Pernah sekali, saya bertanya kepada seorang suci, bahwa bagaimana mungkin ia memastikan Tuhan itu ada ? Ia menatap saya dalam-dalam lalu menjawab dalam suara yang tidak pernah saya lupakan hingga hari ini, “Ada saatnya nanti engkau akan merasakan kehadiran-Nya, bukan hanya sekali tetapi akan berkali-kali. Dan pada akhirnya engkau akan ber-Tuhan dengan semestinya”. Itulah sebabnya setiapa kali orang bertanya pada saya, apa agama saya, saya cuma tersenyum dan tidak pernah menjawab. Karena bagi saya lebih penting ber-Tuhan daripada beragama. Bagi saya, awal mulanya kehadiran Tuhan hanya saya rasakan di tempat-tempat suci. Misalnya ketika saya mengunjungi katedral Notre Dame di Paris, Mesjid Biru di Turki, atau vihara Wong Tai Sin di Hong Kong. Namun setelah semakin sering merasakan kehadiran-Nya, maka kehadiran Tuhan semakin saya rasakan dalam setiap kejadian setiap hari.
Seminggu sebelum Natal tahun ini, saya mendapat BBM dari arsitek beken Indonesia Sindhu Hadiprana. Ia sedang membangun sebuah gereja di Pejompongan, dan di depan altar akan ada patung Kristus yang diukir utuh dalam sebuah batang pohon jati tua, yang sudah berusia ratusan tahun. Pemahatnya adalah artis beken Bali I Wayan Winten dari Ubud. Entah kenapa, saya seperti mendapat bisikan untuk melihat peristiwa langka ini. Tanggal 24 Desember pagi saya buru-buru terbang dari Djogdjakarta ke Jakarta. Begitu turun pesawat saya langsung mengirim pesan pendek “OTW ke Pejompongan”. Lalu saya bergegas ke TKP. Konon gereja yang sedang dibangun ini, digagas oleh Romo Rochadi dari Djogdjakarta. Beliau di lahirkan di Bantul, dan merupakan salah satu Romo yang dipercaya memiliki kemampuan sangat unik. Misa penyembuhan beliau selalu ramai dikunjungi umat yang terutama menderita penyakit tertentu.
Mendekati tengah hari saya tiba di lokasi gereja yang sedang dibangun, dan baru akan selesai April 2012. Pak Sindhu Hadiprana memperkenalkan saya kepada Romo Rochadi dan I Wayan Winten. Mata saya langsung takjub melihat pemandangan beberapa pengukir sedang memasang sebuah patung Kristus setinggi 8 meter. Utuh dari sebuah pohon jati tua yang sudah berusia ratusan tahun. Bagi saya, patung Kristus ini bukan saja terlihat sangat megah, namun saya merasakan getar enerji-nya sebagai sebuah “sacred objects” atau relik suci.
Ketika saya bertanya pada I Wayan Winten tentang proses pembuatan patung ini, beliau sempat tertawa. Lalu memperlihatkan tangan-nya yang berdiri bulu kuduknya. Sebagai pematung, I Wayan Winten bercerita tentang hubungan spiritual antara sepotong kayu dengan dirinya sebagai pengukir dan pemahat. Ia mengatakan bahwa sebuah karya besar patung atau ukiran hanya akan terjadi apabila ada penyerahan total dari salah satu pihak. Artinya harus ada yang mengalah. Terkadang sang pengukir atau pematung yang harus mengalah dan mengikuti garis kayu dan memanfaatkan pola yang sudah ada. Sebaliknya kadang sang kayu yang harus rela mengalah dan mengikuti kemauan sang pematung atau pengukir. Barulah bisa tercipta karya besar. Sebuah sentilan halus, bahwa kehidupan ini memerlukan kolaborasi dan team work. Bila semuanya angkuh, arogan dan tidak mau mengalah, maka titik temu yang hendak dicapai, tidak akan pernah ada.
Yang membuat I Wayan Winten, tersentuh dan terpesona dalam proses pembuatan patung ini, adalah proses yang kedua. Bahwa ia tidak menyangka diberikan kesempatan untuk didepan memimpin, dan seolah sang kayu mengalah total. Sebuah contoh filosofi yang seringkali diajarkan Kristus dan berbagai kisah kehidupan-nya. Selalu merendah dan mengalah. Dan ini membuat I Wayan Winten tersentuh secara spiritual.
