkan uangmu. Kami punya banyak pengaruh, dan sangat kuat di FIFA," ujar salah seorang pihak Lekhwiya, sebagaimana dikutip Ouaddou pada CNN.
Cara penyelesaian seperti inilah yang tak diinginkan Zahir. Menurutnya, ia tak hanya berhak atas izin pulang, tapi juga atas gaji yang semestinya dibayarkan El Jaish. Maka Zahir pun menuntut. Ia menyewa pengacara dan menempuh jalur hukum. Zahir juga melaporkan kasusnya ke FIFA. Dan enam bulan lalu ia sempat mengancam akan melakukan aksi mogok makan.
Cara paling anyar yang Zahir lakukan adalah pada 14 November 2013 dengan mengirim surat terbuka pada Zinedine Zidane. Ia meminta agar Zidane berbicara pada dunia tentang kasus itu dan membantunya pulang ke rumah. Ini karena Zidane jadi salah seorang duta Qatar saat proses pencalonan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Zidane bahkan dibayar 2 juta euro untuk tugasnya itu.
Meski Zidane, anak seorang imigran berdarah Aljazair, darah yang sama yang mengalir di tubuh Zahir, belum bersuara hingga saat ini, untungnya pihak yang lain mendengar. FIFpro (serikat pesepakbola di seluruh dunia) mengirimkan delegasinya untuk berbicara dengan pemerintah Qatar. Berbagai media internasional pun memberikan tekanan bertubi-tubi untuk kasus ini.
Akhirnya exit visa pun diberikan pada Zahir. Setelah dua tahun berjuang, Jumat 29 November ini Zahir akan menginjakkan kakinya lagi di Prancis.
Dari Mandu ke Doha
Berbeda dengan Zahir dan Ouaddou yang mampu melawan, perjuangan Rajendra Lama berakhir di kematian. Masa singkat sembilan bulan yang ia habiskan sebagai buruh membangun bandara untuk Piala Dunia, cukup untuk membuat jantungnya tak bisa lagi berfungsi. Di usia 29 tahun, jenazah Rajendra dikirim kembali desanya di Mandu, Nepal.
Kepada BBC, istri Rajendra menuturkan bagaimana bugarnya Rajendra sebelum berangkat ke Qatar. Rajendra bahkan mendapatkan surat keterangan sehat sebelum memasuki Qatar. Jika tidak mengantongi surat keterangan itu, maka ia tak mungkin diizinkan bekerja di Qatar.
Tragisnya, nyawa Rajendra ditukar oleh upah yang tak seberapa banyak. Bekerja di bawah terik matahari gurun, Rajendra hanya mampu mengirimkan uang setara Rp 800 ribu tiap bulannya.
Meski dibayang-bayangi cerita kematian Rajendra dan banyak kisah tragis pekerja lain, setiap hari ratusan penduduk Nepal tetap bermigrasi ke Qatar. Kebanyakan dari mereka tak berpendidikan dan terlilit utang besar. Nepal, kasarnya, tak mampu memberikan pekerjaan pada mereka-mereka yang paling lemah di masyarakat.
Tak heran kini Nepal jadi penyumbang pekerja paling banyak ke Qatar, yaitu sebesar 40% dari total pekerja. Lebih dari 100 ribu penduduk Nepal meninggalkan keluarganya untuk mencari penghidupan di Qatar.
Adalah satu kenyataan bahwa di Asia Tenggara dan Timur Tengah buruh Nepal sangat diminati. Pasalnya mereka mau mengerjakan apapun meski dibayar sangat murah. Bahkan di Qatar, negara yang pendapatan per kapitanya lebih dari 100 ribu dolar per tahun, ribuan buruh Nepal ini hanya menerima gaji kurang dari 3.000 dolar per tahun. Itu pun kalau benar dibayarkan oleh pemberi kerja.
Buruknya sistem perekrutan pekerja membuat para buruh rentan dieksploitasi. Di balik ratusan ribu, bahkan jutaan, pekerja kasar di Qatar ada jaringan rumit yang melibatkan perusahaan konstruksi, penyedia buruh, sponsor pekerja, dan agen pekerja.
Banyak pekerja yang gajinya ditahan beberapa bulan untuk mencegah mereka melarikan diri. Dan mayoritas pekerja menyatakan bahwa kontraktor telah menahan paspor mereka. Bahkan, banyak pekerja juga yang tak pernah diberikan kartu identitas yang menyatakan mereka adalah pekerja yang sah.
"Manager kami selalu berjanji akan memberikan kartu identitas kami di 'minggu depan'," ujar seorang pekerja yang telah bekerja 2 tahun di Qatar tanpa kartu identitas pada The Guardian.
Tanpa dokumen-dokumen itu, para buruh berstatus ilegal. Tak mungkin mencari pekerjaan baru, dan rentan terkena kasus hukum tanpa adanya perlindungan. Seperti Zahir, mereka juga terperangkap sistem kafala. Tak mungkin kembali ke negaranya.
Puncak dari semua cerita kelam eksploitasi buruh bangunan ini adalah bagaimana mereka disegregasi ke dalam pusat konsentrasi pekerja, yang jauh dari penduduk lokal. Di bawah hukum Qatar, para pemilik properti memang dilarang menyewakan rumah pada pekerja imigran, jika ada penduduk lokal tinggal pada area itu.
Maka jika berkunjung ke Doha, Anda tidak akan menemukan muka-muka para pekerja yang kelelahan. Hanya berbagai bangunan mewah yang menjulang tinggi yang akan menyambut Anda. Para buruh layaknya hantu, tak diinginkan dan disingkirkan ke tempat-tempat yang tak terlihat.
Qatar sendiri memiliki rasio pekerja imigran terhadap populasi penduduk lokal tertinggi di dunia. Lebih dari 90% pekerja di Qatar adalah imigran. Untuk kepentingan Piala Dunia, Qatar diprediksi akan merekrut lebih dari 1,5 juta buruh untuk membangun stadion, jalan, pelabuhan, dan hotel yang dibutuhkan.
Antara Doha dan Guantanamo
Tentu tak sedikit yang akan tinggal diam jika mengingat nasib yang akan menyambut buruh demi Piala Dunia itu. Pada September lalu, The Guardian meluncurkan hasil investigasinya, sementara Phillippe Auclair, seorang jurnalis asal Prancis, mengeluarkan 3 tulisan special report tentang Qatar.
Lalu, pada 17 November 2013, Amnesti Internasional pun mengeluarkan laporan hasil survey setebal 167 halaman. Laporan yang bisa diunduh bebas oleh siapapun ini berisi wawancara dan penyelidikan mereka pada 210 pekerja di Qatar. Tak tanggung-tanggung, mereka memberikan judul "The Dark Side of Migration: Spotlight on Qatar's Construction Sector Ahead of The World Cup" pada laporannya.
Tapi berbagai laporan ini hanya mendapatkan reaksi selintas dari pemerintah Qatar. Hanya mendapatkan janji-janji tentang bagaimana mereka akan memperbaiki kondisi para pekerja.
Lalu bagaimana dengan FIFA? Bagaimana dengan otoritas yang menganugrahi Piala Dunia pada Qatar?
Direktur komunikasi FIFA, Walter De Gregio, hanya berujar bahwa mereka yang melancarkan kritik pada Qatar adalah pihak-pihak yang hipokrit. Pihak yang munafik. Menurut Walter, jika menyangkut sepakbola, tiba-tiba saja banyak pihak yang menuntut standar lebih tinggi dari biasanya.
"Jika begitu, dalam pencalonan Amerika Serikat sebagai tuan rumah, Anda juga harus menyoroti pelanggaran HAM di penjara Guantanamo," sindir De Gregio.
Sampai batas tertentu, komentar ini tentu bisa dibenarkan. Bahwa setiap negara memiliki aib dan borok masing-masing adalah tepat. Ada isu tentang penyembunyian area kumuh di Piala Dunia Afrika Selatan, sementara Brasil memiliki kasus gap sosial yang terlampau tinggi. Rusia pun diprotes karena dianggap homophobic, dan adanya diskriminasi pada kaum LBGT.
Intinya, memang tak ada negara yang tangannya benar-benar bersih.
Namun, apa yang akan terjadi di Qatar, jika kondisi ini tak segera dibenahi, akan menjadi satu tragedi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tragedi yang memang dibiarkan terjadi di depan mata oleh berbagai pihak.
