728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Belajar Hantu di Luar Negeri

    Saat Mahasiswa Australia Belajar Bahasa Indonesia lewat “Dedemit”

    Yacinta Kurniasih sedang mengajar para mahasiswa asal Australia di Kelas 5 Kajian Indonesia di Monash University, Victoria, Australia.

    MELBOURNE – Sosok raksasa dengan rambut gondrong, taring panjang dan gigi besar-besar, serta mata bulat melotot tanpa bola mata terpampang besar-besar di dinding kelas. Setengah badan sang raksasa memenuhi slide yang dipantulkan ke dinding. Warnanya hitam putih.

    Seorang remaja tergopoh-gopoh masuk lalu duduk di bangku pada baris kedua tempat duduk di kelas itu, sementara Yacinta Kurniasih tengah merapikan kertas yang ada di atas meja. Dia lalu mulai membagikannya satu per satu kepada para mahasiswanya.

    “Ada yang tahu apa ini?” tanya Yacinta sambil menunjuk ke gambar raksasa di dinding.

    “Genderuwo,” jawab salah satu mahasiswa dengan aksen Australia yang khas.

    “Betul, ini genderuwo. Ini salah satu hantu atau dedemit di Indonesia. Coba sebutkan kata sifat dari genderuwo,” pinta Yacinta kepada salah satu mahasiswanya.

    “Besar, pemarah,” ujar salah satu mahasiswa bernama Gerard.

    “Takut,” jawab teman di sebelahnya.

    “Menakutkan,” ungkap Yacinta membenarkan jawaban mahasiswanya.

    “Kamu takut?” tanya Yacinta kemudian.

    “Tidak,” jawab si mahasiswa sambil tertawa.

    “Kita sudah baca naskah Dhemit. Siapa karakter yang tidak disukai? Emma?” tanya Yacinta sambil menatap kepada mahasiswinya yang bernama Emma.

    “Rajegwesi. Karena dia tidak peduli lingkungan dan orang lain tidak dihormati,” tutur Emma.

    “Terima kasih. Kalau (karakter) yang disukai? Charlie?” tanya Yacinta lagi.

    “Sawan. Karena jahat dan tua. Saya suka laki-laki tua,” ungkap Charlie disambut tawa teman-temannya.

    “Coba sebutkan satu kata kerja dari karakter Suli. Gerard?” pinta Yacinta kemudian.

    “Sensitif,” jawab Gerard.

    “Kata kerja, Gerard. Itu kata sifat. Kalau kata kerja dari karakter Suli?” tanya Yacinta lagi.

    “Diculik”

    “Membangun”

    “Mengkritik,” mahasiswa lain lalu berebutan menjawab pertanyaan Yacinta.

    Menarik

    Suasana hangat dan santai mewarnai kelas Bahasa Indonesia level 5 di Monash University, siang itu. Yacinta yang mengajar sekitar 16 mahasiswa warga Australia menggunakan naskah “Dhemit” dari Teater Gandrik sebagai bahan diskusi di kelasnya.

    Karakter hantu atau dedemit seperti genderuwo, sawan dan kuntilanak hingga manusia seperti Rajegwesi dan Suli dipakainya sebagai media mengajarkan bahasa Indonesia kepada para mahasiswa asli Australia. Bahan menarik seperti ini diperlukan agar belajar bahasa menjadi menyenangkan.

    “Kami ciptakan kurikulumnya, kontennya, lalu bahasa dipakai. Bahasa itu kan alat komunikasi, jadi  ketika mereka belajar bahasa, mereka bisa bercerita tentang diri mereka sendiri dan hal-hal lain,” ungkap Yacinta di sela mengajar.

    Yacinta bercerita, dia bersama tim kajian Indonesia di Monash University akan merumuskan kurikulum untuk setiap level. Kurikulum ini berguna sebagai pengantar dalam memperkenalkan bahasa dan kerumitannya pada setiap tingkatan, mulai dari tata bahasa hingga sastra.

    “Pada level pertama, misalnya, para mahasiswanya diminta bercerita dalam bahasa Indonesia tentang diri mereka sendiri. Setelah itu, mereka diminta memilih satu tokoh dari Indonesia dan bercerita tentang sosok itu seolah-olah mereka adalah tokoh tersebut,” tuturnya.

    “Jadi kelas 1 tentang biografi, mereka harus berbicara tentang diri mereka sendiri. Setelah itu mereka harus mencari tokoh terkenal dari indonesia yang mereka pilih lalu menceritakan diri mereka sendiri. Ada yang memilih menjadi Ebiet G Ade, Iwan Fals, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi,” lanjutnya sambil tertawa.

