728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Tabah Menghadapi Tekanan dan Kesulitan Hidup Sebagai Etnis Minoritas

    Sepakbola sebagai Penyelamat Orang Turki di Jerman

    Di antara banyak imigran Turki di Jerman, Ismail Tipi terlihat berbeda. Ketika banyak di antara mereka hidup miskin di Jerman karena tidak mampu membaur dengan masyarakat --dan akhirnya menutup kesempatan untuk mengembangkan diri—Tipi justru dipercaya untuk menempati satu kursi di Parlemen Negara Bagian Hesse.
    Kesuksesan Tipi bermula di lapangan sepakbola.

    Kejayaan Turki dan Dua Alasan Membahas Jerman

    Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh situs Kementrian Luar Negeri Turki, penyebab di balik banyaknya jumlah orang-orang Turki, atau keturunannya di seluruh dunia, adalah kebutuhan yang besar akan tenaga buruh.

    Perkembangan industri yang pesat di Eropa Barat pada tahun 1960an membuat pemerintah Turki menyetujui perjanjian bilateral dengan Jerman perihal migrasi Gastarbeiter (pekerja tamu) pada tahun 1961.

    Kerja sama serupa dijalin dengan Austria, Belgia, dan Belanda pada tahun 1964. Setahun setelahnya, Perancis menjadi tujuan. Tak hanya di Eropa, para buruh Turki yang kebanyakan datang dari kota-kota kecil mulai bermigrasi ke Australia pada 1967.

    Sejak tahun 1974, permintaan dari Eropa Barat mulai menurun sehingga arah migrasi orang-orang Turki mulai beralih ke Afrika Utara, Timur Tengah, dan negara-negara semenanjung.

    Tapi sebuah kesalahan besar jika menganggap bahwa migrasi buruh adalah satu-satunya faktor dibalik diaspora Turki di seluruh dunia. Jauh sebelum gelombang migrasi buruh terjadi, orang-orang Turki memang sudah tersebar di Eropa, Afrika, dan Eropa; tepatnya di daerah-daerah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.

    Kesultanan Utsmaniyah begitu agung, sampai-sampai adipati terakhir dari Kekaisaran Bizantium (yang ditaklukkan oleh Kesultanan Utsmaniyah) saja berkata, "Lebih baik melihat sebuah kota berada di bawah kekuasaan turban Turki ketimbang mahkota Barat."

    Dua periode penyebaran orang-orang Turki tersebut membagi penyebaran diaspora Turki menjadi dua: diaspora Turki era Kesultanan Utsmaniyah dan diaspora Turki modern. Terlepas dari waktu dan alasan penyebarannya, orang-orang Turki telah tersebar di seluruh dunia. Terutama di Jerman.
    Ada alasan kenapa dalam tulisan ini hanya akan membahas orang-orang Turki di Jerman.

    Pertama, Jerman adalah negara dengan jumlah orang Turki terbanyak di luar Turki; situs Departemen Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial Turki menyebutkan bahwa ada 1.629.480 warga negara Turki di Jerman (setelah Jerman ada Prancis, dengan jumlah warga negara Turki sebanyak 459.611 saja).

    Kedua, orang-orang Turki adalah etnis minoritas dengan jumlah paling banyak di Jerman.

    Ketiga, dan ini yang paling menarik, adalah karena ada “prestasi” tersendiri yang berhasil dicapai oleh orang-orang Turki di Jerman. Hal tersebut membuat mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Jerman; kelompok yang kepergiannya akan diratapi oleh negara.

    Selayang Pandang

    Gelombang migrasi modern diaspora Turki ke Jerman pada awalnya memang hanya sebagai Gastarbeiter. Mereka datang untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ringan yang tidak membutuhkan banyak keahlian khusus. Namanya juga pekerja tamu. Pada waktunya, mereka diharuskan meninggalkan Jerman dan kembali ke negara asal.

    Berpuluh-puluh tahun telah berlalu sejak kerjasama bilateral antara Turki dan Jerman mengenai migrasi buruh berakhir. Seharusnya tak ada lagi orang-orang Turki di Jerman. Namun pada praktiknya orang-orang Turki di Jerman jumlahnya malah semakin banyak saja.

    Saat ini sudah banyak orang Turki yang dapat hidup mandiri sebagai wirausahawan di Jerman. Menurut data yang diambil dari situs Departemen Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial Turki, ada 70 ribu orang Turki yang mencari penghidupan lewat jalan itu. Mereka yang memilih untuk hidup berwirausaha berhasil membuka lapangan pekerjaan untuk ratusan ribu orang dari berbagai ras dan latar belakang.