Patut diingat, sebagaimana disampaikan di tulisan-tulisan lainnya, banyak pihak yang memiliki kepentingan di Piala Dunia 2022. Mulai dari perusahaan konstruksi non-Qatar, sampai banyak negara yang dihibahi uang oleh pemerintah Qatar akan berupaya keras memastikan Piala Dunia ini terjadi. Apapun harganya.
Jika ini tragedi ini benar-benar terjadi, maka komplitlah pembalikan piramida di sepakbola, yang tak hanya melulu masalah berubahnya taktik. Dulu sepakbola sangat berarti di tengah-tengah kaum buruh dan kelas pekerja, karena menawarkan sebentuk pelarian dari beban hidup. Di Qatar nanti, sepakbola-lah yang akan merenggut nyawa para kelas pekerja.
Bagian 1 - Menggunakan Spanyol demi Pencitraan dan Diplomasi Publik
Spanyol telah mengawali pelayarannya kembali belakangan ini. Bukan lagi dipimpin Colombus ataupun nahkoda-nahkoda yang namanya kita kenal di bangku sekolah, meski telah mulai asing untuk kita dengar.
Nahkoda kapal-kapal Spanyol tersebut kini mulai mudah kita ingat dan lafalkan. Nahkoda-nahkoda itu sekarang bernama Xavi Hernandez, yang telah memimpin La Furia Roja merajai Eropa dan dunia. Ada juga Andres Iniesta yang menahkodai Barcelona hingga begitu digdaya.
Pernah juga mendengar armada Real Madrid yang menghabiskan banyak uang dalam membangun armada perangnya? Tentu saja.
Tak hanya itu, Spanyol sekarang juga mempunyai pasukan berkuda yang sangat mumpuni. Sebut saja Dani Pedrosa, Jorge Lorenzo, dan jangan kita lupakan perwira baru mereka, Marc Marquez. Armada Spanyol juga kini semakin lengkap, dengan hadirnya pemukul bola handal macam Rafael Nadal.
Kegemilangan yang tentunya mengaburkan ingatan kita, bahwa Spanyol juga menjadi korban resesi ekonomi global 2008. Negara ini pernah mendapat bantuan Uni Eropa sebesar 125 juta dolar AS hanya untuk mengembalikan perekonomiannya setelah bencana kredit macet mendera mereka. Ya, Spanyol yang juga memiliki tingkat pengangguran 21,6%.
Namun bukankah Barca, Madrid, Lorenzo, Pedrosa, dan La Furia Roja telah sukses membiaskan semua itu? Spanyol seakan sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi, titi tentrem, kerta raharja.
Pada akhirnya publik memang sadar bahwa Spanyol telah mengambil langkah-langkah soft power, dengan aktor-aktor non negara --Barca, Madrid, Lorenzo, Pedrosa, dll-- yang mengambil peran-peran diplomasi.
Kesemuanya tentu untuk menjaga stabilitas iklim investasi Spanyol sendiri agar lekas keluar dari derita krisis ekonomi. Walhasil, kapal-kapal perang Spanyol tersebut telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Spanyol kembali (terlihat) berjaya.
Kerja Sama, Sama-Sama Kerja
Prospek industri olahraga yang ditawarkan Spanyol memang demikian seksi. Spanyol tak perlu menunggu lama agar gayung-gayung mereka disambut dunia luar. Perlahan, perekonomian Spanyol mulai membaik berkat adanya pengaruh dari sektor olahraga ini.
Dan kegemilangan diplomasi publik Spanyol tersebut mampu membuat Qatar jatuh hati. Apalagi semenjak akhir 2010, atau awal mula penunjukan Qatar jadi tuan rumah Piala Dunia, negeri tersebut terus menuai banyak kontroversi. Membangun citra yang baik bersama Spanyol, jadi hal penting yang mesti dilakukan.
Sejak awal dunia internasional, khususnya para penggila sepakbola, memang memandang skeptis keputusan FIFA yang menunjuk Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Ketersediaan SDM, kasus pelanggaran HAM, keamanan, dan animo penonton, menjadi sorotan utamanya.
Belum lagi, soal cuaca di Timur Tengah yang terkenal sangat panas. Tentu ini menjadi kendala para kontingen yang hendak berlaga. Demikian pula masalah kawasan Timur Tengah yang rawan konflik, juga jadi satu hambatan.
Qatar memang benar-benar sedang coba mengubah persepsi dunia tentang dirinya. Dan olahraga serta pariwisata telah dipilih Qatar sebagai tumpuan.
Anda tentu takjub dengan adanya race malam di sirkuit Losail, dan juga betapa indahnya kota Doha dengan pantai dan hotel-hotel yang sangat mewah, bukan? Ya, Qatar sedang melakukan diplomasi publik, selayaknya Spanyol.
Dalam hal ini Qatar pun tak tanggung-tanggung. Lihat saja kasus Losail. Karena kritik bahwa Losail mempunyai banyak permasalahan seperti cuaca dan juga angin gurun, akhirnya pengelola menyelenggarakan night race. Mereka juga mengubah Doha jadi lebih nyaman untuk didatangi para pelancong yang hendak menyaksikan MotoGP.
Bagi Qatar, tak jadi soal jika mereka tak punya rider dalam MotoGP. Mereka mempunyai Losail yang juga mampu mengibarkan panji-panji Qatar. Benar-benar diplomasi publik yang asyik. Diplomasi publik yang mampu menaikkan posisi tawar Qatar dalam pencalonan tuan rumah Piala Dunia.
Pun setelah Qatar ditetapkan menjadi host piala dunia 2022, kontroversi-kontroversi masih saja menaungi negara teluk ini. Yang paling mendapat sorotan dunia internasional tentu tentang eksploitasi pekerja dalam pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2022. Tercatat sebanyak 1,2 juta buruh migran asal Nepal, India, dan Bangladesh mengalami berbagai kasus eksploitasi pekerja, seperti gaji yang tidak dibayarkan, bekerja tidak sesuai kontrak, dan juga bekerja melebihi jam kerja.
Situasi ini dibaca tuntas oleh pemerintah Qatar. Qatar kembali melaksanakan kebijakan diplomasi publiknya. Eropa mejadi sasaran mereka untuk mendulang suara dan dukungan agar Piala Dunia tetap bisa dilaksanakan untuk kali pertamanya di kawasan Timur Tengah.
Spanyol jelas menjadi prioritas Qatar karena dianggap telah berhasil menaikkan citra lewat olahraga. Dan Qatar Foundation telah dipilih Emir Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani untuk membuka jalan di Negeri Matador.Tak sulit bagi negara kaya raya macam Qatar untuk mengetuk pintu investasi Spanyol yang jelas masih pesakitan dalam sektor ekonomi. Tak tanggung-tanggung, Qatar langsung mengucurkan dana 125 juta poundsterling untuk sekadar berpromosi di jersey Barcelona.
Dengan alasan Qatar Foundation adalah sebuah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, kemanusiaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan, akhirnya Barca menerima pinangan investor asal negeri minyak tersebut. Sensasional!
Tedeng alih-alih tersebut telah meruntuhkan benteng pertahanan jersey Barca tanpa sponsor yang telah berdiri kokoh kurang lebih 112 tahun. Toh dengan pembukaan pintu investasi di jersey Barca, pemerintah Spanyol juga berhasil menjalin kemitraan lebih intim dengan Qatar. Qatar yang butuh citra, dan Spanyol yang butuh suntikan dana, kini bergumul menjalin kerjasama untuk menyelamatkan misi masing-masing negara.
Lagi, lagi, dan lagi. Kebijakan ini dihujani kritikan. Tak hanya dari fans Barca yang merasa kesuciannya telah direnggut, namun juga dari dunia internasional. Seperti yang pernah dilansir salah satu media Spanyol El Mundo, pada 11 Desember 2010, bahwa Qatar Foundation mendanai Hamas, di samping bergerak pada bidang pendidikan, kesehatan, dan juga peneltian.
Menyoal tersebut, Israel bahkan sempat melakukan lobi-lobi agar Barca membatalkan kontraknya dengan Qatar Foundation. Tapi usaha Israel tak berhasil. Qatar langsung merespons dengan mengadakan kunjungan kenegaraan Emir Qatar Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani yang disambut langsung oleh Raja Juan Carlos di Madrid, 25 April 2011.
Walaupun banyak media menyebutkan bahwa kunjungan tersebut bertujuan untuk membahas kemitraan kedua negara, namun hal ini terbukti telah memuluskan jalan Qatar untuk terjun ke ranah persepakbolaan. Selain sukses membicarakan hubungan dagang, Qatar juga berhasil membiaskan isu soal keterlibatan Qatar Foundation dengan Hamas.