    Pada tingkat selanjutnya, Yacinta mengatakan, para mahasiswanya akan diminta bercerita tentang sebuah perjalanan. Lalu di tingkatan selanjutnya, para mahasiswa akan belajar dari sejumlah perayaan di Indonesia.

    Yacinta mencontohkan, misalnya diskusi dimulai dari video di YouTube tentang perayaan 17 Agustus di Indonesia, mulai dari panjat pinang hingga makan kerupuk. Dari situ, dia dan para dosen akan membawa para mahasiswanya belajar tata bahasa. Lalu mereka juga diminta untuk bercerita tentang perayaan penting di Australia. Tentu saja dalam bahasa Indonesia.

    “Jadi (cara belajarnya) sedikit beda dengan Indonesia. Di Indonesia misalnya mengajarkan bahasa, kalau di sini mengajarkan isinya dulu, kurikulumnya, kemudian bahasa yang dipakai disesuaikan dengan levelnya mereka,” tutur Yacinta.

    Di luar kelas, mereka diminta juga mengasah kemampuan bahasa Indonesia mereka dengan menonton tayangan-tayangan dari televisi Indonesia dan membaca artikel-artikel dari media massa online di Indonesia.

    Jika ada pertanyaan, mahasiswanya akan menanyakannya di kelas dan mereka akan membahasnya bersama-sama. Tak heran, lanjut Yacinta, sejumlah mahasiswanya sudah mengerti lelucon khas Indonesia.

    “Saya belajar Bahasa Indonesia karena saya ingin menguasai bahasa asing lebih dari satu,” kata salah satu mahasiswa Kelas 5, Jeff.

    Remaja Australia yang memiliki ibu berasal dari Malaysia ini mengatakan bahwa tidak terlalu mengalami kesulitan saat belajar Bahasa Indonesia karena dia juga familiar dengan bahasa Melayu.

     “Tidak susah. Mudah sekali karena tidak ada tenses, tense yang sekarang tidak berbeda dengan tense yang lalu,” ungkapnya.

    “Saya ingin memakainya (Bahasa Indonesia) untuk bidang jurnalisme karena saya suka sekali berpendapat dan membicarakan tentang isu-isu dunia dan nasional,” tambah Jeff kemudian.

    Minat menurun

    Di tengah fakta menurunnya minat warga Australia untuk belajar bahasa Indonesia, Yacinta mengatakan, tugas para dosen di Kajian Indonesia menjadi berat.

    Selain merumuskan cara belajar bahasa Indonesia yang menyenangkan, mereka juga harus menanamkan perspektif tentang hubungan dekat Indonesia dan Australia kepada generasi muda Australia.

    “Karena biasanya mereka berasal dari latar belakang monolingual, saya sering bilang ‘kamu ingin lebih menarik, tidak membosankan dan lucu, belajar bahasa kedua’. Lalu saya ajari, Australia dekat sekali dengan Asia, mau ke sana? Mau belajar tentang hukum di indonesia, mau jadi turis, belajar bahasa Indonesia’,” ungkapnya.

    “Saya sekarang sedang eksperimen tentang lifeskill, saya ajarkan, belajar bahasa itu lebih dari sekadar kata-kata. Belajar bahasa itu belajar tentang diri kita sendiri. Jangan jadi orang membosankan. Masak bahasa yang dikuasai cuma satu,” tuturnya kemudian.

    Pada semester pertama 2016 ini, ada empat kelas Bahasa Indonesia yang dibuka. Kelas 1 diikuti sekitar 20 orang, Kelas 3 sekitar 35 orang, Kelas 5 sekitar 17 orang, dan Kelas 7 sekitar 12 orang. Sebagian besar peserta kelas ini adalah para mahasiswa yang mengikuti program double degree, misalnya mahasiswa Fakultas Hukum yang juga mengambil gelar untuk Bahasa Indonesia.

    Jumlah ini sedikit dibandingkan dengan jumlah peserta kelas Bahasa Jepang atau China.

    “Dibandingkan dengan Kajian China atau Jepang, mereka mahasiswanya banyak sekali, ratusan bahkan ribuan. Tetapi mahasiswanya dari mana? Dari negara-negaranya sendiri,” tutur Yacinta.

    ***

    Di akhir kelas, Yacinta membagikan tempe goreng dan tempe mendoan kepada seluruh mahasiswanya. Mereka diminta untuk mencicipi tempe sebagai makanan khas Indonesia. Yacinta membelinya dari warga Indonesia yang memang membuka usaha tempe organik di Australia.

    Semua mahasiswanya mengambil satu tempe yang dibagikan oleh Yacinta.

    “Enak, tetapi rasanya sedikit aneh,” ujar salah satu mahasiswi Yacinta sambil menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Belajar Hantu di Luar Negeri Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top