Christianto Wibisono
Daniel Johan, calon legislator dari PKB DKI Jakarta 2009 dan sekarang anggota staf khusus Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, menulis kolom di Kompas (21/1) dengan identitas Direktur Institute of National Leadership and Public Policy.
Kolom itu renungan kontemplatif tentang makna Imlek di Tahun Naga Air dengan tema ”Menanti Pemimpin Tegas dan Berani”. Indonesia memiliki segala potensi menjadi ”Naga Asia” yang dikagumi bangsa-bangsa di dunia. Namun, itu semua akan terwujud jika bangsa ini punya pemimpin tegas dan berani. Kepemimpinan seperti itulah yang ditunggu rakyat dan sejarah.
Pada hari yang sama, Hermawi Taslim, yang menyebut diri mewakili Komunitas Glodok, menyatakan dalam diskusi Warung Daun Cikini bahwa etnisitas Tionghoa kecewa berat kepada SBY dan Partai Demokrat pasti akan merosot tajam pada Pemilu 2014.
Selaku pengamat sejarah politik Indonesia, saya menyambut positif debat, dialog, dan diskusi tentang politik sepanjang tak menimbulkan disharmoni karena generalisasi dan eksploitasi politik partisan.
Benang merah sejarah keterlibatan politik warga Tionghoa sejak perjuangan kemerdekaan hingga Orde Reformasi adalah bahwa keturunan Tionghoa itu plural, bukan satu tribal monolit. Ini penting supaya ada penjernihan pikiran untuk tak menggebyah-uyah seluruh keturunan Tionghoa dengan stigma economic animal dan tidak patriot.
Empat dari 62 anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah Oei Tjong Hauw, putra pendiri Oei Tiong Ham Concern, konglomerat pertama di Asia Tenggara; Liem Koen Hian, Ketua Partai Tionghoa Indonesia; Tan Eng Hoa, Ketua Waroengbond Tionghoa; dan Oei Tiang Tjoei, Ketua Hoo Hap Hwee Kwan, ormas sosial budaya. BPUPKI membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Yap Tjwan Bing sebagai satu dari 21 anggota.
Berisiko
Elite politik Indonesia berisiko menjadi tahanan politik. Namun, bagi Tionghoa risikonya lebih berat karena faktor rasisme. Bung Karno, Sutan Sjahrir, Mohamad Natsir, Burhanudin Harahap, dan Amir Sjarifuddin korban perang saudara atau tahanan politik.
Beban elite Tionghoa lebih berat. Liem Koen Hian ditahan oleh Kabinet Sukiman hingga frustrasi dan kecewa berat menanggalkan kewarganegaraan Indonesia. Yap Tjwan Bing cedera pada aksi rasis 10 Mei 1963 sehingga ia hijrah ke San Francisco, tetapi di hari tuanya kembali dan wafat di Indonesia.
Putri saya mengalami rasisme dalam the rape of Jakarta, Mei 1998, sehingga keluarga saya hijrah ke Washington DC. Seluruh tokoh kiri Tionghoa, mulai dari PKI, Baperki, sampai Sukarnois, menjadi tapol rezim Soeharto. Namun, seperti juga warga Indonesia yang lain berideologi kiri komunis, sosialis, nasionalis, dan islamis, keturunan Tionghoa juga bukan suatu tribal monolit.
Dua menteri dari kabinet Sutan Sjahrir III (2 Oktober 1946-3 Juli 1947) dan Kabinet Amir Sjarifuddin (3 Juli 1947-29 Januari 1948) adalah tokoh Partai Sosialis: Tan Po Goan dan Siauw Giok Tjhan. Siauw kemudian menjadi ketua Baperki dan menjadi tapol korban G30S.
Pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus 1956), Ong Eng Die dari PNI menjadi menteri keuangan dan Lie Kiat Teng alias Mohamad Ali menjadi menteri kesehatan dari PSII. Dalam kurun ini pluralitas Tionghoa tecermin dari polemik antara Auwjong Peng Koen (PK Ojong) yang menulis di majalah Star Weekly dan Ong Eng Die, menteri yang Tionghoa.
