Buku Hoakiau di Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer (dilarang hampir 40 tahun yang lalu) diterbitkan kembali. Masih hangat dibaca hari ini.
INILAH sebuah buku yang paling lama dilarang dalam sejarah Indonesia modern. Tapi ia menarik bukan karena itu. Isinya--bersemangat dan tajam--masih bisa nyaring sampai sekarang. Sekaligus ia mengingatkan kepada kita betapa panjangnya sejarah "masalah Cina" di Indonesia. Dan betapa merisaukannya.
Pada awal masa "Demokrasi Terpimpin" tahun 1959, Presiden Soekarno menandatangani Peraturan Presiden No. 10: semua pedagang eceran Cina harus menutup usaha mereka di wilayah pedalaman. Sebetulnya, tak jelas apakah itu juga berarti bahwa para keturunan Cina dilarang bermukim di pedesaan. Tapi, di Jawa Barat, panglima militer setempat, Kolonel Kosasih, memaksa mereka pindah. Semacam pogrom terjadi. Sebuah laporan surat kabar menceritakan bagaimana tentara "melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk-truk dan membawa mereka ke kamp-kamp yang dibangun tergesa-gesa". Bahkan, dalam pengusiran di Cimahi, tentara menembak mati dua perempuan Tionghoa. Kira-kira lebih dari 100 ribu keturunan Cina meninggalkan Indonesia.
Pramoedya tidak bisa menerima semua ini. Ia menulis. "Tak ada suatu kekuatan di atas bumi ini yang dapat melarang orang bicara dengan nuraninya sendiri," katanya. Bentuk "bicara" Pramoedya adalah serangkaian surat yang ditujukan kepada "Hs-y" yang tinggal di "P". Dalam pengantar buku, yang ditulis oleh Sumit K. Mandal ini--seorang pengajar pada Universiti Kebangsaan di Malaysia (yang memberikan informasi tambahan dan pendekatan yang baru untuk buku ini), disebutkan bahwa "Hs-y" itu sebenarnya adalah Chen Xiaru. Ia seorang perempuan berusia 25 tahun yang tinggal di Beijing, seorang penerjemah sastra Indonesia yang dikenal Pramoedya ketika ia mengunjungi RRC. Tidak penting bagaimana hubungan Pramoedya dengan Chen Xiaru--mungkin sebuah tali persahabatan, mungkin kekaguman atau cinta--tapi yang jelas suratnya mengalir santer, lebih merupakan monolog, dan nadanya bergelora. Semuanya terbit di koran mingguan Bintang Minggu, sejak November 1959 sampai awal Maret 1960, sebanyak 12 hingga 16 kali. Sambutannya luas. Tidak kurang dari 10 harian memuatnya kembali.
Mungkin karena minat itu, ke-16 surat itu pun diterbitkan sebagai buku, dalam bentuk yang lebih lengkap. Pramoedya mengerjakannya selama tiga minggu, menunjukkan urgensinya soal ini. Ia tentu tahu bahwa buku itu akan menyengat. Yang tak ia duga ialah buku itu bakal dilarang. Malah Pramoedya ditangkap dan disekap (selama setahun)--nasib yang kemudian jadi ciri utama riwayat hidupnya.
Kita tahu tentang pembuangannya selama 13 tahun di Pulau Buru dan karyanya yang diberangus. Yang banyak disebut tentu novelnya. Tapi ada Pramoedya yang lain: seorang penulis karya nonfiksi yang kadang lebih kuat ketimbang ketika ia menulis fiksi.
Dan bagi saya, inilah karya nonfiksinya yang paling penting sebelum ia menulis Jejak Langkah. Tiap karya nonfiksi Pramoedya adalah sebuah polemik--kreativitasnya adalah jenis kreativitas perlawanan--dan buku contoh yang baik. Pramoedya, seperti banyak penulis Indonesia tahun 40 dan 50-an, pintar memukul dengan kata. Tapi jauh lebih mengesankan ialah dayanya menghimpun bahan sejarah, statistik, guntingan koran, dan petikan kepustakaan (antara lain: sebuah ucapan Sayidina Ali yang bagus).