I Wayan Winten, bercerita bawa proses pencarian kayu jati sendiri memakan waktu yang sangat lama. Ia berkeliling ke berbagai pusat jati di seluruh Jawa. Mencari berkali-kali dan hampir putus asa. Karena ia tidak menemukan apa yang dicarinya. Ketika hampir menyerah, ia akhirnya menemukan-nya justru di kota Solo, disebuah langganannya. Ia juga tidak percaya ketika harganya juga sedemikian murah. I Wayan Winten, merasakan bahwa dari proses pencarian saja, ia belajar bahwa seringkali kesempurnaan itu tidak pernah jauh. Kesempurnaan itu seringkali justru ada didepan mata kita.
Setelah menemukan kayu dengan ukuran yang diinginkan, I Wayan Winten kuatir kalau kayu jati itu rusak didalamnya dan terlalu banyak mata. Lalu ia mencoba “sampling” dengan cara di bor disalah satu sisinya. Ia terperanjat karena kayu jati itu utuh dan penuh. Rasa percaya diri I Wayan Winten kembali penuh 100%. Ia juga memutuskan untuk untuk memahat dan mengukir dalam posisi berdiri utuh 8 meter, untuk mendapatkan kesempurnaan proporsi antara kaki, badan dan kepala yang lebih nyata. Kini timbul masalah kedua. Bagaimana dengan ekspresi wajah Kristus ? Kebanyakan lukisan dan pahatan Kristus ketika disalib, dibuat ketika Kristus wafat. Hal ini digambarkan dengan kepala Kristus yang terkulai, dan mata tertutup. Saat Kristus wafat. Karena dalam agama Kristen, sengsara dan penyaliban Kristus diperingati sebuah sebuah misteri yang unik. Arsitek Sindu Hadiprana, minta ijin dengan Romo Rochadi, penggambaran Kristus tidak pada saat Kristus wafat melainkan saat Kristus hampir wafat. Maka patung Kristus karya I Wayan Winten, mata Kristus tidak terpejamkan. Ketika saya diperlihatkan ekspresi Kristus itu, darah saya berdesir. Seolah saya melihat Kristus yang sengsara namun hidup. Inilah salah satu keunikan yang juga lain daripada biasanya.
I Wayan Winten, lalu membuat contoh kepala Kristus dengan kayu lain. Berhasil dengan baik. Dan Kristus terlihat sangat magis. Ketika Romo Rochadi berkunjung ke Ubud untuk menyaksikan pemahatan wajah Kristus yang sesungguhnya di kayu jati 8 meter, I Wayan Winten bercerita Ubud dilanda hujan besar dengan badai petir yang tidak mau berhenti. Persis sama dengan cerita di Alkitab, saat menjelang Kristus hampir wafat. I Wayan Winten tidak akan pernah lupa akan peristiwa itu. Ketika patung Kristus selesai, I Wayan Winten hatinya sangat kuatir. Karena takut transportasi dari Ubud ke Jakarta akan mengalami gangguan di perjalanan. Percaya atau tidak semua perjalanan berjalan mulus. Patung Kristus itu akhirnya tiba hari Rabu di Jakarta. Dan dengan “crane” besar patung itu coba dipindahkan ke tempat instalasainya. Namu berbagai kesulitan terus menerus muncul. Patung Kristus itu baru berhasil berdiri dan dipasang, pada hari Jumat menjelang jam 3 sore hari. Sebuah peristiwa yang mengingatkan kita pada Jumat Agung, menjelang detik-detik terakhir wafatnya Kristus.
Sindu Hadiprana sendiri, sangat kagum dengan patung Kristus itu, karena ternyata pohon jati itu hampir tidak memiliki hati pohon. Itu sebabnya seluruh wajah Kristus hingga ke kakinya terukir dengan kayu yang sangat halus, dan nyaris tanpa urat sama sekali. Bilamana diperhatikan dari jauh mirip ukiran dan pahatan dari pualam. Sungguh menakjubkan.
Bagi kami berempat – Romo Rochadi, I Wayan Winten, Sindhu Hadiprana, dan saya, peristiwa tanggal 24 Desember 2011 punya arti luar biasa. Entah bagaimana caranya, kami bisa bertemu berempat sekaligus. Barangkali bagi Romo Rochadi, inilah Pohon Kristus yang seutuhnya, seperti sabda Kristus : “”Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah Kehidupan,…….” -Yohanes 14 ayat 6. Sebuah pohon yang bisa menjadi inspirasi kehidupan bagi banyak orang nantinya. Bagi I Wayan Winten, sekali lagi ia mengalami “taksu” secara spiritual atas karyanya. Taksu sebuah filosofi Bali, secara sederhana berarti enerji yang menghantarkan kita pada sebuah kesaktian. Bukan enerji yang datang begitu saja, melainkan datang lewat ketekunan dan pengabdian sungguh-sunggu. Sindu Hadiprana sendiri, berkomentar, “Sesuatu yang berawal dari Tuhan, bila diberdayakan tanpa pamrih, pasti akan menjadi berkat terbesar dan karya terbesar.” Sebagai seorang arsitek, Sindhu barangkali berada dibatas kebesaran itu. Dan buat saya, Tuhan sekali lagi menampakkan dirinya dan menjamah saya. Secara sangat misterius.
