728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    MengIndonesiakan Paksa Anak Timor Leste

    Kisah MengIndonesiakan Paksa Anak Timor Leste

    Jakarta - Sepanjang periode 1975 hingga 1999, tatkala Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia, ribuan anak Timor Leste dibawa ke Indonesia dengan kapal.  Mereka diangkat menjadi anak oleh keluarga-keluarga tentara. Ada yang dititipkan ke panti asuhan hingga pesantren.  

    Disertasi doktoral Helene van Klinken di University of Queensland, Australia, yang diterbitkan menjadi buku Making Them Indonesians, Child Transfer Out of East Timor pada 2012, mengungkapkan di Indonesia mereka »dipaksa” berasimilasi dengan Indonesia.   Tempo melakukan penelusuran terhadap anak-anak tersebut, yang kini telah dewasa dan menemukan kembali keluarga aslinya.  Berikut tulisan pertama dari enam tulisan yang disajikan disini. 

    Kisah anak-anak keturunan Aborigin yang diambil dengan paksa dari keluarganya membekas kuat di benak Helene van Klinken, 66 tahun, seorang peneliti sosial. Tatkala dia kecil, ibunya yang menjadi relawan di permukiman kaum Aborigin di Cherbourg, Queensland, Australian, sering menceritakan kisah 'Stolen Generations'. 'Stolen Generations' adalah julukan bagi anak-anak Aborigin dan anak-anak orang Kepulauan Selat Torres yang banyak menghuni panti asuhan. Mereka dibawa oleh institusi pemerintah federal dan pemerintah pusat Australia, juga oleh misi gereja, pada periode 1909 hingga 1969.

    Bayangan penderitaan anak-anak Aborigin itu muncul kembali ketika Helene bertugas di Timor Leste pada 2003. Kala itu ia menjadi relawan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste (Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste, CAVR).

    Ia mendengar pengakuan langsung dari orang tua yang kehilangan anaknya. Helene juga mendapat laporan dari banyak saksi mata yang  melihat bagaimana anak-anak Timor Timur (sebutan Timor Leste saat masih menjadi bagian dari Indonesia) dimasukkan ke peti besar oleh tentara Indonesia lalu diangkut kapal yang akan pulang ke Indonesia.

    »Peti itu diketuk-ketuk dari dalam,” kata Helene di ujung telepon saat dihubungi ke kediamannya di Leiden, Belanda. Mereka dimasukkan ke peti agar dianggap sebagai barang bawaan untuk menghindar pemeriksaan polisi militer karena tentara dilarang mengangkat anak (yatim piatu) tanpa ada surat yang ditandatangani oleh bupati. (Baca: Jejak Pelanggaran HAM Hambat Wiranto-Prabowo )

    Sebenarnya, informasi mengenai pemindahan anak-anak Timor Timur yang masih di bawah umur ke Indonesia sudah didengar Helene tiga tahun sebelumnya saat ia bekerja di Yogyakarta. Ketika itu ia bertemu dan mewawancarai bekas tenaga bantuan operasional (TBO) bernama Antonio asal Manatuto yang diselundupkan oleh seorang kopral ke Ambon pada 1980. Namun pengaduan dari banyak orang tua saat ia berada di Timor Leste itulah yang menyadarkan Helene bahwa pada rentang waktu dari 1975 hingga 1999 pemindahan tersebut bersifat sistematis.

    Dari situlah Helene kemudian menyusun temuannya untuk dijadikan disertasi doktoralnya di The School of History, Philosophy, Religion, and Classics University of Queensland di Brisbane, Australia. Helene meraih gelar doktor pada 2009.

    Disertasi itu kemudian diterbitkan oleh Penerbit Universitas Monash menjadi buku setebal 212 halaman berjudul Making Them Indonesians, Child Transfer Out of East Timor, pada 2012. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia pada Januari lalu menerbitkan edisi bahasa Indonesia dengan judul Anak-anak Tim-Tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam.

