Penerbit Tanpa Karyawan Omzet Puluhan Juta
”Saya orang desa, katrok, tidak punya bekal apa pun. Saya hanya bermodal nekat dan melihat tantangan sebagai peluang,” ujar Ifa, pendiri dan pemilik Penerbit Cemerlang di Yogyakarta.
Usia Ifa tak lebih dari 30 tahun. Tetapi, bisnis yang dirintisnya sudah beromzet Rp 20 juta per bulan. Selama empat tahun ia menjadi karyawan Phillipus Haryadi, pemilik Penerbit Maximus dan agen distribusi berskala nasional CV Solusi Distribusi. Setelah dipelajari, ternyata bisnis penerbitan itu sangat mudah dan sederhana. Modalnya hanya satu, minta izin membuat penerbitan sendiri dari bosnya. ”Saya ingin masa depan saya cemerlang,” ujar Ifa yang menemani Haryadi saat diskusi ”Menulis dan Menerbitkan Buku” yang digelar Forum Bahasa Media Massa Bali. Alhasil, Penerbit Cemerlang pun dibidaninya. ”Sesungguhnya, saya nggak punya karyawan samasekali. Tetapi, saya bisa menerbitkan tujuh judul buku,” kata penulis buku ”Simple and Fun English Conversation” ini.
Ifa yang dulu kerap berkhayal menjadi presiden direktur sebuah perusahaan, tak jauh berbeda dengan Haryadi yang juga pemimpin CV Nikki Buku Utama ini. Ketika duduk di bangku SMP, Haryadi pernah dibelikan sebuah bolpoin oleh ibunya. ”Iki le, ibu belikan bolpoin. Semoga berguna dan kamu bisa cari uang sendiri,” kata Haryadi menirukan perkataan ibunya saat itu. Harapan ibunya, dengan bolpoin seharga Rp 300 itu, anak lelakinya bisa mendapatkan uang sebanyak Rp 100 ribu. ”Lalu saya berpikir, mengapa hanya Rp 100 ribu. Mengapa tidak Rp 1 miliar saja?” lanjutnya.
Perkataan ibunya itu terbenam terus di benak Haryadi. Akhirnya, ia menggiatkan diri di dunia tulis-menulis. Bermula dari majalah dinding, majalah sekolah hingga memberanikan diri mengirim artikel pada Kompas. ”Eh, ditolak terus. Akhirnya saya menulis dongeng dan diterima oleh majalah anak-anak,” kenangnya. Kuliahnya tamat berkat honor menulis. ”Apa yang saya idam-idamkan, Rp 1 miliar, sudah tercapai. Kini, saya ingin menularkan kepada orang lain,” kata penulis ”Dari Hobi Jadi Duit” itu.
Bawa hasil
Di ruang siaran RRI Denpasar, Haryadi membagi kisahnya. ”Sesungguhnya, menulis itu membawa hasil yang sangat luar biasa, baik itu dari sisi idealisme maupun keuangan,” ujar Haryadi. Ia mencontohkan masyarakat di daerah Kasongan, Yogyakarta. Waktu kuliah, ia menjadi relawan yang bertugas membantu penduduk Kasongan meningkatkan perekonomian mereka. ”Mereka pintar membuat gerabah tapi tak pandai memasarkan. Alhasil, perekonomian mereka jatuh,” tuturnya. Bersama teman-temannya, Haryadi menjembatani mereka dengan memperkenalkan dengan dunia luar dan membuka pasar. ”Kelemahan kita, nggak punya wawasan pemasaran. Seperti penulis, pandai menulis tapi hal lain yang terkait, tak tahu. Seakan-akan semua gelap. Mungkin tahu ada penerbit X tapi tak bisa berbuat banyak,” paparnya.
Pengalaman selama tinggal di Frankfurt, Jerman memberinya hikmah. ”Saya pikir penerbitan besar di sana pasti memiliki aktivitas yang tinggi dan pegawai yang banyak. Ternyata, dugaan saya keliru. Kantornya seperti kebanyakan rumah toko (ruko), pegawainya hanya puluhan dan aktivitasnya tidak terlalu tinggi,” ungkapnya. Semua kegiatan pemasaran, diserahkan kepada agen. Seperti Walt Disney yang punya agen di Hongkong dan Singapura.
Sistem seperti itu memberinya inspirasi. ”Ternyata membangun penerbitan tidak sedashyat apa yang saya pikirkan. Saya ingin membangun penerbitan sendiri. Saya pasti bisa,” tekadnya.
Lalu, bagaimana caranya membangun penerbitan? ”Contoh paling sederhana, Ifa. Anak kampung, tidak punya bekal bisnis, tidak bisa menulis. Pengalaman di dunia buku sejak menjadi karyawan saya. Begitu pula saya yang memulai bisnis ini dari nol, tanpa karyawan,” jelasnya.
