728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Menembus Mimpi Hollywood

    Menembus Jantung Hollywood

    “Saya mengerjakan 70 shoot dengan durasi total cuma 4 menit di film Tintin. Tapi itu kerjanya bisa 12-14 jam nonstop.” - Pheren bersama Slipknot
    Setelah merampungkan pekerjaan kantor, Rini Triyani Sugianto bersama teman-temannya bergegas pergi ke bioskop. Hari itu beberapa tahun lalu merupakan pemutaran perdana film The Adventure of Tintin: The Secret of the Unicorn dan Rini tak ingin melewatkannya.

    Rini begitu bersemangat bukan hanya karena sejak kecil ia nge-fans pada sosok Tintin dan anjing fox terrier bernama Snowy itu. Ketika film berdurasi 107 menit itu berakhir, seluruh penontonnya berangsur pergi. Namun Rini masih setia menatap layar lebar di depannya. Padahal film Tintin tidak memiliki sekuel tambahan seperti yang sering diselipkan dalam film superhero buatan Marvel Cinematic Universal.

    Mata Rini menatap serius deretan nama pemain dan kru film yang keluar pada bagian credit title. “Sengaja kita lihat untuk ngecek kalau ada salah pengejaan nama. Syukurnya nggak ada,” kata Rini, kini 37 tahun. Rupanya, di antara puluhan orang yang tertulis, nama Rini tercantum sebagai salah satu character animator yang ikut menggarap film Tintin.

    Sebagai animator, mengerjakan aneka proyek animasi semacam itu merupakan hal biasa. Namun bekerja di bawah film besutan sutradara Steven Spielberg diakuinya sebagai sebuah keberuntungan sekaligus kesempatan langka. Yang tak disangka Rini, justru sambutan luar biasa dari penonton Indonesia. Setelah mengetahui ada nama Rini Sugianto yang sangat Indonesia pada film buatan studio Weta Digital, tak sedikit yang mengirim pesan dan bertanya langsung kepada Rini lewat media sosial.

    “Mereka bertanya, ‘Ini namanya Indonesia sekali, Mbak Rini orang indonesia, ya? Mbak Rini ikut ngerjain film Tintin?’” kata Rini, yang kala itu sempat tinggal di Selandia Baru. Sejak kecil, wanita kelahiran Lampung ini tidak pernah berpikir akan menjadi seorang animator di kemudian hari. Apalagi belum banyak informasi mengenai profesi animator. Kalaupun ada, hanya kartun dua dimensi keluaran Walt Disney, semacam Lion King.

    Rini memang suka seni. Dia kuliah di Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung. Saat itulah dia baru kenal yang namanya animasi tiga dimensi (3D). Kebetulan ada salah satu mata pelajaran yang mengharuskan Rini membuat animasi 3D sebagai bahan presentasi. Dari sana ketertarikan Rini mempelajari ilmu animasi lebih dalam muncul. Sayangnya, di Indonesia saat itu belum ada sekolah yang dapat memenuhi keinginan Rini. Tak puas belajar animasi dari buku dan internet, Rini terbang ke Amerika dan kuliah master di Academy of Art University, San Francisco.

    “Di keluarga sayalah yang pertama masuk seni dan bikin waswas keluarga. Zaman dulu, apalagi di Indonesia, ada persepsi, kalau kamu bekerja di bidang seni, hidupnya susah,” kata bungsu dari dua bersaudara ini. Tapi Rini jalan terus. “Modalnya nekat saja. Semoga it goes somewhere.”

    Lulus kuliah, Rini sempat menclok di studio games Stormfront, Offset Studio, dan Blur Studio. Suatu kali pada 2010, Weta Digital mencari animator untuk film Tintin. Weta adalah perusahaan efek visual yang didirikan oleh sutradara kondang Peter jackson dan berbasis di Selandia Baru. Sudah banyak sekali film Hollywood yang mereka garap, di antaranya, trilogi The Lord of the Rings, X Men: The Last Stand, King Kong, Avatar, dan Rise of the Planet of the Apes.

    Pengalaman bekerja untuk Weta adalah pengalaman sekaligus lompatan penting bagi Rini. “Tanpa diterima kerja di Weta, karier saya nggak akan semaju seperti sekarang,” kata Rini. Setelah Tintin, dia ikut menggarap serial Avengers, The Hobbit, The Hunger Games, TED 2, Iron Man, dan Ninja Turtles. Sekarang Rini bekerja sebagai animator senior di Industrial Light and Magic.