    Penelitian Helene tentang pemindahan anak-anak Timor Timur ke Indonesia ini menemukan adanya kesejajaran dengan pencerabutan anak-anak Aborigin dari keluarganya di Australia, praktek yang baru berhenti pada akhir dasawarsa 1960. Meski tidak identik, menurut Helene, ada kesamaan tujuan politik dan ideologi dalam upaya pemindahan itu. Di Timor Timur, pelaku pemindahan adalah perorangan, lembaga dan institusi negara seperti Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan institusi keagamaan.

    »Gramedia langsung mau ketika saya tawari buku itu,” kata Helene mengenai buku setebal 354 halaman dan berukuran lebih kecil daripada edisi aslinya yang diluncurkan pada 12 Januari lalu itu di Jakarta.

    Identitas Ribuan Anak Timor Leste Diganti

    Jakarta - Sepanjang periode 1975 hingga 1999, tatkala Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia, ribuan anak Timor Leste dibawa ke Indonesia dengan kapal.  Mereka diangkat menjadi anak oleh keluarga-keluarga tentara. Ada yang dititipkan ke panti asuhan hingga pesantren.  

    Disertasi doktoral Helene van Klinken di University of Queensland, Australia, yang diterbitkan menjadi buku Making Them Indonesians, Child Transfer Out of East Timor pada 2012, mengungkapkan di Indonesia mereka »dipaksa” berasimilasi dengan Indonesia.   Tempo melakukan penelusuran terhadap anak-anak tersebut, yang kini telah dewasa dan menemukan kembali keluarga aslinya.  Berikut tulisan kedua  dari enam tulisan yang disajikan disini. 

    Buku Helene adalah sebuah buku yang layak baca. Kita menemukan  sebuah topik yang selama ini belum pernah dibicarakan peneliti sosial lainnya. Helene mengungkapkan bagaimana sekitar 4.000 anak Timor Timur dibawa ke Indonesia saat Timor Leste masih di bawah Indonesia. Banyak dari mereka adalah anak-anak yang orang tuanya tewas atau keluarganya tercerai-berai saat tentara Indonesia menyerbu.

    »Jumlah 4.000 ini hanya perkiraan saya, dan saya kira konservatif jumlahnya,” kata Helene. Menurut laporan CAVR, pada 2006 ada 4.534 anak yang kemungkinan telah dipindahkan ke Indonesia pada 1975 hingga 1999. Angka itu berdasarkan kasus yang dilaporkan kepada Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) dan Komite Internasional Palang Merah (ICRC).

    Helene melihat ada anggapan di kalangan tentara Indonesia saat itu bahwa membawa pulang seorang anak Timor Timur menjadi sebuah bukti keberhasilan menguasai Timor Timur. Para tentara itu--dari hasil penelitian Helene--kepada kawan dan tetangganya menyatakan bahwa anak-anak yang mereka bawa adalah anak-anak pejuang Timor Timur yang mati terbunuh saat bertempur melawan partai kiri Fretilin. Mereka adalah anak pahlawan-pahlawan Timor yang telah berjuang mati demi keinginan integrasi dengan Indonesia. Padahal banyak yang sebaliknya. Justru mereka adalah anak-anak yang kehilangan bapak atau sanaknya karena operasi tentara Indonesia.

    Helene meneliti bahwa bocah-bocah itu kemudian, selain diambil anak oleh keluarga tentara, juga diserahkan ke panti asuhan, baik Islam maupun  Katolik, seperti Panti Asuhan St Thomas di Jawa Tengah. Menurut perkiraan Helene, sekitar setengah dari total anak yang dipindahkan dari Timor Timur ke Indonesia ditujukan ke panti asuhan.

    »Militer yang membawa jelas turut terlibat. Banyak panti asuhan yang nyatanya tidak tahu-menahu tentang status sebenarnya dari anak,” kata Helene. Ada pula yayasan sosial, termasuk Yayasan Dharmais milik Soeharto. Keterlibatan yayasan milik negara itu membuatnya berpendapat bahwa pengasimilasian anak menjadi Indonesia sesungguhnya adalah sesuatu tindakan yang  sistematik.

