Tulisan dari Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono, UI.
Tahun 1940-an, seorang anak China bernama Go Ge Siong bersekolah di HIS Muhammadiyah di kota kecil Sidareja, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah.
HIS ( Hollandsch-Inlandsche School ) adalah sekolah setingkat SD berbahasa Belanda khusus untuk anak-anak pribumi. Ge Siong tidak masuk HCS ( Hollands Chinesche School , berbahasa Belanda dan China ) karena orang tuanya miskin. Tapi di zaman kolonial itu, tidak masalah anak China masuk Muhammadiyah dan Go Ge Siong hari ini adalah Dr Singgih D Gunarsa,profesor (emeritus) psikologi di UI dan Universitas Tarumanegara. Di samping karya-karya ilmiah dan bukubukunya yang jadi acuan fakultas-fakultas psikologi se- Indonesia , prestasi terbesarnya adalah mengantarkan (sebagai psikolog olahraga) tim bulu tangkis Indonesia ke zaman keemasannya (juara All England dan Thomas Cup beberapa kali) bersama dengan pelatih PBSI ketika itu Tahir Djide (Singgih D Ginarsa,2011, Melintas Batas Cakrawala, Jakarta : Libri).
Di tahun 1997, saya bergabung dengan Dr Azyumardi Azra (sekarang profesor) melakukan penelitian yang dibiayai Departemen Agama tentang eksklusivisme tokoh dan pendidik dari lima agama yang diakui pemerintah (ketika itu), yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik (Roma), Hindu, dan Buddha. Sejumlah besar ulama,pendeta, guru agama,ustaz,teolog, pemimpin organisasi¡V¡Vsebutan generik sekarang adalah togam (tokoh agama)¡V¡Vdari berbagai penjuru Indonesia diambil sebagai responden. Wawancara dilakukan oleh para enumerator dari UI dan IAIN Jakarta (waktu itu belum jadi UIN) yang disebar ke berbagai tempat di Tanah Air yang sudah ditetapkan (melalui metode ilmiah tertentu) sebagai lokasi penelitian.
Kepada semua togam itu diajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama mengenai eksklusivisme agama masing-masing (misalnya: surga hanya untuk pengikut agama kami,Tuhan kami beda dari tuhan-tuhan agama lain, silakan orang beragama lain beribadah di rumah peribadatan kami, anak-anak kami dilarang menikah dengan umat agama lain). Hasilnya tidak jauh dari dugaan saya, yaitu togam Islamlah yang paling eksklusif di antara agama-agama yang lain karena lama sebelumnya, tepatnya tahun 1974, UU No 1/1974 tentang Perkawinan disahkan berlaku di Indonesia .
UU itu berciri Islam (Pasal 3 ayat 2, ¡¨Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan¡¨) dan salah satu pasalnya membuat tidak mungkin orang menikah kalau tidak seagama (Pasal 2 ayat 1, ¡¨Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu¡¨). Dengan demikian,seorang Islam hanya bisa menikah dengan sesama muslim/muslimah.
Di tahun 2011 ini, kecenderungan eksklusif itu makin meningkat. Bukan sekadar menikah dengan bukan sesama muslim/muslimah saja yang dilarang,tetapi ¡¨Mereka Harus Dibunuh! Karena Dosa-Dosa Mereka terhadap Islam dan Kaum Muslimin¡¨seperti judul dari Buku Bom yang dikirimkan ke beberapa alamat di Jakarta . Memang judul itu sama sekali tidak mewakili keseluruhan umat Islam Indonesia, tetapi di masa lalu,khususnya ketika Go Ge Siong masih sekolah, sama sekali tidak pernah ada ucapan seperti itu.
*** Di tahun 1999 saya bersama beberapa profesor dari UI (Prof Dr Sarjono Jatiman alm,Prof Dr Parsudi Suparlan alm, dan Prof Dr Budi Susilo) dikirim ke Kalimantan Barat untuk meneliti akar permasalahan kerusuhan etnik di sana.Seperti diketahui, ribuan orang etnik Madura dibantai bukan saja oleh suku Dayak, tetapi juga oleh suku Melayu yang seagama. Ketika saya tanyakan mengapa mereka membunuhi sesama muslim,narasumber saya yang terdiri dari togam, tomas (tokoh masyarakat),dan mungkin juga ada togok (tokoh golongan kepentingan) dari etnik Melayu menyatakan bahwa orang Madura memang sangat eksklusif.
