728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Kehidupan Tak Seindah Drama Korea

    Tak Selalu Seindah Drama Korea

    “Saya sengaja tempel foto ibunya di atas tempat tidur supaya, setiap kali saya mau menyerah, saya teringat dia yang pernah menghina saya.”

    Rasanya baru lewat sehari Yannie Mustafa mengikat janji sehidup-semati dengan seorang oppa, sebutan untuk pria lebih tua di Korea Selatan. Saat itu tak ada yang namanya pesta sehari suntuk. Hanya acara ijab-kabul sederhana di sebuah masjid tak jauh dari rumah Yannie di Bekasi.

    Kini 12 tahun sudah Yannie Kim, begitu ia akrab disapa, menjalani bahtera rumah tangga dengan sang suami bersama dua orang buah hati. Pasangan ini tinggal di Paju, kota kecil di Provinsi Gyeonggi, tak jauh dari perbatasan Korea Selatan dengan Korea Utara. Kadang Yannie memasang foto-foto momen kebersamaan dengan suami dan anaknya di akun media sosial.

    Sudah beberapa kali Yannie main film drama Korea. Tak aneh jika di antara penggila drama Korea, Yannie lumayan dikenal. Kalau cuma melihat foto-fotonya di Instagram, hidup Yannie seolah-olah persis kisah romantis dalam Winter Sonata atau A Millionaire’s First Love.

    Mengetahui Yannie sukses menjalani pernikahan dengan pria dari Negeri Ginseng, pengikutnya di Instagram penasaran. Bahkan ada beberapa yang tak sungkan meminta tolong kepada Yannie untuk mencarikan suami dari Korea Selatan. “Banyak yang kirim direct message di Instagram. Banyak yang minta jodoh. Aku sih cuma ketawa saja, aku kan bukan biro jodoh,” kata Yannie, 38 tahun, yang memiliki 42 ribu followers di akun Instagram miliknya, yannie_kim.

    Jika ada yang mengira kisah Yannie melulu berlumur madu, dia salah besar. Kisah Yannie sama sekali bukan kisah Cinderella, bukan pula ala Pretty Woman. Gelak tawanya mendadak hilang, berubah jadi serius, tatkala Yannie bercerita mengenai kisah pertemuannya dengan sang suami. Masa awal jalinan hubungan Yannie dengan sang suaminya memang penuh jalan berliku.

    Yannie bertemu dengan sang suami pada tahun 2000 ketika perusahaan elektronik tempat Yannie bekerja memberangkatkannya bekerja di Korea selama dua tahun. Namun, ketika Yannie dan sang suami ingin melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius, restu tak kunjung turun dari orang tua.

    Yannie Kim, diaspora Indonesia di Korea Selatan
    “Orang tuaku nggak setuju karena agamanya bukan Islam. Dari pihak mertua, lantaran suami sudah disekolahkan sampai S-2, tentu dia pengin dapat calon istri yang setara, sementara aku cuma lulusan SMA,” Yannie mengisahkan sepenggal perjalanan hidupnya dari Bekasi hingga kini menetap di Paju. Meski belum sepenuhnya mendapat restu orang tua, mereka nekat menikah. Sang suami menjadi mualaf dan, sebagai gantinya, Yannie diboyong ke Korea.

    Tinggal di negeri orang, tak punya kadang, dan sering ditinggal suami pergi ke luar negeri, Yannie harus menghadapi mertua yang masih berat hati menerima menantu dari Bekasi itu. “Aku sama mertua sudah kayak istri muda dan istri tua,” Yannie menuturkan.

    Sudah hidup berkecukupan dari gaji suami tak lantas membuat Yannie berlagak bak seorang nyonya besar. Yannie juga ikut mencari nafkah tambahan. “Hidup mewah, bisa beli ini dan itu hanya ada di film drama…. Mencari uang di sini tidak gampang,” kata Yannie. Dia pernah menjajal beraneka ragam jenis profesi. Mulai bekerja sebagai pegawai kantoran, konsultan untuk perusahaan asing, penerjemah, sampai pembawa acara. Hingga kini Yannie juga masih mengurus rumah makan Warteg Gembul di Busan, yang menjual makanan tradisional Indonesia.