    Yang menarik, Helene mampu mengungkapkan banyak dari anak-anak itu kemudian dimasukkan ke pesantren, dan beberapa tahun kemudian berganti nama Islam, bahkan memeluk Islam. Dua anak perempuan kakak-beradik Olinda Soares dan Amelia Soares, misalnya, diganti nama menjadi Siti Khodijah dan Aminah. Anak-anak Timor Timur yang dididik dan dibesarkan di pesantren, menurut Helene, suatu waktu diharapkan bisa menyebarkan Islam di Timor Timur. Menurut Helene, mereka dipersiapkan menjadi pendakwah untuk meningkatkan jumlah populasi orang Islam di Timor Timur.

    Kursi Kosong yang Selalu Ada

    Jakarta - Sepanjang periode 1975 hingga 1999, tatkala Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia, ribuan anak Timor Leste dibawa ke Indonesia dengan kapal.  Mereka diangkat menjadi anak oleh keluarga-keluarga tentara. Ada yang dititipkan ke panti asuhan hingga pesantren.  

    Disertasi doktoral Helene van Klinken di University of Queensland, Australia, yang diterbitkan menjadi buku Making Them Indonesians, Child Transfer Out of East Timor pada 2012, mengungkapkan di Indonesia mereka “dipaksa” berasimilasi dengan Indonesia.   Tempo melakukan penelusuran terhadap anak-anak tersebut, yang kini telah dewasa dan menemukan kembali keluarga aslinya.  Berikut tulisan ketiga dari enam tulisan yang disajikan disini. 

    Achnesia Felina Manganang, 43 tahun, anak keempat dari enam bersaudara pasangan Mario Ribeiro dan Victoria Vilena Ribeiro, pada 1977, dalam usia enam tahun, dibawa pergi dari kampungnya Los Palos, Timor Timur. Ia dibawa kopral Alex Manganang, tentara Indonesia dari kesatuan Batalion Artileri Medan 12 ke Ngawi, Jawa Timur.

    Anis, begitu Achnesia disapa, mengaku cukup beruntung jika dibandingkan dengan anak Timor Timur lainnya yang dibawa ke Indonesia. "Itu karena saya tidak diculik ketika harus meninggalkan keluarga," ujar Anis, yang kini tengah dalam masa pemulihan dari kanker payudara saat ditemui Tempo di apartemennya di kawasan Botnang, Stuttgart, Jerman, pertengahan bulan lalu.

    Dia mengatakan ibunya yang memperkenalkannya kepada Alex. Alex ingin mengangkat Anis sebagai anak karena istrinya tidak lagi bisa hamil. "Pak Alex baik hatinya. Setiap akhir pekan saya diajak ke barak, lalu kami jalan-jalan, mengobrol, dan dibelikan permen," ujar Anis.

    Saat berangkat ke Indonesia, Anis mengaku tak terlalu sedih. Dia melihat banyak anak seusianya di kapal terus-menerus menangis. Di Ngawi, nama Anis ditambah marga Alex. Nama panggilan Anis di Los Palos, yakni Ranceneno, tak lagi dipakai. Alex pernah mengirimkan foto Anis bersama keluarga barunya ke keluarga di Los Palos. Setelah itu orang tua angkat dan orang tua aslinya tak berkabar-kabaran lagi. “Itu mungkin yang pertama dan terakhir,” ujarnya.

    Alex, yang berasal dari Sangihe-Talaud, selalu memberi hadiah ulang tahun atau membawa ikan sarden kalengan bekal tentara favorit Anis sejak di Timor Timur. Alex membiayai sekolahnya hingga lulus SMA. Ibu angkatnya pun membiayai kuliahnya di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah, dengan menjual tanah warisan. Anis masuk jurusan teologi karena mempunyai idola pendeta.

    Anis tidak ingat lagi nama kedua orang tuanya. Yang ia ingat hanya nama kakak sulungnya, Juviano dos Santos Ribeiro. Sang kakak itulah yang kemudian mencari keberadaan Anis. Sang kakak bekerja sebagai sekretaris Gubernur Mario Viegas Carrascalao pada 1990. Dengan koneksinya, dia mencari keberadaan Alex Manganang. Upayanya berhasil, tapi Alex meminta pertemuan ditunda sampai ujian SMA Anis selesai. Tapi, setelah itu, kembali putus kontak. Teman kampus Anis, Goerge, ternyata kenal dengan Juvianio. Dari situlah reuni kakak-adik itu bermula.