Ia mengguncang asumsi yang umum berlaku. Ia bukan sekadar bertolak dari anggapan bahwa "ras" bukanlah sebuah kepastian yang mutlak. Ia juga mengungkapkan bahwa tak benar keturunan Cina anak emas pemerintah kolonial. Ia mempersoalkan gambaran perbedaan sosial ekonomi antara Hoakiau dan "pribumi", sesuatu yang (menurut data statistik) memang tak teramat tajam di pedalaman Indonesia tahun 1950-an.
Untuk masa revolusi, Pramoedya tak mengelak untuk menyebut "kejahatan Poh An Tui", pasukan polisi yang dibentuk Belanda dari keturunan Cina. Tapi ia juga menyebut banyak korban orang Tionghoa akibat kolonialisme Belanda, dan kejahatan toh bukan monopoli satu bangsa.
Memang, seluruh buku adalah sebuah pleidoi untuk Hoakiau--suatu sikap yang tak populer. Pramoedya pun dituduh sebagai "pengkhianat bangsa". Ia memang berani mengucapkan "selamat" kepada mereka yang pulang ke RRC, "meninggalkan tragedi tanpa tujuan ini". Jika ada yang pedas dan getir dalam ucapan itu, itu juga kekuatannya: buku ini bukan sebuah paparan yang datar.
Pramoedya bukan tanpa kelemahan: misalnya ia tak sempat melihat bahwa yang disebut "masalah Cina" bukan hanya berlangsung di Indonesia, tapi juga di Thailand, Filipina, dan bahkan di Vietnam setelah kaum komunis menang di Hanoi. Bagaimanapun, penerbit yang menghadirkan buku ini kembali ke pembaca sekarang (sebuah penerbit baru, dikelola oleh generasi muda) memilih waktu yang tepat. Kerusuhan dan kekerasan Mei yang lalu membutuhkan penelahaan kembali soal konflik rasial ini. Kini mudah-mudahan tak perlu ada suara yang dibenamkan lagi, meskipun suara itu tak menyenangkan hati.
Goenawan Mohamad
INILAH sebuah buku yang paling lama dilarang dalam sejarah Indonesia modern. Tapi ia menarik bukan karena itu. Isinya--bersemangat dan tajam--masih bisa nyaring sampai sekarang. Sekaligus ia mengingatkan kepada kita betapa panjangnya sejarah "masalah Cina" di Indonesia. Dan betapa merisaukannya.
Pada awal masa "Demokrasi Terpimpin" tahun 1959, Presiden Soekarno menandatangani Peraturan Presiden No. 10: semua pedagang eceran Cina harus menutup usaha mereka di wilayah pedalaman. Sebetulnya, tak jelas apakah itu juga berarti bahwa para keturunan Cina dilarang bermukim di pedesaan. Tapi, di Jawa Barat, panglima militer setempat, Kolonel Kosasih, memaksa mereka pindah. Semacam pogrom terjadi. Sebuah laporan surat kabar menceritakan bagaimana tentara "melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk-truk dan membawa mereka ke kamp-kamp yang dibangun tergesa-gesa". Bahkan, dalam pengusiran di Cimahi, tentara menembak mati dua perempuan Tionghoa. Kira-kira lebih dari 100 ribu keturunan Cina meninggalkan Indonesia.
Pramoedya tidak bisa menerima semua ini. Ia menulis. "Tak ada suatu kekuatan di atas bumi ini yang dapat melarang orang bicara dengan nuraninya sendiri," katanya. Bentuk "bicara" Pramoedya adalah serangkaian surat yang ditujukan kepada "Hs-y" yang tinggal di "P". Dalam pengantar buku, yang ditulis oleh Sumit K. Mandal ini--seorang pengajar pada Universiti Kebangsaan di Malaysia (yang memberikan informasi tambahan dan pendekatan yang baru untuk buku ini), disebutkan bahwa "Hs-y" itu sebenarnya adalah Chen Xiaru. Ia seorang perempuan berusia 25 tahun yang tinggal di Beijing, seorang penerjemah sastra Indonesia yang dikenal Pramoedya ketika ia mengunjungi RRC. Tidak penting bagaimana hubungan Pramoedya dengan Chen Xiaru--mungkin sebuah tali persahabatan, mungkin kekaguman atau cinta--tapi yang jelas suratnya mengalir santer, lebih merupakan monolog, dan nadanya bergelora. Semuanya terbit di koran mingguan Bintang Minggu, sejak November 1959 sampai awal Maret 1960, sebanyak 12 hingga 16 kali. Sambutannya luas. Tidak kurang dari 10 harian memuatnya kembali.
