728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Kebencian Abadi yang Bermula dari Peti Mati

    Panathinaikos-Olympiakos: Kebencian Abadi yang Bermula dari Peti Mati

    "Oh Dewi, Nyanyikanlah lagu yang mengisahkan penderitaan pasukan Anchean lantaran kemarahan Achilles putra Peleus. (Lalu) dewa manakah yang menghendaki perselisihan itu?" itulah kalimat pembuka dari puisi epik sepanjang sejarah The Iliad Of Homer --sebuah karya sastra yang melegenda dari tanah Yunani.

    Yunani negeri kaya mitologi. Punya banyak hikayat tentang dewa-dewa dan para ksatria. Dewa-dewa yang saling bermusuhan dan ksatria yang gemar perang. Nyaris tak ada bedanya dengan sepakbola.

    Mengutip ucapan Rinus Michels, bukankah sepakbola itu adalah perang? Dan bukankah sepakbola itu juga sepenting hidup dan mati, seperti dinyatakan Bill Shankly? Dan, dalam perang, kecintaan dan kebencian berlebihan bisa ditolerir karena perang memang tak mengenal standar moralitas.

    Ah, tentu saja dua orang itu berlebihan dalam berkata-kata.

    Namun nyatanya bagi beberapa orang kalimat itu diresapi, dikhayati, direnungkan dalam-dalam, dan bahkan dibuat nyata dalam alam kehidupan. Dan di negeri para dewalah cerita itu terjadi. Sebuah cerita tentang kebencian mendalam lewat dua rival abadi: Olympiakos dan Panathinaikos.

    Menumpahkan Darah Tetanggamu

    Kali ini kita terbang ke Negeri Hellas. Menyimak persaingan antara dua kota yang berdekatan. Dua kota yang erat berhubungan semenjak abad kelima sebelum masehi, dan saling menopang demi eksistensi sebuah peradaban. Tapi juga dua kota yang kini terpecah dan saling membenci serta mendendam karena satu hal yaitu: sepakbola.

    Dari penamaannya pun kita sudah dibuat sedikit merinding -- Derby The Eternal Enemies. Musuh yang abadi? Ya, permusuhan antara dua kota, Piraeus dan Athena.

    Padahal hanya ada jarak teramat dekat yang memisahkan keduanya. Hanya berkisar 10 kilometer. Angka itu sama dengan setengah jarak dari Jakarta ke Bekasi. Tapi memang tetangga kerap hadir untuk dibenci. Mereka yang paling ingin kita hancurkan adalah yang ada di pelupuk mata.

    Sebagai kota pelabuhan, Piraeus hadir karena Athena tak memiliki daerah pantai. Ibarat sebuah tubuh, Piraeus adalah tenggorokan Athena. Dari sanalah Athena hidup dan mengenal dunia. Betapa pentingnya Piraeus bagi Athena. Sejak abad 5 SM saja para teknokrat Athena tak segan membangun benteng sepanjang 10 km demi memuluskan rute perjalanan Piraeus-Athena dari hadangan tentara Sparta.

    Tak dapat disangsikan, sebagai kota pelabuhan Piraeus adalah kota kelas pekerja yang masyarakatnya bekerja dengan otot. Tentu beda dengan Athena, tanah para pemikir dan filsuf yang menuhankan otak. Karena itu selalu saja ada konflik di antara mereka.

    Para aristoktrat di Athena mencibir kebodohan dan asal-usul tetangganya. Bagi mereka, orang-orang Piraeus adalah anak haram yang lahir dari perzinaan antara pelaut dari Amerika dan pelacur pelabuhan. Sementara penduduk Piraues memendam iri yang mendalam terhadap keborjuisan orang-orang Athena. Tak pernah berhenti. Tak pernah usai. Mulai 5 abad sebelum masehi hingga awal abad ke-20.

    Setelah Athena dinyatakan sebagai ibukota Yunani modern pada tahun 1832, Piraeus berevolusi menjadi kota pelabuhan terpadat di Benua Eropa. Jumlah populasi penduduk Piraeus pun semakin meledak selama perang Yunani-Turki.

    Piraeus jadi pelarian para pengungsi perang dari seluruh negeri. Piraeus pun jadi tempat penghiburan kalangan melarat yang tak sukses mencoba kehidupan layak di Athena. Karena itu kebencian orang-orang Piraeus kepada Athena memang tak pernah terkira.