    Akhirnya, Juviano datang ke Salatiga menemui Anis. Sore itu, Anis tampak bingung karena ia tak punya gambaran wajah sang kakak. Tiba-tiba, salah satu dari delapan tamu yang ada di depannya mendatangi dan langsung memeluk Anis.“Saya yakin itu kakak saya. Dia berkata saya mirip dengan kakak perempuan saya,” ujarnya. “Bahagia, bingung, kaget campur aduk. Punya kakak lagi setelah 16 tahun,” ujar Ketua Persatuan Kristen Indonesia (Perki) di Stuttgart ini. Kini Juviano telah menjadi konsuler pers, sosial, dan budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia Berlin, Jerman.

    Pertemuan itu berlanjut dengan pertemuan keluarga besar. Pada 1993 mereka pergi ke Timor Leste. Mereka terbang ke Dili, tiba malam hari dan  meneruskan perjalanan lima jam naik bus ke Los Palos. Awalnya, mereka  ingin datang secara diam-diam, tapi kabar sudah telanjur menyebar. Setiba di Los Palos, keluarga sudah menunggu. Mereka bahkan menghadang bus yang membawa Anis. Begitu turun dari bus, semua berebutan memegang Anis. “Saya dipeluk dan dibopong sampai ke rumah. Bapak saya menjemput, tetapi ibu saya tidak,” ujarnya.

    Saat Anis masuk ke rumah, ibunya hanya terpana, duduk tanpa bisa bicara apa-apa. Air matanya berlinangan. "Ketika saya duduk di sebelahnya, jari-jari saya dirabanya satu per satu."

    Ibu kandungnya bercerita, selama Anis belum ditemukan, dia selalu mengosongkan satu kursi dalam acara-acara keluarga. Kursi itu menyimbolkan harapan kelak Anis akan menduduki kursi itu. Mereka optimistis Anis bisa berkumpul lagi dengan keluarga besarnya.

    Kisah Vitor dan Selebaran Memanggil Pulang

    Jakarta -Sepanjang periode 1975 hingga 1999, tatkala Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia, ribuan anak Timor Leste dibawa ke Indonesia dengan kapal.  Mereka diangkat menjadi anak oleh keluarga-keluarga tentara. Ada yang dititipkan ke panti asuhan hingga pesantren.  

    Disertasi doktoral Helene van Klinken di University of Queensland, Australia, yang diterbitkan menjadi buku Making Them Indonesians, Child Transfer Out of East Timor pada 2012, mengungkapkan di Indonesia mereka “dipaksa” berasimilasi dengan Indonesia. Tempo melakukan penelusuran terhadap anak-anak tersebut, yang kini telah dewasa dan menemukan kembali keluarga aslinya.  Berikut tulisan keempat dari enam tulisan yang disajikan disini.

    Tak mudah bagi Vitor Kaimanu da Costa Pinto, 37 tahun, bertemu dengan keluarga besarnya di Bacau, Timor Leste. Butuh waktu 26 tahun bagi pria yang kini bekerja di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu untuk mengetahui siapa ayah dan ibunya.

    Kejadian bermula dari depan Gereja Baguia, Baucau, saat Vitor yang berusia tiga tahun dibawa oleh PS, seorang kontraktor dan tenaga bantuan operasional (TBO). Dengan surat perjalanan yang ditandatangani camat, PS membawa Vitor dan belasan anak-anak panti asuhan yang dikelola seorang pastor dari Spanyol ke Jakarta pada 1979.

    Vitor tinggal di rumah PS bersama tiga anak kandung keluarga itu. Ibu angkatnya tak terlalu suka kehadirannya karena menambah beban keluarga. Vitor pun sempat beberapa kali pindah rumah, sekali waktu ia tinggal di rumah kakak PS di Cijantung, pernah pula di keluarga adik PS.