Hubungan saling menguntungkan tersebut terbukti telah mengokohkan perekonomian Spanyol, dan bahkan Uni Eropa. Bagaimana tidak, Qatar bahkan membuatkan Spanyol Business Council demi menjaga hubungan kemitraan strategis. Dan Qatar juga berhasil menaikkan citranya di mata dunia internasional. Bahwasanya Qatar memang benar-benar siap menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, dan mulai concern pada olahraga.
Tak sampai disitu, Qatar juga memanfaatkan media sebagai alat diplomasi publiknya. Al-Jazeera memainkan peran sebagai agen komunikasi politik dan politik pencitraan, yaitu Timur Tengah tak melulu mesti disangkut-pautkan dengan konflik.
Seperti yang kita tahu, Al-Jazeera adalah sebuah stasiun televisi Qatar yang berbasis di Doha. Kesehariannya stasiun televisi ini sangat akrab di telinga dengan berita-berita menyoal konflik di Timur Tengah. Namun, hari ini semua telah berubah. Al- Jazeera yang siarannya berbahasa Inggris tak lagi menjual konflik namun juga sepakbola. Al-Jazeera kini menjadi salah satu pemegang hak siar Liga Inggris, liga paling laris, dengan harga hak siar paling mahal di dunia.
Demi perbaikan citra pula, Al-jazeera yang awalnya hanya bisa dinikmati oleh dunia Arab, kini melebarkan sayapnya ke seluruh belahan dunia. Tak terkecuali ke Amerika Serikat, yang pada awal dekade 2000-an sangat anti dengan stasiun televisi ini.
Ya, Qatar benar-benar ingin jadi bintang baru di Timur Tengah. Bintang baru yang hendak menjadi lokomotif yang mampu menarik gerbong-gerbong berisi negara-negara Timur Tengah.
Qatar jelas ingin merubah citra Timur Tengah sebagai kawasan rawan konflik. Dan Qatar tentu sudah banyak mengeluarkan uang dan tenaga untuk memperbaiki citra di mata dunia. Timur Tengah yang kita kenal karena berita perang, yang dulu selalu muncul dalam program televisi pemerintah bertajuk Dunia Dalam Berita, kini ingin mengubah citra menjadi kawasan ramah olahraga.
Kita tunggu saja, seberapa berhasilkah mereka.
Bagian 2 - Politisasi Terbesar dalam Sejarah Sepakbola
Malam itu, 2 Desember 2010, di markas FIFA semua mata dan lensa kamera tertuju pada secarik kertas putih yang dibuka oleh Sepp Blatter. Secara mengejutkan, nama Qatar tertera di selembar kertas itu. Semua orang pun terkaget-kaget. Qatar terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.
Sejak saat itu juga nama "Qatar" kerap menjadi gunjingan publik. Padahal, tugasnya untuk menunaikan Piala Dunia masihlah amat lama. Masih 12 tahun lagi. Sejak saat itu pula Qatar seolah menjadi black hole. Jadi pusaran politik yang menyedot banyak kepentingan ke dalamnya.
Aroma politik memang terasa kental dalam pemilihan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Tak tanggung-tanggung, dua pejabat tinggi sepakbola, Presiden FIFA Sepp Blatter dan Presiden UEFA Michael Platini, secara terus terang mengakuinya.
Awal-Awal Polemik Pemilihan Qatar
Semua itu bermula di tahun 2011. Baru beberapa bulan Qatar berbahagia mendapatkan jatah sebagai tuan rumah, isu membeli suara riuh terdengar lewat bocornya email Sekjen FIFA, Jerome Valckle, pada Wakil Presiden FIFA, Jack Walner.
FIFA pun (terpaksa) turun tangan.
Investigasi dilakukan, tapi nihil hasil. Kekuatan finansial yang jadi daya tawar Qatar dinyatakan wajar dan legal, karena toh calon-calon lainnya pun akan menggelontorkan ratusan juta dolar untuk jadi tuan rumah.
Blatter, yang kala itu belum bermusuhan dengan Muhammad Bin Hammam –(eks) sekjen AFC berkewarganegaraan Qatar--, pun mendukung penuh kemenangan Qatar meski ia memilih Amerika Serikat dalam proses bidding.
Blatter berdalih. Ia berkata bahwa sejak awal abad 19, sepakbola memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional dan kehidupan sosial di Timur Tengah. Tapi, tak pernah sekalipun event kelas dunia sekelas olimpiade atau Piala Dunia hadir di sana. Lewat Qatar 2022, Blatter ingin mendobrak hal itu.
Namun, majunya Bin Hammam pada pemilihan presiden FIFA tahun 2022 membuat Blatter menjaga jarak dengan Qatar. Terlebih lagi setelah korupsi FIFA akhirnya terkuak. Bin Hammam dijatuhi hukuman karena melakukan suap dalam pemilihan Presiden FIFA. Komplit sudah kerenggangan antara Blatter dan Bin Hammam. Meski demikian, banyak yang menganggap sikap Blatter yang menjauh dari Qatar seolah dia ingin cuci tangan. Terlebih lagi banyak eks anggota Exco lainnya berguguran karena tertangkap menerima suap soal bidding Piala Dunia.
Isu transaksi pemilihan tuan rumah sendiri bukan hal baru di olahraga. Penyelenggaraan olimpiade (musim panas) pun pun sering dituding demikian.
Piala Dunia 2018 dan 2022 pun memiliki indikasi yang sama. Mantan ketua FA, Lord Triesman, bahkan pernah berujar tentang betapa banyaknya mafia yang bercokol dalam tubuh FIFA. Nyatanya, beberapa nama yang disebut oleh Lord Triesman kemudian mundur dengan sendirinya.
Blatter yang Mulai Menjauhi Qatar
Imbas kerenggangan antara Blatter dan Qatar terasa betul dalam penyataan implisitnya di awal September lalu. Secara terang-terangan ia mengakui bahwa pemilihan Qatar adalah sebuah kesalahan FIFA. Dan lebih gilanya, ia berujar bahwa anggota komite Exco FIFA yang mendukung Qatar mengalami tekanan Politik.
"Para pemimpin Eropa menganjurkan untuk (Exco) memilih Qatar karena kepentingan ekonomi, " ujar Blatter kepada media Jerman, Di Zeit.
Pernyataan Blatter itu menegaskan bau anyir politik tercium di Piala Dunia 2022. Sesuatu yang haram dalam sepakbola, menurut FIFA. Tetapi toh jadi rahasia umum bahwa Qatar memang memanfaatkan kekuatan finansialnya dalam lobi-lobi. Dan, FIFA menganggap itu wajar.
Padahal, betapa seringnya gimmick klasik "Kick Politic out of Football" terdengar dari FIFA. Tetapi justru mereka yang menghamba pada politik. Bagi FIFA, larangan berpolitik hanya berlaku pada negara-negara anggota, namun tak diterapkan bagi pengurusnya.
Terpilihnya Qatar jadi cukup bukti untuk hal ini.
Lobi-lobi Qatar dilakukan tingkat tinggi. Lobi kelas atas melalui jalur kepala negara lewat sang mantan emir, Hamad bin Khalifa Al Thani. Dengan kekuatan uang, mereka menguji nasionalisme para 22 anggota Exco. Iming-iming kekayaan melimpah lewat kedok "investasi" pun siap dikucurkan asalkan mendukung Qatar jadi tuan rumah.
Spanyol adalah jadi yang pertama didekati oleh Qatar. Pada mulanya mereka bersepakat melakukan tukar suara dalam proses bidding: Qatar mendukung Spanyol-Portugal di Piala Dunia 2018, begitu kebalikannya.
Mengucurkan Dana ke Seluruh Penjuru Dunia
Dalam proses bidding yang melibatkan 22 anggota Komite Exco FIFA, Qatar menang 14 suara dari Amerika yang hanya mendapat 8 suara. Tapi tahukah anda, Beberapa tahun sebelum dan sesudah proses itu, investor-investor asal Qatar menyerbu ke-14 negara tersebut. Diplomasi uang "kampanye terselebung" Qatar pun menyebar ke seluruh dunia.
Bahkan, kasus Paris Saint Germain, Barcelona dan Real Madrid, pun terlihat kecil jika dibandingkan dengan lobi yang dilakukan sang emir.