Selamat Natal. Semoga kuasa Kristus menjamah anda di hari suci ini.
Seminggu sebelum Natal tahun ini, saya mendapat BBM dari arsitek beken Indonesia Sindhu Hadiprana. Ia sedang membangun sebuah gereja di Pejompongan, dan di depan altar akan ada patung Kristus yang diukir utuh dalam sebuah batang pohon jati tua, yang sudah berusia ratusan tahun. Pemahatnya adalah artis beken Bali I Wayan Winten dari Ubud. Entah kenapa, saya seperti mendapat bisikan untuk melihat peristiwa langka ini. Tanggal 24 Desember pagi saya buru-buru terbang dari Djogdjakarta ke Jakarta. Begitu turun pesawat saya langsung mengirim pesan pendek “OTW ke Pejompongan”. Lalu saya bergegas ke TKP. Konon gereja yang sedang dibangun ini, digagas oleh Romo Rochadi dari Djogdjakarta. Beliau di lahirkan di Bantul, dan merupakan salah satu Romo yang dipercaya memiliki kemampuan sangat unik. Misa penyembuhan beliau selalu ramai dikunjungi umat yang terutama menderita penyakit tertentu.
Mendekati tengah hari saya tiba di lokasi gereja yang sedang dibangun, dan baru akan selesai April 2012. Pak Sindhu Hadiprana memperkenalkan saya kepada Romo Rochadi dan I Wayan Winten. Mata saya langsung takjub melihat pemandangan beberapa pengukir sedang memasang sebuah patung Kristus setinggi 8 meter. Utuh dari sebuah pohon jati tua yang sudah berusia ratusan tahun. Bagi saya, patung Kristus ini bukan saja terlihat sangat megah, namun saya merasakan getar enerji-nya sebagai sebuah “sacred objects” atau relik suci.
Ketika saya bertanya pada I Wayan Winten tentang proses pembuatan patung ini, beliau sempat tertawa. Lalu memperlihatkan tangan-nya yang berdiri bulu kuduknya. Sebagai pematung, I Wayan Winten bercerita tentang hubungan spiritual antara sepotong kayu dengan dirinya sebagai pengukir dan pemahat. Ia mengatakan bahwa sebuah karya besar patung atau ukiran hanya akan terjadi apabila ada penyerahan total dari salah satu pihak. Artinya harus ada yang mengalah. Terkadang sang pengukir atau pematung yang harus mengalah dan mengikuti garis kayu dan memanfaatkan pola yang sudah ada. Sebaliknya kadang sang kayu yang harus rela mengalah dan mengikuti kemauan sang pematung atau pengukir. Barulah bisa tercipta karya besar. Sebuah sentilan halus, bahwa kehidupan ini memerlukan kolaborasi dan team work. Bila semuanya angkuh, arogan dan tidak mau mengalah, maka titik temu yang hendak dicapai, tidak akan pernah ada.
Yang membuat I Wayan Winten, tersentuh dan terpesona dalam proses pembuatan patung ini, adalah proses yang kedua. Bahwa ia tidak menyangka diberikan kesempatan untuk didepan memimpin, dan seolah sang kayu mengalah total. Sebuah contoh filosofi yang seringkali diajarkan Kristus dan berbagai kisah kehidupan-nya. Selalu merendah dan mengalah. Dan ini membuat I Wayan Winten tersentuh secara spiritual.
I Wayan Winten, bercerita bawa proses pencarian kayu jati sendiri memakan waktu yang sangat lama. Ia berkeliling ke berbagai pusat jati di seluruh Jawa. Mencari berkali-kali dan hampir putus asa. Karena ia tidak menemukan apa yang dicarinya. Ketika hampir menyerah, ia akhirnya menemukan-nya justru di kota Solo, disebuah langganannya. Ia juga tidak percaya ketika harganya juga sedemikian murah. I Wayan Winten, merasakan bahwa dari proses pencarian saja, ia belajar bahwa seringkali kesempurnaan itu tidak pernah jauh. Kesempurnaan itu seringkali justru ada didepan mata kita.