    Saat duduk di kelas lima SD, Vitor mencoba menanyakan perihal keluarganya. PS memberi tahu bahwa ayahnya seorang milisi. “Sosoknya tinggi,” kata Vitor menirukan ayah angkatnya itu. “Dia tak bercerita banyak, hanya menceritakan bahwa ayah saya pernah bertugas di Baguia, Viqueque, dan Los Palos.” Memasuki bangku SMP, Vitor memutuskan keluar dari rumah, berusaha mandiri dan mencari penghidupan sendiri dengan menjadi kenek tukang bangunan, lalu bekerja di toko bunga. Hal itu dilakukan hingga dia SMA.

    Pada usia remaja ini, Vitor mulai melihat aksi-aksi demo dan mulai ikut-ikutan. Hingga suatu ketika dia melihat aksi demo soal Timor Timur di depan kantor Lembaga Bantuan Hukum. Dari selebaran yang diberikan demonstran, Vitor menjadi tertarik bergabung karena merasa sebagai orang Timor Timur. Mulai 1995, ia aktif memimpin demo buruh dan advokasi masalah lainnya.

    Aktivitasnya ini menyebabkan dia sempat dipenjara di Cipinang dan bertemu dengan pemimpin Fretilin, Xanana Gusmao. Uniknya, selama bergaul dengan sesama aktivis, Vitor tak menceritakan dirinya sebagai orang Timor Timur.

    Vitor mencoba mencari keluarganya pada 2004. Ia hanya mengantongi secuil petunjuk tentang keluarganya. Dia menggunakan jalan darat menuju Kupang, menembus Timor Leste melalui Atambua dengan biro perjalanan seharga Rp 145 ribu. “Saya mendapatkan visa dan paspor di sana,” ujarnya.

    Sesampai di Dili, dia menuju Yayasan HAK, sebuah organisasi yang mengadvokasi hukum dan hak asasi manusia di Timor Leste. Beberapa pengurus dia kenal dan bersedia membantu. Mereka lalu menelusuri jejak keluarga Vitor dengan mendatangi Camat Bagia. Sayang, sang camat tak mempunyai informasi. Sedikit titik terang muncul tatkala seseorang bernama Oscar yang yakin mengenal ayah dan kakak Vitor. Lalu Oscar datang dengan seorang laki-laki paruh baya.

    Saat itu Vitor sedang duduk-duduk ketika laki-laki berkata, ”Itu betul anak Alberto. Waktu di hutan, saya yang mengawal. Dia dibawa gerobak didorong-dorong,” ujar laki-laki yang ternyata adalah paman Vitor.

    Si lelaki sepuh mengatakan Vitor anak Alberto dan Tria-Maria. Wajah Vitor sangat mirip mereka. Pertemuan itu terjadi pada 16 Januari 2005. Vitor lalu dibawa ke rumah sang paman. “Tidak keruan juga rasanya, antara percaya dan tidak,” ujarnya.

    Hari berikutnya Vitor bertemu keluarga lainnya dari Viqueque, Baucau. Saat bertemu mereka pun tak bisa langsung berkomunikasi. Beruntung, salah satu sepupunya bisa berbahasa Indonesia karena pernah kuliah di Jember, Jawa Timur. Dari sana Vitor mengetahui silsilah keluarganya. Kedua orang tuanya sudah meninggal.Vitor tak diizinkan melihat kuburan mereka. “Karena belum dilakukan upacara adat,” ujar Vitor.

    Pada 2010, Vitor kembali lagi ke Timor Leste. Kali ini dia kembali kepada keluarga besarnya disertai upacara adat yang menghabiskan dana hingga US$ 7.000. Upacara ini digelar di Salamalare, Laga, Baucau. Teman-temannya membentuk kepanitiaan dan mengumpulkan dana upacara.

    Acara adat ini rupanya untuk “menghidupkan” lagi dirinya yang sudah dianggap mati. Sebuah batu nisan konon menandai kuburannya. Tetapi Vitor pun tak diperbolehkan melihat kuburannya itu. Setelah upacara berlangsung, batu nisan pun dibuang.

    Kini ia masih terus mencari Batista, kakak kandungnya semata wayang. Batista konon berada di Surabaya dan bergabung di Angkatan Laut. Tapi hingga kini belum ada titik terang. Kakaknya pun bernasib sama dengan dirinya, diambil saat keadaan perang.