    Tanpa disangka, Yannie berkesempatan terjun ke dunia perfilman di Korea. Bermula terlibat dalam proyek film dokumenter soal keluarga multikultural, Yannie malah kecemplung ke layar kaca. Pada 2009, Yannie memulai debutnya dengan berperan dalam drama berjudul Gaori. Drama ini bercerita tentang seorang perempuan pendatang dari Indonesia ke Korea.

    Belakangan, nama Yannie meledak di kalangan pencinta K-pop Indonesia setelah beradu akting dengan aktor Joo Woon dalam film Yong Pal. Yannie menjadi pasien imigran yang akan melahirkan. Yannie mengaku sempat terkejut atas respons luar biasa dari netizen Indonesia terhadap perannya di episode ke-9 dan ke-10.

    Tapi dia tetap tak merasa nyaman disebut sebagai artis. “Aku bukan artis karena ini cuma cara untuk cari nafkah…. Lagi pula aku kebanyakan main film dan berperan sebagai orang asing, bukan sebagai orang Korea,” ujar Yannie merendah. Dia memang bukan satu-satunya orang Indonesia yang main di drama Korea. Ada juga Amelia Tantono, gadis asal Bandar Lampung. Amelia sempat beradu peran dengan Ji Soo di Lunch Box.

    Demi anak-anaknya, Yannie dengan sangat berat hati melepas kewarganegaraan Indonesia. Jika ia tak mengubah kewarganegaraan kala itu, nama Yannie tidak bisa tampil di kartu keluarga. Hal ini menyulitkan anak-anaknya jika hendak mendaftar sekolah atau urusan administrasi lain. Yannie pun sempat menyampaikan unek-unek ini kepada Presiden Joko Widodo dalam acara meet and greet di Universitas Kyungsung, Busan, pada 2014.

    “Banyak yang bilang aku sudah nggak cinta Indonesia. Aku memilih ini bukan karena Korea lebih maju ketimbang indonesia… nggak. Aku ingin melindungi keluargaku. Masak anak harus nggak sekolah karena masalah warga negara. Jadi nggak ada pilihan,” ujar Yannie. Sampai sekarang Indonesia memang tak mengenal dwikewarganegaraan.

    Kendati bukan lagi warga negara Indonesia, hatinya tetap “merah putih”. Beberapa kali diundang untuk bicara di radio untuk Korea Educational Broadcasting System atau EBS, Yannie meminta diputarkan lagu Tanah Airku ciptaan Ibu Sud. Lagu yang terus didendangkan Yannie setiap kali ia kangen pada tanah kelahirannya.

    Tanah airku tidak kulupakan
    'kan terkenang selama hidupku
    Biarpun saya pergi jauh
    Tidak 'kan hilang dari kalbu

    Menurut kamus Merriam-Webster, paling tidak ada dua definisi diaspora. Satu di antaranya adalah orang-orang yang tinggal jauh dari tanah leluhurnya. Tak ada angka pasti, berapa banyak diaspora Indonesia di luar negeri. Jaringan Diaspora Indonesia (IDN) pernah menyebut angka 7-8 juta orang. Sekitar separuhnya tinggal di Malaysia dan Arab Saudi.

    Ada orang-orang seperti Amanda Surya, salah satu insinyur senior di Nest Labs, anak perusahaan Alphabet; ada pula Josaphat Tetuko, profesor pengindraan jarak jauh di Universitas Chiba, Jepang; atau Dwi Hartanto, doktor dari Universitas Teknik Delft, yang terlibat proyek-proyek strategis di Kementerian Pertahanan Belanda. Tapi ada pula diaspora seperti Rina Sutomo, perantau asal Trenggalek, Jawa Timur, yang menjadi pengasuh orang tua di Hong Kong. Sebagian dari mereka, karena satu dan lain hal, sudah melepas paspor merah putihnya.

    Yang jelas, hidup di negeri orang tak berarti bergelimang uang dan bisa ongkang-ongkang. Sekarang Edy Ongkowijaya sudah berjaya, jadi bos jaringan Restoran Dapur Penyet yang tersebar di beberapa negara di Asia Tenggara. Kendati warga negara Indonesia, Edy menjalankan usahanya dari Singapura.