    Meruntuhkan Hegemoni Kalangan Elit

    Sepakbola masuk ke Yunani dengan jalan yang berbeda dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya. Lazimnya, sepakbola masuk ke negara-negara dunia ketiga lewat interaksi kalangan ekspatriat dan proletariat yang terjadi di pelabuhan-pelabuhan. Di Yunani cerita itu berbeda. Kaum aristokrat-lah yang mengeret sepakbola ke tanah para dewa.

    Mereka memulainya dari Panaithinaikos -Si Hijau dari Athena. Adalah Giorgos Kalafatis yang mendirikannya tahun 1908. Panaithinaikos hadir setelah ia terinspirasi melihat perkembangan sepakbola yang cukup besar saat berkeliling di Eropa Barat. Giorgos adalah kalangan elit. Panaithinaikos didirikan bersama 40 teman mahasiswanya.

    Pelatihnya pun didatangkan dari Universitas Oxford Inggris, yaitu John Cyril Campbell. Dia adalah seorang Irish yang kuliah di negara British. Kedekatan inilah yang membuat logo Panaithinaikos memakai simbol daun shamrock yang merupakan daun sakral orang Irlandia.

    Sungguh ironis memang. Pada saat klub-klub lain memakai simbol-simbol keagungan lokal lewat dewa-dewa Yunani semacam Athena, Zeus, Posseidon, Ares, dan Hercules, klub Panaithinaikos malah secara terang-terangan membangga-banggakan simbol Inggris. Padahal pada masa itu Inggris dan Turki dibenci oleh rakyat Yunani. Dari simbol pun sudah kentara terlihat bahwa Panaithinaikos adalah klub priyayi yang dekat dengan asing.

    Sementara di tanah tetangga, pada dasawarsa itu klub-klub sepakbola di Piraeus sejatinya sudah bermunculan meski masih terpecah-pecah dalam beberapa klub-klub kecil. Pada 1925, mereka pun memutuskan untuk bersatu dalam bendera Olympiakos. Ya, klub ini lahir lewat kehendak kaum buruh yang meinginginkan adanya satu suara dalam dunia olahraga. Tujuannya tentu terlihat jelas: untuk menentang hegemoni Athena.

    Peti Mati untuk Olympiakos

    Pertandingan pertama antara Olympiakos dan Panathinaikos terjadi pada tangga 28 Juni 1925 dengan Panathinaikos bertindak selaku tuan rumah. Skor akhir 3-3 untuk kedua tim. Dalam laga perdana itu, kebencian membawa-bawa kasta tetap ada meski belum sedalam saat ini.

    Tetapi semua itu berubah dan memanas pada tanggal 1 Juni 1930. Perang saudara di Yunani lewat sepakbola dimulai dari sana. Lewat sebuah peti mati. Ya, peti mati.

    Pada hari itu, 8.000 fans Panathinaikos memadati kandang Olympiakos untuk mendukung timnya dalam final kejuaraan nasional. Mereka hadir di stadion sembari membawa-bawa peti mati yang berlambangkan logo Olympiakos. Dan "ramalan" peti mati itu terbukti. Tuan rumah benar-benar mati dan terkubur setelah kalah telak 8-2 oleh saudara tua mereka dari Athena.

    Kemenangan ini disambut berlebihan oleh fans Panathinaikos. Mereka berteriak-teriak memaki pendukung Olympiakos sambil mengarak peti mati petanda tewasnya Olympiakos ditangan tim idola mereka. Di Kota Piraeus, mereka pun mengamuk dan merusuh.

    Pada leg kedua Panathinaikos menang lagi dengan skor 2-1. Pada musim-musim selanjutnya dua kelompok menjadi "musuh" dalam artian sebenarnya. Mereka mulai memupuk kebencian terbuka yang mungkin akan bertahan selamanya.

    Pada tahun 1936, klub proletar Piraeus akhirnya mampu membalaskan dendamnya dengan menekuk Panathinaikos dengan skor telak 6-1. Inilah titik balik dari Olympiakos berevolusi dari klub semenjana menjadi klub terkuat di Liga Yunani. Pada tahun-tahun berikutnya, piala selalu pulang ke kota Piraeus.