Di Brasil, bank terbesar di Amerika Selatan: Banco Santander diakuisisi oleh Qatar Investment Authority dengan nilai investasi 2,72 milliar dolar pada tahun 2011. Sementara di Argentina, sang Presiden Cristina Fernandez de Kirchner terbang ke Doha untuk menandatangani kontrak jangka panjang dengan Qatargas, demi pasokan 16% kebutuhan gas Negara. Paraguay pun sama. Mereka dapatkan suntikan dana besar untuk bekerja sama di sektor pertanian dan kontruksi.
Benua hitam Afrika pun menyicipi manisnya uang gas Qatar. Lihat saja Mesir yang mendapat suntikan dana 10 milliar dolar. Di Kamerun, taipan-taipan Qatar menanam investasi di bidang telekomunikasi. Di Pantai Gading, mereka kecipratan kerja sama LNG yang membuat dominasi mereka di bidang energi Afrika Barat semakin menjadi.
Asia pun tak luput. Di Thailand, Qatargas siap melakukan kongsi dagang terkait penjualan LNG. Thailand diplot sebagai pintu masuk Qatar untuk Negara-negara ASEAN lainnya.
Korea Selatan dan Jepang yang diakhir-akhir proses bidding memberikan dukungan pun mendapatkan keuntungan yang sama. Qatar mempersilakan kontraktor dari dua negara Asia timur itu menjadi aktor utama dalam membangun infrastruktur penunjang Piala Dunia di sana. Timbal baliknya, pasokan gas LNG akan terkirim dengan lancar.
Di Eropa, Siprus yang terkena resesi mendapat dana talangan 5 miliar dollar. Sang Emir pun membangun hotel senilai 150 juta dolar di ibukota Nikosia. Sementara itu, Turki diberi dana untuk membangun terminal distribusi LNG gas ke Eropa. Kontraktor mereka pun diajak dalam mengerjakan proyek-proyek Piala Dunia.
Menariknya, pada benua biru Eropa, negara-negara yang tahan banting saat krisis seperti Jerman, Swiss, Irlandia, Rusia dan Belgia enggan memberikan suaranya kepada Qatar. Dolar yang dimiliki Qatar memang lebih menarik bagi negara yang terkena resesi seperti Spanyol, Prancis, Turki dan Siprus. Karenanya, memilih Qatar menurut mereka, mungkin, jadi bagian dari nasionalisme.
Maka tak heran jika Platini dengan mudah dan tanpa beban bisa mengakui tudingan Blatter soal intervensi politik itu.
"Dengan pengaruh luar biasa yang dimiliki Blatter," ujar Platini, "Apakah dia baru saja menyadari bahwa ada kepentingan ekonomi dan politik dibalik penentuan tuan rumah Olimpiade dan turnamen lainnya? Yah, memang lebih baik terlambat, daripada tidak (sadar) sama sekali," ucapnya kepada Guardian seraya menyindir Blatter yang seolah-olah amnesia akan politisasi yang lazim di dalam tubuh FIFA.
Qatar yang Kini Jadi Lebih Liberal
Melihat proyeksi jumlah yang akan dikeluarkan Qatar sebagai tuan rumah, angka 10 juta dan 46 juta dolar yang diajukan Australia dan Amerika Serikat pada proses pencalonan tentu terlihat sebagai receh. Toh jika seluruh dana penyelenggaraan Piala Dunia dari tahun 1930 hingga 2010 digabungkan, jumlah itu masih kalah banyak dengan dana tak terlihat yang Qatar gelontorkan.
Lantas untuk apa semua itu dilakukan?
Qatar adalah sebuah negara kaya kecil yang berusaha menjadi pesaing utama raksasa timur tengah, Arab Saudi. Kendati sama-sama menganut paham Wahabisme (sebuah ajaran Islam Muhammad Al Wahab yang berkembang dan menjadi cikal bakal terbentuknya kerajaan Arab Saudi), Qatar memposisikan diri mereka bertentangan dengan Saudi.
"Saya menganggap diriku wahabi yang baik, dan masih bisa menjadi modern. Mau membuka pemahaman Islam secara terbuka karena kami memperhitungkan perubahan dunia, dan tidak memiliki mentalitas pemikiran tertutup sebagaimana yang dilakukan di Arab Saudi sana," sindir Abdelhameed Al Ansari, dekan Qatar University of Syariah kepada The Wall Street Journal di tahun 2002.
Dogma konsevatif Wahabi ala Arab Saudi memang sudah habis terkikis di Qatar. Dibandingkan dengan negara-negara lainnya di semenanjung Arab, Qatar memang dikenal lebih liberal dan sekuler.
Bayangan cermin negara-negara wahabi dengan ulama yang konservatif, pembatasan ruang gerak perempuan, segregasi gender yang mutlak (melarang gay dan lesbi), pelarangan terhadap alkohol dan rumah ibadah bagi para penganut agama lain tak terjadi di Qatar. Mereka membuka selebar-lebarnya keran pada barat dan dunia.
Di sisi lain, Qatar pun menjalin hubungan mesra dengan kelompok-kelompok Islam yang dibenci barat: Ikhwanul Muslimin, Hamas, Al Qaida dan kelompok perlawanan Suriah.
Ketakutan yang Jadi Cikal Bakal Piala Dunia 2022
Salah seorang pengamat sepakbola Timur Tengah, James M. Dorsey, memaparkan konklusi menarik tentang motif lain Qatar, yaitu untuk keamanan-pertahanan dalam negeri mereka. Ini terutama karena letak geografi Qatar sendiri berada di antara Arab Saudi dan Iran, dua raksasa timur tengah mewakili sunni dan Syiah, yang tak menutup kemungkinan akan saling menabuh genderang perang.
Meski memiliki militer yang super canggih, Qatar merasa tak akan pernah mampu untuk mempertahankan diri saat perang terjadi. Invasi Irak ke Kuwait pada 1990 pun memberikan dua pelajaran pada Qatar: Arab Saudi sebagai polisi saudara tua bukanlah penjamin yang bisa diandalkan dan keyakinan untuk menggantungkan diri pada Amerika Serikat pun dipertanyakan.
Dalam Perang Teluk jilid satu itu, bukan Amerika yang membantu Kuwait, namun koalisi internasional. Tanpa memiliki soft power di dunia internasional itu, Kuwait mungkin hari ini sudah binasa. Kini, soft power ini yang coba direbut Qatar lewat dunia olahraga dan sepakbola.
Setidaknya, sebelum Piala Dunia 2022 digelar Qatar akan merasa aman. Dukungan internasional akan datang bergelombang saat mereka terjebak dalam peperangan. Dunia tak akan tinggal diam, melihat Qatar sang tuan rumah Piala Dunia 2022 itu terkoyak-koyak. Serempak, dunia akan berkata: jangan coba-coba ganggu (proyek kami di) Piala Dunia!
Ya, Qatar telah sukses mempolitisir kecintaan publik sepakbola untuk menghilangkan ketakutan dalam diri mereka! Tak ayal, bagi saya, pemilihan Piala Dunia 2022 adalah politisasi sepakbola terbesar sepanjang sejarah.
Bagian 3 - Membidik Kemustahilan Lewat Uang dan Piala Dunia
Apa artinya menjadi tuan rumah Piala Dunia? Bagi Brasil, mungkin maknanya adalah menunjukkan kebangkitan mereka sebagai kekuatan ekonomi dunia. Bagi Afrika Selatan, bisa jadi sebagai alat untuk menunjukkan kesetaraan antara kulit hitam dan kulit putih di mata dunia.
Lalu apa arti dari Piala Dunia Qatar? Apa maknanya menyelenggarakan turnamen akbar di negara dengan pendapatan kapita terbesar di dunia ini?
Secara sederhana, menyelenggarakan Piala Dunia di negeri semenanjung ini, dari sudut pandang penulis, berarti mengajak dunia untuk melewati batas-batas nalar dan perhitungan matematis lewat sepakbola. Bahkan cuaca ekstrim, meroketnya biaya penyelenggaraan, dan minimnya keuntungan ekonomi tak sanggup untuk menghalangi Qatar untuk menjamu dunia.
63 Kali dari Afrika Selatan 2010
Menilik rencana mega proyek Piala Dunia 2022, tak heran mata dunia terbelalak. Menurut seorang analis hukum dan keuangan Jerman, Dr. Nicola Ritter, Qatar bahkan diestimasikan akan menghabiskan uang hingga 220 miliar dolar!