Mungkin karena minat itu, ke-16 surat itu pun diterbitkan sebagai buku, dalam bentuk yang lebih lengkap. Pramoedya mengerjakannya selama tiga minggu, menunjukkan urgensinya soal ini. Ia tentu tahu bahwa buku itu akan menyengat. Yang tak ia duga ialah buku itu bakal dilarang. Malah Pramoedya ditangkap dan disekap (selama setahun)--nasib yang kemudian jadi ciri utama riwayat hidupnya.
Kita tahu tentang pembuangannya selama 13 tahun di Pulau Buru dan karyanya yang diberangus. Yang banyak disebut tentu novelnya. Tapi ada Pramoedya yang lain: seorang penulis karya nonfiksi yang kadang lebih kuat ketimbang ketika ia menulis fiksi.
Dan bagi saya, inilah karya nonfiksinya yang paling penting sebelum ia menulis Jejak Langkah. Tiap karya nonfiksi Pramoedya adalah sebuah polemik--kreativitasnya adalah jenis kreativitas perlawanan--dan buku contoh yang baik. Pramoedya, seperti banyak penulis Indonesia tahun 40 dan 50-an, pintar memukul dengan kata. Tapi jauh lebih mengesankan ialah dayanya menghimpun bahan sejarah, statistik, guntingan koran, dan petikan kepustakaan (antara lain: sebuah ucapan Sayidina Ali yang bagus).
Ia mengguncang asumsi yang umum berlaku. Ia bukan sekadar bertolak dari anggapan bahwa "ras" bukanlah sebuah kepastian yang mutlak. Ia juga mengungkapkan bahwa tak benar keturunan Cina anak emas pemerintah kolonial. Ia mempersoalkan gambaran perbedaan sosial ekonomi antara Hoakiau dan "pribumi", sesuatu yang (menurut data statistik) memang tak teramat tajam di pedalaman Indonesia tahun 1950-an.
Untuk masa revolusi, Pramoedya tak mengelak untuk menyebut "kejahatan Poh An Tui", pasukan polisi yang dibentuk Belanda dari keturunan Cina. Tapi ia juga menyebut banyak korban orang Tionghoa akibat kolonialisme Belanda, dan kejahatan toh bukan monopoli satu bangsa.
Memang, seluruh buku adalah sebuah pleidoi untuk Hoakiau--suatu sikap yang tak populer. Pramoedya pun dituduh sebagai "pengkhianat bangsa". Ia memang berani mengucapkan "selamat" kepada mereka yang pulang ke RRC, "meninggalkan tragedi tanpa tujuan ini". Jika ada yang pedas dan getir dalam ucapan itu, itu juga kekuatannya: buku ini bukan sebuah paparan yang datar.
Pramoedya bukan tanpa kelemahan: misalnya ia tak sempat melihat bahwa yang disebut "masalah Cina" bukan hanya berlangsung di Indonesia, tapi juga di Thailand, Filipina, dan bahkan di Vietnam setelah kaum komunis menang di Hanoi. Bagaimanapun, penerbit yang menghadirkan buku ini kembali ke pembaca sekarang (sebuah penerbit baru, dikelola oleh generasi muda) memilih waktu yang tepat. Kerusuhan dan kekerasan Mei yang lalu membutuhkan penelahaan kembali soal konflik rasial ini. Kini mudah-mudahan tak perlu ada suara yang dibenamkan lagi, meskipun suara itu tak menyenangkan hati.
Goenawan Mohamad
0 komentar:
Post a Comment