Setelah Pemilu 1955 justru tak ada menteri Tionghoa dalam kabinet. Uniknya, baru setelah meledak peristiwa rasialis Bandung 10 Mei 1963, Oei Tjoe Tat yang tokoh Baperki dan Partindo diangkat menjadi menteri negara diperbantukan Presidium Kabinet pada 13 November 1963. Bung Karno mengangkat Oei Tjoe Tat dan Mohamad Hasan alias Tan Kiem Liong, mantan fotografer istana harian Duta Masyarakat, organ resmi NU, sebagai menteri.
Tan Kiem Liong menggebrak dengan pengampunan pajak 1964, pemutihan dana pajak masyarakat untuk pendapatan negara. Sementara David G Cheng, arsitek perancang menara Bung Karno, dijadikan menteri cipta karya di lingkungan Pekerjaan Umum. Setelah kabinet terakhir Bung Karno dilikuidasi oleh Soeharto, sejak 29 Maret 1966 tak pernah ada menteri Tionghoa dalam kabinet Soeharto.
Baru pada saat kepepet Soeharto nekat mengangkat kroninya, Bob Hasan alias The Kian Seng, menjadi menteri perindustrian dan perdagangan yang hanya dua bulan (Maret-21 Mei 1998). Habibie tak mengangkat menteri Tionghoa, tetapi menunjuk James Riady sebagai salah satu Utusan Khusus Presiden untuk AS. Saya batal dilantik jadi anggota MPR oleh Presiden BJ Habibie karena mendampingi putri saya ke AS.
Apakah peran Tionghoa dalam politik punah pada era Soeharto oleh pembubaran PKI, Baperki?
Nyaris punah, tetapi justru perbedaan dalam tubuh masyarakat Tionghoa sama dengan perbedaan dalam tubuh seluruh masyarakat Indonesia: tak memusnahkan peranan Tionghoa sebagai individu. Namun, memang hanya beberapa gelintir yang aktif berpolitik.
Meski tak menjabat menteri, Harry Tjan Silalahi kepada Soeharto tak kalah dengan Oei Tjoe Tat kepada Bung Karno. Sama-sama pembisik, tetapi Harry melakukannya melalui Ali Moertopo dan Benny Moerdani. Setelah Benny Moerdani berani mempertanyakan bisnis putra-putri Cendana, barulah Soeharto naik pitam dan mencuekkan CSIS yang di dalamnya tersua Jusuf Wanandi dan Sofjan Wanandi sebagai pelobi politik dan pengusaha penyandang dana yang sangat efektif.
Liem Sioe Liong mengganti konglomerat Oei Tiong Ham menjadi konglomerat baru Indonesia. Sejarah terulang saat Soeharto tersinggung dengan ”arogansi” William Soeryadjaya ketika Soeharto minta konglomerat menyisihkan saham untuk koperasi. Bank Summa bangkrut selain karena kegagalan Edward Soeryadjaya mengelola, juga karena BI menolak menyelamatkan.
Setelah reformasi, iklim liberal justru menguak perbedaan elite Tionghoa, baik secara personal maupun ideologi. Perpecahan dalam organisasi pengusaha Tionghoa berebut legitimasi, bahkan sempat meledak jadi adu jotos dalam rapat yang diadakan untuk mengampanyekan Indonesia sebagai tuan rumah World Chinese Entrepreneurs Convention. Akibatnya, Indonesia gagal menjadi tuan rumah WCEC.
Saya ingin mengingatkan politisi Tionghoa bahwa Anda berkiprah sebagai individu untuk bangsa dan negara, bukan mendaku mewakili secara partisan seperti kritik PK Ojong bahwa Ong Eng Die adalah tokoh PNI dan bukan mewakili Tionghoa.
Silakan memihak atau mengkritik presiden petahana karena itu hak asasi warga negara. Namun, jangan mengklaim mewakili seluruh etnisitas Tionghoa karena Tionghoa bukan tribal monolit, melainkan plural dan berhak meluruskan posisi petahana secara rasional.