    Ada sebuah catatan dalam perseteruan ini. Saat Olympiakos meraih gelar juara selama enam musim berturut musim pada 1954-1959, tiga musim diantaranya diraih di kandang sang tetangga --Stadion Apolosotos Nikolaidis. Gelar juara ini didapat dalam artian sebenarnya karena Olympiakos selama mengarungi 3 musim itu berbagi kandang yang sama dengan Panathinaikos. Hal ini terjadi karena Kaiskasis Stadium dalam tahap renovasi.

    Coba bayangkan perasaan fans Manchester United apabila Liverpool menggunakan Old Trafford dan kemudian berhasil menjadi juara tepat di depan hidung fans MU sendiri. Mungkin itulah yang dirasa fans Panathinaikos kala itu.

    Dalam soal gelar juara, kedua tim ini memang teramat sangat mendominasi Yunani. Bayangkan saja. Semenjak kompetisi digelar di Yunani, hampir 80 persen, atau lebih tepatnya 60 gelar dari 77 musim kompetisi, hanya lari ke Olympiakos dan Panathinaikos.

    Dan Olympiakos-lah yang mendapat raihan paling banyak dengan 40 kali menjadi juara. Di bawahnya ada Panathinaikos dengan 20 kali juara. Lantas memang betul jika dikatakan bahwa sepakbola Yunani milik mereka saja.

    Permusuhan Abadi

    Selalu didapuk sebagai juara dan mendulang kemenangan. Bukan setahun atau dua tahun. Tapi lima belas tahun lamanya. Lima belas tahun, bukan lima tahun! Bahkan tak menutup kemungkinan angka itu akan bertambah menjadi enam belas tahun ini.

    Siapa yang tak jemu dengan semua itu? Itulah yang terjadi pada Olympiakos dengan hegemoninya yang tak terkira. Bayangkan saja, semenjak tahun 1996 Olimpiakos (hampir) selalu menjadi juara Liga Yunani. Hanya pada tahun 2004 dan 2010 saja gelar juara sempat singgah ke rival mereka --Panathinaikos.

    Di Eropa dominasi berlebihan ini hanya terjadi di Yunani. Dan bukankah dominasi jadi hal yang paling dibenci oleh kaum kelas pekerja? Tak heran jika banyak dari mereka yang membelot untuk mendukung Panathinaikos, meski Olympiakos merepresentasikan eksistensi kaum mereka dalam sepakbola. Tak hanya di sepakbola. Perseteruan antara Athena dan Piraeus pun merambat ke olahraga lain, seperti basket, voli, dan polo air.

    Tak ada kebencian yang tak melahirkan kekerasan. Mungkin sebuah anomali jika hal itu tidak terjadi. Dari dulu sampai sekarang, sudah banyak belasan orang yang tewas akibat perseteruan ini. Bahkan setiap tahunnya selalu ada kerusuhan saat derbi digelar.

    Yang baru-baru ini terjadi pada tahun 2012 silam, saat kedua suporter mengamuk dan membakar Olympic Stadium di Athena. Rentetan kerusuhan ini jadi awal tonggak kerusuhan lainnya. Dari sepakbola diseret menjadi ke arah kerusuhan politik, sebagai pelampiasaan untuk pemerintah yang gagal membawa Yunani dari jurang resesi ekonomi.

    Hari minggu kemarin, Derby The Eternal Enemies digelar kembali. Sang tuan rumah Olympiakos terpaksa menanggung malu kalah telak 3-0 dari sang rival.

    Drama tragedi pun tak luput dihasilkan. Dari mulai pemain muda Olympiakos, Michael Olaitan, yang mesti ditarik karena pingsan di tengah lapangan, penyerang Panathinaikos, Marcus Berg, yang dipukul oleh fans yang masuk kedalam lapangan, lemparan flare penonton yang mengenai pemain Panathinaikos, hingga pelatih tim tamu, Yannis Anastasiou, yang terkena lemparan segelas Coca-Cola.

    Ricuh dengan polisi pun membuat puluhan orang terluka. Tak lupa satu mobil polisi ikut serta dibakar oleh massa. Begitulah Yunani, negeri para dewa tempat bersemayamnya kebencian abadi. Tetapi begitulah adanya, tak perlu ada yang diherankan. Bukankah genre drama tragedi itu juga berasal dari Yunani?
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Kebencian Abadi yang Bermula dari Peti Mati Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top