Jika mau berbisnis pernerbitan, hal yang pertama-tama diperhatikan adalah siapkan naskah yang layak jual. Haryadi berkeyakinan, semua orang pasti bisa membuat buku. Haryadi banyak melahirkan buku anak-anak yang dianggap bukan bidangnya. ”Buku saya sederhana tapi disambut pasar. Prinsip dalam dunia penerbitan, amati, tiru, dan modifikasi,” kiatnya.
Ia mencontohkan Atur Sahadewa. Ketika menganggur, Atur adalah hacker andal. Ia kerap merusak sistem data. Dia orang pintar tanpa arahan yang jelas. Begitu pemikirannya dituangkan dalam bentuk buku, bukunya laris manis. ”Sekarang dia bertobat dan menerbitkan buku ”Bagaimana Membasmi Virus”. Pendapatan yang didapatnya dari perusahaan saya saja mencapai Rp 40 juta per bulan,” ujarnya.
Jika naskah yang bagus sudah siap, proses berikutnya adalah menyunting, mendesain, dan me-lay out naskah. Kalau kita tidak bisa melakukan ketiganya sendiri, limpahkan saja pada orang lain. Haryadi mencontohkan, di Yogyakarta banyak mahasiswa yang mau bekerja paruh waktu. ”Beri mereka pekerjaan dengan sistem bayar putus. Mereka belajar sekaligus bekerja,” katanya.
Khusus untuk penyuntingan, pastikan memilih orang yang terbaik di bidangnya. ”Tentukan bahasa yang akan dipakai, pesan pada penyunting. Sebelum menerbitkan 15 buku sebulan, jangan pernah merekrut karyawan karena biayanya tinggi,” paparnya. Sebagai penerbit indie, kita juga harus membuat perencanaan cetak. Misalnya, kertas yang akan digunakan, warna, dsb. ”Jangan lupa mengurus ISBN (International Standard Book Number) ke Perpustakaan Nasional,” ingatnya.
Atasi penolakan
Membuat penerbitan sendiri, menurut Haryadi adalah sebagai sebuah langkah mengatasi penolakan naskah oleh penerbit yang sudah ada. ”Makin sering ditolak, kita kerap kian tak percaya diri. Daripada ditolak terus, kan mending buat penerbitan sendiri,” selorohnya. Selain itu, memiliki penerbitan sendiri juga menghindari konflik akibat kekurangterbukaan penerbit terhadap penulis mengenai jumlah buku yang terjual. ”Ketika royalti dibayar sedikit, semangat menulis kita juga bisa pudar,” ujarnya berargumen.
Menurut Haryadi, kita harus rajin mencari tahu model buku yang laris dijual. ”Cari tahu informasi di toko buku, laman, atau menjalin hubungan pertemanan dengan orang yang bekerja di toko buku. Dari sana kita bisa tahu tren buku saat ini. Itu bisa dijadikan salah satu panduan dalam membuat keputusan,” kiatnya. Buku yang berumur panjang seperti kamus, buku anak-anak akan lebih menguntungkan ketimbang buku yang berumur pendek.
Pada edisi perdana, patokan cetak yang digunakan Haryadi adalah 1.000 eksemplar untuk buku pelajaran dan 5.000 eksemplar untuk buku hiburan. Harga jual sebaiknya dihitung lima hingga enam kali biaya produksi. Alasannya, ada biaya lain yang cukup besar yang harus dikeluarkan seperti diskon untuk toko buku dan biaya distribusi.
Lalu, bagaimana seandainya buku tersebut tidak laku? ”Dalam sebuah produksi, ada hitung-hitungannya. Biaya cetak buku anak di Yogyakarta cuma Rp 1.500, dijual Rp 11.000. Diskon toko lebih besar. Untuk konsinyasi bisa 40%. Kalau cetak 5.000 buku dan yang laku hanya 30%, itu berarti sudah impas. Jika buku tidak laku sampai 30%, itu ekstrim. Sebaiknya, ikut obral di pameran. Buku yang kami distribusikan selalu laku di atas 30%. Sebagian kami sumbangkan,” urainya.
Jika ingin menjual buku terbitan sendiri ke luar daerah, Haryadi menyarankan sebaiknya bergabung saja dengan distributor. ”Kalau bisa yang berskala nasional. Efek keuangannya lebih besar, kepuasan batin juga,” ujarnya. Haryadi sendiri membuka peluang bagi penulis buku untuk bekerja sama. ”Saya siap membantu modal. Syaratnya, bergabung dulu. Ada dua judul buku, serapan pasarnya bagus, dan penulisnya punya semangat, ya bisa kerja sama. Tidak ada sistem bunga-berbunga. Kami hanya ingin mengambil peluang,” katanya.