    Berwirausaha tentu saja bukan satu-satunya definisi hidup sukses untuk orang-orang Turki di Jerman. Ada juga yang berhasil menjadi politisi ternama – sebagaimana sosok Tipi di awal. Walau berbeda cara dan pekerjaan, orang-orang Turki di Jerman memiliki satu kesamaan menuju kesuksesan: jalan yang mereka tempuh tidak mudah.

    Hidup sebagai kaum minoritas di Jerman sulitnya bukan main.

    Ada lagi satu kesamaan lain. Kesuksesan orang-orang Turki di Jerman, terlepas dari jenis pekerjaan yang mereka jalani saat ini, pasti dimulai di lapangan sepakbola. Di Brasil sana, orang-orang yang diselamatkan dari kemiskinan oleh sepakbola hanya bisa sukses sebagai bintang lapangan hijau saja. Di Jerman tidak begitu adanya.

    Ketabahan Hati Orang-Orang Turki

    Sebagai kaum imigran, orang-orang Turki dipandang sebagai beban untuk masyarakat. Berlin-Institut für Bevölkerung und Entwicklung, sebuah lembaga riset ilmiah independen yang bergerak di bidang kependudukan dan pembangunan, menyebut orang-orang Turki sebagai kelompok imigran yang kemampuan membaurnya jauh lebih buruk dibanding kelompok imigran yang lain.

    Orang-orang Turki juga memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah. Karenanya, mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi penganggur.

    Padahal hal ini bukan sepenuhnya salah mereka. Sistem pendidikan Jerman membuat orang-orang Turki menimba ilmu di sekolah yang sama, yang berisikan orang-orang Turki saja. Di sana, mereka tidak mendapatkan pendidikan dalam bahasa Jerman. Kegiatan belajar mengajar dalam bahasa Turki dipraktekkan untuk menumbuhkan keinginan pulang dalam diri setiap individu.

    Pada akhirnya, tujuan tersebut tidak tercapai karena orang-orang Turki lebih senang tinggal di Jerman. Selain itu, para siswa menjadi generasi yang sulit berintegrasi. Mereka tidak bisa berbahasa Jerman sehingga sulit untuk membaur di masyarakat.

    Matthias Bartsch, Andrea Brandt, dan Daniel Steinvorth dalam tulisan mereka untuk der Spiegel melabeli generasi ini sebagai orang-orang bilingual yang tidak terdidik. Sebuah generasi yang tidak menguasai bahasa apapun. Berkomunikasi dalam bahasa Jerman mereka tidak mampu, menguasai bahasa leluhur pun mereka tidak.

    Usaha pemerintah untuk "menyingkirkan" orang-orang Turki dari Jerman begitu jelas terasa sehingga mereka sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk. Menurut kesaksian Ismail Tipi (politisi asal Turki di partai Christlich Demokratische Union Deutschlands/CDU), banyak orang Turki yang menyimpan koper penuh berisi kelengkapan di bawah ranjang atau di atas lemari. Hal itu dilakukan agar mereka tidak perlu repot-repot mempersiapkan diri jika suatu saat diusir dari Jerman.

    Sedikit yang membayangkan pengusiran tersebut dilakukan dengan cara-cara yang ekstrem. Namun, realitanya berbeda.

    Pada tahun 1993, terjadi sebuah fremdenfeindlichen angriff. Menurut catatan der Spiegel, lima orang dengan latar belakang Turki ditemukan tewas di Solingen setelah rumah tinggal mereka diserang. Di awal tahun 1990an saja, serangan ini bukanlah satu-satunya kasus yang terjadi.

    Tahun 1990-an adalah masa-masa yang sulit dan mencekam untuk para imigran. Bahkan, pada tahun 1999, Roland Koch selaku kepala CDU di Hesse menjalankan kampanye anti kewarganegaraan ganda. Banyak orang mendukung Koch dan membubuhkan tanda tangan mereka di petisi berisi penolakan terhadap orang asing.

    Diselamatkan Sepakbola

    Mari kembali kepada tokoh kita, Ismail Tipi. Sebagaimana kebanyakan orang Turki di Jerman lainnya, tak mudah bagi Tipi untuk berbaur dengan negara adopsinya begitu saja.

    Ayah Tipi sengaja meninggalkan asrama Siemens, tempatnya bekerja kala itu, untuk tinggal di pinggiran kota Regensburg. Langkah ini diambil agar Tipi mampu membaur dengan rumah barunya.