Christianto Wibisono
Daniel Johan, calon legislator dari PKB DKI Jakarta 2009 dan sekarang anggota staf khusus Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, menulis kolom di Kompas (21/1) dengan identitas Direktur Institute of National Leadership and Public Policy.
Kolom itu renungan kontemplatif tentang makna Imlek di Tahun Naga Air dengan tema ”Menanti Pemimpin Tegas dan Berani”. Indonesia memiliki segala potensi menjadi ”Naga Asia” yang dikagumi bangsa-bangsa di dunia. Namun, itu semua akan terwujud jika bangsa ini punya pemimpin tegas dan berani. Kepemimpinan seperti itulah yang ditunggu rakyat dan sejarah.
Pada hari yang sama, Hermawi Taslim, yang menyebut diri mewakili Komunitas Glodok, menyatakan dalam diskusi Warung Daun Cikini bahwa etnisitas Tionghoa kecewa berat kepada SBY dan Partai Demokrat pasti akan merosot tajam pada Pemilu 2014.
Selaku pengamat sejarah politik Indonesia, saya menyambut positif debat, dialog, dan diskusi tentang politik sepanjang tak menimbulkan disharmoni karena generalisasi dan eksploitasi politik partisan.
Benang merah sejarah keterlibatan politik warga Tionghoa sejak perjuangan kemerdekaan hingga Orde Reformasi adalah bahwa keturunan Tionghoa itu plural, bukan satu tribal monolit. Ini penting supaya ada penjernihan pikiran untuk tak menggebyah-uyah seluruh keturunan Tionghoa dengan stigma economic animal dan tidak patriot.
Empat dari 62 anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah Oei Tjong Hauw, putra pendiri Oei Tiong Ham Concern, konglomerat pertama di Asia Tenggara; Liem Koen Hian, Ketua Partai Tionghoa Indonesia; Tan Eng Hoa, Ketua Waroengbond Tionghoa; dan Oei Tiang Tjoei, Ketua Hoo Hap Hwee Kwan, ormas sosial budaya. BPUPKI membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Yap Tjwan Bing sebagai satu dari 21 anggota.
Berisiko
Elite politik Indonesia berisiko menjadi tahanan politik. Namun, bagi Tionghoa risikonya lebih berat karena faktor rasisme. Bung Karno, Sutan Sjahrir, Mohamad Natsir, Burhanudin Harahap, dan Amir Sjarifuddin korban perang saudara atau tahanan politik.
Beban elite Tionghoa lebih berat. Liem Koen Hian ditahan oleh Kabinet Sukiman hingga frustrasi dan kecewa berat menanggalkan kewarganegaraan Indonesia. Yap Tjwan Bing cedera pada aksi rasis 10 Mei 1963 sehingga ia hijrah ke San Francisco, tetapi di hari tuanya kembali dan wafat di Indonesia.
Putri saya mengalami rasisme dalam the rape of Jakarta, Mei 1998, sehingga keluarga saya hijrah ke Washington DC. Seluruh tokoh kiri Tionghoa, mulai dari PKI, Baperki, sampai Sukarnois, menjadi tapol rezim Soeharto. Namun, seperti juga warga Indonesia yang lain berideologi kiri komunis, sosialis, nasionalis, dan islamis, keturunan Tionghoa juga bukan suatu tribal monolit.
Dua menteri dari kabinet Sutan Sjahrir III (2 Oktober 1946-3 Juli 1947) dan Kabinet Amir Sjarifuddin (3 Juli 1947-29 Januari 1948) adalah tokoh Partai Sosialis: Tan Po Goan dan Siauw Giok Tjhan. Siauw kemudian menjadi ketua Baperki dan menjadi tapol korban G30S.
Pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus 1956), Ong Eng Die dari PNI menjadi menteri keuangan dan Lie Kiat Teng alias Mohamad Ali menjadi menteri kesehatan dari PSII. Dalam kurun ini pluralitas Tionghoa tecermin dari polemik antara Auwjong Peng Koen (PK Ojong) yang menulis di majalah Star Weekly dan Ong Eng Die, menteri yang Tionghoa.