    Misa Arwah dan Dansa Sang Putri

    Jakarta - Sepanjang periode 1975 hingga 1999, tatkala Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia, ribuan anak Timor Leste dibawa ke Indonesia dengan kapal.  Mereka diangkat menjadi anak oleh keluarga-keluarga tentara. Ada yang dititipkan ke panti asuhan hingga pesantren.  

    Disertasi doktoral Helene van Klinken di University of Queensland, Australia, yang diterbitkan menjadi buku Making Them Indonesians, Child Transfer Out of East Timor pada 2012, mengungkapkan di Indonesia mereka »dipaksa” berasimilasi dengan Indonesia. Tempo melakukan penelusuran terhadap anak-anak tersebut,yang kini telah dewasa dan menemukan kembali keluarga aslinya.Berikut tulisan kelima dari enam tulisan yang disajikan disini.

    Dalam mimpinya, Isabelinha Pinto, 40 tahun, melihat rumahnya di Bekasi diterjang tsunami. Anehnya, tsunami itu berasal dari Laut Timor. Esok harinya ia merasakan semilir angin seperti suasana di padang savana Timor. Kejadian-kejadian itu membuatnya semakin gundah. Doa Novena Salam Maria yang ia deraskan malam tak menenangkan pikirannya. Keinginan bertemu dengan orang tua kandungnya muncul tiba-tiba pada 13 Juni 2009 itu.

    Perpisahan Linha dengan keluarganya terjadi saat usianya menginjak enam tahun. Ibunya Balbina da Costa Soares dan tantenya Manakau mengantarnya ke Pelabuhan Laga, Baucau, pada 1980. Di sana mereka berpisah. Linha dibawa seorang sersan muda keturunan Manado, YS. Dia diangkat secara sah dengan surat resmi. Surat itu ditandatangani oleh ayahnya, Manuel de Jesus Pinto, pejabat setingkat kecamatan dan beberapa petinggi ABRI. Dia diangkat anak karena si sersan tak punya anak perempuan. Dia juga dijanjikan akan mendapat pendidikan seperti yang diinginkan keluarganya.

    Kapal meninggalkan Pelabuhan Laga. Linha kecil merasa sedih, takut, dan menangis sepanjang perjalanan. Dia melihat banyak anak-anak sebayanya di kapal. Sebagian dari mereka menangis. Di tengah laut, mereka berpindah kapal tentara yang lebih besar. Mereka diancam jika terus menangis akan dibuang ke laut.

    Setiba di Surabaya, Linha mengingat ada petugas yang bertanya apakah mereka anak-anak yang dijual kepada tentara. Linha dilarang bersuara oleh YS. Kapal meneruskan perjalanan hingga ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Linha kemudian bersama YS menuju sebuah asrama tentara di daerah Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat.

    Linha tinggal di asrama itu bersama keluarga barunya hingga 1984.

    Sejak awal dia merasa tak kerasan di rumah itu karena ibu angkatnya tak menyukai kehadirannya. Dia tumbuh bersama lima anak laki-laki keluarga angkatnya. Dia sering diperlakukan kasar dan diskriminatif. Dia harus bangun pukul 04.00 pagi dan disuruh mencuci pakaian keluarga itu. Dia juga mengaku hanya diberi makan sehari sekali dan sering mengambil susu persediaan tentara ketika mereka sedang berlatih.

    Linha pernah juga dibawa ke keluarga ayah angkatnya di Manado. Di sana pun dia juga tak disukai. Ketika mulai masuk SMP, keluarga di Manado mengaku tak mau lagi membiayai sekolahnya. Dia pun dipindahkan ke keluarga lainnya. Namun sepupu ayah angkatnya lalu memintanya tinggal di rumahnya. Di sini Linha merasa sedikit tenang dan kerasan. »Mereka punya dua anak laki-laki dan saya diperlakukan dengan baik,” ujarnya.

    Linha diminta kembali ke Bekasi saat duduk di bangku SMA kelas dua. Rupanya waktu tak menghapuskan rasa benci ibu angkatnya dan beberapa saudara angkatnya. Yang membuat Linha semakin tak kerasan adalah pelecehan-pelecehan seksual yang diterima dari ayah angkatnya. »Sejak saya kecil dia sudah melakukan itu. Hanya perkosaan yang tidak dilakukan,” ujar Linha.