Nilai tersebut hampir mencapai 63 kali lipat besaran biaya yang dikeluarkan oleh Afrika Selatan dalam Piala Dunia 2010. Kala itu Afsel hanya menghabiskan biaya sebesar 3,5 miliar dolar.
Tak heran Qatar merebut hak sebagai tuan rumah dari tangan Australia, Korea Selatan, Jepang dan Amerika Serikat. Qatar memang tidak main-main dalam mempersiapkan dirinya.
Nilai yang tampak tidak rasional ini seolah hal kecil bagi Qatar. Bisa dibayangkan, dengan 220 miliar dollar, angka tersebut setidaknya mampu menyamai besaran rekor defisit anggaran terbesar yang dialami oleh Amerika Serikat pada Februari 2011.
Angka itu juga setara dengan 25 kali penyelenggaraan Olimpiade 2012 di London, yang sudah dikatakan banyak orang sebagai olimpiade yang paling mahal. Atau, mereka bisa membangun lebih dari 500 stadion setara Allianz Arena di Munich.
Bisa ditengok. Semua hal-hal besar diatas setara dengan biaya yang dianggarkan Qatar dalam membangun stadion dengan fasilitas air contioner, kota yang dibangun dari awal, dan sarana pendukung lainnya. Semuanya hanya untuk menggelar Piala Dunia.
Memang benar, terdapat kontroversi mengenai besaran nilai yang akan dikeluarkan. Deloitte melaporkan akan ada uang yang mengalir lebih dari 200 milliar dollar selama masa persiapan. Sementara itu, International Bank of Qatar menyebutkan Qatar akan menghabiskan biaya 100 miliar dolar, dan Qatar First Invesment Bank mengklaim hanya 60 miliar dollar yang akan dihabiskan.
Namun, negara mana yang ingin memamerkan hartanya di tengah sulitnya kondisi perekonomian saat ini? International Bank of Qatar dan Qatar Investment Bank selaku pihak dari internal Qatar tentu akan berusaha untuk menutupi total perencanaan biaya.
Maka tak salah biaya yang dipublikasikan pun cenderung lebih kecil dan jauh berbeda dengan yang dihitung oleh Deloitte maupun Dr. Nicole Ritter. Angka 220 ataupun 200 milar dolar sebenarnya jadi lebih masuk akal, karena nilai keluar dari penilaian pihak independen.
Rencana Strategis Qatar
Merenovasi tiga stadion, mendirikan sembilan stadion baru dan membangun sebuah kota adalah beberapa penggal rencana Qatar guna mendukung gelaran Piala Dunia. Akibatnya, pembangunan infrastruktur mengambil porsi presentase terbesar dari anggaran yang muncul.
Ini berbeda sekali dengan Afrika Selatan dan Brasil (2014). Di dua negara ini biaya infrastruktur tidak lebih dari 15% total biaya penyelenggaraan.
Fokus pembangunan sendiri ditekankan pada pos-pos seperti perumahan, perhotelan, stadion, bandara, jalan, sistem metropolitan dan perkeretaapian, mall serta perkembangan aset lainnya. Semua dilakukan guna mengakomodasi kebutuhan 400 ribu fans yang ditargetkan akan hadir pada ajang Piala Dunia.
Tapi, sebagaimana tuan rumah lainnya, motif pembangunan infrastruktur ini sebenarnya tidak hanya didasari oleh hal yang mendukung aktivitas Piala Dunia saja.
Salah satu fokus dari visi Qatar adalah dengan menarik turis dan pendatang sebanyak-banyaknya. Strategi pemerintah dalam beberapa tahun terakhir mendukung rencana tersebut. Qatar banyak mempromosikan pariwisata berkelanjutan, seperti Museum Seni Islam dan Desa Budaya.
Seorang Emir Qatar, Shaikh Hamad Bin Khalifa Al Thani pun sempat mengunjungi Austria dalam membangun kerjasamanya. Ia bertemu dengan Presiden Heinz Fischer guna merundingkan perjanjian mengenai pajak ganda dan transportasi udara.
Perjanjian transportasi udara ini merupakan salah satu bentuk persiapan Qatar dalam mempermudah akses para wisatawan dari Eropa untuk berkunjung ke Qatar.
Investasi Sebagai Sektor yang Dieksplor
Sebagai tuan rumah, meski memiliki berbagai kepentingan politik, bukan berarti Qatar tidak mendapatkan manfaat ekonomi secara langsung. Multiplier effect yang timbul dari terpilihnya Qatar sebagai penyelenggara Piala Dunia pun berimbas pada nilai investasi di negara tersebut.
Bahkan, perubahan langsung terjadi pada hari ketika Qatar menerima putusan dari FIFA untuk menjadi tuan rumah. Pada hari itu, perubahan pasar di lantai bursa langsung bereaksi positif. Pasar ekuitas Doha naik sebesar 7,5 %.
Harga saham dari beberapa perusahaan pun langsung bergerak naik terutama yang bergerak dalam bidang konstruksi. Semua didorong harapan yang tinggi akan bonus miliaran dolar uang yang dikeluarkan oleh pemerintah Qatar.
Menariknya, pembangunan infrastruktur yang ada di Qatar sendiri banyak melibatkan pihak asing. Banyak investor yang menangkap peluang untuk cari pundi-pundi uang dari agresivitas pemerintah Qatar sebagai tuan rumah tersebut.
Deutsche Bahn AG, perusahaan kereta api nasional Jerman telah dianugerahi kontrak guna membangun sistem metro sepanjang 320 kilometer. Perusahaan Jerman lainnya pun tampak akan menyusul dalam membangun sistem air conditioner di dalam stadion.
Perusahaan Jerman lainnya, Hochtief, menjual 10% sahamnya kepada pihak Sovereign Wealth Fund Qatar. Organisasi ini sendiri merupakan kendaraan finansial milik Qatar yang memiliki, atau mengatur, dana publik dan menginvestasikannya ke asset-aset yang luas dan beragam. Selain itu, Hochtief akan membangun sebagian besar stadion Piala Dunia serta jembatan antara Qatar dan Bahrain.
Kerja sama yang melibatkan pemerintah Qatar dan Austria mengenai pajak ganda pun turut menjembatani pihak investor asing untuk turut menjadi bagian dalam membangun Qatar.
Sebagai negara kaya yang siap menghamburkan uang untuk menyelenggarakan Piala Dunia, maka tak jadi aneh jika Qatar dikerubungi oleh para pencari keuntungan.
Manfaat Ekonomi yang Tak Benar-Benar Manfaat
Banyak yang menganggap bahwa jadi tuan rumah Piala Dunia akan memunculkan lebih banyak manfaat ketimbang beban finansial. Namun, skeptimisme terhadap pandangan ini tetap muncul. Ini karena pada kasus kebanyakan dana penyelenggaraan tak sebesar imbalannya.
Bahkan Farouk Soussa, kepala ekonom Citibank di Timur Tengah, pun menjelaskan bahwa, "Sejumlah hasil penelitian pada dampak ekonomi suatu negara, atau kota, dalam menggelar acara internasional, umumnya tidak memberikan gambaran yang menggembirakan bagi Qatar."
Dalam kasus Qatar, investasi yang mencapai 220 miliar diestimasi hanya akan meningkatkan nilai investasi sebesar 4%. Tentu ini bukan hal yang dapat dibanggakan.
Apalagi Qatar sendiri memiliki kebijakan akan "mendonasikan" stadion setelah Piala Dunia usai. Ini berarti stadion yang dibangun akan diambil terpisah pasca turnamen lalu dihibahkan kepada negara-negera berkembang. Artinya sebagian dari uang yang dikeluarkan, memang dianggap akan menghilang.
Rencananya, sebanyak 170 ribu kursi akan disumbangkan kepada negara-negara yang membutuhkan infrastuktur stadion, dengan negara di Afrika jadi tujuan utama. Sebagaimana diungkapkan oleh Nasser Al-Khater, direktur komunikasi Qatar 2022, "kami ingin menginggalkan warisan olahraga ramah lingkungan. Stadion modular kami akan menjadi cara yang tepat untuk menerapkan ini."
Memecah kursi stadion sebenarnya masuk akal bagi Qatar. Pada Piala Asia 2011 saja hanya setengah dari kapasitas stadion yang terisi penonton. Bayangkan jika Piala Dunia 2022 usai digelar. Berapa banyak bangku kosong yang mungkin hanya berfungsi sebagai aksesoris pelengkap stadion?