Setelah menemukan kayu dengan ukuran yang diinginkan, I Wayan Winten kuatir kalau kayu jati itu rusak didalamnya dan terlalu banyak mata. Lalu ia mencoba “sampling” dengan cara di bor disalah satu sisinya. Ia terperanjat karena kayu jati itu utuh dan penuh. Rasa percaya diri I Wayan Winten kembali penuh 100%. Ia juga memutuskan untuk untuk memahat dan mengukir dalam posisi berdiri utuh 8 meter, untuk mendapatkan kesempurnaan proporsi antara kaki, badan dan kepala yang lebih nyata. Kini timbul masalah kedua. Bagaimana dengan ekspresi wajah Kristus ? Kebanyakan lukisan dan pahatan Kristus ketika disalib, dibuat ketika Kristus wafat. Hal ini digambarkan dengan kepala Kristus yang terkulai, dan mata tertutup. Saat Kristus wafat. Karena dalam agama Kristen, sengsara dan penyaliban Kristus diperingati sebuah sebuah misteri yang unik. Arsitek Sindu Hadiprana, minta ijin dengan Romo Rochadi, penggambaran Kristus tidak pada saat Kristus wafat melainkan saat Kristus hampir wafat. Maka patung Kristus karya I Wayan Winten, mata Kristus tidak terpejamkan. Ketika saya diperlihatkan ekspresi Kristus itu, darah saya berdesir. Seolah saya melihat Kristus yang sengsara namun hidup. Inilah salah satu keunikan yang juga lain daripada biasanya.
I Wayan Winten, lalu membuat contoh kepala Kristus dengan kayu lain. Berhasil dengan baik. Dan Kristus terlihat sangat magis. Ketika Romo Rochadi berkunjung ke Ubud untuk menyaksikan pemahatan wajah Kristus yang sesungguhnya di kayu jati 8 meter, I Wayan Winten bercerita Ubud dilanda hujan besar dengan badai petir yang tidak mau berhenti. Persis sama dengan cerita di Alkitab, saat menjelang Kristus hampir wafat. I Wayan Winten tidak akan pernah lupa akan peristiwa itu. Ketika patung Kristus selesai, I Wayan Winten hatinya sangat kuatir. Karena takut transportasi dari Ubud ke Jakarta akan mengalami gangguan di perjalanan. Percaya atau tidak semua perjalanan berjalan mulus. Patung Kristus itu akhirnya tiba hari Rabu di Jakarta. Dan dengan “crane” besar patung itu coba dipindahkan ke tempat instalasainya. Namu berbagai kesulitan terus menerus muncul. Patung Kristus itu baru berhasil berdiri dan dipasang, pada hari Jumat menjelang jam 3 sore hari. Sebuah peristiwa yang mengingatkan kita pada Jumat Agung, menjelang detik-detik terakhir wafatnya Kristus.
Sindu Hadiprana sendiri, sangat kagum dengan patung Kristus itu, karena ternyata pohon jati itu hampir tidak memiliki hati pohon. Itu sebabnya seluruh wajah Kristus hingga ke kakinya terukir dengan kayu yang sangat halus, dan nyaris tanpa urat sama sekali. Bilamana diperhatikan dari jauh mirip ukiran dan pahatan dari pualam. Sungguh menakjubkan.
Bagi kami berempat – Romo Rochadi, I Wayan Winten, Sindhu Hadiprana, dan saya, peristiwa tanggal 24 Desember 2011 punya arti luar biasa. Entah bagaimana caranya, kami bisa bertemu berempat sekaligus. Barangkali bagi Romo Rochadi, inilah Pohon Kristus yang seutuhnya, seperti sabda Kristus : “”Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah Kehidupan,…….” -Yohanes 14 ayat 6. Sebuah pohon yang bisa menjadi inspirasi kehidupan bagi banyak orang nantinya. Bagi I Wayan Winten, sekali lagi ia mengalami “taksu” secara spiritual atas karyanya. Taksu sebuah filosofi Bali, secara sederhana berarti enerji yang menghantarkan kita pada sebuah kesaktian. Bukan enerji yang datang begitu saja, melainkan datang lewat ketekunan dan pengabdian sungguh-sunggu. Sindu Hadiprana sendiri, berkomentar, “Sesuatu yang berawal dari Tuhan, bila diberdayakan tanpa pamrih, pasti akan menjadi berkat terbesar dan karya terbesar.” Sebagai seorang arsitek, Sindhu barangkali berada dibatas kebesaran itu. Dan buat saya, Tuhan sekali lagi menampakkan dirinya dan menjamah saya. Secara sangat misterius.
Selamat Natal. Semoga kuasa Kristus menjamah anda di hari suci ini.
0 komentar:
Post a Comment