    Ibarat roda yang terus berputar, Edy Ongkowijaya pernah merasakan jungkir balik kehidupan. Edy pernah mengalami bagaimana susahnya hidup di Singapura hanya dengan mengandalkan uang 50 sen dalam hidupnya. Atau bila dirupiahkan berarti sekitar Rp 5.000. Untuk mengisi perut, misalnya, ia harus mengandalkan belas kasih pemilik kantin di sekolah.

    “Saya baru dari Medan survei lokasi untuk cabang baru. Habis itu ke Plaza Low Yatt di Kuala Lumpur untuk kontrol cabang di sana. Saking seringnya pindah-pindah negara, jadi berasa kerja sebagai pilot saja,” canda Edy saat ditanya mengenai kesibukannya.

    Edy hijrah ke Singapura pada 1993 untuk melanjutkan pendidikan tingkat SMP. Sebagai pengusaha otomotif, bukan soal bagi ayahnya mengirimkan anak sekolah di Singapura. Tapi malang, usahanya bangkrut dilindas krisis ekonomi pada 1998. “Saat diminta pulang, saya tolak. Saya bertekad sebisa mungkin bertahan karena menurut saya di sini lebih ada harapan. Walaupun saya tahu konsekuensinya harus mencari uang sendiri untuk hidup,” kata Edy, kini 39 tahun.

    Demi bertahan hidup, Edy mencoba berbagai jenis pekerjaan tanpa pandang bulu. Ia pernah menjadi pelayan restoran, tukang cuci piring, mengajar les dan bulu tangkis sampai petugas room service hotel. Bagi Edy, kala itu waktu adalah uang yang sangat berharga. Hari libur pun ia manfaatkan betul untuk mencari uang. Agar bisa menghemat uang, Edy pernah makan mi instan selama 2 minggu.

    Pernah dia hampir menyerah, tapi satu pengalaman getir membuatnya bertahan. “Waktu masih susah, saya pernah pacaran dengan anak berada. Ibunya telepon dan mengucapkan satu kalimat yang nggak akan pernah bisa saya lupa. Katanya, ‘Kamu mau kasih makan apa anak saya?’” ujar Edy. Penghinaan itu jadi pelecut semangatnya. “Saya sengaja tempel foto ibunya di atas tempat tidur supaya, setiap kali mau menyerah, saya teringat dia yang pernah menghina saya.”

    Berkat kegigihannya, Edy berhasil lulus dari Universitas Nanyang Polytechnic Jurusan Marketing pada tahun 2000. Dia sempat bekerja di sebuah perusahaan logistik asal Jepang. Meski gajinya lumayan besar hingga bisa menyekolahkan adik perempuannya ke Singapura, Edy hanya bertahan tiga tahun. Edy tak betah bekerja kantoran. “Saya dari dulu kerja banyak geraknya. Disuruh diam duduk di depan komputer nggak betah,” kata Edy.

    Edy pernah mencoba peruntungan dengan membuka waralaba Es Teler 77. Tapi dia melihat persaingan yang tidak sehat di tempatnya berjualan di Orchad Road. Sepanjang jalan itu ada empat gerai Es Teler 77 berdekatan. Ayah dua anak perempuan ini juga pernah membuka gerai Ayam Penyet Ria untuk pertama kali di Singapura. Namun, setelah satu tahun berjalan, Edy kembali memutus kontrak. Dia juga pernah merasakan pahitnya ditipu mitra usaha.

    Sekali lagi Edy pun mengumpulkan niat dan membuka sebuah gerai ayam penyet sederhana bernama Dapur Penyet di Jurong Point, Singapura. Edy kembali dengan ide ayam penyet meski ia tahu betul makanan Indonesia yang satu ini kalah populer dibanding makanan dari negara lain. Sepengetahuannya, orang Singapura juga tak begitu cocok dengan masakan pedas.

    “Saya salah prediksi. Nggak lama buka ayam penyet, langsung booming. Di mana-mana orang ikutan buka usaha ayam penyet. Ternyata mereka makan cabainya gila,” ujar Edy. Untuk mempercepat ekspansi usaha, Edy menerapkan strategi waralaba. Benar saja, dengan cara itu, Edy berhasil menembus pasar di enam negara: Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Myanmar, dan Indonesia.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Kehidupan Tak Seindah Drama Korea Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top