    Karena tak kuat menanggung beban, Linha akhirnya keluar dari rumah itu. Dia bekerja apa saja untuk menghidupi diri, menyelesaikan sekolah, dan sempat mencicipi bangku kuliah. Keluarga sepupu ayah angkatnya juga membantu biaya sekolahnya. Dia pun sempat menjadi tenaga kerja wanita di Jepang tapi tak lama ia kembali ke Indonesia. Lantas, ia bertemu dengan teman Timor Leste dan keluarga yang mengangkatnya menjadi anak di Yogyakarta. Di sana pula dia berkenalan dengan lelaki yang menjadi suaminya sekarang, I.G. Sayudiyanta. Kini mereka hidup tenang di Pondok Timur Indah, Bekasi, membesarkan kedua anaknya, Zefanya Hiskia Sandy Respaty dan Zefasca Hilkia Sean Ryotaro.

    Dua hari setelah mimpinya melihat savana dan Laut Timor itu, tepatnya pada 15 Juni 2009, secara tak terduga adik angkatnya menelepon dia, mengabarkan bahwa saudara sepupu Linha dari Timor ingin mengunjungi rumah ayah angkatnya. Mereka mengetahui alamat ayah angkat Linha setelah mencari informasi ke markas Komando Rayon Militer yang menyimpan data tentang pengangkatan anak Timor Timur pada 1979.

    »Antara percaya atau tidak, saya gemetar mendengar berita itu,” ujar Linha kepada Tempo. Linha lantas menghubungkan dengan firasat mimpinya itu.

    Pada waktu yang telah ditentukan esok harinya, datanglah seorang laki-laki muda mengetuk pintu rumah Linha. Sang tamu harus menunggu lama di ruang tamu karena Linha gugup untuk keluar. Alih-alih menemui tamunya, Linha malah berlari ke depan salib dan berdoa. Setelah didorong anak keduanya, barulah Linha menyambut tamunya yang ternyata adalah sepupunya (anak tantenya) yang bernama Boy.

    Ternyata Boy, selagi menanti Linha keluar, telah berkomunikasi dengan ibu Linha di Dili. Untuk memastikan bahwa Linha adalah si anak hilang, sang ibu berpesan kepada Boy untuk melihat apakah ada bekas luka bakar di lengan kiri atas Linha. Dan ternyata semua klop. Pecahlah tangis kedua orang ini. Haru juga pecah di seberang telepon ketika Boy menghubungkan Isabelinha dengan ibunya.

    Pada 18 Desember 2009, untuk pertama kalinya Linha bersama suami dan anaknya menginjakkan kaki ke Dili. Pulang setelah puluhan tahun ia dianggap mati. Selama itu pula misa arwah selalu dipanjatkan. Dia mulanya tak boleh menginjakkan kaki di rumah keluarga di Dili. Dia dilarang memanggil orang yang dikenalnya, dilarang menyentuh, dibopong memasuki rumah.

    Serangkaian adat penghormatan kepada tetua pun dilakukan. Rupanya, Linha berasal dari golongan terhormat, keturunan raja di sana. Setelah selesai, Linha dan suaminya dipersilakan berdansa untuk pertama kalinya. »Kami bingung disuruh dansa. Ya sudah, asal maju-mundur saja. Baru setelah itu diikuti hadirin,” ujar Linha sambil tertawa mengenang kejadian itu.

    Anak-anak Timor Leste Menemukan Jalan Pulang

    Jakarta - Sepanjang periode 1975 hingga 1999, tatkala Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia, ribuan anak Timor Leste dibawa ke Indonesia dengan kapal.  Mereka diangkat menjadi anak oleh keluarga-keluarga tentara. Ada yang dititipkan ke panti asuhan hingga pesantren.  

    Disertasi doktoral Helene van Klinken di University of Queensland, Australia, yang diterbitkan menjadi buku Making Them Indonesians, Child Transfer Out of East Timor pada 2012, mengungkapkan di Indonesia mereka »dipaksa” berasimilasi dengan Indonesia.   Tempo melakukan penelusuran terhadap anak-anak tersebut, yang kini telah dewasa dan menemukan kembali keluarga aslinya.  Berikut tulisan keenam dari enam tulisan yang disajikan disini. 

