728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Magis Angklung Kuno

    Angklung Perayu Dewi Kesuburan

    Angklung buhun bukan hanya pemanja telinga manusia. Makhluk lain, dari siluman sampai Dewi Sri, mendekat jika alat musik itu dimainkan. - Ki Pantun dan Mursid berduet memainkan angklung.

    Tangan Ki Pantun lincah mengorek sisi batang bambu. Tiap kali merasa cukup mengorek, ia pukulkan bambu itu pada batang kayu di depannya dan langsung ditempelkannya ke telinga. Jika suara kurang pas, bambu kembali dikorek.

    Ikat kepala biru terpasang rapi, serat bambu terkadang menempel di baju hitamnya. Kulit dan bilah bambu terserak di depan saung miliknya di Kampung Cikapek, Desa Lebak Parahiang, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten. Ia tengah menyelesaikan angklung buhun pesanan dari kota.

    Angklung buhun atau angklung kuno merupakan jenis angklung dari Baduy. Ukuran angklung 50-150 cm. Satu set angklung ini berisi 9 buah angklung dan tiga beduk.

    Sembilan buah angklung itu bernama Indung, Ringkung, Dongdong, Gunjung, Indung Leutik, Engklok, Trolok, dan dua buah Roer.

    Tangan dan telinga Ki Pantun sudah akrab dengan setiap lekuk batang bambu angklung buhun. Sejak kecil, di Kampung Cikertawana, Baduy Dalam, ia belajar membuat angklung dari orang tuanya.

    “Pokokna mah ti leutik keneh tos belajar. Jadi nanya ka urang carana kumaha kitu, nyieun suarana kumaha, nadana kumaha. Nadana lamun leutik kiyeu, dikitu nambah ngagedean. Lamun seperti kieyu tah gede kan? Iyeu dipotong, tah. (Pokoknya saya belajar dari kecil. Jadi yang belajar itu bertanya cara membuatnya bagaimana? Suaranya bagaimana? Kalau kecil suaranya begini, kalau besar begini),” jelasnya.

    Angklung buhun punya makna magis di Baduy. Bunyi angklung ini diyakini akan membuat panen berlimpah. Dewi Sri, dewi kesuburan, akan datang dan membantu merawat tanaman padi gogo ketika mendengar alunan aklung.

    Alkisah, Dewi Sri hendak kabur dari orang tuanya. Tapi, ketika kabur, angklung dimainkan. Ia pun pulang lagi karena kaserep (suka). “Jadi angklung buhun iyeu ku matak kudu riwayat di Baduy iyeu, jadi karesep Dewi Sri (Jadi angklung buhun di riwayat Baduy itu, ceritanya karena disukai Dewi Sri),” cerita Ki Pantun saat kami tim detikXpedition berkunjung ke kampung suku Baduy beberapa waktu lalu.

    Angklung ini tak sembarang waktu boleh dimainkan. Hanya saat-saat tertentu, di antaranya ketika penanaman padi adat, yakni saat nyacar serang (ngaseuk serang).

    Angklung buhun yang tengah dibuatnya itu untuk memenuhi pesanan, bukan termasuk angklung buhun untuk keperluan adat. Memang ada orang kota yang memesannya. Keperluannya hanya untuk dimainkan.

    Bahan, bunyi, dan cara membuatnya sama dengan angklung buhun untuk keperluan adat. Namun angklung ini harus melalui prosesi panjang yang dimulai sejak mencabut bambu dari tanah. Bacaan ini untuk mendapat restu dari alam, mulai akar, buku, mata bambu, hingga daunnya.

    “Pas nyokot awi ti leuweung eta cacahana dipenta, di leuweung samemeh nuar kitu, samemeh motong kitu, henteu sembarangan eta, aya cacahanana (Ketika mengambil bambu di hutan, sebelum kita mau potong. Kita tidak bisa sembarangan, ada cacahannya),” tutur Ki Pantun.

    Setelah jadi, angklung juga tak boleh langsung dimainkan. Jangan sembarangan, kata dia, angklung harus dibakari kemenyan dulu supaya siluman-siluman itu senang sehingga suara angklung tidak hilang.

    Ki Pantun beberapa kali membuat angklung untuk kegiatan adat ini. Ia berasal dari Kampung Cikertawana, Baduy Dalam. Sejak belia ia belajar membuat angklung, makanya cukup fasih.

    Nama Ki Pantun sendiri tidak sembarang ia sandang. Ia juga pandai membaca pantun.

    Pantun bagi Baduy juga memiliki makna sakral. Isinya adalah ajaran dan hikayat berbagai makhluk hidup. Pembacaan pantun pun sering menyertai berbagai proses adat saat bertanam padi, perayaan, hingga hajatan.

    Ia dulu dipercaya mengiring acara adat, untuk berpantun maupun memainkan angklung. Namun kini ia memilih hidup di Baduy Luar.

    Pemain angklung di Kampung Cikertawana kini dilakoni oleh adik Ki Pantun, Ayah Armah. Ia juga belajar membuat angklung sedari kecil. Keduanya bekerja sama untuk memenuhi pesanan angklung dari luar.

    Sehari-hari ia menggarap ladang. Namun, jika ada pesanan angklung, hal itu bisa jadi pemasukan lain baginya. Pendapatannya dari penjualan angklung cukup lumayan. “Lamun nte jeung bedug mah ukur Rp 500 doang. Lamun jeung bedug mah mahal karena Rp 1,5 juta karena anu iyeuna iyeu (Harganya kalau tidak pakai beduk Rp 500 ribu. Kalau sama beduk, jadi mahal, Rp 1,5 juta, karena ada kulit kijangnya),” jelas Ayah Armah.

    Selain menganggap angklung sebagai perayu Dewi Sri, Ayah Armah bilang, alat musik itu membuat warga bersemangat saat menggelar acara adat. Iringan suara merdu membuat mereka menikmati pekerjaan. Apalagi jika tengah nyacar serang, ratusan orang dan iringan angklung meramaikan lahan adat.

    “Ibarat kokolot melak pare mimitian, kuurang angklung diraramean, dihibur ku angklung (Ibarat pesan leluhur, awal menanam padi oleh kita diangklungkan agar ramai, dihibur oleh angklung),” ungkapnya.

    Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya sendiri punya ambisi soal angklung. Ia menganggap angklung merupakan alat musik tradisional milik Banten. Selama ini angklung lebih dikenal milik Jawa Barat.

    Menurutnya, kabupaten yang dipimpinnya-lah asal-muasal angklung itu. Ibu Kota Lebak, Rangkasbitung, mengandung arti bambu. Jadi, kata dia, betung atau bitung itu artinya bambu, sedangkan rangkas artinya kebun. Jadi Rangkasbitung artinya kebun bambu.

    Selama ini bahan pembuat angklung, bambu, justru diambil dari Lebak. Iti pun berhasrat menggalakkan budi daya bambu. “Makanya cita-cita kami ke depan membuat kebun bambu. Jadi angklung balik kampung. Ini kan jadi potensi pariwisata kami nanti ke depannya,” katanya.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Magis Angklung Kuno Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top