Selain kursi stadion, ranjang hotel pun jadi surplus signifikan ranjang hotel yang tidak akan terpakai setelah Piala Dunia.
Dari data yang dikeluarkan oleh Qatar Tourism Authority, dari 8.500 kamar hotel yang tersedia di Qatar, rata-rata hunian hanya mencapai 50%. Dengan asumsi bahwa Qatar akan menarik 310 ribu pengunjung, seperti halnya yang dilakukan oleh Afrika Selatan, dengan rata-rata tinggal selama 18 malam dengan dua orang untuk sebuah ruangan, setidaknya Qatar membutuhkan 90 ribu kamar hotel.
Dengan melakukan perbandingan antara data dan asumsi itu, hasilnya adalah pada pasca Piala Dunia setidaknya Qatar harus mampu menaikkan tingkat hunian hotel hingga 15 kali lipat. Itu pun hanya untuk mencapai tingkat huninan rata-rata 70%. Lalu, apakah mungkin hotel juga didonasikan seperti halnya kursi stadion?
Implikasi dari jumlah penduduk "asli" hanya sebesar 300 ribu jiwa juga terjadi di sektor konstruksi. Banyaknya peluang lapangan pekerjaan serta kontrak pengadaan bahan bangunan akan jatuh ke pihak asing. Artinya, multiplier effect dari pembangunan besar-besaran memang sulit digapai.
Belum lagi Qatar memiliki kebijakan sebagai negara tax haven. Keuntungan dari peningkatan kegiatan ekonomi juga mungkin tidak akan dipetik.
Segala kebombastisan penyelenggaraan, biaya pembangunan yang meroket, namun dengan minimnya manfaat ekonomi ini menunjukkan bahwa Piala Dunia Qatar memang di luar nalar. Satu-satunya pembenaran untuk menggelontorkan biaya sebanyak ini adalah karena Qatar memang sanggup untuk menggelontorkan uang secara jor-joran.
Lalu bagaimana dengan FIFA? Bagaimana dengan dunia? Alasan apa yang bisa dikeluarkan untuk membenarkan semua harga ekonomi dan harga sosial dari Piala Dunia 2022 di Qatar?
Bagian 4 - Bagaimana Bermain Sepakbola di Cuaca Seperti 'Neraka'
Sepakbola katanya adalah permainan universal yang bisa menyatukan dunia. Tentu ini berarti sepakbola memang telah dimainkan di seluruh penjuru dunia. Dan sebagai kompetisi terakbar, bukankah sewajarnya Piala Dunia juga diselenggarakan di berbagai tempat dengan berbagai cuaca? Yang Eropa merasakan panasnya Amerika Selatan, dan yang Amerika Selatan mencicipi angin Afrika.
Lalu bagaimana dengan Qatar? Dengan suhu berkisar 50 derajat celcius, masih cocok kah Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia? Adakah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengakalinya?
Piala Dunia 2022 di dataran Arab itu memang masih satu dekade lagi. Tapi masalah cuaca telah menjadi topik panas di kalangan para penggemar sepakbola dan FIFA.
Bertemu Iklim Gurun
Di musim panas, iklim di Qatar dapat digambarkan sebagai subtropis kering, atau iklim gurun yang panas. Iklim ini menyebabkan adanya perbedaan besar antara suhu maksimal dan minimal, terutama di daerah daratan tak berpantai. Perbedaan besar ini juga berlaku untuk kelembaban udara yang bisa sangat bervariasi, bergantung pada suhu.
Satu perdebatan yang terus berlangsung hingga saat ini adalah tentang waktu penyelenggaraannya di bulan Juni. Memang pada musim panas (Juni sampai September), Qatar akan sangat panas dengan curah hujan rendah. Suhu maksimal harian dapat mencapai 50° C, yang artinya: very very hot!
Penyelenggaraan Piala Dunia di Qatar dinilai "berisiko tinggi" karena faktor iklim dan cuaca tersebut. Bahkan sempat ada wacana untuk memindahkan Piala Dunia 2022 ke musim dingin.
Jika melihat kembali ke Piala Asia 2011 di Qatar, turnamen tersebut dijalankan di bulan Januari (musim dingin) ketika suhu lebih bersahabat, yaitu sekitar 27° C. Sementara itu, 50° C memang dinilai terlampau panas. Bahkan untuk negara-negara Teluk sekalipun.
Hindari Dehidrasi!
Hal utama yang mesti diingat ketika berolahraga di tempat panas adalah bisa menyebabkan kondisi lembab. Apalagi bagi yang tidak terbiasa. Tubuh akan senantiasa berada di bawah tekanan yang besar. Selain terus-menerus mengeluarkan keringat, sirkulasi otot yang bekerja juga menghasilkan panas, disusul oleh kebutuhan aliran darah ke permukaan kulit untuk mengangkut panas dari tubuh ke luar. Akibatnya, suhu tubuh naik drastis.
Dalam keadaan latihan dan pertandingan, panas yang dihasilkan bahkan bisa mencapai 20 kali lipat dari panas yang dihasilkan pada saat beristirahat. Karena itu, pesepakbola harus mampu menjaga regulasi panas tersebut, sehingga bisa mempertahankan performa mereka. Hal ini berkaitan erat dengan dehidrasi yang bisa meningkatkan risiko penyakit pada cuaca panas, seperti kram panas, kelelahan, dan serangan panas.
Aktivitas pada suhu 320-40° C saja sudah beriesiko untuk membuat tubuh mengalami kram panas. Apalagi aktivitas pada 50° C, tubuh akan sulit untuk menyesuaikan diri hingga dapat menyebabkan kehilangan kesadaran seseorang.
Beberapa faktor lain, selain temperatur dan kelembaban, yang mempengaruhi panas tubuh antara lain adalah pakaian dan kondisi pesepakbola. Salah satu indikator pesepakbola yang mengalami dehidrasi adalah penurunan produksi keringat, serta urin yang pekat. Pesepakbola disarankan untuk selalu menjaga intake cairan tubuh dengan cara minum air sebelum mereka merasa kehausan.
Selama penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar nanti, pesepakbola akan mengalami hal-hal yang disebutkan di atas. Sangat berat, tentunya.
Bagaimana Menghadapi Panas
Pesepakbola yang akan berlaga di Qatar 2022 nanti harus melakukan penyesuaian iklim dengan cara aklimatisasi panas. Persiapan ini jadi strategi yang sangat penting dan harus dilakukan secara matang. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah frekuensi latihan, durasi latihan, intensitas latihan, dan kondisi lingkungan itu sendiri.
Pelatih harus mempertimbangkan aklimatisasi selama sebulan lebih di Qatar agar tubuh pesepakbola bisa menyesuaikan dengan lingkungannya. Durasi latihan disarankan selama 60-90 menit, dengan latihan di pagi dan sore hari. Intensitas latihan juga perlu diperhatikan agar pesepakbola tidak melakukan latihan berat.
Musuh utama cuaca panas adalah dehidrasi. Aklimatisasi tentu akan meningkatkan performa dalam cuaca panas, tetapi juga meningkatkan kebutuhan cairan karena peningkatan produksi keringat. Akibatnya, dehidrasi dan aklimatisasi akan saling berbentrokan.
Terdapat beberapa cara untuk menghindari dehidrasi tubuh. Minuman dengan tingkat karbohidrat tidak lebih 8% masih dapat ditoleransi, sebagai pertimbangan energi yang dibutuhkan oleh tubuh dari karbohidrat. Namun, Konsumsi karbohidrat berlebih juga sangat tidak disarankan.
Minuman berelektrolit juga cukup dianjurkan. Ini karena keringat yang keluar dari tubuh juga akan membawa elektrolit-elektroit dari dalam tubuh.
Kesalahan yang sering terjadi adalah minum dalam jumlah yang banyak saat dehidrasi. Konsumsi minum berlebih justru akan membuat cairan yang masuk tertahan di lambung. Padahal, air seharusnya segera disebar ke seluruh tubuh. Konsumsi air yang baik adalah dengan meminum sedikit demi sedikit namun berkelanjutan.
Dalam keadaan ini, memantau kondisi cairan pada tubuh atlet menjadi sangat penting. Tidak perlu menunggu sampai merasa haus untuk memasukan cairan ke dalam tubuh. Pantau cairan yang keluar melalui urin dan keringat. Ketika jumlah urin dan keringat mulai menurun, hal ini berarti alarm tanda peringatan sudah berbunyi.