    Buku ini secara khusus membicarakan soal trauma. Menurut Helene, pada umumnya anak-anak itu saat hidup di panti asuhan diputuskan sama sekali hubungannya dengan tanah Timor. Helene juga dengan empati yang tinggi menyajikan ke kita dilema psikologis yang mereka hadapi. Ada seorang anak yang setelah dewasa baru menyadari bahwa orang tuanya  bukan orang tua sebenarnya.

    Menurut Helene, justru yang paling sulit secara kejiwaan adalah anak-anak yang memiliki pengalaman baik dengan keluarga angkatnya dan kemudian menyadari bahwa orang tuanya yang selama ini membesarkan dengan kasih sayang ternyata adalah bagian dari korps yang membunuh orang tua aslinya.

    Buku ini juga adalah buku yang berbicara tentang kisah perpisahan dan penyatuan kembali. Setelah rakyat Timor Timur menolak pilihan otonomi khusus dan dalam referendum memilih merdeka, terjadi gelombang balik warga Timor ke tanah Lorosae. Pada titik ini UNHCR sangat membantu mempertemukan anak-anak yang telah terpisah puluhan tahun itu dengan keluarganya. Kini beberapa dari »Generasi yang Terampas dari Timor Timur” itu sudah bertemu dengan keluarga biologisnya.

    Helene memulai penelitiannya pada 2003-2004. Butuh dua tahun lagi setelah itu bagi Helene untuk menyusun disertasinya. Menurut dia, salah satu kesulitan terbesar adalah mendapat bahan tertulis mengenai pemindahan anak-anak ini. »Saya mengumpulkan kisah-kisah dari banyak sumber lisan. Tetapi mencari informan tidaklah mudah,” kata ibu dua anak dan nenek dua cucu ini.

    Helene dalam bukunya memakai istilah »dipindahkan” sebagai pengganti kata »trafficking”. Padahal sesungguhnya pemindahan anak-anak berusia di bawah 18 tahun itu, menurut Konvensi PBB, termasuk kategori trafficking in persons.»Saya menggunakan istilah pemindahan untuk menggambarkan berbagai motivasi orang dan lembaga untuk mendapatkan anak-anak, juga berbagai macam insentif, (keter)-paksaan, dan keputusasaan yang membuat orang tua Timor Timur menyerahkan anak mereka,” tulis Helene dalam bukunya.

    Dia melakukan riset ke banyak tempat di Indonesia seperti beberapa panti asuhan di Bandung dan Makassar, juga di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Kupang, dan Atambua. »Selain itu, mencari orang tua anak-anak itu ke pelosok Timor Leste,” katanya. »Di setiap daerah ada saja orang yang membantu. Saya mendapatkan nama dari mereka. Jadi informasinya dari mulut ke mulut.”

    Helene mewawancarai sekitar 32 orang tua atau sanak-saudara anak-anak yang dibawa ke Indonesia. Banyak dari mereka masih mencari anak-anaknya yang hilang. Dia juga mewawancarai lebih dari 30 orang Timor Leste yang mengalami pemindahan paksa ke Indonesia ketika masih kecil. Sebagian besar dari mereka sudah kembali ke Timor Leste, tapi ada juga yang memutuskan tetap berada di Indonesia. Sebagian kecil masih mencari keluarganya. »Mereka punya hak untuk mengetahui siapa orang tua biologis mereka. Apalagi orang tua sangat mengharapkan mereka dapat bertemu kembali dengan anaknya sebelum meninggal.”

    Helene van Klinken, penulis buku Anak-anak Tim-Tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam, menemukan banyak motif dalam pemindahan anak-anak Timor Timur ke Indonesia pada periode 1975 hingga 1999. Ada yang karena alasan kemanusiaan, tapi juga ada karena berlatar belakang politik dan ideologi. Tak banyak keluarga yang beruntung dapat bertemu kembali anak-anak mereka.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: MengIndonesiakan Paksa Anak Timor Leste Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top