”Saya orang desa, katrok, tidak punya bekal apa pun. Saya hanya bermodal nekat dan melihat tantangan sebagai peluang,” ujar Ifa, pendiri dan pemilik Penerbit Cemerlang di Yogyakarta.
Usia Ifa tak lebih dari 30 tahun. Tetapi, bisnis yang dirintisnya sudah beromzet Rp 20 juta per bulan. Selama empat tahun ia menjadi karyawan Phillipus Haryadi, pemilik Penerbit Maximus dan agen distribusi berskala nasional CV Solusi Distribusi. Setelah dipelajari, ternyata bisnis penerbitan itu sangat mudah dan sederhana. Modalnya hanya satu, minta izin membuat penerbitan sendiri dari bosnya. ”Saya ingin masa depan saya cemerlang,” ujar Ifa yang menemani Haryadi saat diskusi ”Menulis dan Menerbitkan Buku” yang digelar Forum Bahasa Media Massa Bali. Alhasil, Penerbit Cemerlang pun dibidaninya. ”Sesungguhnya, saya nggak punya karyawan samasekali. Tetapi, saya bisa menerbitkan tujuh judul buku,” kata penulis buku ”Simple and Fun English Conversation” ini.
Ifa yang dulu kerap berkhayal menjadi presiden direktur sebuah perusahaan, tak jauh berbeda dengan Haryadi yang juga pemimpin CV Nikki Buku Utama ini. Ketika duduk di bangku SMP, Haryadi pernah dibelikan sebuah bolpoin oleh ibunya. ”Iki le, ibu belikan bolpoin. Semoga berguna dan kamu bisa cari uang sendiri,” kata Haryadi menirukan perkataan ibunya saat itu. Harapan ibunya, dengan bolpoin seharga Rp 300 itu, anak lelakinya bisa mendapatkan uang sebanyak Rp 100 ribu. ”Lalu saya berpikir, mengapa hanya Rp 100 ribu. Mengapa tidak Rp 1 miliar saja?” lanjutnya.
Perkataan ibunya itu terbenam terus di benak Haryadi. Akhirnya, ia menggiatkan diri di dunia tulis-menulis. Bermula dari majalah dinding, majalah sekolah hingga memberanikan diri mengirim artikel pada Kompas. ”Eh, ditolak terus. Akhirnya saya menulis dongeng dan diterima oleh majalah anak-anak,” kenangnya. Kuliahnya tamat berkat honor menulis. ”Apa yang saya idam-idamkan, Rp 1 miliar, sudah tercapai. Kini, saya ingin menularkan kepada orang lain,” kata penulis ”Dari Hobi Jadi Duit” itu.
Bawa hasil
Di ruang siaran RRI Denpasar, Haryadi membagi kisahnya. ”Sesungguhnya, menulis itu membawa hasil yang sangat luar biasa, baik itu dari sisi idealisme maupun keuangan,” ujar Haryadi. Ia mencontohkan masyarakat di daerah Kasongan, Yogyakarta. Waktu kuliah, ia menjadi relawan yang bertugas membantu penduduk Kasongan meningkatkan perekonomian mereka. ”Mereka pintar membuat gerabah tapi tak pandai memasarkan. Alhasil, perekonomian mereka jatuh,” tuturnya. Bersama teman-temannya, Haryadi menjembatani mereka dengan memperkenalkan dengan dunia luar dan membuka pasar. ”Kelemahan kita, nggak punya wawasan pemasaran. Seperti penulis, pandai menulis tapi hal lain yang terkait, tak tahu. Seakan-akan semua gelap. Mungkin tahu ada penerbit X tapi tak bisa berbuat banyak,” paparnya.
Pengalaman selama tinggal di Frankfurt, Jerman memberinya hikmah. ”Saya pikir penerbitan besar di sana pasti memiliki aktivitas yang tinggi dan pegawai yang banyak. Ternyata, dugaan saya keliru. Kantornya seperti kebanyakan rumah toko (ruko), pegawainya hanya puluhan dan aktivitasnya tidak terlalu tinggi,” ungkapnya. Semua kegiatan pemasaran, diserahkan kepada agen. Seperti Walt Disney yang punya agen di Hongkong dan Singapura.
Sistem seperti itu memberinya inspirasi. ”Ternyata membangun penerbitan tidak sedashyat apa yang saya pikirkan. Saya ingin membangun penerbitan sendiri. Saya pasti bisa,” tekadnya.
Lalu, bagaimana caranya membangun penerbitan? ”Contoh paling sederhana, Ifa. Anak kampung, tidak punya bekal bisnis, tidak bisa menulis. Pengalaman di dunia buku sejak menjadi karyawan saya. Begitu pula saya yang memulai bisnis ini dari nol, tanpa karyawan,” jelasnya.