Mengakali Panas di Gurun
Jika tetap menyelenggarakan Piala Dunia selama musim panas, cuaca di Qatar memang menjadi perhatian utama. Namun, panitia penyelenggara menilai panas tidak akan menjadi masalah.
Mereka meng-klaim bahwa masing-masing stadion akan memanfaatkan energi dari sinar matahari untuk menghasilkan listrik. Energi listrik ini kemudian akan digunakan untuk mendinginkan stadion, baik untuk pesepakbola maupun penonton. Ketika sedang tidak ada pertandingan, instalasi panel surya di stadion akan mengekspor energi ke jaringan listrik di sekitar kawasan.
Metode ini secara teoritis mampu mengurangi suhu dari 50° C menjadi 27° C. Panitia penyelenggara juga mengusulkan untuk menggunakan teknologi pendinginan pada tribun penonton, lapangan pertandingan, lapangan latihan, serta jalur-jalur yang menghubungkan stadion dengan fasilitas umum, seperti transportasi.
Patut diingat, bahwa mendinginkan stadion saja tidak cukup. Pemain harus tetap berada di "cuaca normal" baik saat latihan, istirahat, atau saat dalam moda transportasi.
Bagaimana dengan Memindahkan Piala Dunia ke Musim Dingin?
Salah satu anggota komite eksekutif FIFA, Franz Beckenbauer, mengatakan bahwa Qatar mungkin diizinkan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 di musim dingin. Ia juga berpendapat bahwa jika dilaksanakan di musim dingin, Qatar akan lebih menghemat pengeluaran yang mereka habiskan untuk pendinginan stadion.
Pada Bulan Januari dan Februari Qatar memang dapat memiliki suhu harian sekitar 27° C. Kemudian Presiden FIFA Sepp Blatter juga setuju bahwa saran ini adalah saran yang masuk akal. Selain itu Michel Platini sebagai presiden UEFA juga menunjukkan sikap bahwa ia siap untuk mengatur ulang jadwal kompetisi-kompetisi klub Eropa, jika nantinya Piala Dunia akan digelar pada musim dingin.
Tapi ini tentu jadi tugas yang sangat berat, karena menyangkut kepentingan, klub, penonton, dan pemengang hak siar televisi. Memajukan jadwal kompetisi, tentu berarti akan melalui proses negosiasi yang panjang.
Namun, jika tetap akan dilaksanakan di musim panas, iklim Qatar akan sangat mempengaruhi performa pesepakbola di atas lapangan. Waktu pemulihan (recovery) akan lebih panjang, sementara di atas lapangan akan terjadi lebih banyak kesalahan yang terjadi akibat dari penurunan performa tersebut. Selain itu, melakukan aklimatisasi secara total dengan iklim di Qatar adalah hampir mustahil.
Jikapun bisa, mesti dilakukan dalam waktu yang lama, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Namun, aklimatisasi satu bulan secara teknis belum tentu bisa dilakukan, karena berbenturan dengan jadwal berakhirnya kompetisi. Ini berarti mengulangi masalah yang sama dengan memindahkan kompetisi ke musim dingin.
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, saya pikir tim-tim Eropa, di atas kertas, hampir pasti akan mengalami kesulitan. Besar kemungkinan bahw Piala Dunia 2022 di Qatar adalah saat bagi tim-tim Amerika Latin, Asia dan Afrika untuk berjaya. Setidaknya, sebelum mereka menaklukkan lawan-lawan mereka, mereka punya keuntungan dalam memenangkan pertarungan melawan cuaca panas.
Bagian 5 - Membalikkan Piramida 'Sepakbola Kelas Pekerja' di Negeri Petro Dolar
Mengatakan bahwa Piala Dunia Qatar tidak akan memakan korban adalah satu kesalahan. Pada periode Juli hingga Agustus 2013 saja sudah ada 40 buruh yang tewas di beberapa konstruksi terkait Piala Dunia itu.
Ada yang mati karena terjatuh dari ketinggian, saat bekerja di tempat yang bahkan tidak menyediakan helm. Ada yang mati kelelahan karena jantungnya tidak berfungsi lagi dipaksa bekerja terus menerus, dua belas jam sehari, tujuh hari seminggu.
Mereka-mereka yang datang ke Qatar dalam keadaan sehat, kemudian pulang ke negaranya dalam bentuk jenazah. Dan banyak di antaranya yang sudah merenggang nyawa di usia kurang dari 40 tahun.
Ya. Piala Dunia Qatar memang sudah memakan korban. Di balik hingar-bingar perseteruan antara petinggi FIFA, penyelenggara liga, dan pemilik hak siar televisi tentang dipindahkannya event akbar ini ke musim dingin, perlahan nyawa pun terus berjatuhan.
Terjebak Kafala
Meski bukan jadi buruh bangunan yang bekerja di terik matahari, Zahir Belounis, seorang pesepakbola asal Prancis berdarah Aljazair, juga merasakan bagaimana kerasnya mencari nafkah di Qatar. Dalam dua setengah tahun terakhir ia tidak mendapatkan gaji, tidak memiliki klub, atau memiliki kesempatan untuk pulang ke Prancis.
Dalam periode itu Zahir telah menjual harta benda miliknya untuk sekadar menyambung hidup istri dan kedua anaknya. Ia juga memiliki utang lebih dari 70 ribu euro untuk sewa rumah yang ia tinggali saat ini. Datang ke Qatar demi mencicipi uang, kini Zahir harus terkatung-katung tanpa kejelasan.
Awal mula keterpurukan ini dimulai saat Zahir bermigrasi ke Qatar pada 2007, ketika ia bergabung dengan klub Millitary Sport Association. Setelah menyelesaikan kontraknya selama 3 tahun, Zahir sebenarnya sempat kembali ke Prancis. Namun, saat Military Sport Association mendapatkan promosi, Zahir kembali memperkuat klub itu dengan kontrak selama 5 tahun.
Masalah muncul ketika Military Sport Association berubah menjadi Al-Jaish, dan Zahir tidak menandatangi perbaharuan kontrak yang menyatakan bahwa ia bekerja untuk Al-Jaish. Tiba-tiba saja Zahir tidak memiliki proteksi dan kejelasan status secara hukum. Di saat yang bersamaan, Al-Jaish juga seakan tidak lagi membutuhkan tenaga Zahir. Ia dianggap pemain surplus yang mesti dibuang. Zahir juga sempat dipinjamkan ke klub lain.
"Setelah satu tahun (berubah jadi Al-Jaish), mereka tiba-tiba menghentikan bayaranku," keluh Zahir, "dan setelah berbulan-bulan, mereka tetap mengatakan hal yang sama."
Zahir pun tak bisa kembali ke Prancis, karena ia tak memiliki exit visa dan paspornya ditahan. Di bawah sistem kafala, seseorang memang hanya bisa keluar Qatar jika memiliki exit visa dan jika sponsor yang membawanya ke Qatar memberikan izin.
Dua Juta Euro Untuk Zidane
Nasib serupa sebenarnya pernah menimpa Abdeslam Ouaddou, seorang pesepakbola asal Maroko yang bermain di klub Lekhwiya. Selama lima bulan ia tak dibayar, tak bisa pindah ke klub lain, dan juga tak bisa keluar dari Qatar. Ouaddou bahkan sempat melaporkan kasusnya ke FIFA.
Saat meminta exit visa pada klubnya, Ouaddou malah diberitahu bahwa ia tak akan bisa keluar dari Qatar jika tidak mencabut aduannya. Setelah mengancam akan mengadukan kasusnya ke grup pembela hak asasi manusia, barulah Ouaddou diberi kebebasan untuk pulang ke negaranya.
Tapi itu pun dengan catatan. "Kami membiarkanmu pergi. Namun, akan butuh waktu lima sampai enam tahun sampai kasusmu di FIFA beres dan kamu mendapatkan uangmu. Kami punya banyak pengaruh, dan sangat kuat di FIFA," ujar salah seorang pihak Lekhwiya, sebagaimana dikutip Ouaddou pada CNN.
Cara penyelesaian seperti inilah yang tak diinginkan Zahir. Menurutnya, ia tak hanya berhak atas izin pulang, tapi juga atas gaji yang semestinya dibayarkan El Jaish. Maka Zahir pun menuntut. Ia menyewa pengacara dan menempuh jalur hukum. Zahir juga melaporkan kasusnya ke FIFA. Dan enam bulan lalu ia sempat mengancam akan melakukan aksi mogok makan.