    "Ayah saya biasa berujar: rumahmu adalah di manapun kamu mencari nafkah," ujar Tipi.

    Cara yang dilakukan oleh ayah Tipi adalah dengan mendaftarkan Tipi ke klub sepakbola setempat yang memaksanya berinteraksi dengan orang-orang Jerman. Cara ini terbukti sangat ampuh. Dalam waktu singkat, Tipi mampu berbahasa Jerman dengan baik. Ia juga tidak memiliki kesulitan menjalani hidup dengan budaya orang-orang Jerman.

    Cara yang sama diambil oleh sebagian orang tua. Hasilnya, banyak keturunan imigran yang sukses sebagai pemain sepakbola.

    Bahkan, sebelas dari 23 pemain tim nasional Jerman di Piala Dunia 2010 adalah keturunan imigran. Mereka adalah Serdar Tasci (Turki), Mesut Özil (Turki), Sami Khedira (Tunisia), Lukas Podolski (Polandia), Miroslav Klose (Polandia), Piotr Trochowski (Polandia), Dennis Aogo (Nigeria) Cacau (Brasil), Je;rôme Boateng (Ghana), Marko Marin (Republik Federal Sosialis Yugoslavia), Mario Gómez (Spanyol).

    Mereka dikenal sebagai "Generasi M" atau "Generasi Multikultural".

    Hal ini juga berbarengan dengan revolusi sepakbola Jerman dengan menitikberatkan pada pembinaan pemain muda. Pasca kekalahan 1-5 dari Inggris pada 2001 dan kegagalan di Piala Dunia 1998, Jerman melakukan perubahan struktural pada pembinaan pemain muda.

    Kala itu Bundesliga mendirikan 336 pusat pelatihan di seluruh negeri. Di sana, pelatih yang ditunjuk oleh DFB langsung akan memberikan sesi latihan pada remaja akademi berusia 11-14 tahun tiap minggunya.

    Tak berhenti sampai masalah sepakbola, akademi juga akan memberikan materi untuk memastikan pemain-pemain imigran untuk bisa mengidentifikasikan diri dengan kultur Jerman, termasuk memastikan mereka mampu mengatasi keterbatasan komunikasi.

    Hal inilah yang membuat para imigran Turki yang bermain bola lebih mudah berbaur dan menyatu dengan masyarakat Jerman.

    Sekelompok Orang yang Akan Merindukan Irisan Tipis Daging Panggang

    Diaspora Turki datang untuk membantu kebangkitan perekonomian Jerman. Mereka diminta pulang setelah Jerman merasa bahwa jumlah mereka terlalu banyak. Mereka menolak. Mereka bertahan. Mereka tetap tinggal walaupun dijadikan kambing hitam krisis minyak bumi tahun 1970an. Mereka tabah menghadapi tekanan dan kesulitan hidup sebagai etnis minoritas di Jerman. Mereka, pada akhirnya, menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat modern Jerman.

    Friedel Taube, dalam tulisannya yang dipublikasikan oleh Deutsche Welle, menyebutkan bahwa Jerman membutuhkan para imigran. Orang-orang ini, masih menurut Taube, tidak tergantikan. Para pemain sepakbola menjadi contoh yang diambil olehnya.

    Kemungkinan hidup tanpa para imigran menginspirasi dua orang jurnalis untuk menulis buku. Pitt von Bebenburg dan Matthias Thieme bersama-sama melakukan riset untuk buku mereka, Deutschland ohne Ausländer – Jerman tanpa Orang-Orang Asing.

    Jika para pendatang meninggalkan Jerman secara bersamaan, kata Bebenburg, seluruh aspek kehidupan masyarakat akan terpengaruh. Bebenburg bahkan mengatakan bahwa orang-orang Jerman akan sangat merasa kehilangan Döner, makanan Turki yang telah menggeser posisi Bratwürst sebagai makanan tradisional sekaligus makanan favorit masyarakat Jerman.

    Salah satu definisi Jerman tanpa para imigran dan keturunan mereka adalah jutaan orang yang meratapi perpisahan dengan olahan daging panggang khas Turki, yang dimasak vertikal dan diiris tipis. Sebuah definisi yang mungkin tidak akan ada jika saja orang-orang Turki tidak diselamatkan oleh sepakbola.


    source
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Tabah Menghadapi Tekanan dan Kesulitan Hidup Sebagai Etnis Minoritas Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top