Setelah Pemilu 1955 justru tak ada menteri Tionghoa dalam kabinet. Uniknya, baru setelah meledak peristiwa rasialis Bandung 10 Mei 1963, Oei Tjoe Tat yang tokoh Baperki dan Partindo diangkat menjadi menteri negara diperbantukan Presidium Kabinet pada 13 November 1963. Bung Karno mengangkat Oei Tjoe Tat dan Mohamad Hasan alias Tan Kiem Liong, mantan fotografer istana harian Duta Masyarakat, organ resmi NU, sebagai menteri.
Tan Kiem Liong menggebrak dengan pengampunan pajak 1964, pemutihan dana pajak masyarakat untuk pendapatan negara. Sementara David G Cheng, arsitek perancang menara Bung Karno, dijadikan menteri cipta karya di lingkungan Pekerjaan Umum. Setelah kabinet terakhir Bung Karno dilikuidasi oleh Soeharto, sejak 29 Maret 1966 tak pernah ada menteri Tionghoa dalam kabinet Soeharto.
Baru pada saat kepepet Soeharto nekat mengangkat kroninya, Bob Hasan alias The Kian Seng, menjadi menteri perindustrian dan perdagangan yang hanya dua bulan (Maret-21 Mei 1998). Habibie tak mengangkat menteri Tionghoa, tetapi menunjuk James Riady sebagai salah satu Utusan Khusus Presiden untuk AS. Saya batal dilantik jadi anggota MPR oleh Presiden BJ Habibie karena mendampingi putri saya ke AS.
Apakah peran Tionghoa dalam politik punah pada era Soeharto oleh pembubaran PKI, Baperki?
Nyaris punah, tetapi justru perbedaan dalam tubuh masyarakat Tionghoa sama dengan perbedaan dalam tubuh seluruh masyarakat Indonesia: tak memusnahkan peranan Tionghoa sebagai individu. Namun, memang hanya beberapa gelintir yang aktif berpolitik.
Meski tak menjabat menteri, Harry Tjan Silalahi kepada Soeharto tak kalah dengan Oei Tjoe Tat kepada Bung Karno. Sama-sama pembisik, tetapi Harry melakukannya melalui Ali Moertopo dan Benny Moerdani. Setelah Benny Moerdani berani mempertanyakan bisnis putra-putri Cendana, barulah Soeharto naik pitam dan mencuekkan CSIS yang di dalamnya tersua Jusuf Wanandi dan Sofjan Wanandi sebagai pelobi politik dan pengusaha penyandang dana yang sangat efektif.
Liem Sioe Liong mengganti konglomerat Oei Tiong Ham menjadi konglomerat baru Indonesia. Sejarah terulang saat Soeharto tersinggung dengan ”arogansi” William Soeryadjaya ketika Soeharto minta konglomerat menyisihkan saham untuk koperasi. Bank Summa bangkrut selain karena kegagalan Edward Soeryadjaya mengelola, juga karena BI menolak menyelamatkan.
Setelah reformasi, iklim liberal justru menguak perbedaan elite Tionghoa, baik secara personal maupun ideologi. Perpecahan dalam organisasi pengusaha Tionghoa berebut legitimasi, bahkan sempat meledak jadi adu jotos dalam rapat yang diadakan untuk mengampanyekan Indonesia sebagai tuan rumah World Chinese Entrepreneurs Convention. Akibatnya, Indonesia gagal menjadi tuan rumah WCEC.
Saya ingin mengingatkan politisi Tionghoa bahwa Anda berkiprah sebagai individu untuk bangsa dan negara, bukan mendaku mewakili secara partisan seperti kritik PK Ojong bahwa Ong Eng Die adalah tokoh PNI dan bukan mewakili Tionghoa.
Silakan memihak atau mengkritik presiden petahana karena itu hak asasi warga negara. Namun, jangan mengklaim mewakili seluruh etnisitas Tionghoa karena Tionghoa bukan tribal monolit, melainkan plural dan berhak meluruskan posisi petahana secara rasional.
Christianto Wibisono
0 komentar:
Post a Comment