Cara paling anyar yang Zahir lakukan adalah pada 14 November 2013 dengan mengirim surat terbuka pada Zinedine Zidane. Ia meminta agar Zidane berbicara pada dunia tentang kasus itu dan membantunya pulang ke rumah. Ini karena Zidane jadi salah seorang duta Qatar saat proses pencalonan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Zidane bahkan dibayar 2 juta euro untuk tugasnya itu.
Meski Zidane, anak seorang imigran berdarah Aljazair, darah yang sama yang mengalir di tubuh Zahir, belum bersuara hingga saat ini, untungnya pihak yang lain mendengar. FIFpro (serikat pesepakbola di seluruh dunia) mengirimkan delegasinya untuk berbicara dengan pemerintah Qatar. Berbagai media internasional pun memberikan tekanan bertubi-tubi untuk kasus ini.
Akhirnya exit visa pun diberikan pada Zahir. Setelah dua tahun berjuang, Jumat 29 November ini Zahir akan menginjakkan kakinya lagi di Prancis.
Dari Mandu ke Doha
Berbeda dengan Zahir dan Ouaddou yang mampu melawan, perjuangan Rajendra Lama berakhir di kematian. Masa singkat sembilan bulan yang ia habiskan sebagai buruh membangun bandara untuk Piala Dunia, cukup untuk membuat jantungnya tak bisa lagi berfungsi. Di usia 29 tahun, jenazah Rajendra dikirim kembali desanya di Mandu, Nepal.
Kepada BBC, istri Rajendra menuturkan bagaimana bugarnya Rajendra sebelum berangkat ke Qatar. Rajendra bahkan mendapatkan surat keterangan sehat sebelum memasuki Qatar. Jika tidak mengantongi surat keterangan itu, maka ia tak mungkin diizinkan bekerja di Qatar.
Tragisnya, nyawa Rajendra ditukar oleh upah yang tak seberapa banyak. Bekerja di bawah terik matahari gurun, Rajendra hanya mampu mengirimkan uang setara Rp 800 ribu tiap bulannya.
Meski dibayang-bayangi cerita kematian Rajendra dan banyak kisah tragis pekerja lain, setiap hari ratusan penduduk Nepal tetap bermigrasi ke Qatar. Kebanyakan dari mereka tak berpendidikan dan terlilit utang besar. Nepal, kasarnya, tak mampu memberikan pekerjaan pada mereka-mereka yang paling lemah di masyarakat.
Tak heran kini Nepal jadi penyumbang pekerja paling banyak ke Qatar, yaitu sebesar 40% dari total pekerja. Lebih dari 100 ribu penduduk Nepal meninggalkan keluarganya untuk mencari penghidupan di Qatar.
Adalah satu kenyataan bahwa di Asia Tenggara dan Timur Tengah buruh Nepal sangat diminati. Pasalnya mereka mau mengerjakan apapun meski dibayar sangat murah. Bahkan di Qatar, negara yang pendapatan per kapitanya lebih dari 100 ribu dolar per tahun, ribuan buruh Nepal ini hanya menerima gaji kurang dari 3.000 dolar per tahun. Itu pun kalau benar dibayarkan oleh pemberi kerja.
Buruknya sistem perekrutan pekerja membuat para buruh rentan dieksploitasi. Di balik ratusan ribu, bahkan jutaan, pekerja kasar di Qatar ada jaringan rumit yang melibatkan perusahaan konstruksi, penyedia buruh, sponsor pekerja, dan agen pekerja.
Banyak pekerja yang gajinya ditahan beberapa bulan untuk mencegah mereka melarikan diri. Dan mayoritas pekerja menyatakan bahwa kontraktor telah menahan paspor mereka. Bahkan, banyak pekerja juga yang tak pernah diberikan kartu identitas yang menyatakan mereka adalah pekerja yang sah.
"Manager kami selalu berjanji akan memberikan kartu identitas kami di 'minggu depan'," ujar seorang pekerja yang telah bekerja 2 tahun di Qatar tanpa kartu identitas pada The Guardian.
Tanpa dokumen-dokumen itu, para buruh berstatus ilegal. Tak mungkin mencari pekerjaan baru, dan rentan terkena kasus hukum tanpa adanya perlindungan. Seperti Zahir, mereka juga terperangkap sistem kafala. Tak mungkin kembali ke negaranya.
Puncak dari semua cerita kelam eksploitasi buruh bangunan ini adalah bagaimana mereka disegregasi ke dalam pusat konsentrasi pekerja, yang jauh dari penduduk lokal. Di bawah hukum Qatar, para pemilik properti memang dilarang menyewakan rumah pada pekerja imigran, jika ada penduduk lokal tinggal pada area itu.
Maka jika berkunjung ke Doha, Anda tidak akan menemukan muka-muka para pekerja yang kelelahan. Hanya berbagai bangunan mewah yang menjulang tinggi yang akan menyambut Anda. Para buruh layaknya hantu, tak diinginkan dan disingkirkan ke tempat-tempat yang tak terlihat.
Qatar sendiri memiliki rasio pekerja imigran terhadap populasi penduduk lokal tertinggi di dunia. Lebih dari 90% pekerja di Qatar adalah imigran. Untuk kepentingan Piala Dunia, Qatar diprediksi akan merekrut lebih dari 1,5 juta buruh untuk membangun stadion, jalan, pelabuhan, dan hotel yang dibutuhkan.
Antara Doha dan Guantanamo
Tentu tak sedikit yang akan tinggal diam jika mengingat nasib yang akan menyambut buruh demi Piala Dunia itu. Pada September lalu, The Guardian meluncurkan hasil investigasinya, sementara Phillippe Auclair, seorang jurnalis asal Prancis, mengeluarkan 3 tulisan special report tentang Qatar.
Lalu, pada 17 November 2013, Amnesti Internasional pun mengeluarkan laporan hasil survey setebal 167 halaman. Laporan yang bisa diunduh bebas oleh siapapun ini berisi wawancara dan penyelidikan mereka pada 210 pekerja di Qatar. Tak tanggung-tanggung, mereka memberikan judul "The Dark Side of Migration: Spotlight on Qatar's Construction Sector Ahead of The World Cup" pada laporannya.
Tapi berbagai laporan ini hanya mendapatkan reaksi selintas dari pemerintah Qatar. Hanya mendapatkan janji-janji tentang bagaimana mereka akan memperbaiki kondisi para pekerja.
Lalu bagaimana dengan FIFA? Bagaimana dengan otoritas yang menganugrahi Piala Dunia pada Qatar?
Direktur komunikasi FIFA, Walter De Gregio, hanya berujar bahwa mereka yang melancarkan kritik pada Qatar adalah pihak-pihak yang hipokrit. Pihak yang munafik. Menurut Walter, jika menyangkut sepakbola, tiba-tiba saja banyak pihak yang menuntut standar lebih tinggi dari biasanya.
"Jika begitu, dalam pencalonan Amerika Serikat sebagai tuan rumah, Anda juga harus menyoroti pelanggaran HAM di penjara Guantanamo," sindir De Gregio.
Sampai batas tertentu, komentar ini tentu bisa dibenarkan. Bahwa setiap negara memiliki aib dan borok masing-masing adalah tepat. Ada isu tentang penyembunyian area kumuh di Piala Dunia Afrika Selatan, sementara Brasil memiliki kasus gap sosial yang terlampau tinggi. Rusia pun diprotes karena dianggap homophobic, dan adanya diskriminasi pada kaum LBGT.
Intinya, memang tak ada negara yang tangannya benar-benar bersih.
Namun, apa yang akan terjadi di Qatar, jika kondisi ini tak segera dibenahi, akan menjadi satu tragedi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tragedi yang memang dibiarkan terjadi di depan mata oleh berbagai pihak.
Patut diingat, sebagaimana disampaikan di tulisan-tulisan lainnya, banyak pihak yang memiliki kepentingan di Piala Dunia 2022. Mulai dari perusahaan konstruksi non-Qatar, sampai banyak negara yang dihibahi uang oleh pemerintah Qatar akan berupaya keras memastikan Piala Dunia ini terjadi. Apapun harganya.
Jika ini tragedi ini benar-benar terjadi, maka komplitlah pembalikan piramida di sepakbola, yang tak hanya melulu masalah berubahnya taktik. Dulu sepakbola sangat berarti di tengah-tengah kaum buruh dan kelas pekerja, karena menawarkan sebentuk pelarian dari beban hidup. Di Qatar nanti, sepakbola-lah yang akan merenggut nyawa para kelas pekerja.
0 komentar:
Post a Comment