Jika mau berbisnis pernerbitan, hal yang pertama-tama diperhatikan adalah siapkan naskah yang layak jual. Haryadi berkeyakinan, semua orang pasti bisa membuat buku. Haryadi banyak melahirkan buku anak-anak yang dianggap bukan bidangnya. ”Buku saya sederhana tapi disambut pasar. Prinsip dalam dunia penerbitan, amati, tiru, dan modifikasi,” kiatnya.
Ia mencontohkan Atur Sahadewa. Ketika menganggur, Atur adalah hacker andal. Ia kerap merusak sistem data. Dia orang pintar tanpa arahan yang jelas. Begitu pemikirannya dituangkan dalam bentuk buku, bukunya laris manis. ”Sekarang dia bertobat dan menerbitkan buku ”Bagaimana Membasmi Virus”. Pendapatan yang didapatnya dari perusahaan saya saja mencapai Rp 40 juta per bulan,” ujarnya.
Jika naskah yang bagus sudah siap, proses berikutnya adalah menyunting, mendesain, dan me-lay out naskah. Kalau kita tidak bisa melakukan ketiganya sendiri, limpahkan saja pada orang lain. Haryadi mencontohkan, di Yogyakarta banyak mahasiswa yang mau bekerja paruh waktu. ”Beri mereka pekerjaan dengan sistem bayar putus. Mereka belajar sekaligus bekerja,” katanya.
Khusus untuk penyuntingan, pastikan memilih orang yang terbaik di bidangnya. ”Tentukan bahasa yang akan dipakai, pesan pada penyunting. Sebelum menerbitkan 15 buku sebulan, jangan pernah merekrut karyawan karena biayanya tinggi,” paparnya. Sebagai penerbit indie, kita juga harus membuat perencanaan cetak. Misalnya, kertas yang akan digunakan, warna, dsb. ”Jangan lupa mengurus ISBN (International Standard Book Number) ke Perpustakaan Nasional,” ingatnya.
Atasi penolakan
Membuat penerbitan sendiri, menurut Haryadi adalah sebagai sebuah langkah mengatasi penolakan naskah oleh penerbit yang sudah ada. ”Makin sering ditolak, kita kerap kian tak percaya diri. Daripada ditolak terus, kan mending buat penerbitan sendiri,” selorohnya. Selain itu, memiliki penerbitan sendiri juga menghindari konflik akibat kekurangterbukaan penerbit terhadap penulis mengenai jumlah buku yang terjual. ”Ketika royalti dibayar sedikit, semangat menulis kita juga bisa pudar,” ujarnya berargumen.
Menurut Haryadi, kita harus rajin mencari tahu model buku yang laris dijual. ”Cari tahu informasi di toko buku, laman, atau menjalin hubungan pertemanan dengan orang yang bekerja di toko buku. Dari sana kita bisa tahu tren buku saat ini. Itu bisa dijadikan salah satu panduan dalam membuat keputusan,” kiatnya. Buku yang berumur panjang seperti kamus, buku anak-anak akan lebih menguntungkan ketimbang buku yang berumur pendek.
Pada edisi perdana, patokan cetak yang digunakan Haryadi adalah 1.000 eksemplar untuk buku pelajaran dan 5.000 eksemplar untuk buku hiburan. Harga jual sebaiknya dihitung lima hingga enam kali biaya produksi. Alasannya, ada biaya lain yang cukup besar yang harus dikeluarkan seperti diskon untuk toko buku dan biaya distribusi.
Lalu, bagaimana seandainya buku tersebut tidak laku? ”Dalam sebuah produksi, ada hitung-hitungannya. Biaya cetak buku anak di Yogyakarta cuma Rp 1.500, dijual Rp 11.000. Diskon toko lebih besar. Untuk konsinyasi bisa 40%. Kalau cetak 5.000 buku dan yang laku hanya 30%, itu berarti sudah impas. Jika buku tidak laku sampai 30%, itu ekstrim. Sebaiknya, ikut obral di pameran. Buku yang kami distribusikan selalu laku di atas 30%. Sebagian kami sumbangkan,” urainya.
Jika ingin menjual buku terbitan sendiri ke luar daerah, Haryadi menyarankan sebaiknya bergabung saja dengan distributor. ”Kalau bisa yang berskala nasional. Efek keuangannya lebih besar, kepuasan batin juga,” ujarnya. Haryadi sendiri membuka peluang bagi penulis buku untuk bekerja sama. ”Saya siap membantu modal. Syaratnya, bergabung dulu. Ada dua judul buku, serapan pasarnya bagus, dan penulisnya punya semangat, ya bisa kerja sama. Tidak ada sistem bunga-berbunga. Kami hanya ingin mengambil peluang,” katanya.
0 komentar:
Post a Comment