Madrasah, pesantren, bahkan masjid Madura mereka tidak bisa diikuti orang Melayu karena mereka menggunakan bahasa Madura (bukan bahasa Indonesia).Mereka mendatangkan ulama, guru agama, dan khatib langsung dari Pulau Madura walaupun ulama dan ustaz lokal cukup banyak. Eksklusivisme inilah,ditambah dengan kelakuan yang sangat agresif dan impulsif dari orang Madura Kalbar,yang menyebabkan kedongkolan etnik lain (bukan hanya Dayak dan Melayu,tetapi juga Jawa,Bugis, dan China ) untuk bersamasama memusuhi orang Madura. Buat orang Melayu jadinya,kekerasan tahun 1999¡V2004 (untung sekarang sudah selesai) adalah masalah eksklusivisme kelompok, bukan masalah agama.
*** Di tahun 2003, ketika saya mengikuti sebuah kongres psikologi di Toronto , Kanada, saya menginap di Wisma Indonesia . Di sela-sela kegiatan kongres, saya beberapa kali ¡¨main¡¨ ke Kantor Konsulat Jenderal RI di Toronto dan berkenalan dengan warga Indonesia lainnya, baik yang karyawan konjen maupun masyarakat biasa. Di situ saya berkenalan dengan sepasang suami-istri mahasiswa dengan seorang anak mereka yang masih balita.Sang istri berjilbab.Jadi di mata saya tidak ada yang aneh dengan pasangan keluarga muda ini.
Tapi dari warga Indonesia yang lain, saya mendengar gosip bahwa keluarga muda ini bergaul akrab dengan warga Indonesia lainnya dan aktif dalam berbagai kegiatan di Konjen RI (termasuk persiapan perayaan 17 Agustus ketika itu), tetapi tidak pernah ikut pengajian atau salat tarawih (di bulan puasa) atau salat Jumat berjamaah di konjen.Ketika saya berkunjung ke rumah mereka, baru saya tahu bahwa mereka adalah warga Ahmadiyah. Berita terakhir, di televisi dikabarkan bahwa Bupati Kuningan dan rombongan mengunjungi Desa Manis Lor yang masyarakatnya mayoritas umat Ahmadiyah.Kunjungan itu diterima baik oleh umat Ahmadiyah, bahkan mereka merasa mendapat kehormatan karena baru sekali ini ada pejabat setingkat bupati mau mengunjungi mereka.
Tapi, ketika waktu salat tiba,warga tidak mau salat dengan diimami Pak Bupati, dengan alasan bahwa sudah ada jadwal imam salat setiap saatnya. Akhirnya mereka salat terpisah. Jadi di waktu yang sama,di masjid yang sama,ada dua jamaah yang salat bareng, tapi beda imam.Apalagi kalau bukan eksklusivisme namanya? Walaupun tidak sependapat (khususnya dengan perilaku kekerasan yang sudah jelas kriminal), saya bisa mengerti mengapa masyarakat di akar rumput jadi begitu tidak menyukai golongan Ahmadiyah. Pokok masalahnya saya kira bukan masalah akidah atau syariah saja,melainkan lebih karena hubungan antaragama yang saling eksklusif.
Karena belum ada sikap saling eksklusif (yang entah berawalnya dari mana) seperti sekarang, maka Go Ge Siong bisa bersekolah di Muhammadiyah. Padahal kalau bicara soal akidah dan syariah,Go Ge Siong yang Katolik tidak akan pernah bisa bersekolah di Muhammadiyah dan Ge Siong tetap Katolik sampai sekarang. Sama seperti cucu saya yang tetap muslim walaupun dia bersekolah di SD Tarakanita (kalau muslim sekolah atau kuliah di sekolah/universitas Kristen/Katolik, masih banyak sampai hari ini, tetapi tidak sebaliknya). Saya sangat prihatin dengan eksklusivisme umat Islam ini, bukan saja di Indonesia , tetapi juga di dunia.
Beberapa hari yang lalu saya mendapat pesan Twitter bahwa di Jerman saat ini sedang ada polling pendapat lewat dunia maya yang menanyakan kepada publik apakah Islam itu agama atau bukan? Dan hasilnya sampai saat naskah ini ditulis, lebih dari 60% menyatakan Islam bukan agama. Astaghfirullahal adzim, sudah segitu gawatnyakah citra Islam di mata dunia? Saya hanya bisa berdoa semoga pesan Twitter itu tidak benar. Tapi lebih utama dari itu, kita harus menemukan cara untuk mengembalikan citra Islam yang rahmatan lil alamin.
Sinyalemen Ali Imron (dalam wawancara televisi) bahwa radikalis Islam hari ini sudah menganggap bahwa hukum jihad fi sabilillah adalah fardhu ain (wajib untuk setiap muslim) harus dijawab dengan menerapkan hukum fardhu ain juga pada usaha menegakkan citra Islam yang rahmatan lil alamin.ƒÏ
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi UI
Tahun 1940-an, seorang anak China bernama Go Ge Siong bersekolah di HIS Muhammadiyah di kota kecil Sidareja, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah.