    “Pekerjaan sebagai animator itu sangat menyenangkan karena kita bisa melakukan apa pun yang nggak bisa ditemukan di kehidupan nyata,” Rini menuturkan. Jangan dikira pula ini pekerjaan enteng dan santai. “Saya mengerjakan 70 shoot dengan durasi total cuma 4 menit di film Tintin. Tapi itu kerjanya bisa 12-14 jam nonstop setiap hari, termasuk akhir pekan…. Nggak ada istilah jam kantor.”

    Untuk melepas penat terhadap pekerjaannya, Rini selalu menyempatkan diri melampiaskan hobi berlari dan memanjat gunung. Dia sudah menjelajahi puncak-puncak tinggi, seperti Gunung Kilimanjaro di Tanzania, gunung tertinggi di Afrika, dan Gunung Mont Blanc, puncak tertinggi di Eropa Barat.

    Di sela-sela kesibukannya, Rini juga membuka sekolah animasi online bernama FlashFrame Workshop. Kelas ini ditujukan untuk murid di Indonesia agar dapat semakin meningkatkan kemampuan di dunia animasi. Sekolah online ini terdiri atas tiga kelas, yaitu modeling, rigging, dan animasi. Dia punya pesan untuk animator Indonesia. “Terutama buat pemula, jangan takut menunjukkan karya melalui sarana apa pun. Semakin kita berani pamerkan karya, makin lebar kesempatan untuk go international.”

    * * *

    Hari ini adalah hari yang menyenangkan bagi Pheren Soepadhi. Tanggal 10 Juni 2017, gadis yang lahir dan besar di Jakarta itu menerima tiga hadiah dalam 10th Annual IDA Awards di Architecture & Design Museum, Los Angeles. Pheren mendapatkan juara kedua dan ketiga di kompetisi Wedding Apparel serta juara ketiga untuk Haute Couture.

    Pheren sudah lima tahun tinggal di Los Angeles, Amerika. Dia seorang fotografer, sekaligus desainer fashion. Semula orang tuanya memang kurang setuju Pheren berkarier di dunia fashion. Demi orang tua, Pheren menuntaskan kuliah seni multimedia di Raffles Design Institute, Singapura. Baru setelah dapat gelar, dia melanjutkan kuliah desain fashion di So En Bunka School of Fashion, Jepang.

    Ketika pertama kali datang ke Los Angeles, Pheren tak punya teman. Dasar memang suka grup-grup rock, dia datang langsung ke “sarang” mereka: klub malam Whisky a Go Go di West Hollywood. Ini bukan klub malam sembarang klub malam. Di klub malam inilah, grup-grup besar, seperti The Doors, Van Halen, System of a Down, Motley Crue, Linkin Park, dan Guns N’ Roses, mulai merangkak dan merintis karier. Di klub ini pula Marilyn Monroe mojok dengan Joe Kennedy.

    Bermodal nekat, Pheren berkenalan dengan anggota band yang sering mampir di Whisky a Go Go. Perkenalan itulah yang membuka pintu bagi gadis tersebut ke grup-grup rock, seperti Sepultura. Selama lima tahun di sana, Pheren sudah bekerja dengan mantan gitaris Red Hot Chili Peppers, Dave Navarro; vokalis Skid Row, Sebastian Bach; Good Charlotte; Westfield Massacre; dan Nuno Bettencourt, gitaris Extreme.

    Menurut Pheren, tak ada susahnya berurusan dengan bintang-bintang rock yang sering tampil sangar di atas panggung itu. “Aku senang banget motret musikus metal…. Mereka chill aja, diapakan saja juga santai, ha-ha-ha...,” kata Pheren. Selain bintang-bintang rock itu, Pheren pernah motret untuk bintang-bintang Hollywood, seperti Angelina Jolie, Leonardo DiCaprio, dan Vin Diesel.

    “Kadang saya masih mikir, ‘Ini gue nggak lagi mimpi kan, ya?’ Bisa ketemu, mengobrol, dan sampai kerja bareng dengan orang-orang yang dulu cuma pernah aku lihat di majalah dan TV,” ujar Pheren.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Menembus Mimpi Hollywood Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top