HIS ( Hollandsch-Inlandsche School ) adalah sekolah setingkat SD berbahasa Belanda khusus untuk anak-anak pribumi. Ge Siong tidak masuk HCS ( Hollands Chinesche School , berbahasa Belanda dan China ) karena orang tuanya miskin. Tapi di zaman kolonial itu, tidak masalah anak China masuk Muhammadiyah dan Go Ge Siong hari ini adalah Dr Singgih D Gunarsa,profesor (emeritus) psikologi di UI dan Universitas Tarumanegara. Di samping karya-karya ilmiah dan bukubukunya yang jadi acuan fakultas-fakultas psikologi se- Indonesia , prestasi terbesarnya adalah mengantarkan (sebagai psikolog olahraga) tim bulu tangkis Indonesia ke zaman keemasannya (juara All England dan Thomas Cup beberapa kali) bersama dengan pelatih PBSI ketika itu Tahir Djide (Singgih D Ginarsa,2011, Melintas Batas Cakrawala, Jakarta : Libri).
Di tahun 1997, saya bergabung dengan Dr Azyumardi Azra (sekarang profesor) melakukan penelitian yang dibiayai Departemen Agama tentang eksklusivisme tokoh dan pendidik dari lima agama yang diakui pemerintah (ketika itu), yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik (Roma), Hindu, dan Buddha. Sejumlah besar ulama,pendeta, guru agama,ustaz,teolog, pemimpin organisasi¡V¡Vsebutan generik sekarang adalah togam (tokoh agama)¡V¡Vdari berbagai penjuru Indonesia diambil sebagai responden. Wawancara dilakukan oleh para enumerator dari UI dan IAIN Jakarta (waktu itu belum jadi UIN) yang disebar ke berbagai tempat di Tanah Air yang sudah ditetapkan (melalui metode ilmiah tertentu) sebagai lokasi penelitian.
Kepada semua togam itu diajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama mengenai eksklusivisme agama masing-masing (misalnya: surga hanya untuk pengikut agama kami,Tuhan kami beda dari tuhan-tuhan agama lain, silakan orang beragama lain beribadah di rumah peribadatan kami, anak-anak kami dilarang menikah dengan umat agama lain). Hasilnya tidak jauh dari dugaan saya, yaitu togam Islamlah yang paling eksklusif di antara agama-agama yang lain karena lama sebelumnya, tepatnya tahun 1974, UU No 1/1974 tentang Perkawinan disahkan berlaku di Indonesia .
UU itu berciri Islam (Pasal 3 ayat 2, ¡¨Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan¡¨) dan salah satu pasalnya membuat tidak mungkin orang menikah kalau tidak seagama (Pasal 2 ayat 1, ¡¨Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu¡¨). Dengan demikian,seorang Islam hanya bisa menikah dengan sesama muslim/muslimah.
Di tahun 2011 ini, kecenderungan eksklusif itu makin meningkat. Bukan sekadar menikah dengan bukan sesama muslim/muslimah saja yang dilarang,tetapi ¡¨Mereka Harus Dibunuh! Karena Dosa-Dosa Mereka terhadap Islam dan Kaum Muslimin¡¨seperti judul dari Buku Bom yang dikirimkan ke beberapa alamat di Jakarta . Memang judul itu sama sekali tidak mewakili keseluruhan umat Islam Indonesia, tetapi di masa lalu,khususnya ketika Go Ge Siong masih sekolah, sama sekali tidak pernah ada ucapan seperti itu.
*** Di tahun 1999 saya bersama beberapa profesor dari UI (Prof Dr Sarjono Jatiman alm,Prof Dr Parsudi Suparlan alm, dan Prof Dr Budi Susilo) dikirim ke Kalimantan Barat untuk meneliti akar permasalahan kerusuhan etnik di sana.Seperti diketahui, ribuan orang etnik Madura dibantai bukan saja oleh suku Dayak, tetapi juga oleh suku Melayu yang seagama. Ketika saya tanyakan mengapa mereka membunuhi sesama muslim,narasumber saya yang terdiri dari togam, tomas (tokoh masyarakat),dan mungkin juga ada togok (tokoh golongan kepentingan) dari etnik Melayu menyatakan bahwa orang Madura memang sangat eksklusif.
Madrasah, pesantren, bahkan masjid Madura mereka tidak bisa diikuti orang Melayu karena mereka menggunakan bahasa Madura (bukan bahasa Indonesia).Mereka mendatangkan ulama, guru agama, dan khatib langsung dari Pulau Madura walaupun ulama dan ustaz lokal cukup banyak. Eksklusivisme inilah,ditambah dengan kelakuan yang sangat agresif dan impulsif dari orang Madura Kalbar,yang menyebabkan kedongkolan etnik lain (bukan hanya Dayak dan Melayu,tetapi juga Jawa,Bugis, dan China ) untuk bersamasama memusuhi orang Madura. Buat orang Melayu jadinya,kekerasan tahun 1999¡V2004 (untung sekarang sudah selesai) adalah masalah eksklusivisme kelompok, bukan masalah agama.
*** Di tahun 2003, ketika saya mengikuti sebuah kongres psikologi di Toronto , Kanada, saya menginap di Wisma Indonesia . Di sela-sela kegiatan kongres, saya beberapa kali ¡¨main¡¨ ke Kantor Konsulat Jenderal RI di Toronto dan berkenalan dengan warga Indonesia lainnya, baik yang karyawan konjen maupun masyarakat biasa. Di situ saya berkenalan dengan sepasang suami-istri mahasiswa dengan seorang anak mereka yang masih balita.Sang istri berjilbab.Jadi di mata saya tidak ada yang aneh dengan pasangan keluarga muda ini.
Tapi dari warga Indonesia yang lain, saya mendengar gosip bahwa keluarga muda ini bergaul akrab dengan warga Indonesia lainnya dan aktif dalam berbagai kegiatan di Konjen RI (termasuk persiapan perayaan 17 Agustus ketika itu), tetapi tidak pernah ikut pengajian atau salat tarawih (di bulan puasa) atau salat Jumat berjamaah di konjen.Ketika saya berkunjung ke rumah mereka, baru saya tahu bahwa mereka adalah warga Ahmadiyah. Berita terakhir, di televisi dikabarkan bahwa Bupati Kuningan dan rombongan mengunjungi Desa Manis Lor yang masyarakatnya mayoritas umat Ahmadiyah.Kunjungan itu diterima baik oleh umat Ahmadiyah, bahkan mereka merasa mendapat kehormatan karena baru sekali ini ada pejabat setingkat bupati mau mengunjungi mereka.
Tapi, ketika waktu salat tiba,warga tidak mau salat dengan diimami Pak Bupati, dengan alasan bahwa sudah ada jadwal imam salat setiap saatnya. Akhirnya mereka salat terpisah. Jadi di waktu yang sama,di masjid yang sama,ada dua jamaah yang salat bareng, tapi beda imam.Apalagi kalau bukan eksklusivisme namanya? Walaupun tidak sependapat (khususnya dengan perilaku kekerasan yang sudah jelas kriminal), saya bisa mengerti mengapa masyarakat di akar rumput jadi begitu tidak menyukai golongan Ahmadiyah. Pokok masalahnya saya kira bukan masalah akidah atau syariah saja,melainkan lebih karena hubungan antaragama yang saling eksklusif.
Karena belum ada sikap saling eksklusif (yang entah berawalnya dari mana) seperti sekarang, maka Go Ge Siong bisa bersekolah di Muhammadiyah. Padahal kalau bicara soal akidah dan syariah,Go Ge Siong yang Katolik tidak akan pernah bisa bersekolah di Muhammadiyah dan Ge Siong tetap Katolik sampai sekarang. Sama seperti cucu saya yang tetap muslim walaupun dia bersekolah di SD Tarakanita (kalau muslim sekolah atau kuliah di sekolah/universitas Kristen/Katolik, masih banyak sampai hari ini, tetapi tidak sebaliknya). Saya sangat prihatin dengan eksklusivisme umat Islam ini, bukan saja di Indonesia , tetapi juga di dunia.
Beberapa hari yang lalu saya mendapat pesan Twitter bahwa di Jerman saat ini sedang ada polling pendapat lewat dunia maya yang menanyakan kepada publik apakah Islam itu agama atau bukan? Dan hasilnya sampai saat naskah ini ditulis, lebih dari 60% menyatakan Islam bukan agama. Astaghfirullahal adzim, sudah segitu gawatnyakah citra Islam di mata dunia? Saya hanya bisa berdoa semoga pesan Twitter itu tidak benar. Tapi lebih utama dari itu, kita harus menemukan cara untuk mengembalikan citra Islam yang rahmatan lil alamin.
Sinyalemen Ali Imron (dalam wawancara televisi) bahwa radikalis Islam hari ini sudah menganggap bahwa hukum jihad fi sabilillah adalah fardhu ain (wajib untuk setiap muslim) harus dijawab dengan menerapkan hukum fardhu ain juga pada usaha menegakkan citra Islam yang rahmatan lil alamin.ƒÏ
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi UI
0 komentar:
Post a Comment